Skalla-24

2320 Words
Pukul tujuh malam, mobil Leo berhenti tepat didepan rumah Vero. Setelah menunggu beberapa saat, cowok itu keluar dengan pakaian casual. Mau di lihat dari sisi manapun, Vero tetap terlihat sangat tampan. Bahkan tak hanya tampan, cowok satu itu sangat memperhatikan fashion nya. Dan pakaian-pakaian yang selalu menempel pada tubuhnya dari merk ternama.  No problemo, kan?  Dia dari kalangan atas, dia mampu, dia tidak pernah memaksakan diri untuk membeli pakaian dengan merk ternama itu. Yang menjadi problem itu anak-anak muda yang sering memaksakan diri atas penampilannya. Memaksakan diri untuk mengenakan merk ternama padahal tidak begitu mampu. Atau malah membeli barang-barang kw, bukan terlihat berkelas justru mereka terlihat memalukan. Kalau Vero begitu memperhatikan fashion, beda lagi dengan Leo yang selalu tampil apa adanya. Dalam artian, dia tidak mengharuskan memakai pakaian dengan merk ternama, yang penting nyaman. Tak peduli jika harga pakaian itu hanya ratusan ribu atau bahkan puluhan ribu, asal nyaman. Karena bagi Leo, tak peduli jika dia hanya memakai kaos oblong harga tujuh puluh ribuan asal isi rekeningnya ada tujuh puluh juta.  "Kalau di pikir-pikir, kita udah jarang main bareng" celetuk Vero mencomot asal topik pembicaraan seraya mengaitkan seatbelt.  "Udah pada sibuk sih, ujian kelulusan tinggal berapa bulan lagi" Leo mulai menjalankan mobilnya menuju tempat tujuan. Sushi Tei yang ada di jalan Sukawangi, tepatnya di Flamboyant Season Building menjadi pilihan mereka untuk memorot Alfa malam ini. Selain dari review bintang lima dari pengunjung, mereka juga ingin merasakan sendiri kualitas makanan dan tempat itu.  "Kalo denger kata Sushi, gue jadi inget Letta" Vero tersenyum simpul. "Tuh anak suka banget sama Sushi" "Lo juga suka" sahut Leo. "Karena biasanya, kita menyukai apapun disukai sama orang yang kita sukai" "Cih, bener juga sih tapi" Dia juga pernah merasakan hal serupa. Leo sangat anti pada telur dadar, entah kenapa dia merasa ingin muntah setiap kali melihat telur dadar. Tapi ada satu hari dimana Alena membuatkan telur dadar, dan anehnya Leo langsung suka. Sampai sekarang dia tidak pernah menjauhi telur dadar lagi. "Hubungan lo sama Alena gimana?" "Gak gimana-gimana, dia masih dingin sama gue" "Udah coba ngomong berdua?" "Udah, tapi tetep aja tuh anak nutupi semua lukanya sendirian" Vero menatap jalanan dari balik kaca mobil, kendaraan melewati mereka dengan mudahnya karena Leo mengendarai dengan kecepatan rata-rata. "Jangan menggenggam orang yang berusaha untuk melepaskan diri, Yo. Lo boleh lepasin genggaman lo, tapi jangan ambil bahu lo, karena gue yakin, hanya bahu lo yang menjadi tempat pulang ternyaman Alena. Baik dulu, ataupun sekarang" Leo mendengus geli. "Mabok gas lpg lo? Tumben bijak"  "Di rumah gue gak ada gas lpg btw, masaknya pake kompor listrik" "Uhuk! Menghibur kemiskinanku sekali ucapanmu, Ver. Rumah gue yang masih jadul insecure denger rumah modern lo" "Jangan sesekali pake aku-kamu, jijik mas.." Vero terkekeh, menggoda Leo dengan memonyongkan bibirnya. "NAJIS!" Lagu kolaborasi antara Celina Sharma dan Harris J mengiringi perjalanan mereka berdua. Sesekali mereka akan mencomot topik random tentang pengemis muda yang malas, atau tentang tikus berdasi yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.  "I try to quit but truth is i don't want to, yeah...cause twenty four seven i'm thinking about you, cause twenty four seven i'm thinking about you" Vero mengikuti lirik yang sedang diputar. "You, you you you you you, you you you you you" kali ini Leo mengimbangi suara Vero, jadilah keduanya ikut menyanyikan lirik yang hanya berisi kata "You" Detik ini, keduanya boleh tertawa, tapi saat sampai di tempat tujuan nanti sebuah kejutan besar akan menyambut mereka berdua. Atau lebih tepatnya, hanya salah satu dari mereka. Mungkin ini bisa dibilang malam terburuk yang pernah Vero alami. Padahal dia sudah semangat saat menuju tempat sushi tei dimana Alfa yang akan membayar makanan mereka. Dia dan Leo juga sudah sekongkol akan memanfaatkan kesempatan ini untuk memesan makanan yang banyak. Tak masalah, keluarga Alfa juga dari kalangan atas.  Kendaraan roda empat yang dikendarai oleh Leo akhirnya sampai di tempat tujuan. Keduanya turun secara bersamaan. Leo menyugar rambutnya yang diterpa angin, menyelipkan dompet dan ponsel ke saku celana. Sementara Vero merapikan sedikit penampilan nya. "Kayaknya mereka udah sampe" kata Vero setelah mengecek ponsel. "Langsung aja deh"  Keduanya di sambut oleh pelayan yang berjaga di depan pintu. Leo mengedarkan pandangan, dia menemukan siluet Gevit yang duduk di depan bar. "Tuh di Gevit" keduanya mulai melangkah kesana. Tawa yang sedari tadi di umbar oleh Vero lenyap seketika saat mendapati Aletta juga ada di tempat itu. Bahkan, dia duduk di samping Alfa. Melihat kedatangan Vero dan Leo, Aletta menyapa dengan melambaikan tangannya. "Hai kak" sebenarnya, Letta itu tidak cuek. Hatinya hangat dan dia tidak tegaan kalau melihat orang yang sekiranya butuh di kasihani. Tapi karena wajah gadis itu yang memancarkan aura dingin dan berkelas, jadi orang-orang mengira kalau dia adalah pribadi yang jutek. Mereka berlima duduk melingkar, karena restoran ini dilengkapi dengan Kaitenzushi atau Conveyor belt sushi, jadi mereka tak perlu memesan karena menu akan berjalan sendiri melewati meja mereka. Dan yap, mereka tinggal mencomot menu yang di inginkan.  "Dalam rangka apa nih lo traktir kita?" Leo melahap satu potongan Aburi Salmon Roll nya dengan nikmat.  Alfa nyengir mendengar pertanyaan yang sedari tadi dia tunggu. Tapi Alfa juga masih bingung bagaimana caranya dia menyampaikan perihal resminya hubungan dia dan Aletta.  “Gue mau ngasih tau ke kalian, tapi gimana ya ngomongnya” cowok itu menggaruk kepala, Letta tersenyum malu-malu disampingnya. Tangan gadis itu perlahan merayap, lantas menggenggam erat punggung tangan Alfa yang ada di atas meja. “Gue sama Letta.. kita udah jadian” Asw! Uhuk! Leo memukul dadanya sendiri, s****n! Dimana-mana tersedak memang tidak enak dan tentu saja menyakitkan. Cowok itu meraih minuman yang ada di depannya, dan meneguk cairan itu dengan rakus. "Kak Leo nggak apa-apa?" tanya Letta khawatir.  "Nggak, gue nggak apa-apa" jawab Leo seraya mengusap mulutnya. Tapi yang ada di samping gue saat ini kayaknya butuh nebulizer, Ta. Lanjut Leo dalam hati.  Vero melayangkan tatapan penuh tanda tanya ke arah Gevit yang hanya mengangkat bahu. Dia sendiri juga syok mendengar hal itu, secepat ini kah adiknya memutuskan untuk berpacaran dengan Alfa?  Karena tidak ada yang membuka mulut lagi dan sepertinya mereka masih syok, Leo akhirnya kembali bertanya. “Maksud lo..” Leo mengibaskan tangan seraya menggeleng, “Nggak, maksud gue sejak kapan lo jadian sama Letta?” ralatnya bertanya mewakili kedua sahabatnya yang plonga-plongo. Yang satu syok, yang satu hatinya remuk redam. “Sejak kemarin, kak” kali ini Letta yang menjawab, wajahnya terlihat berseri-seri. Ingin sekali Vero menertawai dirinya sendiri karena wajah berseri-seri itu nyata nya bukan karena dirinya melainkan karena cowok yang duduk di depannya.  Vero mengaku kalah telak. “Ta?” Gevit menarik bahu Letta, “Abang mau ngomong--” “Nanti ya bang dirumah, sekarang mending kita makan dulu” Letta memberi pengertian dengan tenang, Karena tempat duduk Letta yang paling dekat dengan Conveyor belt, maka dia yang mencomot asal menu sushi untuk di hidangkan ke atas meja. "Makan dulu yuk, mumpung kak Alfa lagi baik kan?" gadis itu meraih sumpitnya, lantas melahap satu gulungan kecil Sushi. “Gue ke toilet dulu” Sumpit Letta menggantung di bibir, netra nya menatap kepergian Vero.  Bukan hanya Letta, melainkan Leo, Gevit dan Alfa yang hanya bisa menatap punggung kesepian itu perlahan menjauh, mencoba berpikir positif, mungkin Vero ingin buang air kecil.  Sedikit, hanya sedikit, terbesit rasa bersalah dihati Alfa pada Vero. Tapi Alfa juga tidak bisa mengelak, perasaannya pada Letta sudah tidak bisa dibendung lagi, toh dia juga tidak suka membuang-buang waktu, kalau suka yang tinggal ungkapkan daripada di tikung teman kan? Urusan diterima atau ditolak, pikirnya mah belakangan aja. Setidaknya kita udah berusaha. Lebih baik menyesal karena sudah melakukan, daripada menyesal karena tidak melakukannya sama sekali, seperti yang terjadi pada Alfa dan Vero. “Kak Vero lagi nggak enak badan ya, mukanya pucat banget” “Nahan b**l kayaknya, Ta” jawab Leo asal, “Gue susul bentar, kalian makan duluan aja nggak apa-apa” Leo meletakan sumpitnya, tanpa menunggu jawaban, dia juga ikut ngacir ke toilet, dia tidak akan membiarkan Vero tenggelam dalam kesedihannya sendirian. Masuk ke dalam toilet, Leo menemukan Vero tengah menunduk di depan cermin, tangannya bertumpu pada wastafel. Tetesan air dari ujung rambutnya menandakan kalau cowok itu sehabis membasuh wajah dengan gaya kesetanan sampai rambutnya ikut basah. “Bodoh.” Vero mematikan kerannya, dia menatap Leo dari pantulan kaca. “Gue emang bodoh, Yo.” jawabnya lirih. “Sekarang gue merasa tersakiti, padahal sah-sah aja kalau mereka mau pacaran. Selama ini, gue emang terkesan gak niat sama Letta, cuma main-main, dan bahkan Gevit aja nggak pernah yakin sama gue” Leo mendengarkan dengan penuh empati. “Tapi lihat Letta di klaim sama cowok lain, gue gak menampik kalau gue sakit hati. Gue sayang sama dia, Yo, sayang banget! Alasan kenapa gue nggak pernah mau pacaran, karena gue nunggu Letta” "Percuma lo ngomong kayak gini di depan gue, karena yang seharusnya ada di depan lo saat ini itu Letta bukan gue" Dia tau rasanya di posisi Vero saat ini, karena baru kemarin dia merasakannya saat Alena diklaim menjadi pacar Gevit. Padahal selama ini dia yang selalu ada untuk gadis itu, tapi semenjak kedatangan Gevit, segala yang dilakukan Leo tidak ada artinya lagi dimata Alena. Mereka berdua sama-sama terdiam untuk beberapa saat, seakan dengan saling berdiam diri emosi yang ada di dalam diri masing-masing bisa menguar perlahan. “Gue bukan penasehat yang baik, Ver. Tapi, gue saran aja sih mendingan lo lupain perasaan lo itu tanpa mengubah sikap lo ke Letta.” cowok itu menoleh. "Seperti kata lo saat di mobil tadi, lo boleh lepasin genggaman lo, tapi jangan tarik bahu lo karena mungkin bahu lo bisa jadi tempat bersandar Aletta, suatu saat nanti" “Emang sikap gue ke Letta gimana?” “Yang selalu ada pas dia butuh, yang selalu perhatian di saat-saat tertentu, yang melindungi dia secara diam-diam” “Lo tau, tapi kenapa dia nggak tau?” “Karena dia selalu melindungi diri buat gak mudah baper, Ver. Meski gue gak kenal dekat banget, dilihat dari wajahnya aja udah keliatan kalo sebenarnya dia lagi bangun dinding yang tinggi banget. Cuma Alfa tau kalau dinding itu masih punya celah, dan dia menerobos masuk” Ponsel di saku Vero bergetar, sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Cowok itu menggeser tombol hijau, lantas menempelkannya di telinga.  “Halo?” “.......” “Lo dimana?” “.........” “Oke gue kesana sekarang, jangan nangis dan jangan kemana-mana” setelah itu panggilan terputus. Vero menatap Leo sejenak. “Gue pinjam mobil lo dong” “Mau cabut kemana?” “Ntar gue kasih tau, mana cepat” Leo merogoh saku celananya, dia mengeluarkan kunci mobil itu lantas memberikannya pada Vero. “Thanks” bergegas dia keluar dari bilik toilet. Kembalinya Leo ke meja makan langsung disambut oleh satu pertanyaan dari mereka yang diwakili oleh Alfa selaku yang mengundang mereka ke acara traktiran malam hari ini. “Mana Vero?” “Cabut, kayaknya ada urusan urgent.” cowok itu menoleh pada Gevit. “Ntar pulangnya gue nebeng lo ya, Al” Alfa mengangguk saja, toh nanti Letta pasti pulang bersama Gevit. -Tahubulat- Udara dingin membungkus kota Bandung malam hari ini, langit lagi-lagi nampak menggelap, menandakan kalau sebentar lagi akan hujan, mungkin. Apalagi, suara gelegar petir disana sini terdengar begitu menakutkan. Gevit sudah di teror oleh Andini agar segera pulang sebelum hujan turun.  "Ta!" panggil Gevit sedikit lebih keras. "Mau pake jaket gue nggak? Udaranya dingin banget nanti lo masuk angin!" "Nggak usah, bang! Gue nggak masalah, justru lo yang harus pake jaket biar nggak masuk angin, soalnya lo yang nyetir" "Beneran?" "Iya!!" Aletta semakin mengeratkan pelukannya, dia menyandarkan dagunya di pundak Gevit. Kendaraan roda dua kembali merobek gelapnya malam hari itu, pukul sembilan malam, gelegar kembali terdengar sesekali. Di susul kilatan petir dan angin yang bertambah semakin kencang. "Ta!" Gevit memanggil lagi, kalau hanya berdiam diri dia khawatir Letta merasa ketakutan. “Kok lo nggak bilang kalo pacaran sama Alfa? Mama tau nggak soal ini?” Aletta tak langsung menjawab, justru dia tengah menikmati angin kencang yang menerpa wajahnya. Terasa begitu dingin dan menyegarkan. Bahkan kilatan tadi tak mempengaruhinya. “Mama tau kok, kemaren gue bilang soalnya” jawab Aletta santai. “Terus?” “Mama kasih izin, asal gue bisa jaga diri” Letta menoleh ke arah Gevit, melihat hidung mancung kakak nya dari samping, hidung itu sudah seperti pahatan tuhan yang paling sempurna. "Gimana sama abang? Soal hubungan lo sama kak Alena, apa mama udah tau?" Kalau yang ini, Andini belum tau karena Gevit belum memberitahunya. "Belum, Ta. Lagipula, gue mau lihat dulu. Kalau gue bilang sekarang, takutnya Alena milih putus setelah masa hukuman selesai, gue nggak mau mama khawatir" "Pilihan yang bagus, Bang!" Terasa bulir-bulir air hujan menyentuh punggung tangan Gevit. Cowok itu menambah kecepatan laju motornya.  “Bang, hidup itu kayak kita yang lagi berkendara, kan?” gadis itu kembali mengamati wajah Gevit dari samping. “Kadang, kita menyalip motor, atau mobil, atau bisa jadi truk. Kendaraan yang kita salip itu ibarat masalah hidup, kadang kecil, kadang gede. Kalau bisa ya kita melewati masalah itu, kalo enggak kita cukup berhenti atau memelankan laju kendaraan kita agar kita nggak terlalu dekat dengan masalah itu.” “Bukan hanya itu, berkendara pun punya batasan, setiap dua atau tiga jam, kita harus berhenti. Sama kayak hidup, sesekali kita memang harus berhenti meski hanya untuk bernafas” tambah Gevit. Letta semakin mengencangkan pegangannya saat dirasa udara malam begitu dingin, bukan hanya itu, dia juga bisa merasakan gerimis mulai turun, terlihat dari temaram lampu jalanan.  "Hidup juga berpacu, Ta. Seperti yang gue lakuin saat ini, ada saat-saat dimana kita harus berkendara dengan kecepatan tinggi karena kondisi tertentu." "Gue jadi kangen deep talk sama lo sama mama, bang" Letta tersenyum tipis. Akhir-akhir ini keluarganya jarang berkumpul bersama lagi. “Janji ya, bang. Kalo suatu saat gue ada masalah, atau lo ada masalah, kita akan hadapi masalah itu sama-sama. Karena disini gue cuma punya lo dan mama” “Apaan nih, tiba-tiba jadi mellow gini?” “Ih, janji dulu” Letta memukul bahu Gevit yang langsung mengangguk mengiyakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD