Malam itu, ruangan yang memang sudah dipersiapkan untuk makan malam keluarga Gala lenggang tanpa suara setelah Alena mengatakan kejujurannya, sekaligus tujuannya datang kemari. Tak seperti malam-malam sebelumnya yang diselingi oleh tawa dan candaan Gala ataupun Alena juga Freya, makan malam kali ini terkesan begitu tegang.
Semua orang yang ada di ruangan terhenyak dengan apa yang barusan disampaikan oleh Alena. Putus? Bahkan tanpa merundingkannya dulu? Toni yang punya sikap paling tenang langsung bertanya kepada Alena, tanpa emosi, tanpa rasa kecewa, justru Alena bisa menatap sirat sedih yang ada di mata Toni.
“Alena, apa yang kamu bicarakan? Putus? Kenapa?”
Alena menatap Gala sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang Toni layangkan, cowok itu balas menatapnya dengan tatapan meyakinkan. “Om, maafin aku. Karena aku makan malam ini jadi berantakan"
"Kamu belum menjawab pertanyaan om, Al"
Gadis itu meremas ujung dressnya, tangan Gala yang ada dibawah meja dengan lembut menarik tangan Alena untuk digenggam dengan erat. Akhirnya, setelah mendapatkan sedikit keberanian, Alena kembali menatap Toni.
"Terhitung sudah setahun Alena dan Gala pacaran, Om. Alena juga udah berusaha buat menerima dan belajar mencintai Gala dengan tulus. Meskipun Alena bisa menerima Gala dihidup Alena, bukan berarti Alena bisa mencintai Gala semudah itu juga"
“Alena, apa Gala jahat sama kamu?” kali ini Freya yang bertanya, dia bahkan menyela ucapan Alena, bola mata wanita itu sudah digenangi oleh air mata membuat Alena jadi sedikit tidak tega. Kehadirannya di tengah keluarga ini sudah diterima dengan baik, dan Alena juga nyaman-nyaman saja. Tapi entah kenapa, Alena selalu merasa kalau tempatnya bukan disini, dia seharusnya tidak disini.
“Enggak, tante. Gala baik banget sama Alena, dia juga perhatian banget. Tapi setelah Alena pikir-pikir lagi, hubungan ini nggak sehat. Gala yang berjuang sendirian disini, sementara Alena hanya bertahan sembari menunggu kapan semua ini akan berakhir"
Mungkin kata-kata Alena barusan terkesan sedikit kasar, tapi sudah kepalang tanggung semua kata-kata itu keluar tanpa disaring lebih dulu.
Ruangan itu kembali lenggang. Alena benar-benar di selimuti ketakutan sekarang, bahkan tangan yang tengah digenggam oleh Gala mengeluarkan keringat. Gala yang melihat ketakutan Alena, kini angkat bicara.
“Aku juga nggak mau maksa Alena buat bertahan, Pa. Mencintai secara sepihak itu nggak mudah. Aku nggak mau menyia-nyiakan waktuku hanya untuk berjuang demi gadis yang sudah jelas-jelas tidak bisa menerimaku”
“Alena, kamu sudah bicarakan ini dengan Riswan?” kali ini Neneknya yang bertanya dengan suara lembut dan lemah. Setelah bungkam sedari tadi, nenek bisa tau kalau hubungan Gala dan Alena memang tak bisa di lanjutkan lagi.
Dia tau rasanya dipaksa mencintai seseorang, hingga akhirnya hubungannya kandas. Dan nenek tidak ingin cucunya merasakan hal yang sama.
Alena menggeleng. “Belum, Nek. Papa lagi nggak ada dirumah, mungkin nanti kalau papa sudah pulang aku bakal bicarain soal ini juga, dan aku harap papa mau mengerti”
“Biarkan om bicara sama papamu dulu ya, Al. Kami juga tidak bisa memutuskan secara sepihak, tapi alasan kalian akan kami pertimbangkan lagi” Toni menengahi, mencari jalan keluar terbaik agar bisa diterima oleh semua orang.
Gadis itu mengangguk. Benar, kan? Para orang tua ini tidak kolot dan memaksakan kehendak. Dulu Alena dan Gala tidak seberani ini untuk membantah keinginan para orang tua. Tapi semakin dirasakan, mereka semakin tertekan dan merasa menjadi korban dari keegoisan orang dewasa.
"Makasih ya, Om. Kalau begitu, saya izin pulang dulu ya, om, tante, nek”
“Kenapa buru-buru sekali, Al?” Freya agaknya masih ingin Alena tetap disana. Demi apapun, Alena adalah menantu idaman Freya. Anaknya sopan, baik dan seru, mana pandai masak lagi.
“Aku harus kerumah sakit, tante. Ada satu temanku yang sakit dan dirawat disana"
“Kalo gitu biar Gala yang antar ya, lagipula udah malem juga”
“Iya, Al. Gue anter nggak apa-apa”
Alena nampak menimbang sejenak, sebelum akhirnya menerima tawaran itu. Setelah berpamitan keduanya berjalan keluar ruangan. Jas Gala masih membalut tubuh Alena, aroma citrus segar membuat pikiran Alena yang sempat keruh perlahan menjadi tenang.
“Lo nggak apa-apa, kan, Al?”
“Nggak kok, santai aja”
Setelah sampai di parkiran, Gala membukakan pintu untuk Alena, sementara dia memutar dan lekas masuk ke dalamnya. Tak lama mobil berjalan, sekarang sekitar pukul sembilan malam, kendaraan roda empat itu kembali menerabas gelapnya malam menuju rumah sakit.
Di dalam mobil, lagu cloud 9 menjadi pengisi kekosongan di antara dua insan manusia tersebut. Alena tenggelam dalam pikirannya sendiri, sementara Gala sibuk menyetir. Lampu jalanan yang menyorot membuat mata Alena bergerak kesana kemari secara teratur mengikuti arus.
“Sori, Ga” kata Alena pelan. “Gue nggak bermaksud buang-buang waktu lo buat perjuangin gue selama ini” ah, agaknya ucapan Gala tadi sedikit menyentil perasaan Alena. Tapi Alena tidak tersinggung sedalam itu kok, hanya saja, entahlah. Dia sedikit tidak nyaman dengan kata-kata 'menyia-nyiakan' seakan-akan selama ini Gala juga terpaksa berhubungan dengannya.
“Gue mencintai lo tanpa penyesalan, Al. Soal apa yang gue ucapkan tadi, jangan diambil hati ya. Tapi untuk kedepan, gue mungkin akan lebih selektif dalam memilih cewek untuk dijadikan pacar. Gue akan berjuang kalau cewek itu bener-bener mau gue perjuangkan"
Senyum tipis Alena mengembang, dia menatap wajah Gala dari tempatnya duduk. “Rencana setelah lulus lo mau kuliah dimana?” gadis itu membelokan pembicaraan.
“UI, mungkin. Dari lama udah jadi idaman sih” Gala terkekeh, dari awal masuk SMA, cowok itu memang sudah bertujuan untuk melanjutkan pendidikannya ke Universitas Indonesia. Jadi agar bisa lolos, Gala benar-benar mempersiapkan diri.
“Kalo gue UGM sih, tapi nggak tau juga bisa lolos apa enggak”
“Lolos lah pasti, lo kan pinter”
“Haha, pinter banget gak tuh”
Selalu, obrolan mereka selalu nyambung. Alena menyukai setiap jawaban yang diberikan oleh Gala. Sebenarnya, kalau hati Alena masih kosong mungkin dia bisa menerima Gala. Tapi saat ini, hatinya sudah tidak kosong lagi. Mau seberapa banyak cowok yang mendekatinya, Alena tetap tidak akan tertarik.
“Ga, lo tau nggak sih caranya biar bisa menghindar dari cowok”
Gala terkekeh lagi. "Al, Al, pembahasan lo nggak pernah habis ya"
"Ih, jawab dong, gue serius nih"
“Lo mau menghindar dari gue ya?” tebak Gala to the point.
“Ish, bukaaan.” Alena mencibir seraya merengek membuat Gala menahan untuk tidak gemas dan berakhir memberhentikan mobil di pinggir jalan hanya untuk mencumbu bibir ranum yang tengah mengerucut lucu itu.
“Gue mau menghindar dari Gevit, Ga. Gue bener-bener nggak nyaman, apalagi Gevit itu temennya Leo"
Gala menghentikan laju mobil saat lampu menyala merah, cowok itu menoleh dengan gerakan santai ke arah Alena. Leo, lagi. “Emang dia ngejar-ngejar lo banget ya sampe bikin lo risih gitu?”
Alena menggeleng. “Nggak juga sih. Gevit tuh, gimana ya.. dia deketin gue kalem-kalem soalnya. Apalagi, dia pasti mempertimbangkan banget status gue yang pacaran sama lo, kan. Mana mungkin dia mau disangka pelakor"
"Haha, bener juga sih. Terus terus?"
“Gini loh, Ga. Gevit tuh deketin gue kayak misal dia tiba-tiba nawarin buat antar jemput gue ke sekolah, padahal arah rumah kita ke sekolah kan beda. Terus lagi kadang kalo gue bikin story w******p, pengen seblak gitu, nggak lama kemudian ada gofood nganterin seblak beneran, dan itu dari Gevit”
Gala mendengar Alena berbicara panjang lebar jadi terkekeh geli, serem juga nih cewek kalo udah nggak suka sama cowok. Untungnya, Alena tidak bersikap seperti itu padanya, bisa stress Gala kalau Alena tiba-tiba menjauh.
“Em, coba deh, lo bikin dia ilfeel”
“Biasanya cowok ilfeel sama cewek karena apa sih, Ga?”
Lampu kembali menyala hijau, Gala menginjak gas nya dan kendaraan roda empat itu kembali melanjutkan perjalanan. “Karena ceweknya kecentilan, sok cantik, rakus banget kalo lagi makan, terus bisa juga sih ketawanya sampe mangap-mangap gitu”
“Gila lo ya, gue mana bisa kayak gitu njir. Itu bukan gue banget”
Alena menatap ke arah jalanan depan, dia bersyukur karena malam ini jalanan tidak terlalu macet seperti jalanan ketika malam minggu. Banyak jomblo yang keluar hanya untuk mencari gebetan di alun-alun atau entah di angkringan. Dan, kendaraan para jomblo itu memenuhi jalanan.
“Ini kan cuma settingan, Al. Biar Gevit menjauh dari lo”
“Ya tapi nggak gitu juga, Galaksi Bima Sakti!”
Gadis itu kalau sudah kesal memang sering memanggil Gala dengan nama galaksi bima sakti. Padahal nama Gala itu Galaksi Atmajaya. “Masih aja lo panggil gue gitu, Al”
“Lucu tau” Alena terkekeh geli.
Karena sepanjang perjalanan mereka bertukar cerita, jadi rasanya cepat sampai. Mobil berhenti tepat di depan rumah sakit. Alena melepaskan seatbelt nya. "Mau ikut masuk dulu nggak?"
Gala menggeleng. "Nggak deh, Al. Gue langsung aja"
“Langsung pulang?"
“Kayaknya sih iya”
“Oke, thanks ya, Ga. Hati-hati dijalan, soal pembicaraan yang tadi, lupain aja. Yang penting kita udah sampaikan semuanya ke mereka."
“Beres tuan putri. Gue duluan ya, see you tomorrow, Al. Iwufyuuu!"
“Dasar” Alena terkekeh geli mendengar Gala mengucapkan Iwufyu kepadanya.
"Eh, Al" Gala mencegah saat Alena hendak turun dari mobil. "Boleh peluk nggak?"
"Gala, Gala.." Alena menggeleng-gelengkan kepala, gadis itu merentangkan tangannya. "Boleh deh, sekali aja ya?"
Dengan semangat Gala memeluk Alena, senyum yang tadi tersemat kini luntur. Gala masih mencintai Alena, dia tidak main-main ketika mencintai seorang gadis. Tapi Gala juga sadar, Alena bukan untuk dirinya. Erat sekali pelukan Alena, bahkan wangi vanilla yang memasuki indera penciumannya menjadi candu tersendiri untuk Gala.
"Thanks"
Barulah Alena keluar dari dalam mobil.
Mobil Gala kembali menjauh, Alena menatap kendaraan roda empat itu dengan perasaan aneh. Entahlah, dia merasa kosong, sesuatu hilang dari hidupnya. Dan kenapa mendadak Alena jadi sedih? Apa dia benar-benar akan kehilangan sosok Gala? Ya tuhan, mana suasana sepinya mendukung untuk Alena menggalau, kenangan tentang kejadian-kejadian yang dulu pernah mereka lalui bersama kembali berputar.
Tau sendiri kan, betapa asiknya Gala dan Alena kalau lagi ngobrol, dan selama setahun mereka selalu seperti itu. Alena menarik nafas panjang, matanya memanas. Selain kehilangan Gala, dia juga kehilangan keluarga Atmajaya yang sudah menyayanginya dengan sangat.
Tak mau berlarut-larut, Alena mulai berjalan memasuki rumah sakit menuju kamar rawat inap Leo. Sedari tadi, Alena memang mematikan ponselnya agar tidak mengganggu waktunya saat bersama keluarga Gala.
Tibalah gadis itu didepan kamar rawat inap, tanpa basa basi Alena langsung masuk ke dalam. Disana ternyata Leo tidak sendiri melainkan ada Gevit, Alfa dan juga Aletta yang memaksa ikut saat Gevit hendak menjenguk Leo.
Gadis itu tersenyum canggung, "Hai" sapanya entah pada siapa karena netranya bergerak liar menatap satu persatu orang yang ada disana.
Leo menatap Alena dari bawah hingga ke atas. Sepatu heels, dress selutut, dan juga make up seperti itu. Jelas Alena tidak akan mau repot-repot berdandan seperti mau ke pesta kalau hanya untuk menjenguk orang sakit.
"Habis dari mana?" tanya Leo begitu penasaran.
“Oh, tadi habis ada makan malam sama keluarga Gala”
Leo menyipitkan matanya, menatap Alena penuh curiga. “Bukannya lo udah putus sama Gala?”
Sialan Leo!
Dari sudut matanya, Alena bisa melihat wajah Gevit yang meski ditutup-tutupi menampilkan raut wajah sumringah. “Ya..ya iya. Emang apa salahnya?” kilah Alena, mencoba bersikap biasa saja. Dia duduk di samping Leo, mengabaikan tatapan orang-orang yang ada disana.
“Nggak ada sih” jawab cowok yang sebelah matanya diperban.
"Ini juga jas nya Gala?"
Alena menepuk jidatnya. "Oh iya lupa. Tadi Gala kasih pinjam soalnya bahu gue kan polosan gini, takut masuk angin kali"
“Kak Alena cantik banget deh”
Kedua nya langsung menoleh menatap Letta yang sedang nyengir lebar. Alena membalasnya dengan senyuman santai. Dia sudah sering mendapat pujian cantik seperti ini dari orang-orang, jadi bisa dibilang Alena sudah terbiasa.
“Lo juga cantik, semua cewek juga cantik, tapi thanks ya”
Aletta tidak bohong saat mengatakan kalau Alena itu cantik, buktinya Gevit sedari tadi tak berkedip saat menatap wajah Alena. Membayangkan dia menggandeng gadis itu ke pesta prom nanti. Bukankah mereka akan tampak sangat serasi?
Haaah, lagi-lagi Gevit menghalu.
“Oh iya, kak. Gue denger-denger ada rumor yang bilang kalau bang Ge suka sama kak Alena. Bisa-lah kalau kakak yang jadi kakak ipar gue sekaligus menantu mama Andini"
Mendengar apa yang barusan dikatakan oleh Letta, netra Gevit melotot tak percaya. Cowok itu membungkam mulut petasan banting milik Letta yang seringnya lupa saringan. Seperti saat ini. Tapi Gevit tak sepenuhnya kesal karena itu artinya, Aletta mengizinkan Alena untuk masuk ke dalam kehidupannya.
“Gausah didengerin, Al. Ini anak kalo malem emang suka ngelantur”
Tiba-tiba saja ingatan Alena jadi melayang, tentang saran yang diberikan oleh Gala tadi.
“Oh?... HAHAHAHAHAHA… Iya nggak apa-apa, HAHAHAHA”
Semua orang langsung terdiam saat mendengar tawa Alena yang seperti knalpot blong. Bahkan Leo yang sudah lama sekali berteman dengan gadis itu juga ikut syok.
Tangan Gevit seketika turun dari mulut Letta. Dia menatap tak percaya ke arah Alena yang masuk tertawa terbahak-bahak. Sementara Letta menatap Alena dengan tatapan aneh.
Sialan! Setelah ini Alena akan memaki Gala yang sudah memberinya saran konyol. Tapi lebih konyol lagi Alena yang mau-maunya menerima saran itu.
“Gile, gue kira lo kesurupan tadi, kak” celetuk Letta, seperti kata Gevit, adiknya itu memang sering lupa saringan ketika berbicara.
“Al?”
Alena menatap Leo, pelan-pelan tawanya berangsur melemah dan akhirnya berhenti. “Em, kayaknya gue pulang duluan, udah ngantuk” buru-buru Alena bangkit, tapi sebelum gadis itu pergi lengannya dicekal oleh Leo.
“Pulang sama siapa? Biar dianterin Gevit"
Kedua netra mereka saling bertemu, "Nggak perlu, gue bisa naik taksi"
"Al.." kalau Leo sudah seperti ini, mana bisa Alena menolak. Akhirnya dia pulang dengan Gevit yang mengantar.
"Oke"
Setelah kepergian Gevit, Alena, Aletta dan Alfa, kini Leo berada di ruangan sendirian. Sepi sudah menjadi teman sejatinya, Leo terkekeh sinis. "Nggak apa-apa, ambil aja semua. Gue kan emang udah sering kayak gini, suka-ikhlasin. Udah itu aja alurnya." monolognya, perih.