Keluarga yang Sempurna

1645 Words
Jakarta, 2002 *** Tanganku masih bergetar sekalipun aku sudah berada di luar apartemen Jovan. Penjelasan yang tidak kudapatkan justru semakin membelenggu diriku. Lalu, kejadian mengerikan yang berlangsung tepat di depan mataku sendiri. Jovan.. dia terlalu banyak menanggung lukanya sendiri. “Kamu mau minum??” Tanya Ardo sambil mengulurkan segelas anggur kepadaku. Aku menggelengkan kepala. Rasanya menyebalkan ketika Jovan malah menyuruhku pulang dari pada memberi sedikit saja penjelasan padaku. Aku masih terus menatap ke luar jendela mobil, ini hari yang menyebalkan. Rasanya terlalu sulit menjalani kekacauan ini. “Beginilah kehidupan kami, Meera. Penuh drama. Kupikir karena terlahir di keluarga pengusaha, kamu akan terbiasa hidup dengan banyak masalah. Ternyata tidak, apa keluargamu normal dan baik-baik saja??” Tanya Ardo sambil menyesap anggurnya. Sering berada di satu mobil dengan Ardo membuat aku tahu beberapa kebiasaan buruknya. Yaa, nyatanya Ardo memang tidak sebaik yang terlihat di kantin sekolah. Itulah sebabnya orang selalu berkata, jangan menilai dari sampulnya, kebenaran baru akan dimengerti ketika kita sudah mengenal lebih dekat. Beberapa kebiasaan Ardo sering mengarah ke hal yang negatif. “Apa keluargamu juga penuh drama??” Tanyaku. Ardo mengangukkan kepalanya. Aku melemparkan pandangan ke jendela luar lagi. huh, jadi bukan hanya keluargaku saja yang tidak normal? Bukan hanya aku saja yang merasa jika keluarganya penuh drama? “Mungkin keluargaku yang paling parah. Jovan masih sedikit beruntung karena kedua kakaknya menyayangi dirinya dan mendukungnya menjadi pewaris utama. Tapi aku berbeda, tidak pernah ada candaan antar saudara di rumahku, kami terlahir untuk bersaing dan saling bermusuhan sekalipun tidak ada masalah yang benar-benar serius kecuali perebutan tahta tentunya” Katanya. Tidak ada yang benar-benar beruntung. Kenyataannya Jovan memiliki ayah yang sedikit tempramen dan juga menakutkan. Tidak pernah terlintas di pikiranku jika seorang ayah akan memukul putranya sedemikian rupa. Aku bahkan sekarang merasa tidak yakin dengan kondisi Jovan. Tapi.. dengan beberapa pertimbangan aku memang harus menuruti perintahnya untuk segera pulang. “Jovan bisa menangani ini, Meera. Seperti yang aku bilang, kamu hanya perlu menunggu.” Katanya sambil menyulut api di ujung rokoknya Aku membiarkan Ardo merokok. Ini mobilnya, dia tentu bisa melakukan apapun yang dia mau. “Kamu yakin? Dia terluka ketika aku meninggalkannya tadi” Kataku sambil menatapnya frustasi. Aku tentu lebih ingin duduk di sana sambil mengobati luka Jovan dari pada berada di mobil yang bergerak menuju rumahku. Aku memejamkan mata. Seluruh kemungkinan yang timbul di pikiranku semakin mengganggu. Apa masalah apa antara Jovan dan ayahnya? Kenapa sempat menyebut namaku tadi? Apa aku penyebab semua ini? Keluargaku bermusuhan dengan keluarganya. Papa menolak hubunganku dengan Jovan. Lalu sekarang Jovan mendapat masalah hanya karena aku menemui dirinya. Ada apa sebenarnya?? Apa yang menjadi sebab semua ini? “Semua ini sudah pernah terjadi, Meera. Jangan khawatir” “Maksudmu? Sudah pernah terjadi bagaimana??” Tanyaku sambil menatap Ardo dengan pandangan menyelidik. “Tidak ada keluarga yang sempurna. Aku benar, bukan? Apa keluargamu sempurna? Tidak, semua keluarga memiliki masalah. Itu yang terjadi pada keluarga Jovan” Pikiranku melayang, benar.. tidak ada keluarga yang sempurna. Tidak.. selalu ada masalah yang yang menghantui setiap keluarga. Tapi.. tidak bisakah semua takdir memberi kamu ruang untuk bernapas? Yaa, masalah dengan keluarga membuat aku sesak napas. Seiring berjalannya waktu, masalah juga semakin sering menghampiri. Aku tahu, dulu kupikir dunia tidak sejahat ini. Tanpa pernah aku sadar jika tidak ada hal yang jauh lebih jahat dari dunia. Aku tidak pernah mengenal cinta tapi Jovan menawarkan arti lain dari sebuah jatuh cinta. Dia membawa aku menuju ke dunia yang isinya hanya kami berdua. Bukan kebahagiaan mewah seperti yang selama ini aku dapatkan dari banyaknya uang yang kupunya. Jovan menawarkan kebahagiaan sederhana yang terasa istimewa. Kami bisa merasa amat sangat bahagia hanya dengan menonton film India di kamarnya, atau yang jauh lebih sederhana, menikmati senja dari balkon apartemennya. Aku bisa tertawa hanya karena lelucon receh atau bahkan wajah konyolnya ketika sedang merajuk. Amat sangat sederhana, tapi justru kebahagiaan itulah yang sulit didapatkan. Tapi bukankah sudah kubilang, tidak ada yang lebih jahat dari dunia. Aku bahkan tidak tahu lagi bagaimana caranya bertemu dengan dia di situasi semacam ini. Jovan, dia bertunangan. Dan keadaan membuat semuanya semakin sulit dari hari ke hari. *** “Terima kasih sudah mengantarku” Ucapku sebelum turun dari mobil. Ardo menghembuskan asap rokoknya. “Tidak masalah. Kita teman, bukan?” Aku turun dari mobil. Mulai melangkahkan kakiku menuju rumah megah yang terlihat mematikan ini. Huh, kapan aku berusia 17 tahun? Aku ingin tinggal sendirian di apartemen tanpa perlu pulang ke rumah ini. Sayangnya, setelah semua kekesalan dan sumpah serapah yang kulontarkan, tempat ini masih saja kusebut sebagai rumah. Rumah, bangunan kokoh yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk pulang dari petualangan panjang yang melelahkan. “Papa sudah bilang kamu tidak akan suka pada apa yang Papa lakukan jika kamu masih berhubungan dengan pemuda itu, Meera” Aku mengangkat pandanganku, menemukan Papa sedang berdiri di ujung tangan sambil menggendong putra haramnya. Huh, menjijikkan sekali anak itu. Dia menataku dengan liur di sekeliling bibirnya. “Aku hanya bertemu dengan dia. Papa tidak bisa membatasi pergaulanku” Kataku sambil berjalan melewatinya dengan santai. Aku sudah cukup muak ketika melihat Jovan dipukuli oleh ayahnya, jadi untuk sekarang mungkin lebih baik aku menjauhi Papa terlebih dahulu. “Papa lebih suka kamu berteman dengan Ardo. Dia membawa banyak keuntungan untuk dirimu” Kata Papa. “Aku tidak mencari keuntungan dalam berteman. Maaf, kita berbeda pemikiran” Aku melihat w************n itu berjalan mendekati kami, membuat aku buru-buru melangkah menjauh karena tidak ingin berada di dekatnya. “Kamu sudah besar, jangan sulit diatur. Jangan menemui Jovan atau siapapun yang bernama Anderson” “Dia masih kecil, mungkin akan mengerti ketika” aku mendengar w************n itu berbicara. Rasanya menjijikkan ketika mendengar wanita itu membelaku. “Dia sudah dewasa, Alina. Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu, banyak kejadian buruk belakangan ini” “Berhentilah berbicara di dekatku, itu menjjikkan!” Plak! Aku memekik terkejut ketika merasakan panas di pipiku. Mataku berkaca-kaca ketika mencoba untuk menyadari apa yang terjadi. Napasku memburu seirama dengan detak jantungku. Tamparan yang aku pastikan berasal dari tangan Papa terasa perih di hatiku. Tunggu dulu Meera, kamu baru saja ditampar oleh Papamu sendiri! “Apa yang kamu lakukan?” Itu bukan suaraku. Entahlah, terasa sulit menangkap apa yang terjadi ketika pikiranku belum berjalan sepenuhnya. Aku masih mencoba mengatur napasku ketika kurasakan tubuhku diraih dan di tuntun untuk berjalan menjauh. Tapi kesadaranku mengambil alih, tidak! Aku tidak mau disentuh olehnya! “Jauhkan tanganmu dari tubuhku!” Teriakku sambil menghempaskan dirinya. Papa berjalan mendekatinya, membantu w************n itu. “Kamu lihat apa yang dia lakukan? Berhenti membantunya karena dia memang tidak tahu mau!” Kata Papa sambil menunjuk diriku. Huh? Apa ini benar Papaku? Atau aku saja yang baru mengenalnya? “Dia yang tidak tahu malu tapi aku yang disalahkan?!” Teriakku tidak terima. Tidak, aku tidak akan diam ketika diperlakukan seperti ini! “Jangan bicara yang tidak pantas, Meera! Papa selalu mencoba sabar menghadapi kamu karena kamu anak Papa. Tapi kamu sudah berbuat terlalu jauh!” Aku menatapnya dengan pandangan nyalang. Sekalipun aku tidak memiliki kekuatan, aku tidak akan menunjukkan kelemahanku begitu saja. “Aku berbicara kebenaran! Jangan sok menilai hidupku kalau