Tribun SMA Arwana penuh dengan suara sorakan dan yel-yel yang menggema. Tim cheers dari SMA Arwana masuk, mereka menyapa para penonton yang 50% dari SMA Bintang Mulia, dan 50% lagi dari SMA Arwana sendiri. Gerakan tim Cheers SMA Arwana tidak bisa diremehkan, mereka memenangkan perlombaan tahun kemarin.
Tepuk tangan meriah diberikan, lantas tak lama kemudian pemain basket dari kedua sekolah masuk secara bersamaan melewati dua pintu yang berbeda. Para pemain melambaikan tangan mereka seraya tersenyum cerah untuk menyapa supporter yang sudah hadir untuk menonton pertandingan mereka.
Tepuk tangan kembali mengudara.
Sebelum memulai pertandingan, semua pemain dan juga wasit berkumpul di tengah lapangan untuk saling berjabat tangan, setelah itu mereka saling berangkulan untuk mengabadikan momen. Juru kamera dengan sigap memotret mereka untuk dijadikan kenang-kenangan.
Permainan langsung dimulai beberapa saat kemudian.
"Gevit! Gevit! Gevit!" penonton dari SMA Bintang Mulia mulai meneriakan nama pemain andalan mereka.
"Ardo! Ardo! Ardo!" Dari SMA Arwana juga tidak ingin kalah, mereka balas meneriakkan nama pemain andalan mereka.
Ardo sudah lama berkecimpung didunia basket, bahkan dia sering dikirim untuk berpartisipasi ke pertandingan-pertandingan diluar kota. Kemampuannya tak perlu diragukan lagi. Wajah? Tentu dia juga tampan dengan tinggi 185 cm, hidungnya yang mancung dan matanya yang sipit membuat Ardo nampak bersinar saat dilapangan.
Posisi pemain SMA Bintang Mulia:
-Point Guard dipegang oleh Thomas, dia yang paling lincah di klub basket.
-Shooting Guard dipegang oleh Leo, cowok itu bisa diandalkan untuk menembak dari jarak jauh.
-Small Guard dipegang oleh Vero, dia yang paling sering mencetak angka dan menguasai teknik-tekniknya.
-Power Forward dipegang oleh Ron, dia yang punya badan bongsor dan paling bisa diandalkan untuk melakukan rebound.
-Sementara Center, dipegang oleh Gevit. Tugasnya memasukan bola ke dalam ring dari jarak dekat.
Thomas mendrible bola beberapa saat sebelum di oper ke Leo. Leo membawa bola, tapi karena posisinya terhimpit, akhirnya dia mengopernya kembali ke Thomas. Kali ini Thomas memutar tubuhnya melewati ketiak lawannya, dia langsung mengoper si bulat ke arah Vero, karena penyerangnya dengan cepat bergerak ke arah dia, Vero tak mau mengambil resiko, dia segera melempar si bulat ke arah Gevit dan cowok itu melompat setinggi mungkin seraya mem-forward bola ke ring.
"Shoot!"
Bola masuk, tim Gevit mencetak angka pertama.
Tim Ardo kecolongan, permainan kembali di mulai, kali ini SMA Arwana lebih ganas menyerang. Memang sih temanya pertandingan persahabatan, tapi kalau sudah dilapangan, mereka merasa punya hak untuk menang. Dan perasaan itulah yang dialami oleh Aren, cowok blasteran dari SMA Arwana. Sangking ingin nya dia mencetak angka, sampai tak mempedulikan gerakannya yang asal-asalan.
Bahkan saat Ardo berteriak-teriak, diabaikan oleh Aren. "Aren! Lempar bolanya!!" Aren tak menanggapi, dia terus menyelinap menerjang ke daerah lawan tanpa mengoper bola. Sampai saat Leo menghadang, dan Aren hendak berkelit, sikunya tak sengaja menghantam mata Leo membuat cowok itu langsung berteriak kesakitan.
"AARRGGHHH!!"
Leo berjongkok, dia merasakan sesuatu yang basah merembes, darah bercampur air mata.
Priittttt!!!!
Pertandingan dihentikan, Gevit langsung berlari mendekati Leo, juga tim medis yang bergerak dengan cepat. Mereka langsung membawa Leo ke UKS, tak lupa menelpon ambulance karena lukanya mungkin cukup serius.
Ardo mencekram kerah Aren, dia berteriak marah bahkan memaki-maki cowok blasteran tersebut karena egois. "Lo sadar nggak sih ini basket! Lo nggak bisa maju sendiri! Kita saling mengandalkan! Apa sih yang ada di otak lo!"
Gevit mendekat, dia melerai Ardo dan Aren. "Udah, Do. Ambisi dalam sebuah pertandingan itu wajar."
"Sori" ucap Ardo merasa bersalah. "Padahal ini cuma pertandingan persahabatan"
Gevit mengangguk penuh pengertian.
Akhirnya, Leo mendapatkan pengganti dan permainan kembali dilanjutkan.
-Tahubulat-
Pertandingan dimenangkan oleh SMA Arwana, SMA Bintang Mulia menerima kekalahan dengan lapang d**a. Mereka tak terlalu mempermasalahkan tentang itu. Thomas dan Ron serta kedua cadangan langsung pulang, mereka akan menjenguk Leo esok harinya karena hari ini sudah lelah.
Kini tinggal lah Gevit dan Vero yang masih ada lapangan, mereka mengguyurkan sebotol air dingin ke wajah juga rambutnya
"Udah lo duluan sana"
"Lo duluan ih, gue malu"
"Lo--"
"Kalian ngapain?" tanya Vero saat dua cewek mendekat ke arah mereka. Salah satu dari mereka langsung menyelipkan rambutnya ke belakang telinga karena gugup.
"Anu, ini kak, mau kasih minum buat kakak"
"Sama kak Gevit juga" tambah salah satu dari mereka.
Gevit dan Vero saling melempar tatapan geli ke arah dua gadis itu, lantas tersenyum tipis. Mereka menerimanya dengan senang hati. "Thanks ya"
"I-iya kak"
Setelah memberikan air minum tersebut, mereka berdua langsung kabur. Padahal, Gevit dan Vero, bukan monster yang harus ditakuti.
"Mendingan lo balik aja, Ge. Biar gue yang ke rumah sakit" celetuk Vero seraya menenteng tas serta jaketnya. Gevit menggeleng, "Nggak, kita berdua ke rumah sakit. Lagipula, gue juga khawatir sama Leo"
Baru saja ucapan Gevit selesai, ponselnya bergetar. Ada nama Mama terpampang disana, Gevit meminta Vero untuk meninggalkannya, sementara dia akan mengangkat telepon dulu. "Gevit, kamu dimana? Bisa jemput Mama nggak?"
"Gevit selesai tanding, Ma"
"Yaah, gimana dong. Yaudah deh, Mama naik taksi aja--"
"Eh, jangan-jangan. Biar Gevit pulang dulu ambil mobil terus jemput Mama" bagi Gevit, tak ada yang lebih penting dibanding Mama nya, dan tentu saja Letta karena di dunia ini, hanya kedua perempuan itulah yang Gevit punya.
Akhirnya Andini menyetujui, dia akan menunggu Gevit menjemput. Lagipula, kalau Andini menolak Gevit pasti akan marah-marah karena terlalu berlebihan dalam mencemaskannya.
Di depan SMA Arwana sebuah taksi sudah menunggu, "Ver, gue kayaknya nggak bisa ikut ke rs, lo duluan ya. Mama minta jemput soalnya"
"Okelah, gue duluan kalo gitu. Ntar gue kabarin"
"Yep. Tiati, bruh"
"Yok"
Vero masuk ke dalam taksi menuju rumah sakit, sementara Gevit dia harus mencari taksi lain.
"Kayaknya bakal kesorean kalo gue pulang dulu, mendingan langsung jemput Mama aja sekalian" gumam Gevit yang pada akhirnya langsung menjemput sang Mama dengan taksi yang dia naiki.
-Tahubulat-
Vero menghentikan langkahnya saat mendapati Leo tidak sendiri di dalam ruangan itu, cowok itu mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, dan akhirnya masuk. Leo ditemani Alena, mereka berdua menoleh.
"Ver" panggil Leo, sebelah matanya sudah diperban. "Sendirian?"
Cowok berwajah tampan itu mengangguk. "Gevit tadi mau ikut, tapi tante Andini telepon minta dijemput" Vero menatap Alena yang matanya sembab, sepertinya gadis itu habis menangis. "Lo kenapa, Al?" tanya Vero akhirnya.
"Lo nggak lihat gue habis nangis? Pake nanya lagi" sembur Alena. Saat setelah dia mendapatkan telepon dari Leo, gadis itu langsung melesat menuju rumah sakit. Karena di layar ponselnya, mata Leo terlihat diperban dan itu membuat Alena khawatir setengah mampus.
Tanpa mandi atau berganti pakaian, Alena langsung pergi, dan disinilah dia sekarang.
"Ya.., ya.., gue mana tau anjir"
"Nggak usah ngumpat."
"Dih, galak banget sih"
Vero bergidik ngeri, bagaimana mungkin Gevit bisa menyukai gadis seperti Alena? Cowok itu mengalihkan tatapannya pada Leo yang hanya tersenyum melihat percakapan kecil antara kedua sahabatnya. Orang pertama yang Leo kabari setelah dia diberi penanganan medis adalah Alena. Lagipula, hanya nama dialah yang pertama kali muncul tadi.
"Gimana sama mata lo?"
"Udah mendingan kok, anak-anak nggak ribut, kan, sama SMA Arwana?"
"Nggak dong, seperti biasa. Gevit selalu suka jalan damai, dia kan males cari ribut. Lagipula, Aren udah kena tegur sama Ardo pasti"
"Aren juga nggak sengaja nyodok mata gue"
"Nggak sengaja apanya?! Jelas-jelas dia sengaja!" Alena tiba-tiba berteriak marah, Vero dan Leo menatap gadis itu dengan kerutan dikening. Padahal dia tidak tau jalannya pertandingan, kenapa bisa jadi seemosi itu sih?
"Ma-maksud gue.."
"Kok ngegas?" tanya Vero kepo.
"Sori, kelepasan"
Vero terkekeh menatap Alena yang salah tingkah. "Lo pasti khawatir banget sama Leo ya, Al. Sampe gak sempet ganti seragam. Dan.." Vero mengendus tubuh Alena. "Lo pasti belum mandi, asem"
Alena yang kesal langsung memukul bahu Vero. "Enak aja!" gemas gadis itu. "Tapi bener juga sih, gue belum mandi" Alena mengendus tubuhnya sendiri, baunya memang tidak terlalu kuat, tapi lumayan asem.
"Asem-asem juga tetep gemesin kok, apalagi kalo senyum" mulut buaya darat Leo menggoda Alena. Dan anehnya, gadis itu langsung bersemu merah. "Cieee salah tingkah, cieeee"
"Leo s****n!" maki Alena, dia terkekeh. "Gue pulang dulu deh kalo gitu, lagian udah ada Vero juga yang bakalan jagain lo disini"
"Lah, lo kira gue emaknya?"
Gadis itu hanya mengangkat bahu. "Gue nitip Leo, ntar malem gue kesini lagi, oke?"
Vero menatap kesal ke arah Alena, tapi Leo justru terbahak.
"Gue duluan, Le" pamit Alena ke Leo dan langsung pergi begitu saja. Vero hanya menatap punggung gadis yang mulai menjauh itu dengan gelengan kepala.
"Dasar cewek nggak jelas" gumam Vero.
"Untung banget Gevit nggak ikut kesini, bisa salah paham dia kalo sampe lihat Alena disini" komentar Leo, Vero duduk di pinggiran ranjang sahabatnya.
"Tapi kalo Gevit salah paham, bukannya wajar ya?" Vero menatap bola mata Leo yang juga tengah menatapnya. "Kalo lo emang suka sama Alena, langsung ngomong kenapa sih? Jangan mempersulit hidup lo sendiri, Yo"
Leo tersenyum tipis. "Gue sayang sama dia, cuma ya lo tau sendiri gue sayang ke dia sebagai sahabat, nggak lebih." jawab dia. "Lagipula, gue nggak mau ngerusak persahabatan kita bertiga."
"Berempat, sekarang tambah Alfa"
"Udah masuk hitungan ya dia?"
Vero hanya mengangkat bahunya, tak begitu memusingkan.
Alena menatap ujung sepatunya, saat dia keluar dia tak langsung beranjak. Gadis itu malah menguping pembicaraan Leo dan Vero, dan hasilnya, sukses membuat mood nya hancur lebur, hatinya juga ikut merasakan sakit. Alena tak ingin keberadaannya diketahui, akhirnya dia memilih untuk pergi. Kenapa friendzone bisa semenyakitkan ini?
"Ngomong-ngomong, dia nggak datang ke pertandingan kita. Memangnya dia kemana sih?" tanya Leo penasaran. "Padahal kemarin-kemarin dia semangat banget nemenin kita latihan"
"Mana gue tau"
Cowok yang tengah terbaring di bangkar rumah sakit itu membuka ponselnya, mensecroll sosial media lantaran bosan. Begitu juga dengan Vero.
"Eh, ini Letta sama Alfa? Sama anak pertukaran pelajar itu juga sih kayaknya"
Vero merampas ponsel Leo, disana memperlihatkan postingan terbaru Daniel, dia jelas kenal karena cowok itu memang dekat dengan Letta, tapi selama ini Daniel tidak pernah menggoda Letta dan Vero rasa Daniel bukan ancaman untuk dia.
Eh, apa? Ancaman?
Tapi, bukan hanya Daniel yang ada disana.
Letta berikut Alfa juga.
Hati Vero terasa nyeri, apakah dia cemburu?
Apa pertanyaan dan peringatan Gevit saat itu, karena dia sudah tau tentang kedekatan Letta serta Alfa?
"Lo nggak papa?" tanya Leo yang paham akan perubahan wajah Vero.
Cowok itu menggeleng, dia mengembalikan ponsel milik Leo. "It's okay" kata Vero singkat.
"To be not okay" lanjut Leo
-Tahubulat-
Gala mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya, pukul setengah tujuh. Dia berdiri dengan setelan kemeja berwarna biru laut, bersandar di mobil milik papa yang ia pinjam untuk menjemput sang mantan.
Netra Gala menatap sosok yang baru saja keluar dari gerbang, sosok itu mengenakan gaun selutut berwarna senada dengan kemejanya. Sumpah, Gala tidak janjian dengan Alena akan mengenakan warna senada.
"Cantik banget lo, Al" puji Gala tulus, wajah Alena yang hanya dihasi make up natural, serta rambutnya yang dikuncir setengah bagian atas membuat aura elegan gadis itu menguar. Gala membukakan pintu mobil untuk Alena.
"Thanks, Ga"
Mobil meluncur setelah keduanya ada di dalam. "Gue nggak bisa lama-lama ya, Ga, ada urusan soalnya"
"Ya ampun, Al. Sampe tempatnya aja belum, lo udah buru-buru aja. Emangnya mau kemana sih malem-malem gini?"
"Rumah sakit"
"Lo sakit, Al?"
"Leo, tadi cedera pas tanding basket"
Leo, Leo, Leo. Tanpa sadar Alena memang sering menceritakan banyak hal tentang Leo didepan Gala. Dan selama ini Gala memang tidak pernah mengambil pusing selagi itu membuat Alena senang. Tapi, tidak bisakah sekali saja Alena tidak mengikutsertakan nama itu dalam setiap pembicaraannya?
"Lo suka sama Leo, Al?"
"Suka, dia sahabat gue" jawab Alena singkat dan jelas.
"Oh"
Gala tak menanggapi lebih jauh, toh sekarang dia bukan siapa-siapa bagi Alena dan tidak etis saat mengorek lebih jauh informasi kepada orang yang jelas-jelas sudah tak terikat denganmu lagi. Mobil mereka terus melenggang, menerobos gelapnya malam tanpa lintang. Hanya lampu penerangan juga lampu kendaraan-kendaraan lain yang bisa menjadi teman senyap keduanya.
Tibalah mereka di hotel tempat makan malam kali ini. Gala dengan gentle membukakan pintu mobil Alena, bahkan cowok itu memakaikan jas nya pada tubuh Alena karena dress yang gadis itu kenakan begitu terbuka atasannya.
Mengekspos tulang selangka yang begitu cantik serta leher jenjang milik gadis berusia 18 tahun itu. "Kita masuk?"
Alena mengangguk, tidak ada kegugupan sama sekali karena dia memang sering diajak makan malam seperti ini oleh keluarga Gala selama setahun terakhir. Setelah masuk ke ruangan, Alena disambut oleh Freya dengan senyum lebar.
"Calon menantu tante udah dateng, cantik banget" Freya memeluk Alena.
"Tante, apa kabar?"
"Baik kok sayang. Kamu sendiri kelihatannya juga baik, udah jarang main kerumah sekarang"
"Ma, biarin Alena duduk dulu" Gala menyela, Freya tersenyum lagi, lantas membiarkan Alena duduk. Mereka kembali melanjutkan obrolan. Disana ada Gala, Freya dan Toni, serta nenek mereka Emma. Acara makan malam lancar seperti biasanya.
"Tante, Om, Nenek" panggil Alena, setelah makan malam mereka selesai.
"Ada apa sayang?" kali ini Freya yang pertama kali menanggapi.
Alena tiba-tiba saja diserang rasa gugup. "Ada yang pengen Alena bicarakan sama kalian" Alena menjeda ucapannya. "Alena sama Gala, kita berdua sudah memutuskan buat berhenti. Maksudnya, Alena sama Gala putus"