Letta berguling-guling diatas ranjang nya, tidak ada yang bisa dia lakukan sepulang sekolah. Gadis itu bosan kalau hanya menscroll sosial media, Gevit tengah berada di rumah sakit karena hari ini Leo akan pulang jadi dia dan teman-temannya yang lain menjemput.
Seharusnya, Letta ikut saja tadi. Alfa sudah menawarinya, tapi Letta menolak karena ancaman Gevit. Katanya gini. "Lo cewek, temenan sama cewek sana. Jangan ngintilin gue mulu"
Emang kurang ajar abangnya satu itu.
Oh iya, buat kalian yang penasaran. Kemarin dia menghabiskan waktu bermain dengan Daniel dan Alfa. Hanya hal sederhana yang mereka lakukan, seperti menyambangi jalan Cihampelas untuk mencicipi street food nya. Atau hanya berkeliling motoran di jalan Braga.
Menghabiskan waktu tak selalu tentang tempat yang mewah dengan penampilan hedon, Letta hanya ingin menghabiskan waktu bersama orang-orang yang dia sayang dengan cara paling sederhana sekalipun. Itu sudah cukup membuatnya merasa senang.
Gadis itu menatap layar ponselnya yang berkedip, melihat adakah notifikasi penting yang muncul.
'Pemotretan D'Laura'
"Oh s**t!!" umpat Letta, gadis itu buru-buru melompat dari atas ranjang menuju kamar mandi. Untung saja dia sudah mandi tadi, jadi sekarang Letta hanya butuh cuci muka saja.
Hari ini gadis itu ada jadwal pemotretan untuk sebuah produk fashion D'Laura. Yep, Letta memang seorang model, hanya saja dia jarang mengambil job di luar produk D'Laura karena Andini tidak mengizinkan.
Saat pemotretan berlangsung, Letta pasti akan selalu didampingi oleh Andini. Wanita itu tidak akan membiarkan anak gadisnya sendirian. Setelah memakai pakaian yang sekiranya pantas, Letta mencepol rambutnya asal.
Keluar rumah, tak lupa Letta mengunci pintu nya. Gadis itu segera memesan ojol, dia tidak naik taksi karena akan memakan waktu lama, kalau naik ojol abangnya bisa menyalip kesana kesini dan Letta bisa cepat sampai.
Tak lama, abang ojek online datang. Letta langsung melompat naik ke atas jog nya. "Sesu--"
"Iya, bang. Udah cepetan, telat nih"
"Sabar, neng. Ngebut nih"
Perjalanan dari rumah menuju tempat pemotretan membutuhkan waktu 40 menit. Abang Ojol tak perlu diteriaki ulang karena dia paham arti kata 'telat nih' dengan segenap skillnya di jalanan, kendaraan roda dua itu menyalip sana sini, bahkan ketika ada dua mobil yang menghimpitnya, abang ojol dengan sigap langsung menyalip.
"Gila, abang keren ih!" puji Letta membuat senyum sumringah abang ojol muncul. Bintang lima di depan mata.
Akhirnya Letta sampai setelah melewati perjalanan bak film action barusan, Andini langsung menghampiri anak gadisnya. "Letta, kok baru dateng??"
"Iya, Ma. Aku lupa kalo ada pemotretan tadi" Letta melepaskan helmnya, dia mengangsur kan uang lima puluh ribuan kepada si abang ojol. "Makasih, bang"
"Sama-sama, neng. Artis ya?"
Letta dan Andini saling tatap, lantas tersenyum. "Bukan bang" jawab Andini singkat.
"Oh, kiran artis. Jangan lupa bintang limanya ya, neng"
Letta hanya mengangkat jempolnya, Andini lantas menggiring Letta menuju tempat ganti baju dan bersiap-siap.
"Mbak Meri, maaf ya. Aku lupa" Letta nyengir lebar, Meriska mengangguk saja, tak ada waktu untuk memarahi Letta. Dia segera menyiapkan kostum yang hendak dipakai oleh Letta untuk pemotretan kali ini.
"Letta, Mama tunggu di luar ya"
"Iya, Ma"
-Tahubulat-
Kegiatan Letta selesai menjelang isya', gadis itu memutar tubuhnya untuk meregangkan otot-ototnya yang kaku. "Aaah, capek banget, Ma" keluh gadis yang saat ini mencepol rambutnya, lagi.
Andini tersenyum geli melihat wajah Letta. "Kalau kamu mau berhenti nggak pa-pa kok, Ta. Lagian, penghasilan Mama cukup untuk sekolah kalian"
Letta menggeleng, "Letta udah mutusin buat bantu Mama, lagian Letta juga seneng ada kegiatan, Ma."
"Mau mampir makan dulu nggak?"
"Boleh, nasi padang gimana, Ma?"
"Nggak takut gendut?"
Letta menggeleng, lantas tertawa renyah.
Mobil Andini melesat meninggalkan tempat pemotretan menuju rumah makan padang. Ponsel Letta bergetar, nama Gevit terpampang disana. Letta menggeser tombol hijau dan menempelkan benda pipih itu ditelinganya. "Apaan?"
"Lo dimana?" tanya Gevit.
"Dijalan, habis ada pemotretan tadi. Kenawhy?"
"Nggak, cuma tanya doang."
"Gue sama Mama mau madang nih, mau nyusul atau bungkus?"
"Bungkus aja, tiga ya"
Gadis itu mengerutkan kening, "Kok banyak banget sih, Bang?"
"Udah nggak usah banyak tanya, ntar uang nya gue ganti"
"Hm"
Sambungan telepon terputus, Andini menoleh. "Gevit mau nyusul, Ta?"
"Nggak, Ma. Tapi minta dibungkusin tiga"
Andini hanya mengangguk seraya tersenyum tipis. Tadi Gevit sudah izin kalau Vero dan Alfa akan main ke rumah setelah dari rumah sakit menjemput Leo. Andini sih, iya iya aja, tidak pernah melarang siapapun untuk datang. Bahkan tak jarang, teman-teman Letta menginap dirumah.
"Ma," panggil Letta, Andini berdehem untuk menjawab panggilan Letta. "Dulu Mama pernah punya cita-cita nggak sih pas masih muda?"
"Punya dong, kenapa emangnya?"
"Terwujud nggak?"
Kali ini Andini menggeleng seraya meringis malu. "Huuffttt, kenapa sih, Ma, manusia harus punya cita-cita?"
"Siapa yang bilang begitu?" tanya Andini skeptis, "Ta, banyak banget manusia yang nggak punya cita-cita, tapi mereka tetap punya tujuan hidup yang jelas. Orang yang nggak punya cita-cita itu sebenarnya bukan orang yang malas, justru merekalah yang pinter ambil setiap kesempatan meskipun itu kesempatan kecil."
"Maksudnya gimana sih, Ma?"
"Gini loh" Andini mulai menjelaskan lagi, meski bibir nya aktif bergerak wanita itu tetap fokus menyetir. "Kalo kamu mau punya cita-cita itu bagus, jadi kamu punya sesuatu yang ingin kamu kejar dan kalau kamu bisa mewujudkan cita-cita itu maka kamu akan merasa bahagia dan puas. Begitu pula sebaliknya, kalau kamu nggak bisa wujudin cita-cita itu bisa aja kamu kecewa"
"Tapi kalo kamu nggak punya cita-cita, Mama nggak akan marah atau maksa kamu. Tapi kamu harus punya tujuan hidup dan pandai melihat celah dalam setiap kesempatan. Contohnya, Mama tau kamu pinter, kamu aktif di kegiatan cheers, dan kamu bisa dapetin beasiswa setelah lulus nanti, jangan sia-siakan kesempatan itu. Nah, saat kamu ingin menentukan jurusan, kamu punya keahlian dan ketertarikan di bidang apa, ambil aja. Mama nggak ngebatesin hidup kamu. Kamu paham, kan, maksud Mama?"
Gadis itu mengangguk paham, dari yang Letta tangkap, manusia tidak harus punya cita-cita, tapi dia harus punya tujuan hidup yang jelas serta pintar mengambil kesempatan. Letta akan mengingat-ingatnya sampai kapanpun. Selintas dia bertanya tadi karena gadis itu baru sadar kalau dia tidak punya cita-cita.
"Oh iya, Ma. Letta udah nggak di cheers lagi, tapi sekarang Letta aktif di club menulis"
"No problem, Mama akan selalu dukung apapun kegiatan kamu selagi itu positif"
"Banyak Mama-mama yang kolot, untung Mama ku enggak" Letta meringis manja.
"Kalau gitu makasih dulu dong sama Mama"
"Makasih, Ma"
-Tahubulat-
Mobil Andini berhenti didepan rumah, Letta turun untuk membukakan gerbang. Pembantu yang bekerja dirumah Andini kemarin mengundurkan diri, katanya dia ingin tinggal di desa saja. Dan membuka usaha toko sembako disana. Andini juga mendukung kegiatan yang akan dilakukan pembantunya, dan dia tidak akan mencari pengganti lagi.
Letta menyipitkan mata saat menatap jajaran motor yang terparkir disamping motor abang nya.
"Temen-temen bang Ge kerumah ya?" gumam gadis itu, bertanya pada diri sendiri.
Andini memasukan mobilnya, tak lama wanita itu turun. Letta juga sudah menutup kembali gerbang rumahnya. "Temennya bang Ge ya, Ma?" tanya Letta.
Andini mengangguk, "Iya, tadi katanya Vero sama Alfa mau main ke rumah"
"Alfa?"
"Iya, Mama juga belum kenalan. Setahu Mama, teman Gevit ya cuma Leo sama Vero aja" mereka melanjutkan obrolan seraya berjalan memasuki rumah. Di ruang tengah sepi, itu artinya mereka ada di kamar Gevit.
"Kamu naik gih, mandi, terus turun. Kita makan bareng"
"Iya, Ma"
Letta menuruti perintah sang Mama, dia naik menuju kamarnya. Tapi langkah kaki Letta terhenti saat melihat pintu kamar gadis itu sedikit terbuka, perasaan tadi Letta sudah menutupnya. s**l, ini pasti ulah Gevit yang masuk ke dalam kamarnya sembarangan.
Gadis itu membuka kasar kamarnya, "Abang!" teriak Letta, netra nya menyapu, kamarnya masih tetap sama. Tidak ada barang-barang yang berantakan ataupun berpindah tempat.
Pintu kamar mandi Letta terbuka, cowok jangkung yang tengah mengenakan kaos hitam berlengan panjang keluar dari sana. Cowok itu kaget saat mendapati Letta berdiri tak jauh darinya. "Maaf, maaf, gue.. gue tad--"
"Kak Alfa ngapain disini?" netra Letta masih belum bisa lepas dari wajah tampan Alfa. Dia memang terkejut, tapi wajah cowok itu benar-benar menyita perhatian Letta.
Hidung yang mancung, kulit putih, netra almond juga senyum yang lebar dan manis menunjukan deretan giginya yang rapi. Letta begitu mengagumi sosok Alfa. Dan beruntungnya, dia bisa dekat dengan cowok itu.
"Sori ya, Ta. Gevit suruh gue pake kamar mandi lo, soalnya dia lagi pup di kamar mandinya sendiri"
"Emang dasar, padahal kamar tamu kan ada" dumel Letta kesal kepada Gevit. Tapi gadis itu buru-buru mengubah raut wajahnya menjadi seperti semula. Dia menatap Alfa, lantas tersenyum. "Udah selesai kan? Kakak boleh keluar, nggak enak dikamar berduaan kayak gini"
"Sori ya"
"Iya, nggak papa"
Alfa berjalan keluar dengan tak enak hati.
-Tahubulat-
Andini sekarang tau, bahwa Alfarel Benjamin ini lah yang kemarin sempat mengantarkan Letta pulang ke rumah. Dan bisa jadi, cowok itu juga yang akhir-akhir ini menjadi alasan Letta cengar-cengir tidak jelas saat menatap layar ponsel.
"Oh, jadi Alfa anak pindahan dari Jakarta?" tanya Andini, wanita itu duduk di kursi kepala. Di samping kanan ada Letta dan Gevit, sementara di samping kiri ada Vero dan Alfa.
"Iya, Tan. Baru kemarin"
"Kenapa pindah?"
"Pengen suasana baru aja, Tan. Tiga bulan yang lalu Mama saya meninggal,"
Semua mata langsung tertuju pada Alfa, tapi cowok itu hanya menanggapinya dengan senyuman. Untung saja, raut mereka tidak menampilkan rasa kasihan, melainkan pengertian. "Dan Papa, ajak saya pindah ke Bandung."
"Maaf, ya. Tante nggak tau"
"Nggak papa kok, Tan"
"Vero sendiri gimana kabarnya? Udah lama nggak main kesini"
Vero yang sedari tadi diam menyimak kini tersenyum hangat ke arah Andini. "Baik kok, Tan. Kemarin Mama juga sempet pulang kerumah, ya meski cuma sebentar setelah itu pergi lagi" cowok itu mencoba tersenyum meski senyumnya dipaksakan.
Kehidupan Vero tak jauh beda dengan Leo, bedanya Leo masih punya orang tua lengkap sementara dirinya tidak. Papa dan mamanya cerai setahun yang lalu, dan itu menjadi tahun terburuk Vero. Tapi berkat Leo dan Gevit yang selalu ada di sampingnya, Vero mencoba mengerti dan dia bisa berdiri sampai saat ini.
"Mama Vero pasti sibuk banget, ya?" Andini mengupas kulit jeruk. Dia tidak membeli nasi padang karena sudah kenyang, jadi Andini hanya makan buah saja."Tapi kesibukan Mama Vero itu tujuannya baik. Nggak pengen Vero merasa kurang materi dan selalu tercukupi"
"Mungkin. Tapi seharusnya Mama tau kalo aku juga butuh kasih sayang, semenjak cerai sama papa, mama jadi makin sibuk, tan."
"Vero bisa ngomong baik-baik ke Mama, minta pengertian Mama. Kalo Mama nggak bisa kasih pengertian ke Vero, ya, Vero yang harus mengerti. Paham, 'kan?"
Cowok itu mengangguk, lantas melanjutkan makan.
Teman-teman Gevit selalu suka dengan cara Andini memberi perhatian dan nasihat meski mereka bukan anak kandung Andini. Setiap Leo atau Vero merasa rindu pada orang tua, mereka datang pada Andini. Meminta sedikit perhatian dari wanita itu. Andini pun dengan senang hati memberikannya tanpa meminta imbalan apapun.
"Gimana kondisi Leo?" Andini kembali membuka suara, dari tadi dia belum bertanya soal Leo.
"Baik-baik aja, Ma. Leo kesodok gitu doang mah, nggak akan kerasa Ma. Cuma demi membolos sekolah, dia minta nginep dirumah sakit." Jawab Gevit santai.
Andini terkekeh. "Ada-ada tuh anak kelakuannya"
"Ih, abang. Gue juga mau jenguk kak Leo lagi" Letta menyela dengan nada manja.
"Gue anter" Vero juga Alfa menjawab secara bersamaan. Mereka saling bertatapan, sementara Letta menatap dua cowok yang ada di depannya dengan bingung.
Gadis itu tersenyum manis sekali, "Gue sama bang Ge aja, punya abang nggak boleh dianggurin gitu aja, 'kan? Harus di manfaatkan dan di porotin" jawab Letta bercanda.
"Kam-"
"Gevit." tegur Mama Ana membuat Gevit tidak jadi mengumpat.
Andini paham, dia paham sekali kalau dua cowok itu tertarik dengan anak gadisnya. Mereka berdua anak-anak yang baik, dan Andini tidak akan memihak pada siapapun. "Besok aja pulang sekolah, kita kerumah Leo" kata Gevit akhirnya.
Mereka menyelesaikan makan malam, dan setelah itu Vero juga Alfa memutuskan untuk langsung pulang.
"Hati-hati, kak" kata Letta untuk Vero juga Alfa.
Vero menatap Alfa dengan tatapan yang sulit untuk dideskripsikan, sementara Alfa hanya menanggapinya santai. Motor mereka akhirnya melaju, Alfa keluar dari perumahan lebih dulu, tak lama disusul Vero. Awalnya memang tidak ada yang aneh, tapi saat sampai di jalanan yang sepi, tiba-tiba saja Vero menyalip Alfa dan menghadang cowok itu.
Alfa reflek mengerem motornya hingga berhenti secara mendadak. "Lo ngapain?" tanya Alfa penasaran sekaligus bingung.
"Turun lo!"
Melepas helm, Alfa turun dari motornya, dan dengan gerakan cepat Vero menyerang Alfa. Tapi gerakan Vero agaknya terbaca membuat Alfa langsung menghindar sebelum bogem mentah Vero mendarat di wajahnya.
"Woi! Vero! Lo kenapa sih?!" Teriak Alfa tak paham.
"Nggak usah pura-pura lo!" teriak Vero penuh emosi. Jalanan yang sepi serta hanya ada satu lampu membuat penerangan disana terbatas. Vero harus menyelesaikan nya sekarang, peringatan Gevit saat itu agaknya tidak main-main.
"Gue nggak paham lo kenapa b*****t!"
Dug!
Tubuh Alfa terpelanting ke jalanan, cowok itu memegangi perutnya yang menjadi sasaran tinju Vero. "Berhenti deketin Letta kalo niat lo lebih dari sekedar temenan sama dia." Vero to the point, mungkin benar kalau Alfa tidak tau dia menyukai Letta.