hidup Papa saja belum benar!” Kataku sambil berlari menjauh. Aku sempat mendengar suara Eyang yang terkejut melihat kekacauan saat ini. Tapi kakiku tidak bisa berhenti berlari. Aku bahkan merasakan air mataku menetes ketika tanganku dengan sengaja meraih vas bunga dan menjatuhkannya di lantai sehingga menyebabkan suara Papa kembali terdengar di belakang sana. Tidak! Ini memang bukan keluarga yang aku inginkan karena ketika kau dilahirkan, Tuhan sama sekali tidak memberi pilihan akan kemana aku diberikan. Tapi sungguh, kupikir semuanya tidak akan sekacau ini. Karena memang bukan ini keluarga yang aku kenal sejak aku lahir. Bukan kekacauan ini yang selalu menyambutku ketika pulang ke rumah. Bukan, bukan keluarga ini yang selama ini aku miliki. Semuanya berubah dengan cepat sehingga aku tidak mendapat waktu untuk beradaptasi. Kekacauan ini.. semuanya disebabkan oleh satu orang. Satu orang yang bahkan sampai saat ini masih belum bisa kusingkirkan. Aku kehilangan segalanya tepat ketika w************n itu melangkahkan kakinya di rumah ini. Yaa, aku bahkan menyambut kehancuranku sendiri ketika dengan bodohnya menghadiri pernikahan mereka. Tidak, tidak ada yang baik dari kehadiran wanita itu. Sesuatu yang sudah hancur bertambah hancur seiring berjalannya waktu. Lalu.. lalu semuanya mulai sedikit membaik Jovan hadir. Semua yang aku kira sudah rusak dan tidak terselamatkan mulai sedikit berubah ketika Jovan datang. Dia mengambil segala hal burukku dan memberikan semua yang baik. Mengganti segala kekuranganku dan mengubahnya menjadi yang terbaik. Jovan, dia.. dia segala hal yang aku punya. Dia rumah ketika dunia menghajarku tanpa ampun. Dia satu-satunya peluk yang bisa menenangkan susahku. Tapi sekarang ada dua orang pria dewasa yang menghalangi jalan kami. Bahkan untuk bertemu saja kami tidak bisa. Oh, what a perfect problem! Dunia seperti bersekongkol dengan dua orang itu. Hidupku tidak pernah sehancur ini sebelumnya.. tidak ketika aku masih memiliki Jovan di sisiku. Tapi aku memang sedang diuji dengan segala yang kupunya. Tuhan seperti marah karena setelah sekian lama, aku tidak juga datang dan berlutut di hadapannya. Aku tahu, aku bukan orang baik yang bisa menghujat kelakuan Papa. Aku juga berdosa sama sepertinya. Tuhan mungkin benar-benar marah karena setiap saat aku seperti berada di neraka saat ini. Masalah datang silih berganti tanpa pernah berhenti. Aku tahu, aku terlalu tinggi hati untuk meminta ampun dan menyerahkan diri begitu saja. Tapi Tuhan, tidak bisakah aku mendapat belas kasihan setelah sekian lama hidup dalam kesesakan ini? *** Jakarta, 2020 Aku mengangkat gelasku sekali lagi. oh tidak, seharusnya aku memesan minuman lain karena sudah terlalu banyak gelas Frappucino yang kuhabiskan. Tapi aku hanya ingin minuman itu jika mengunjungi tempat ini. Banyak hal yang terjadi tapi aku masih menulis kejadian di tahun 2002?? Yaa, begitulah adanya. Karena hari-hari itulah yang membawa aku menuju tempat ini. Hari-hari itulah yang membangun diriku hingga mampu berdiri sampai saat ini. Hari yang menumbuhkan diriku sekuat saat ini. Banyak sekali orang baru dalam hidupku, semuanya silih berganti tapi tidak dengan satu orang. Tidak, karena sampai kapanpun dia masih menjadi pemilik hatiku. Orang yang kucintai sudah lama tidak kutemui. Beberapa orang dari masa lalu mulai berusaha menghubungi diriku. Yaa, hanya beberapa. Karena sisanya masih meragukan keberadaanku. Aku berada di garis ketidakpastian di mata mereka. Huh, ada orang yang menyebutku sebagai satu-satunya kepastian tapi saat ini berada di tempat yang jauh. Terlalu jauh hingga tanganku tidak lagi dapat meraih. Katanya, aku adalah kepastian di antara pagi dan malam. Kepastian yang berada tepat di garis batas pantai dan langit ketika senja datang. Aku adalah kepastian yang menjadi ketidakpastian dimatanya. Memang sejak dulu tidak ada yang menjadi sahabatku kecuali Ardo. Semua hal menjadi musuhku termasuk takdir dan kisahku sendiri. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD