Hujan

1392 Words
Jakarta, 2002 *** Hari ini aku dan Jovan sedang berada di halaman belakang vila. Kemarin aku hanya melihat saja ketika dia berkebun bersama Pak Marto, hari ini Jovan membangunkanku pagi-pagi untuk mengajakku berkebun. Sunggu, aku tidak suka kebun. Banyak ulat yang bisa membuat tubuhku gatal-gatal, belum lagi dengan cacing dan beberapa serangga kecil. Sungguh, ini sangat menyeramkan. “Aku duduk saja di sini yaa? Nanti aku yang menyiram tanaman” Kataku sambil duduk di kursi pinggir taman. Menatap pemandangan luas di depan sana, rasanya mataku segar sekalii. Semuanya berwarna hijau dan di tutupi embun pagi yang indah. Suasana pagi semakin tampak indah dengan adanya cahaya matahari yang masih terlihat malu-malu. Indah sekali.. apalagi vila ini berada di atas tebing yang indah. Sejauh mata memandang, aku bisa melihat semua pemandangan segar. “Kenapa takut, sih? Aku tahu kamu sebenarnya tidak selemah itu!” Kata Jovan sambil ikut berjalan mendekatiku. Aku menatapnya sebentar. Ahh, iyaa. Pemandangan ini jadi semakin indah ketika ada Jovan. “Aku kan tidak biasa bermain lumpur seperti itu” Kataku sambil menunjuk beberapa peralatan berkebunnya yang dipenuhi dengan lumpur. Jovan terkekeh pelan. Mengusap rambutku dengan tangannya yang langsung kuhindari karena aku tahu, tangannya kotor! Aku jadi menatap hamparan luas di depanku sambil menyenderkan tubuh kepada Jovan. Sejenak aku jadi memikirkan bagaimana keadaan di rumah. Bagaimana Mama, Eyang, atau bahkan Papa.. apakah mereka mencemaskan keberadaanku atau bahkan marah pada pilihanku? Aku jadi bingung harus seperti apa. Beberapa hari tinggal di sini, aku merasa semuanya baik-baik saja. Aku merasa jika apa yang kulakukan sudah benar karena memang inilah yang aku tahu. Tapi.. di usiaku yang saat ini, apa aku sudah melakukan hal yang benar? Belum lagi risiko jika aku malah akan didepak dari rumah. Apa yang harus kulakukan jika rencana kami kacau? “Hei, kenapa??” Tanya Jovan sambil menatapku. Aku hanya punya Jovan, jadi.. hanya dengannya aku bisa berbagi. “Bagaimana kalau tidak berhasil? Bagaimana kalau ancaman kita hari itu tidak direspon oleh keluarga kita??” Tanyaku. Jovan jadi terdiam. Untuk beberapa detik aku melihat jika senyuman menghilang dari bibirnya. Aku jadi menatapnya dengan cemas. “Aku bahkan tidak punya apapun untuk dijanjikan padamu, Meera. Tapi aku janji, setelah ini, apapun yang terjadi kamu akan tetap menjadi tanggung jawabku” Jawab Jovan sambil merangkul bahuku. Membawa aku ke kenyamanan yang selalu dia janjikan. Aku tahu ini gila. Oh Tuhan, aku bahkan baru sadar kalau aku kabur dari rumahku untuk seorang pemuda bernama Jovan. Yaa, aku baru menyadari semua itu.. Tapi kegilaan ini tidak mungkin berhenti di tengah jalan. Jadi.. aku memang harus menerima semua konsekuensinya. Apapun itu, asal bersama Jovan, kurasa tidak akan ada yang salah. *** Karena sudah bosan berada di rumah seharian, ketika sore Jovan mengajakku untuk berjalan ke sekitar rumah menaiki motor butut milik Pak Marto. Padahal sebenarnya kita bisa naik mobil yang dipinjami Ardo, tapi sepertinya naik motor terasa lebih menyenangkan. Kami tidak pergi jauh, hanya berjalan di taman kota yang kata Bu Minah selalu ramai ketika sore hari karena memang hanya itu satu-satunya tempat wisata untuk menghibur diri di kota ini. Aku tentu senang kalau di ajak berpetualang seperti ini. Menikmati beberapa jajanan kota ini yang rata-rata rasanya terasa asing untuk lidahku. Aku bahkan beberapa kali harus membuang bungkusan makanan karena benar-benar tidak cocok dengan seleraku. Yaa, mau bagaimana lagi, aku belum tahu apa yang kubeli, jadi wajar saja jika aku tidak menyukainya. Akhirnya, ketika hari sudah hampir gelap, Jovan mengajakku untuk duduk di salah satu kursi yang tersedia di dekat pohon besar, tanganku sudah memegang beberapa bungkus makanan ringan dan juga es krim. Ini benar-benar menyenangkan. Sekalipun perutku sudah kenyang, beberapa jajanan di sini memang enak rasanya sehingga aku memutuskan untuk membeli lagi. Baru saja aku duduk bersama Jovan, tiba-tiba ada segerombolan anak berusia , mungkin sepuluh tahu, datang sambil menengadahkan tangannya sambil menatapku penuh harap. Jovan yang mengerti keadaan langsung mengeluarkan dompetnya dan memberi mereka selembar uang lima puluh ribuan. Mereka bersorak girang ketika mendapat uang itu. Terlihat jelas dari wajah mereka jika mereka senang. Aku jadi terenyuh ketika melihat mereka segera membeli beberapa roti bakar yang kebetulan berada di depanku. Jovan kembali memanggil mereka ketika dia sudah membelikan beberapa bungkus teh hangat dan menaruhnya di samping kursiku. Anak-anak itu kembali datang sambil menyerahkan kembalian uang roti bakar tadi. Jovan tertawa lalu mengusap rambut mereka. Aku mengernyitkan dahi, kurasa anak seperti mereka pasti jarang mencuci rambut. Apa Jovan benar-benar menyentuh kepalanya tadi?? Bagaimana jika mereka punya kutu? Sungguh, aku bukannya anti terhadap pengemis. Aku selalu memberikan uang setiap melihat mereka, tapi tidak pernah berinteraksi seperti ini dengan mereka. Oh Tuhan, kurasa mereka terlalu dekat denganku. Aku melihat mereka segera duduk di atas tanah, tepat di depan kakiku ketika Jovan malah membagikan teh hangat pada mereka. Aku menarik kakiku sedikit sambil menatap Jovan. “Terima kasih, Kak” Kata salah satu dari mereka. Aku melihat rambut panjangnya yang sedikit kusut, juga bajunya yang compang-camping membuat aku mengernyitkan dahiku. Apa dia tidak punya baju lain? “Kalian lapar sekali yaa kelihatannya” Kata Jovan sambil tersenyum. “Terima kasih banyak..” Kata yang lain lagi. Jovan menanggapi mereka sambil sesekali tertawa ketika mendengar celotehan anak-anak ini. Ada 5 orang anak yang sedang duduk sambil menikmati roti bakar dan segelas teh panas. Yaa, manusia normal wajarnya membeli teh panas ketika cuaca sedingin ini, tapi aku tentu lebih memilih es krim daripada minuman panas manapun. “Kalian kenapa di sini??” Tanya Jovan. Aku melihat tatapan Jovan melembut setiap kali bicara dengan mereka. Tidak, tidak ada tatapan kasihan ataupun merendahkan, Jovan menatap mereka dengan tulus seakan kami memiliki status yang sama. Bahkan daripada aku yang lebih memilih untuk diam dan tetap duduk di atas kursi, Jovan sudah sejak tadi turun dan ikut duduk di atas tanah seperti mereka. Aku jadi semakin kagum padanya. “Kami cari uang..” “Orang tua kalian ke mana??” Aku jadi ikut penasaran oleh sebab itu aku langsung bertanya dengan cepat. Masalahnya mereka masih kecil, tidak seharusnya berkeliaran di tengah udara dingin sambil mengemis seperti ini. “Nggak ada” Aku segera terdiam. Mereka berlima menatapku dengan tatapan sama seakan memang mereka tidak memiliki satupun orang tua. Oh Tuhan.. apa yang telah kulakukan?? Aku meninggalkan orang tuaku dan pergi jauh sampai ke tempat ini. “Kalian habiskan makannya yaa” Kata Jovan sambil kembali mengeluarkan uang lima puluh ribu sebanyak tiga lembar lalu memberikan pada mereka. Jovan menarik tanganku dengan lembut sambil membantuku membersihkan jaket yang terkena kotoran di kursi tadi, setelahnya Jovan pamit pada mereka. Sepertinya dia sadar jika aku kurang nyaman berada di tengah-tengah mereka. “Kakak harus pulang. Kalau Kakak sempat, besok Kakak akan kesini lagi” Ucap Jovan sebelum kami meninggalkan anak-anak itu. “Kenapa seperti itu, sih??” Tanya Jovan sambil memakaikan helm begitu kami sudah berada di samping motor butut milik pak Marto. “Kamu nggak takut sama merek??” Tanyaku hati-hati. Melihat keakraban Jovan dan anak-anak tadi, sangat tidak memungkinkan aku berkata kasar mengenai mereka, bukan? “Jijik maksud kamu??” Tanya Jovan sambil mengacak poniku sekilas. Aku diam saja, Jovan selalu bisa membaca apa yang aku pikirkan. Ini tidak adil karena aku harus terus-terusan bertanya-tanya tentang perasaan Jovan. “Mereka juga manusia, Meera. Tidak boleh jijik pada sesama kita” Katanya sambil menatapku lama. Aku sebenarnya juga tidak bermaksud jijik pada mereka tapi.. ini terjadi begitu saja. Aku tidak pernah berinteraksi dekat dengan mereka karena memang tidak terbiasa. Lagi pula seumur hidupku satu-satunya kata yang pernah aku ucapkan adalah ‘sama-sama’ ketika mereka berterima kasih padaku. “Aku tahu kalau kamu belum terbiasa, tapi mulai sekarang, biasakan untuk selalu tersenyum pada mereka. Kamu mungkin menganggap jika senyuman adalah hal yang remeh, tanpa kamu tahu bagi mereka senyumanmu adalah cahaya kehidupan yang baru. Apa kamu tahu jika senyumanmu adalah alasan hidup seseorang??” Tanya Jovan sambil tersenyum kembali. Aku tanpa sadar hanya mengangguk ketika mendengar mendengar ucapannya. Jovan selalu tahu cara untuk memperbaiki diriku tanpa memarahiku atapun menyudutkan diriku. Aku akan diberi tahu dengan baik lalu dibenarkan oleh ucapannya. Dan tidak seperti orang-orang yang hanya bisa berucap tanpa pembuktian apapun, Jovan sebaliknya.. dia akan memberi contoh dan membuat aku mengikuti dirinya. “Terima kasih sudah memberi tahu diriku” Kataku sambil memeluk Jovan dari belakang. Di atas motor butut ini, aku bisa merasakan bagaimana dinginnya jalan bisa teratasi hanya dengan pelukan Jovan. Jadi, semakin aku kedinginan aku semakin mengeratkan pelukanku. Selanjutnya, aku mulai membiarkan diriku bersandar pada Jovan. Membiarkan dia ikut merasakan detak jantungku yang berdegup tidak karuan. Lalu, beberapa saat kemudian aku mulai merasakan rintik hujan membasahi bumi. Membuat hawa dingin semakin terasa di tengah perjalanan kami pulang. Akhirnya, ketika hujan deras mengguyur kami tanpa ampun, satu-satunya hal yang kulakukan bersama Jovan hanya saling tertawa dan menikmati malam ini. Hujan, percakapan penuh tawa, dan pelukan ini. Sudah, untuk sesaat aku sudah tidak mau apapun. Cukup hentikan waktu saat ini saja.. Karena kadang, setelah hujan semuanya akan berubah. Bisa jadi aku menemukan pelanggi, tapi juga tidak menutup kemungkinan jika badai petir malah semakin bersahutan jika hujan tidak kunjung reda. Untuk hujan yang satu ini, aku harap ada pelangi setelahnya..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD