Skalla-25

2137 Words
"Dasar bodoh!" Lisa memukul-mukul kepalanya sendiri, kenapa dia bisa sebodoh ini. Benar apa kata mama nya, dia selalu merepotkan siapapun yang pernah ditemuinya. Ceroboh, cengeng, dan gampang sekali merasa kesakitan, selalu menyendiri. "Kenapa juga gue harus telepon kak Vero?" ulangnya bertanya pada angin malam yang berhembus kencang. Duar!! "Aaaaa!!" Lisa menjerit seraya berjongkok dan menutup telinganya menggunakan kedua tangan, matanya terpejam erat. Dia ketakutan saat mendengar gelegar itu, apalagi kilatan petir muncul sesekali. "Mama..." rintih nya dalam gelap, meski dia tau mama nya tidak akan pernah sudi datang untuk melindunginya.  Lisa masih berjongkok, jalanan sepi membuat ketakutannya semakin menjadi-jadi. Apalagi, dia habis tertimpa musibah, motornya kena begal, untung saja pembegal itu tidak serta merta meminta ponselnya. Mereka hanya merampas motor milik Lisa yang baru beberapa minggu lalu di belikan oleh papa nya. Tapi sekarang motor itu raib di bawa orang jahat.  Duar!! Gelegar lagi-lagi terdengar menakutkan, Lisa memeluk erat dirinya sendiri seraya berjongkok.  Dia tidak sekuat yang selama ini kalian lihat, dia tak setegar dan segalak yang selama ini kalian pikirkan. Lisa lemah, rapuh, merepotkan dan tidak bisa melakukan segalanya dengan benar, setidaknya itulah yang sering kali dia dengar dari mulut mama nya. Lisa terpaksa menjadi pribadi yang kuat agar tidak ada orang yang memanfaatkan sisi lemahnya untuk menjadikan dia bahan bullyan. Tin! Tin! Klakson mobil terdengar mengagetkan, Lisa perlahan membuka matanya dan dia menemukan dua kaki jenjang tengah berdiri di depannya. Gadis itu mendongak, dari sorot lampu mobil, sosok itu semakin terlihat tinggi dan bersinar, tatapan mata tajam dan rahang lancip nya membuat Lisa menahan napas. Untuk yang kesekian kalinya, dia benar-benar dibuat jatuh cinta oleh sosok Vero Orlando. Vero berjongkok, tangannya merapikan rambut Lisa yang acak-acakan, mata merah dan bengkak menandakan gadis itu tadi menangis. "Lo nggak apa-apa, kan?" Gadis itu menggeleng, entah kenapa Vero melihat sisi lain dari Lisa yang biasanya selalu berdiri tegak kini menciut dan terlihat sangat rapuh. "Masuk mobil dulu yuk" dibantu Vero, Lisa berdiri dan berjalan masuk ke mobil Leo. Setelah keduanya berada di dalam, Vero mengulurkan air mineral. "Minum dulu" Lisa menerimanya tanpa membantah, dia meneguk minuman itu, sedikit membantu menenangkan dirinya dan segenap ketakutannya sejak tiga puluh menit yang lalu.  "Ma-maaf, kak." "Kenapa minta maaf?" Vero memperbaiki posisinya, kini tubuhnya miring empat puluh lima derajat menatap ke arah Lisa. "Bisa lo cerita gimana kronologinya? Biar nanti gue bantu lapor ke polisi" "Hari ini, gue baru coba berkendara keluar perumahan. Karena kemarin-kemarin, gue belajar bawa motor cuma di perumahaan. Gue nggak ngerasain keanehan apapun, tapi setelah lima menit lewat jalan ini tiba-tiba ada motor yang hadang gue, dua orang laki-laki turun sambil nodong leher gue pake s*****a tajam. Karena gue takut, jadi gue nggak melawan, mereka akhirnya bawa kabur motor gue tanpa melukai gue sedikit pun" Tangan Vero mengelus bahu Lisa dengan lembut, "Gue udah rekam penjelasan lo, kebetulan gue ada Om yang kerja di kepolisian. Nanti biar gue yang bantu lapor, sekarang lo nggak usah takut lagi. Gue anterin pulang ya?" kendaraan roda empat itu berjalan dengan kecepatan pelan.  Di tengah jalan Vero membelokan mobilnya di depan rumah makan soto. "Kita makan dulu yuk? Gue laper, dan kebetulan soto disini enak" "Kak Vero beneran mau makan bareng gue?" Vero yang hendak membuka pintu mobil menoleh, menatap heran ke arah Lisa. "Emangnya kenapa?" "Ya.. em.. nggak apa-apa sih" Cowok itu menggelengkan kepala, "Yuk" Keduanya turun dan masuk ke dalam rumah makan itu, Vero memesan dua porsi soto, setelah membayar dia mengajak Lisa untuk duduk di salah satu bangku yang ada di sana.  “Udah nggak usah khawatir, nanti gue yang bantu jelasin ke orang tua lo” melihat raut wajah Lisa yang sepertinya masih diliputi ketakutan membuat Vero jadi kasihan. Malam ini, alih-alih perutnya diisi dengan aneka Sushi yang lezat, justru soto ayam lah yang akhirnya masuk ke dalam perut Vero. Mungkin soto ayam ini tidak senikmat Sushi yang ada di sana, tapi  berkat soto ayam ini dia tidak harus menyaksikan Letta dan Alfa duduk berdampingan di depannya.  Kepulan asap dan aroma kuah soto memasuki indera penciuman mereka berdua. Vero tidak bohong kalau dia kelaparan, karena sedari tadi dia belum makan. Niatnya sih mau makan sushi yang banyak, tapi gagal, yaudah deh nasib.  “Lis?” Vero memegang pundak Lisa pelan, menyadarkan gadis itu pada kenyataan yang sesungguhnya dimana satu jam yang lalu motornya kena begal. Dan bagaimana cara menjelaskan tentang kejadian ini pada kedua orang tuanya. Lisa takut, demi tuhan dia takut. “Udah ya, kan tadi udah lapor polisi juga” “Makasih ya, kak. Sori ngerepotin lo. Gue nggak tau harus kontek siapa lagi dan yang ada di pikiran gue tadi cuma lo” Lisa yang biasanya galak dan jutek, kini menatap Vero dengan mata berair. Dia merasa tidak berguna karena selalu saja merepotkan. “Nggak masalah. Jujur aja tadi gue takut banget, takut lo kenapa-kenapa” Ada secercah cahaya yang menembus ke dalam hati Lisa, Vero mengkhawatirkan dia? Serius? Gadis itu mencoba menarik sudut bibirnya meski dengan sedikit terpaksa. Bolehkan Lisa mengakuinya sebagai bentuk perhatian? Bukan hanya sekedar rasa kasihan semata?  “Makan dulu deh, biar lo tenang”  Lisa mengangguk, dia meraih sendok dan garpu lantas mengaduk sotonya.  Di rumah makan sederhana dengan semangkuk soto dan segelas es teh manis, suara musik dangdut mengalun dengan begitu keras. Pengunjung keluar masuk silih berganti tanpa peduli pada dua orang yang sama-sama menghabiskan soto mereka tanpa banyak bicara. Sesekali, Vero mencuri pandang pada Lisa, lantas tersenyum singkat.  “Kak Vero sekarang udah gak di osis lagi?” Melupakan sejenak kejadian yang tadi, Lisa memutuskan untuk menarik satu topik tentang kegiatan Osis. Karena keduanya terlibat disana.  Vero mengusap bibirnya menggunakan tisu. “Udah nggak, Lis. Kan bentar lagi sibuk sama ujian. Lo sendiri jadi ikut anggota osis?” “Nggak deh, kak, hehe”  “Padahal lo rajin banget gue lihat-lihat. Bantuin ini itu yang sebenarnya bukan tugas lo” Gue ngelakuin itu semua karena lo ada disana, kak. Andai Lisa bisa mengatakannya, kalau sebenarnya dia membantu anggota osis itu karena Vero masih aktif disana. Tapi setelah beberapa hari ini dia tidak melihat Vero disana, membuat Lisa jadi malas lagi. Masih banyak permintaan tolong yang berdatangan, tapi dia tolak lantaran tidak tertarik untuk membantu atau bahkan bergabung dengan mereka. Toh, dia punya kesibukan sendiri. Sah-sah aja kan kalau dia melakukan hal itu? Lisa menoleh, matanya mengerjap, dia ingin bertanya sesuatu. “Kak” “Hm?” Lisa meletakan sendok dan garpunya, menyudahi makan malam kali ini. “Mungkin ini agak gak sopan, tapi gue penasaran aja. Lo nggak apa-apa kan?” “Hah? Maksudnya gimana?” Bingung, Vero memperbaiki posisi duduknya menghadap ke arah Lisa.  “Soal Letta sama kak Alfa, mereka kan udah jadian. Terus, kak Vero nggak pa-pa, kan? Soalnya kalo gue nggak salah tebak, kakak juga suka sama Letta” Kali ini Vero bungkam, bohong kalau dia bilang dia tidak apa-apa, bohong juga kalau dia tidak mengakui perasaannya. Tapi mau bagaimana lagi, semuanya sudah percuma. Letta hanya jadi bayang semu yang tidak akan pernah bisa digapai, sampai kapanpun.  "Tau dari mana gue suka sama Letta?" kali ini Vero yang balas bertanya. Lisa hanya mengangkat bahunya. "Mungkin di BMB cuma Letta doang yang gak sadar sama sikap lo ke dia itu lebih dari seorang kakak kelas." Vero hanya tersenyum mendengar hal itu, tidak semua anak BMB tau dia menyukai Letta, tapi beberapa dari mereka pasti juga tau tentang sikap Vero yang memang menunjukan tanda-tanda kalau dia tertarik dengan adik dari sahabatnya itu.  “Maaf ya, kak. Gue nggak bermaksud kepo kok" “Udah selesai makannya?” Vero tidak ingin menjawab lagi, karena dia merasa tidak dekat dengan Lisa dan tidak seharusnya dia membicarakan hal ini pada sahabat crush nya, atau mantan crush nya, karena sekarang Letta sudah resmi menjadi pacar Alfa. Lisa mengangguk mengiyakan. “Yaudah yuk” Malam ini dia akan mengantar Lisa pulang menggunakan mobil Leo. Butuh beberapa waktu sampai akhirnya mereka tiba di tujuan. Tatapan Lisa langsung jatuh pada HRV yang terparkir di depan pagar nya. Perasaan gadis itu semakin tak enak, dia menatap Vero sejenak. "Thanks ya kak udah mau nganterin" "Sama-sama, kan gue udah bilang, gue bakalan bantu jelasin ke orang tua lo soal musibah tadi" "Jangan!" sergah Lisa, panik. "Nggak usah, kak. Biar gue aja yang ngomong ke mereka" Vero menggelengkan kepalanya seraya tersenyum ringan. "Yuk" cowok keras kepala, dia malah menyeret Lisa untuk masuk. Dalam hati gadis itu ketar ketir sendiri, bagaimana kalau Vero tau.... Langkah kaki keduanya terhenti, "Kak?" Vero masih diam, telinganya mendengar adanya pertengkaran di dalam rumah, pintu rumah Lisa terbuka membuat suara mama dan papa nya jadi terdengar sampai di luar. Lisa meringis dalam hati, dia malu pada Vero yang seharusnya tidak mendengarkan pertengkaran mereka. "Sampai kapan kamu mau kayak gini, Mas?!" teriak mamanya. "Aku capek! Lebih baik kita cerai secepatnya!" "Kamu pikir aku nggak capek pulang kerja di bentak-bentak, dituduh selingkuh ini itu!"  Prang!! Hati Vero berdesir, dari sudut matanya dia menatap Lisa yang hanya menunduk, tak menunjukan reaksi apapun. "Pokoknya aku mau kita cerai besok! Kamu bisa bawa Lisa, karena keluarga baruku nggak akan mau nerima dia!" "Nggak bisa gitu dong! Lisa juga anak kamu! Aku harus sering keluar kota buat kerja!" "Buat kerja apa buat selingkuh, hah?!" Cukup! "Kak Vero, sekali lagi makasih, tapi sebaiknya kakak pulang sekarang" Dengan sedikit memaksa, Lisa menyeret Vero sampai di depan pagar, tanpa mengucapkan kata apapun lagi Lisa mengunci pagarnya dan dia berlari masuk rumah. Malu, dia sangat malu. Nasib nya terlalu menyedihkan untuk diketahui oleh orang lain. -Tahubulat- Pak Theo memasuki ruangan kelas unggulan, dua penjaga sekolah turut mengekor di belakangnya seraya mendorong dua troli yang bentuknya mirip rak buku di perpustakaan. Menjelang pergantian jam, guru itu menyela pak Soer yang tengah menjelaskan materi.  “Selamat pagi anak-anak” sapa pak Theo setelah pak Soer menyudahi sesi materinya dan dia keluar meninggalkan kelas.  “Pak pak” “Mungkin dari kalian sudah ada yang mendengar tentang informasi terbaru SMA Bintang Mulia Bandung. Bahwa mulai hari ini, sistem pembelajaran kita tidak lagi menggunakan buku, melainkan menggunakan….Ipad.” Ternyata troli tadi berisi jajaran Ipad yang nantinya akan digunakan untuk belajar. “Sekolah kita naik satu level ya, kalau kemarin masih menggunakan kertas, sekarang sudah canggih dengan menggunakan Ipad. SMA Bintang Mulia juga ingin berpartisipasi dalam pengurangan penggunaan kertas. Ada yang tau alasannya?” Salah satu dari mereka langsung mengangkat tangan. “Untuk mengurangi jumlah penebangan pohon, Pak. Soalnya, bahan utama kertas itu Selulosa yang terdapat pada kayu” “Tepat!” Pak Theo tersenyum. “Ada yang tau apa itu Selulosa?” Gevit menatap teman-temannya yang terdiam, karena tidak ada yang mengangkat tangan dia akhirnya memutuskan untuk mengangkat tangannya. “Ya Gevit, kamu tau apa itu Selulosa?” “Dari wikipedia yang saya baca, Selulosa adalah senyawa organik dengan rumus C6H10O5, sebuah polisakarida yang terdiri dari rantai linier dari beberapa ratus hingga lebih dari sepuluh ribu ikatan Glikosidik unit D-glukosa. Selulosa merupakan komponen struktural utama dinding sel dari tanaman hijau, banyak bentuk ganggang dan Oomycetes. Lalu, Selulosa menjadi senyawa organik yang paling umum di Bumi. Sekitar 33% dari semua materi tanaman adalah selulosa (isi selulosa dari kapas adalah 90% dan dari kayu adalah 40-50%). Selulosa tidak dapat dicerna oleh manusia, hanya dapat dicerna oleh hewan yang memiliki enzim selulase.” “Sudah cukup, terima kasih Gevit. Kalau saya lanjutkan maka tujuan saya kesini jadi tertunda” gurau pak Theo, padahal dalam hati dia bangga memiliki anak didik seperti Gevit. Dia melanjutkan ucapannya lagi. “Pemberian Ipad ini hanya bisa digunakan saat disekolah. Dan penyalurannya akan bertahap. Untuk kelas unggulan akan mendapatkan Ipad di minggu ini, dan tingkat dua akan mendapatkannya minggu selanjutnya. Alfa mengangkat tangan untuk bertanya. “Bukankah itu diskriminasi, pak?” “Kalau bicara soal diskriminasi, dari sejak sekolah ini berdiri kita sudah melakukannya, dengan mengumpulkan anak-anak berotak di atas rata-rata seperti kalian di kelas unggulan. Lalu kejadian seperti ini sudah bukan hal yang aneh, Alfa. Setiap ada pembaharuan di BMB, maka yang akan didahulukan adalah anak kelas unggulan” Alfa menatap teman-temannya yang hanya mengangkat bahu santai. “Baik, di mulai dari kanan ke kiri, silahkan ambil satu-satu” “Dapet Ipad gini, biaya semester nggak naik kan pak?”  Pertanyaan itu sukses membuat seisi kelas menyerukan persetujuan mereka. Pak Theo terkekeh, “Tenang-tenang, tidak ada kenaikan SPP.” “Wih, mantep emang sekolah kita!” Ipad ini sudah di setting oleh pihak sekolah sebelum dibagikan untuk siswa siswinya, dimana disana ada beberapa ikon mata pelajaran yang jika di klik, maka akan memunculkan materi apa saja yang akan dibahas di pertemuan berikutnya. Tentu itu membuat mereka merasa senang, karena mereka bisa mempelajari hal tersebut lalu akan menanyakan sekiranya ada yang tidak paham saat pertemuan kelas berlangsung. "Ngelamun aja" Leo menyenggol lengan Vero, dari semalam Vero nampak tak semangat. "Masih kepikiran soal kejadian semalam?" kali ini Leo berbicara lirih. Vero hanya menggeleng lemah, dia tidak lagi memikirkan Letta, justru yang memenuhi pikirannya sekarang ada Lisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD