Skalla-26

2972 Words
Dinginnya AC tak membuat seluruh isi kelas merasa nyaman, apalagi dengan ulangan harian mendadak yang diberikan oleh pak Bona yang datang lima menit setelah pak Theo keluar. Meskipun mereka ada di kelas unggulan bukan berarti mereka merasa senang kalau ada ulangan harian apalagi mendadak seperti ini. Keluhan sana sini tidak di respon oleh pak Bona, seakan racauan murid-muridnya hanya dengungan lebah yang tidak penting. Jam yang di tunggu-tunggu akhirnya datang, pukul 12 teng! Pak Bona menutup akses pengumpulan jawaban nya. Seluruh murid meletakan Ipad mereka lantas bernafas lega.  "Baik, terima kasih anak-anak. Kalian sudah bekerja keras, sebentar lagi ujian sekolah akan di langsungkan, semangat belajarnya ditingkatkan ya. Bapak akhiri kelas hari ini, selamat siang" "Siang, pak" jawab seluruh isi kelas serempak. “Wuih! Mau kemana tuh anak?”  Leo menganga di tempatnya saat menyadari Vero sudah berjalan keluar tepat saat pak Bona melewati pintu kelas. Padahal tadi dia ingin ajak Vero mabar, tapi batal.  “Tau, tumben amat” imbuh Gevit yang juga ikut keheranan. Padahal biasanya Vero paling santai dan mereka akan bercanda dulu di kelas sebelum pergi ke kantin. "Dari tadi tuh anak murung terus kayak nggak punya semangat hidup" kali ini Alfa yang turut berkomentar. Leo hanya menatap Alfa dengan ekspresi sedikit julid, pasalnya dia menduga perubahan sikap Vero itu karena Alfa dan Letta. “Gue ke kantin duluan deh, Alena udah nungguin soalnya.” Nah ini yang akhir-akhir ini membuat Leo pengap sendiri, dia ingin hubungan keduanya segera berakhir karena tak tahan melihat kedekatan Alena dan Gevit. Minggu depan hukuman mereka sepertinya sudah selesai. Tentu Leo berdoa agar hari itu cepat datang. Padahal dulu dia yang sering memaksa Alena untuk mengenal lebih jauh sosok Gevit. Dari ekor matanya dia melirik ke arah Alfa yang punya gerak gerik mencurigakan. “Apa? Lo mau ikut ngacir juga kan? Sono pergi, pergi! Emang gak ada yang bestie sama gue, kalian tuh andog!" "Andog?" Alfa menoleh, penasaran apa itu andog. "Anak DOG!" Alfa mengusap pipinya yang sepertinya terciprat kuah beracun Leo, "Ya santai dong, nggak usah ngegas juga anying!" maki Alfa kesal. "Pantes aja jomblo. Cari pacar sana!" lanjut Alfa seraya berdiri.  “I’m trying, f**k you!” Tawa Alfa meledak, cowok itu  buru-buru berlari keluar kelas. Leo menyandarkan punggungnya di kursi. “s****n nggak sih gue kayak orang t***l sementara mereka sibuk nge-bucin?!” malas untuk ke kantin karena nanti pasti ketemu Gevit dan Alena, akhirnya Leo memutuskan untuk keluar kelas dan berjalan menuju lapangan. Dia akan bermain basket, sampai hari ini basket masih bisa digunakan untuk mengalihkan pikiran rumitnya. Di lapangan itu ternyata ada satu orang, dari seragam yang dikenakan tanpa menebak pun Leo tau siapa dia. Daniel dari SMA Bina Jakarta. “Woy!” teriakan Leo yang tidak begitu keras langsung menggema di lapangan membuat Daniel berhenti mendrible bolanya, dia menatap Leo yang berdiri di depan pintu.  “Mau duel sama gue? Yang menang dapat traktiran makan di kantin” Daniel mengangkat sudut bibirnya, lantas mengangguk. “Deal” Keduanya saling berhadapan, seakan ada kamera yang berputar mengelilingi mereka dan penonton yang bersorak heboh. Meski pada kenyataannya, lapangan itu kosong dan hanya diisi oleh mereka berdua. Bola yang awalnya ada di bawah ketiak Daniel kini dilempar ke atas, keduanya melompat bersamaan untuk merebut sang bundar.  Meski Daniel bukan anak basket, tapi kemampuannya lumayan juga. Dia bisa mengimbangi permainan Leo yang pada dasarnya adalah anak basket dan sering mengikuti turnamen. Daniel mendekat, dia memblokir jalan Leo membuat cowok itu harus menghindar dan berkelit untuk mempertahankan bola yang ada di tangannya.  “Wow, semangat banget” Daniel masih berusaha merebut bola, Leo melompat seraya melempar bolanya tapi gagal karena dia salah perhitungan. Kali ini bola berada di tangan Daniel, Leo seperti sedang berada di pertandingan yang sesungguhnya, dia bahkan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengejar dan merebut bola.  Dia hanya ingin melampiaskan emosinya saja, entah emosi karena apa, dengan kasar Leo merebut bola yang ada di tangan Daniel. “s**t!” umpat Daniel yang hanya bisa melongo menatap Leo yang begitu berambisi.  Tapi dia tidak menyerah, demi traktiran Daniel kembali mengejar. Leo melemparkan bola dari luar garis, dan bola itu masuk ring dengan mulus. “Three points! Yes!” senyum lebar mengembang di bibir Leo, dia menatap Daniel yang hanya manyun di tempatnya berdiri.  “Lo ambis kayak gitu cuma gara-gara traktiran?” Leo hanya mengangkat bahunya, dia berjalan mendekat ke arah Daniel dan merangkul bahu cowok itu, seolah mereka adalah teman yang sudah dekat. Padahal mah, keduanya hanya saling tahu nama.  “Kuy kantin!” ajak Leo seraya nyengir lebar. “s****n!” Tawa Leo meledak, tapi Daniel tetap nurut dan berjalan beriringan di samping Leo. -Tahubulat- Ruang kelas sepuluh tingkat dua lumayan sepi karena sebagian muridnya pasti langsung pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka. Vero masuk ke dalam, tatapan matanya langsung tertuju pada segerombolan gadis yang duduk di bangku mereka masing-masing. Aletta yang pertama kali menyadari keberadaan Vero di kelasnya, “Kak Vero” sapanya seperti biasa. Jantung Vero berdetak lebih cepat. Tapi buru-buru ia alihkan karena tujuannya kesini bukan untuk gadis itu. Tatapan matanya tertuju pada Lisa hanya menatapnya dengan ekspresi bingung. Tidak ada jejak-jejak tangisan atau kesedihan di wajah gadis itu, seakan kejadian semalam hanya mimpi singkat semata. “Gue ada perlu sama Lisa” kata Vero to the point, tatapan Sasha, Angel dan Letta langsung tertuju pada Lisa. “Masalah osis” tambah Vero lagi. Lisa mengangguk, “Kalian kalau mau ke kantin duluan aja” “Kita tungguin tenang aja, emang lo mau berapa lama pergi sama kak Vero?” tanya Sasha penasaran.  “Nggak tau deh” dia keluar dari bangkunya dan berjalan menghampiri Vero. Mereka berdua keluar kelas, “Kita bicara sambil jalan gak apa-apa?” tanya Vero yang langsung ditanggapi gelengan kepala oleh Lisa. “Kakak mau ngomong apa? Gue kan udah nggak bantu-bantu di osis lagi, dan gue--” “Ini bukan tentang osis, Lis. Tapi tentang lo” Langkah kaki Lisa langsung berhenti, dia mendongak menatap Vero yang lebih tinggi darinya. “Tentang gue? Emang gue kenapa?” Lisa mengerutkan kening bingung.  “Lis, please. Lo nggak perlu pura-pura kalo di depan gue” Vero menatap manik mata Lisa intens, seakan tengah mencari jejak-jejak kesedihan disana, tapi hasilnya nihil. Gadis itu terlihat biasa saja dan baik-baik saja. Lisa terkekeh mendengar ucapan Vero barusan. “Pura-pura apa sih? Emangnya gue kenapa sih kak?” Entah apa yang terjadi pada gadis yang ada di depannya ini,  Vero merasa Lisa punya kepribadian ganda. “Motor lo..” “Oohh, itu. Iya, tadi pagi gue di telepon sama pihak kepolisian kalo motor gue udah ketemu dan pelaku begalnya udah di tangkap.” Lisa tersenyum manis. “Makasih ya, kak. Kalo bukan karena lo mungkin tuh motor nggak akan balik” “Sama-sama” jawab Vero pendek, perasaannya justru semakin tidak tenang saat melihat kondisi Lisa yang berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Padahal Vero tau, gadis itu pasti hancur hatinya karena mendengar ucapan kedua orang tuanya semalam. Karena Vero tidak mengatakan apapun lagi, Lisa berinisiatif untuk bertanya. “Ada yang mau lo omongin lagi, kak?” Vero menggeleng. “Kalo gitu gue ke kelas duluan” Dengan gerak refleks Vero menahan lengan Lisa, “Lo udah makan?” “Belum” “Kita ke kantin kalo gitu” tanpa menunggu persetujuan sang empu, Vero menarik lengan Lisa menuju kantin lantai satu karena jaraknya paling dekat. Lisa hendak memberontak, tapi cekelan tangan cowok itu sangat kuat membuatnya tak bisa berkutik. Setelah masuk ke dalam kantin, mereka harus mengantri untuk mendapatkan makanan apa yang mereka mau. Awalnya kantin ini menyediakan makanan catering 4 sehat, 5 sempurna, tapi karena murid-murid banyak mengajukan komplain, akhirnya pihak sekolah memutuskan untuk berhenti menyediakan makanan catering. Kata mereka, seblak lebih enak dibanding sayur kukus, atau mie ayam lebih nikmat dibanding dengan urap. “Mau makan apa?” tawar Vero seperti cowok-cowok pada umumnya, dalam hati dia berdoa, semoga Lisa tidak menjawabnya dengan kata Terserah. Karena itu adalah salah satu kata yang paling cowok-cowok takuti. “Air putih aja deh kak” “Lis, gue nawarin makan bukan nawarin minuman” “Tapi gue nggak laper?” Entah manusia seperti apa Lisa ini, bisa-bisanya bilang tidak lapar padahal sudah pukul dua belas siang dimana seharusnya perut mereka mendapatkan jatah makan. “Yaudah lo duduk aja gih” Lisa menurut, dia berjalan mencari bangku kosong. Biasanya dia tidak segugup ini, biasanya dia tidak akan se khawatir ini, biasanya dia tidak akan malu-malu untuk membeli makanan sekaligus gerobaknya, biasanya … biasanya.. hanya kata biasanya yang sanggup ia telan sekarang. Tangan Lisa bergerak perlahan merogoh saku seragam sekolahnya, disana hanya ada uang 10 ribu yang tersisa. Sementara makanan di kantin harganya rata-rata di atas itu. Bagaimana dia bisa menyebutkan menu makan saat di tanya oleh Vero?  Gadis itu buru-buru memasukan kembali uang sepuluh ribu nya ke dalam saku saat Vero datang dengan dua mangkuk soto ayam dan sebotol air mineral. Lisa diam saat Vero menggeser satu mangkuk soto ke hadapannya. Bau harum kuah soto dan koya membuat perut Lisa jadi beneran lapar sekarang. “Kak--” “Makan.” “Tapi gue nggak pesen” “Gue yang pesen buat lo, makan aja.” “Tapi--” Kedua netra Vero menghujam ke arahnya, seakan tatapan itu sanggup mengunci mulut Lisa seketika. “Lis, gue nggak tau apa yang sebenernya lo lakuin disini, tapi please, lo bisa jadi diri lo sendiri saat di depan gue.” Lisa menatap Vero dengan datar. “Kita nggak sedekat itu kak, dan kalo lo mau kasihan sama gue karena lo nggak sengaja denger percakapan orang tua gue semalem, thanks, tapi gue nggak perlu dikasihani sampai kayak gini" Lagi-lagi, saat Lisa hendak beranjak, Vero menahannya. “Makan dulu, nanti lo sakit” “Gue sakit atau enggak, apa peduli lo sih?” “Lis..” “Berhenti bersikap kayak gini ke gue, kak. Gue nggak mau salah paham sama lo” Meski sedikit kesal, Lisa akhirnya duduk dan mengaduk sotonya. Dia tidak akan menyia-nyiakan makanan mulai dari sekarang. Tanpa mengatakan apapun lagi, Lisa makan soto itu dengan lahap. Melihat cara gadis itu makan membuat Vero jadi tidak tega, dia penasaran apa tadi pagi Lisa sarapan sebelum berangkat? Dan entah perasaan macam ini, dia ingin melindungi gadis rapuh yang ada di depannya ini, Vero ingin berjalan di samping Lisa agar gadis itu mampu menjalani kehidupan yang begitu berat. “Lo bilang kita nggak sedeket itu, apa mulai sekarang kita bisa dekat?” “Hanya untuk pelampiasan karena Letta udah pacaran sama kak Alfa?” “Ck. Kenapa sih lo selalu negative thinking sama gue?” tanya Vero tak habis pikir, sembari mengaduk sotonya dia menatap lurus ke arah Lisa. “Tadi gue khawatir dibilang kasihan padahal gue beneran peduli, sekarang gue mau kita deket dibilang pelampiasan, padahal gue cuma mau lo nggak ngerasa sendiri di saat-saat terberat lo” Sudut bibir Lisa terangkat sedikit. “Begitu?” beonya seraya menatap wajah kesal Vero yang justru terlihat menggemaskan. Bibirnya yang tipis, matanya yang tajam dan rahangnya yang lancip. Sederas apapun hujan yang akan mengguyurnya, Lisa masih tetap bisa melihat wajah cowok yang ada di depannya ini dengan jelas.  “Tadi berangkat sama siapa?” “Nebeng Sasha” “Ntar pulang sama gue” -Tahubulat- “Sori ya, udah nunggu lama” Lisa mengangguk, dia tak masalah hanya menunggu Vero tiga jam karena cowok itu ada urusan dengan anggota OSIS, dan itu mendadak banget. Semakin sore, langit semakin redup, tak sepanas tadi siang tentu saja. Saat keduanya berjalan berdua menuju parkiran, Lisa hanya bisa menatap lurus ke depan meski hatinya menyuruh dia untuk mendongak dan mencuri pandang pada wajah tampan bak anime hidup itu. “Suka senja nggak, Lis?” tanya Vero tiba-tiba. Lisa menggeleng. “Gue lebih suka matahari, kak. Karena dia selalu bersinar, nggak peduli seberapa banyak orang yang memaki tapi dia tetap bersinar terang, karena dia tau setidaknya ada 1 orang yang masih menghargai keberadaannya.” keduanya sampai di tempat parkir. “Sementara Senja, hadirnya singkat, selalu ditunggu banyak orang, dan itu memuakkan buat gue” Vero menyalakan motornya, Lisa langsung naik dan kendaraan roda dua itu melanju ke jalan raya bergabung dengan kendaraan lain, bau knalpot, debu kota dan bau pengap lain langsung menyambut mereka. Belum lagi macet jalanan karena jam mereka pulang bersamaan dengan jam pulang kerja.  “Lisa!” “Apa kak?” “Di pertigaan dengan ada restoran daging enak, mampir kesana yuk” “Tapi..” “Gue yang traktir, gimana?” “Terserah lo deh” Mungkin kesannya Lisa murahan karena hanya mau kalau di traktir saja. Dia tak peduli jika ada yang beranggapan seperti itu mulai dari sekarang karena hidupnya berubah total dimulai dari hari ini, tidak, tidak dimulai dari malam hari itu.  Malam hari itu.. Sudah bisa di tebak, Lisa memasuki rumah dan langsung disambut oleh pecahan guci kecil yang berhamburan di lantai. Mata merah mama nya, urat-urat menonjol papanya, semua itu membuat Lisa ketakutan bukan main. Tapi dia masih bisa menguasai dirinya sendiri untuk tidak terlihat lemah di depan orang tuanya. “Sejak kapan kamu datang? Mama nggak dengar suara motor” “Itu.. anu, Ma. Motornya.. motornya kena begal” Papa memejamkan mata mendengar hal itu, Lisa sudah harap-harap cemas kalau kedua orang tuanya akan mengamuk padanya. “Begal katamu?!” Kan benar saja, mama nya langsung menderap dan mencengkram bahunya kuat, menggoyang-goyangkan tubuh Lisa. “Itu motor baru, Lisa! Mama udah bilang, pake di sekeliling saja! Kenapa kamu bandel!” “Maaf, Ma” tatapan mata Lisa bergerak lambat menatap papa nya yang juga tengah menatapnya dengan frustasi. Tanpa bicara apapun lagi, pria itu berjalan naik ke atas, menaiki anak tangga dan membanting pintu kamar. Sementara mamanya merapikan penampilan dan meraih tas merahnya.  “Mama harus pergi sekarang” “Ma” Langkah kaki mamanya berhenti, tapi wanita itu tidak menoleh sama sekali. “Mama sama papa mau cerai? Terus aku gimana, Ma?” Mamanya menarik nafas panjang, menoleh ke arah Lisa yang hanya bisa menunduk seraya menahan mati-matian air matanya. “Mama udah nggak bisa bertahan di keluarga ini lagi, Lisa. Kamu udah gede, kan? Udah bisa urus diri sendiri, kan? Jangan halangi keputusan mama, ya? Mama mohon sama kamu..” “Kenapa mama egois? Mama udah punya keluarga baru?” Lama sekali wanita itu menjawab, sebelum akhirnya mengangguk singkat. Hati Lisa seakan diremas kuat hingga hancur lebur tak tersisa. Bagaimana mungkin mama nya melakukan hal itu padanya?  "Aku mau ikut mama!" Lisa menahan lengan mama nya, dia menatap dengan wajah memelas.  Terdengar suara klakson mobil, kedua perempuan itu saling tatap. Sebelum pergi mama nya menyempatkan diri untuk memeluk Lisa. “Maafin mama, Lisa.. mama nggak bisa bawa kamu. Kamu disini sama papa ya..” dan setelah itu dia benar-benar pergi. Lisa tak tau harus bagaimana lagi, dia masih harus tetap waras untuk menghadapi kedua orang tuanya yang tidak waras. Dengan gerakan seperti robot, Lisa berbalik badan dan menemukan Papa nya dengan pakaian rapi berdiri di bawah anak tangga. “Papa mau kemana?” tanya Lisa lagi, netranya turun menatap tas hitam berukuran sedang yang tengah ditentang oleh pria itu. “Oh, papa juga mau pergi kayak mama, kan? Pergi aja, Pa. Aku nggak masalah disini sendirian” Gadis itu melanjutkan melangkah, dia melewati papa nya tanpa mengatakan apapun lagi, papa nya juga tidak membuka mulut sama sekali. Hidup Lisa hancur malam ini, dia bahkan tidak memiliki harapan hidup sedikit pun. Saat Lisa masuk ke dalam kamar, tatapannya tertuju pada deretan polaroid yang ada di dinding sebelah kanan nya, disana ada foto Vero yang dia ambil diam-diam dan dia cetak. “Kak Vero jangan pergi ya, gue mohon…” Setetes air mata Lisa pada akhirnya jatuh dan hancur di atas keramik dingin yang tengah ia jejaki.  Malam itu, dunianya benar-benar hancur. Lisa luruh, terduduk di lantai seraya memeluk tubuh rapuhnya, menangis dan meraung, seakan lewat tangisan itu dia memberitahukan kepada dunia, betapa sakit nya menjalani kehidupan singkat ini. Motor Vero sampai di restoran daging yang katanya enak itu. Lisa segera turun dan melepaskan helm, rambutnya yang panjang di terbangkan oleh angin sore. “Kak Vero sering kesini?” tanya Lisa penasaran. “Lumayan, salah satu tempat favorite gue, Lis” Mereka akhirnya berjalan masuk. Vero mendorong pintunya, dua pelayan menyambut mereka dengan senyum manis dan tatapan sendu. “Selamat datang” mereka berdua membalas dengan senyum singkat. “Kita ke atas aja” ajak Vero, mereka menaiki anak tangga satu persatu menuju lantai atas. Angin kencang menyambut mereka,  dari sini, Lisa bisa melihat semburat jingga dan matahari yang perlahan tenggelam di ujung barat. Setelah duduk, Vero dengan inisiatifnya langsung memesan beberapa menu yang menurutnya paling enak. “Biar gue tebak, kak Vero suka sama tempat ini karena kakak suka lihat itu, kan?” Lisa menunjuk ke arah barat. Vero terkekeh, menggeleng. “Enggak??” “Enggak, gue suka tempat ini karena anginnya kencang” What? Alasan macam apa itu. “Lo lagi bercanda ya kak? Banyak tempat buat ngerasain angin kencang, kenapa kakak malah pilih tempat ini?” Tawa Vero mengudara, terbang dibawa angin sore menjelang malam. “Selalu. Apapun tentang gue selalu dianggap bercandaan. Padahal gue serius, suka tempat ini, sofa ini, meja ini, karena angin kencangnya” “Kenapa harus angin?” Vero tersenyum tipis. “Karena cuma dia yang sampai detik ini nggak bisa gue pahami. Tentang bisikan yang kerap kali mampir di telinga gue,  bahasa nya susah gue cerna, tapi aneh nya setelah dengar deru angin gue seperti hidup, gue seperti menemukan alasan untuk tetap bertahan. Sehebat itu angin di mata gue, Lis” Lisa bisa melihat mata Vero yang meredup seperti sore menjelang malam hari ini, seakan mata itu terlalu lelah untuk menatap kacaunya keadaan sekitar dan bisingnya suara-suara dalam kota. Tiba-tiba saja, Lisa juga ingin menjadi angin. Agar Vero hanya menghirupnya, agar cowok itu tetap memiliki oksigen untuk tetap hidup. Karena keberadaan cowok itu, adalah alasan untuk Lisa tetap bertahan hidup sampai sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD