Berjuang

1586 Words
Jakarta,2002 Aku melangkahkan kaki di lorong sekolah. Mataku masih bergerak tidak pasti, mencoba mengenali setiap wajah yang berada di depanku. Tidak, sekalipun ini adalah sekolahku, tempat ini selalu terasa asing setiap kali aku berjalan sendirian.. Dan seperti sebuah konspirasi alam semesta, di depan sana.. sama seperti kejadian beberapa hari lalu, Jovan berdiri sambil menatapku. Aku mengenali tatapannya karena aku juga merasakan hal yang sama. Ada banyak hal yang ingin kami sampaikan sekalipun tidak lewat kata.. karena, tidak ada yang bisa mengatakan arti sebuah perasaan dengna tepat. Jovan dan mata coklatnya.. Aku merasa seperti kembali ke tempat yang sama. Selalu, setiap aku menatapnya.. aku akan merasa seperti kembali pulang. Aku melangkahkan kakiku, dan seakan menginginkan hal yang sama, Jovan juga berjalan semakin mendekat. Aku tidak mengerti beberapa kejadian belakangan ini, tapi hari kemarin terasa benar-benar menyesakkan ketika dijalani tanpa Jovan. Kami seperti menemukan masalah baru, dan aku tidak yakin semuanya akan baik-baik saja setelah ini. Tapi sesaat kemudian aku berubah pikiran. Tepat ketika Jovan berdiri di depanku sambil merentangkan kedua tangannya, saat itulah aku merasa semuanya akan tetap baik sekalipun banyak kekacauan. Aku yakin, jika bersama pemuda yang sedang memelukku dengan mengabaikan tatapan para murid yang berada di lorong ini, semuanya akan tetap baik-baik saja. Entahlah, hanya dengan pelukannya, aku merasa jika semuanya akan mudah *** “Apa yang terjadi??” Tanyaku sambil menyentuh luka yang ada di pelipisnya. Jovan tampak kacau, dan aku benar-benar tidak tega melihatnya seperti ini. Aku tahu, selama ini, tidak seperti aku yang terkesan terbuka dengan kemarahanku kepada Papa, Jovan lebih sering menceritakan betapa baik Daddynya. Tapi aku justru melihatnya sendiri, melihat betapa kacau segala hal yang berusaha dia tutupi selama ini. Aku menghela napas, setelah memutuskan untuk bolos kelas pagi ini, aku akhirnya dibawa ke ruangan OSIS oleh Jovan. Kami awalnya hanya berdua, tapi beberapa menit kemudian Ardo menyusul seolah dia tahu apa yang terjadi. Lalu dia kembali pergi beberapa saat kemudian, katanya dia akan pergi ke kantin. Tapi kurasa itu hanya alasan saja, Ardo selalu mengerti keadaan yang terjadi. “Semuanya kacau. Kamu tahu sendiri, bukan?” Tanyanya sambil menatapku. Semuanya kacau. Dua orang dewasa yang kita panggil sebagai Papa, mereka mengacaukan segalanya. Baik aku maupun Jovan. Mereka mengacaukan semua rencana yang tanpa sadar sudah kami susun seakan kita punya petunjuk mengenai hari esok. Lalu.. perlahan kami tahu, satu-satunya petunjuk yang kami punya tentang hari esok adalah.. kehancuran. Karena setelah semua yang terjadi, tidak akan ada kata mudah untuk hubungan kami. “Kenapa tidak cerita??” Tanyaku sambil menyentuh rahangnya. Merasakan bulu-bulu halus mulai tumbuh disana. Jovan tersenyum singkat. Hubungan ini semakin rumit seiring berjalannya waktu. “Tentang Daddy?” Tanyanya. Aku menganggukkan kepala. “Apa itu akan memperbaiki keadaan? Kamu banyak terluka karena Papamu, kamu pikir akan kubiarkan akmu menanggung beban ini, Meera?” Aku tersenyum. Benar.. dia benar. Aku terlalu membenci Papa, dan Jovan tahu itu. Tapi bukankah merahasiakan semua ini juga akan memperburuk keadaan? “Mereka manusia biasa, Meera. Banyak tidak sempurnanya. Jangan biarkan dirimu membenci terlalu dalam” Katany lagi sambil menyentuh pipiku. Aku meringis. Tamparan kemarin tidak main-main dampaknya, aku sampai tidak tidur semalaman karena rasa nyeri di pipi dan rahangku. “Ada apa?? Tanyanya sambil menatapku curiga. Jovan menyibakkan rambutku, tidak, luka itu memang tidak berwarna biru. Tapi rasanya tetap menyakitkan. “Meera??” Aku menghela napas. Satu-satunya cara membuat dia terbuka dan mau bercerita adalah memberi contoh padanya. Jadi.. “Papa menamparku kemarin.” Kataku sambil tersenyum. Jovan menarik kepalanya. Memejamkan mata sambil menghela napas. Benar, pikirannya pasti bergerak dengan tidak terkendali. “Apa yang terjadi, Meera? Dia marah karena kamu menemuiku kemarin??” Tanyanya. Aku mengangguk. Memang itu kebenarannya.. “Kamu tahu, aku selalu berharap menemukan cintaku dengan cara yang mudah, jatuh cinta, tumbuh bersama, lalu.. hidup bersama. Tapi, Meera, kenyataannya berbeda bukan??” Katanya. Aku menatap Jovan. Menunggu kata apa yang akan keluar dari mulutnya. Kuharap bukan sama seperti dugaanku. Karena sekalipun anyak yang menentang hubungan ini, sekalipun alam semesta juga tidak setuju, aku akan selalu berjuang asalkan dia ada bersamaku. Jadi... “Semuanya menentang kita” Lanjut Jovan. Aku hampir kehilangan pijakanku sebelum Jovan kembali mengatakan sesuatu yang membuatku merasa melihat cahaya terang untuk hubungan kmai. Untuk hubungan dua orang akan muda yang masih belum tahu bagaimana dunia bisa dengan kasar menghempaskan kami. “Tapi, tetaplah bersamaku. Aku mohon” Kami pernah memiliki angan yang tinggi untuk akhir hubungan ini. Seperti tulisan di setiap akhir film disney princess, Menikah dan hidup bahagia selamanya. Tapi mungkin akan ada banyak kesulitan sebelum mencapai akhir itu. Banyak kesulitan yang mengganggu hubungan kami saat ini. Tidak, ini bukan hubungan yang singkat dan mudah, semudah aku mencintainya dan dia mencintaiku. Ada banyak hal yang saling berlawanan.. tapi aku tahu benar, baik aku maupun Jovan, kita tentu tidak akan menyerah semudah ini. “Banyak yang bilang jika ini hanya cinta anak muda yang mudah pudar. Tapi aku benar-benar merasakannya, Meera. Ini berbeda, jadi.. tetaplah bersamaku” Katanya lagi. Aku tahu, diusia seperti kami, banyak cinta yang datang dan pergi dengan cepat. Banyak perasaan baru yang akan kami rasakan, tapi ketika kau melihat mata Jovan, aku benar-benar merasakan jika kami tercipta untuk satu sama lain. Aku selalu melihat harapan untuk hari esok, hanya pada matanya. Jadi, bisakah kami bersama dengan cara yang mudah? Semudah siang berganti malam. Semudah matahari membiarkan bulan berkuasa di langit gelap. Bukan rumit dan penuh intrik seperti ini. *** “Jadi.. kalian sudah punya rencana untuk kedepannya??” Tanya Ardo sambil meminum jus jeruknya. Ardo, seperti yang kubilang, dia layaknya penulis novel yang mengetahui segala hal. Dia yang selalu paham dan mengerti setiap keadaan hanya dengan duduk dan mengamati sekitar. Entah bagaimana dia sekarang juga menjadi dekat denganku. Kami saling mengenal dan cukup mengerti satu sama lain sehingga aku bisa menyebutnya teman. Dia satu-satunya teman yang kumiliki di sekolah ini. “Untuk sementara aku tidak akan menemui Meera di luar sekolah..” Aku menatap Jovan sesaat. Aku tahu, ini akan semakin sulit, semakin sulit dari waktu ke waktu. Masalah ini sebenarnya belum kami ketahui dengan jelas. “Masalahnya semakin rumit, ya??” Tanya Ardo dengan santai. Jovan menyugar rambutnya. Aku tahu dia juga kebingungan saat ini. “Ya, beginilah nasib jadi orang kaya” Jawab Jovan membuat ardo tertawa. Aku juga ikut tersenyum. Kurasa bukan begini juga, siapapun orangnya, baik kaya atau miskin, jika sudah berurusan dengan cinta, semuanya akan tetap rumit. “Sialan! Kuharap tidak jatuh cinta dulu di masa SMA ini” kata Ardo. “Aku justru berharap kau segera jatuh cinta. Ingin melihat saja bagaimana bodohnya dirimu ketika menghadapi cinta” Kata Jovan membuat aku tertawa. Oh, aku jadi setuju dengan perkataan Jovan. Ingin melihat juga bagaimana kalang kabutnya Ardo ketika saat itu tiba. “Aku setuju dengan usulan itu!” Ucapku sambil tertawa. “Sudah, sudah. Jangan berbicara seperti itu. Kalian terdengar jahat kalau seperti itu.” Dia menjawab sambil menatapku sekilas, membuat aku jadi mengalihkan pandangan. “Ngomong-ngomong, kamu masih diikuti, Meera??” Tanyanya. Aku mengangguk. Begitulah adanya. Andai mereka sudah berhenti membuntuti diriku, sudah pasti aku bisa mengunjungi Jovan kapanpun aku mau. “Bukan hanya Meera. Sekarang aku juga begitu. Makanya aku tidak bisa menemuinya juga” Kata Jovan. Iya, beginilah keadaanya. Beberapa hal yang sama sekali tidak kami ketahui malah berdampak buruk pada hubungan ini. Baik aku maupun Jovan, kami jelas tidak ada urusan dengan permusuhan perusahaan, tapi yang terkena imbasnya justru adalah kami berdua. Rasanya menyebalkan ketika harus menanggung akibat dari sesuatu yang bukan kesalahan kami. Karena saling melepaskan juga bukanlah sesuatu yang tepat, maka kami akan terus bertahan. Sekalipun Papa mungkin bisa menamparku lagi, aku akan tetap berusaha bertahan. Rasanya ini bukan hanya karena aku mencintainya, ada sesuatu yang terasa kuat, yang belum bisa kujelaskan dengan kata-kata, sesuatu itu yang terus mengembalikan aku ke sisi Jovan apapun yang terjadi. Dan aku tahu, ini bukan hal yang mudah hilang begitu saja. “Dan kabar tunanganmu? Bagaimana keadaannya ketika tahu kamu sudah punya kekasih??” Tanya Ardo dengan santai. Untuk yang satu ini, aku belum mengetahui apapun selain alasan mereka bertunangan adalah perjodohan. Lalu apa?? Tunangannya tahu jika Jovan sudah punya kekasih? “Dia?” Aku menunggu dengan cemas. Mengetahui jika Jovan bercerita tentang diriku di depan tunangannya.. entahlah, ini salah tapi terasa menyenangkan. Rasanya, sekalipun dia mendapat status yang lebih tinggi, aku tetap menjadi juara di hubungan rumit ini. “Dia biasa saja. Kami di jodohkan, hanya manusia bodoh yang menyukai perjodohan ini” Jawab jovan dengan santai. Aku menatapnya, menuntut dirinya untuk bercerita lebih jelas karena hingga saat ini, aku masih belum menemukan titik terang mengenai hubungan kami berdua. “Maksudmu dia juga tidak menyukai pertunangan ini??” Tanya Ardo. Aku perlu berterimakasih pada orang ini. Sejak tadi dia terus menanyakan pertanyaan yang mengganggu pikiranku seakan dia benar-benar membaca otakku. “Tentu saja tidak. Dia remaja bebas yang sedikit liar. Pertunangan di usia muda terlalu kuno untuknya, kami sudah saling mengenal sejak lama sehingga tidak kesulitan untuk berpura-pura di hadapan semua orang” Jelas Jovan. Aku mengangguk mengerti, begitu juga dengan Ardo. Mungkin ini sebabnya mereka bisa dengan mudah bermesraan di hadapanku pada hari itu. Di sana, di rumah Jovan, mereka harus berpura-pura. “Lalu apa rencanamu? Kamu harus berbicara di sini Jovan, di depan Meera. Setidaknya beri tahu apa yang terjadi, perempuan sering kali mencemaskan sesuatu secara berlebihan sekalipun sudah diberi tahu untuk tetap tenang” Kata Ardo. Jovan menatapku. Aku tahu apa maksud perkataan Ardo. Sekarang pertanyaannya, bagaimana dia bisa mengetahui semua rasa cemasku? “Sepertinya kamu memang harus segera menemukan perempuan. Kamu memahami mereka dengan sangat hebat” Kata Jovan sambil terekeh. Melihat aku dan Ardo yang hanya diam, Jovan akhirnya hanya menghela napas. Dia pasti tidak berniat menjelaskan apapun. Lagi dan lagi, aku hanya kebagihan peran diam sementara dia yang berjuang. Berjuang sendirian tanpa mau melibatkan diriku. “Percayalah padaku dulu, Meera. Aku selesaikan bagianku, setelahnya kita berjuang bersama” Percakapan kali ini hanya selesai sampai disitu. Karena setelah jawaban yang tidak memuaskan itu, kami bertiga sama-sama diam. Tidak, aku bukan marah, karena keadaan seperti ini bukan saat yang tepat untuk marah atau kegiatan tidak berguna semacam itu.. aku hanya, yaa merasa tidak nyaman dengan semua ini. Kami berada di hubungan yang sama tapi tidak berjuang bersama. Itu pemikiran awalku, sebelum perkataan Jovan membuat aku tersadar jika kami sama berjuang hanya di tempat yang berbeda. “Keluargamu menentang kita, kamu bertahan bersamaku itu artinya kamu juga berjuang, Meera”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD