Skalla-30

2057 Words
Kata mbak Nana, kenapa sih perempuan harus disuruh memilih, kalau kita bisa mendapatkan keduanya? Alena memikirkan arti kata-lata itu sambil menekuri kacang kulitnya, dia bahkan hanya menatap kosong ke arah layar yang tengah memutar film WandaVision. Biasanya dia sangat antusias ketika menonton film garapan Marvel Cinematic Universe tersebut, tapi kali ini, Alena benar-benar tidak mood.  Apakah dia harus mendatangi Najwa Shihab untuk bertanya tentang hal ini? Kalau konteksnya tentang cowok, apakah dia masih bisa menggunakan kalimat itu sebagai alibi untuk mendapatkan Leo dan Gevit? Awalnya sederhana saja, setelah hukuman selesai Alena akan putus dengan Gevit lalu kembali dekat dengan Leo. Tapi sekarang semuanya berubah. Pikirannya tersita pada ucapan Leo malam itu. “Ini gila!” Alena yang tengah klesotan di lantai kini seperti orang kejang karena saking frustasinya. “Ngapain sih dia nyatain perasaan di waktu yang salah?” seharusnya, Alena senang bukan karena selama ini perasaan ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi kenapa sekarang hatinya jadi gundah gulana seperti ini. Seandainya Leo mengatakan hal itu saat dia sudah putus dengan Gevit nanti, maka dia akan menerimanya dengan senang hati. Menyatakan-Jadian-beres. Andai sesederhana itu. Tapi sekarang semuanya tidak sesederhana yang Alena pikirkan. Dia menyukai dua orang sekaligus dalam satu waktu?  Gini, Alena menyukai Leo sejak lama dan perasaan itu sudah berkali-kali dikatakan. Sikap, pemikiran, hobi, dan segala yang ada pada Leo membuat Alena merasa nyaman dan nyambung. Mereka punya pandangan hidup yang sama, dan itu membuat Alena yakin jika dia bersama Leo maka segalanya akan jauh lebih menyenangkan dan stabil. Lalu tiba-tiba, Gevit datang. Cowok yang dulu pernah ia tolak kehadirannya kini perlahan mulai mengisi ruang yang tidak bisa Leo jelajahi. Kalau seorang gadis punya tipe ideal itu wajar kan? Nah, setelah di rasa-rasa, Alena merasa visual Gevit adalah tipe idealnya banget. Bukan hanya itu, Gevit yang dewasa dan penuh perhatian membuat Alena merasa di treat seperti tuan putri. Dari hal-hal kecil yang ia lakukan bersama Gevit akhir-akhir ini, akhirnya menimbulkan perasaan aneh itu, perasaan yang juga ia rasakan pada Leo. “Stop, Al! Percaya deh lo gila!!!” Alena menekuk lutut nya, dia menopang dua lengannya disana dan menenggelamkan wajah pada lipatan tangan. Saat merasakan nyeri yang ada di pergelangan tangannya, Alena mendongak kembali. Ditatapnya luka-luka sayatan yang memenuhi pergelangan tangannya.  “Sejak kapan gue punya hobi kayak gini?” Jemari Alena bergerak mendekati bekas sayatan yang sudah mengering, dengan begitu gemasnya dia mulai menggaruk-garuk bekas itu hingga luka yang sudah mengering kembali basah. Alena tersenyum saat  melihat darah yang kembali muncul, “Sshhh” ringisan pelan itu tak di hiraukan, Alena kembali menyobek bekas luka-luka keringnya. Setidaknya, rasa sakit itu bisa mengalihkan pikiran nya tentang Leo dan Gevit. “Pada akhirnya gue nggak bisa lepasin Gevit…” gumam Alena, berbicara pada luka-luka itu, seakan mereka punya nyawa dan seorang teman yang bisa diajak bicara. “Tapi gue juga gak bisa mengabaikan perasaan Leo begitu aja” lanjutnya, sementara jemarinya masih sibuk bermain dengan luka-luka itu.  “Jadi gue harus gimana?” Jika sofa bisa bicara dia pasti akan memaki Alena, jika remote bisa bergerak sendiri maka dia akan memukul kepala Alena, atau bahkan jika lantainya bisa bergoyang maka dia akan membuat Alena sadar bahwa keputusan untuk memiliki keduanya adalah keputusan paling g****k yang pernah Alena pilih. “Kayaknya si Leo nggak masalah kalo gue ajak selingkuh. Lagian, Gevit kan udah bulol banget sama gue, sabi lah gue pacari dua-duanya” bibir Alena mengkurva indah, tapi apa yang sebenarnya dia rasakan tak seindah senyuman itu. Ketukan di pintu membuat Alena menyudahi kegiatannya, dia kembali menarik baju lengan panjangnya dan berjalan keluar rumah. Sepertinya itu Gevit, karena akhir-akhir ini hanya dia yang rutin berkunjung ke rumahnya. Alena mengembangkan senyum semanis mungkin untuk menyambut sang kekasih, saat pintu terbuka, senyum Alena hilang. Bukan Gevit yang ada di depannya melainkan Aurin.  “Mau ngapain lo kesini?” tanya Alena dengan sorot enyah-saja-kau-dari-sini-b***h.  “Harus banget punya alasan buat main ke rumah sendiri?” “Ini rumah papa bukan rumah lo!” Aurin melipat kedua tangan didepan d**a. Menatap Alena dengan tatapan tak bersahabat seperti biasanya. “Kalo lo lupa, papa lo papa gue juga, Al.” Tatapan Aurin turun ke lengan Alena, ada bercak merah disana. “Itu saos apaan?” Alena mengikuti arah pandang Aurin yang jatuh pada lengannya. Alena segera menyembunyikan lengan itu di belakang tubuhnya. “Bukan urusan lo, btw” “Cih” Aurin merotasikan bola matanya. “Gue mau ketemu sama papa” “Bukannya lo udah punya mama? Seharusnya cukup kan? Buat apa mau ketemu papa segala?” Alena iri. Aurin diperlakukan baik oleh mama dan papa nya, sementara dia hanya diperlakukan baik oleh papa nya saja. “Minggir ah!” usir Aurin yang malas berdebat dengan Alena. Gadis itu menerobos masuk dan langsung berlari ke lantai atas tempat dimana letak kamar papa nya berada. Alena hanya menunggu di bawah anak tangga. “Pa, ini Aurin. Papa?” Aurin mengetuk pintu itu seraya memanggil nama papa nya. Tapi tak ada respon apapun. “Papa nggak ada di rumah b**o! Turun lo!” Huufttt… Aurin menghela nafas. Dia melangkahkan kaki turun kebawah dengan gontai seperti tak punya tenaga. “Papa dimana?” “Kalo gue kasih tau emangnya lo mau susul?” “Kalo bisa kenapa nggak?” Alena bungkam, sorot mata Aurin meredup, seakan dia punya beban yang begitu berat. Padahal, apa sih kurangnya hidup Aurin? Tidak ada kan? “Papa dimana?” ulang Aurin bertanya pada saudaranya. “....Semarang.” jawab Alena jujur. “Papa ada kerjaan disana, rabu mungkin baru pulang” “Gue balik dulu” pamit Aurin yang langsung melangkah keluar begitu saja. Dia tidak bohong soal menyusul Riswan. Siang itu juga, di bawah teriknya sinar matahari, Aurin duduk di jok ojek online yang akan mengantarkannya ke stasiun.  Sejauh apapun Aurin melangkah, tetap Riswan adalah peraduan terbaik baginya. Setelah perjalanan yang cukup membuatnya kepanasan ia arungi, kini Aurin tiba di Stasiun Hall. Menyelesaikan pembelian tiketnya, Aurin duduk di kursi tunggu. Banyak orang berlalu lalang, tapi dia tak peduli, pikirannya melayang entah kemana. “Maaf mba, boleh geser?” Aurin tersadar dan spontan menggeser tubuhnya. Membiarkan ibu-ibu hamil duduk di sampingnya.  “Terima kasih” Aurin hanya mengangguk seraya tersenyum. It’s not always the tear that measures the pain. Sometimes it’s the smile we fake. Ponsel Aurin bergetar, nama Riswan terpampang disana. Segera gadis itu menggeser tombolnya dan menempelkan pada telinganya. “Iya, Pa?” “Kamu mau susul papa?” “Iya,..” jawab Aurin lemah. “Aurin takut, Pa” Terdengar helaan nafas panjang di seberang telepon. “Yasudah, nanti kalo udah sampai di Semarang kabari papa ya?” “Iya, Pa” “Hati-hati” “Daah, Pa” -Tahubulat- “Abang!” Bahu Gevit merosot saat Letta tiba-tiba nemplok di lengannya seperti cicak coklat yang gemuk, sayangnya cicak kalau nemplok, kan, tubuhnya lurus dan diam anteng, nah ini Letta udah nemplok pakai segala loncat-loncat seperti cacing kepanasan. “Ikuttttt..!!” rengeknya seperti bayi. “Lepasin nggak?!” Gevit masih coba melepaskan cekelan tangan Letta. “Ini kita mau kumpul berempat doang, lo mau ngapain kalo ikut emangnya?”  “Ya kan gue mau ketemu kak Alfa!” Aletta menyentakkan tangannya, menatap Gevit dengan tajam, bibirnya menekuk cemberut. “Gara-gara lo gue gak bisa malam mingguan sama dia!” “Yee, lo kan udah tiap malem minggu keluar sama dia. Lagian jangan posesif kenapa sih? Heran deh gue” “Siapa yang posesif??” “Elo lah, masa gue”  Gevit berjongkok, mulai mengikat tali sepatunya. Lalu tak lama dia berdiri lagi seraya menatap Letta yang berubah jadi pendiam. “Kenapa lo?” “Gapapa” “Mau nangis??” Kan, benar. Mata Letta mulai berair, gadis itu mengerjap lucu ke arah Gevit. Dengan sekali tarik tubuh adiknya sudah berada dalam pelukannya. Gevit mengecup singkat rambut Letta. “Pacaran boleh, Ta. Tapi jangan kayak gini, okay? Alfa juga gak akan suka kalo lo posesifin gini” “Tapi kan…” “Besok kan bisa ketemunya” Letta menghela nafas, “Okay” Pelukan mereka terlepas. “Kalo Alfa lirik cewek lain tabok aja bang” “Iya-iyaaa” Gevit menangkup wajah adiknya. “Kalo gitu gue duluan” “Hati-hati..” Letta menatap kepergian Gevit sampai menghilang di balik pintu. Gadis itu memutar tubuh… “AAAAAA!!” “Ta, ini Mama!” Jeritan Letta seketika terhenti, dari sela jarinya dia menatap Andini yang berdiri didepannya. Wanita itu tengah memakai masker beras yang dicampur s**u dan madu. Jadi warnanya putih seperti setan! “Mama ngapain sih, ah! Ngangetin aja” “Lah kamu yang kaget masa mama yang di salahin” “Ah gatau ah, mama ngeselin” Beranjak dari tempatnya, Letta menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Andini hanya bisa menggelengkan kepala di tempatnya. “Mabok micin apa ya tuh anak” -Tahubulat- Tepatnya di salah satu tempat nongkrong popular yang ada di daftar ‘Tempat nongkrong hits Bandung 2021’ yang sumbernya dari google, keempat orang itu tiba di parkiran yang tidak terlalu luas tersebut. Karena malam minggu, tempat nongkrongnya jadi ramai. Leo tidak bisa memasukan mobilnya, akhirnya dia hanya memarkirkannya di pinggir jalan. Keluar dari mobil, semua mata langsung tertuju pada mereka. Vero: Si fashionable, memakai kaos putih lengan panjang, celana hitam, kaca mata bening yang sebenarnya sangat simple. Tapi pas keluar dia menyugar rambutnya yang diterbangkan angin, jadi kalau dia lihat pasti hshshs banget. Mana rahangnya itu loh, duh pengen banget ngelus setidaknya sekali. Leo: Kemeja hitam dengan satu kancing atas yang terbuka, kedua lengan nya di gulung, slingbag menggantung di salah satu bahunya, kedua tangan masuk ke dalam saku menambah aura boyfriend material nya naik berkali-kali lipat. Membuat para gadis mendadak ingin jomblo, dan yang jomblo ingin menggandeng lengan yang pastinya kokoh banget itu. Gevit: Kaos putih bergambar kuda catur yang dimasukan ke dalam celana hitam, outer kotak-kotak yang seharusnya terpasang malah disampirkan ke bahu, dia yang paling santai disini dalam berpakaian. Rambut yang biasa di sisir rapi kini malah berponi acak-acakan. Tapi tetap saja, Gevit terlihat seperti pangeran. Alfa: Simple aja, dia hanya memakai baju panjang garis-garis, jeans hitam dan jam tangan bermerk yang melingkar di pergelangan tangannya. Rambut cowok itu terangkat saat di terpa angin. Itulah empat cowok yang berhasil menyita perhatian pengunjung disana. “Gila, punggung gue rasanya bolong-bolong di tatap sama banyak orang.” “Mbak barista nya aja melongo pas lo masuk” Leo menggeser tubuh Vero yang tadi mengeluhkan tentang punggung bolong-bolong. “Berasa artis kalian?” kali ini Alfa ikut terkekeh. “Artis kawakan dari bojong gede”  Mereka tertawa, padahal baru saja sampai.  “Rame juga ya tempatnya” Alfa menoleh ke kanan dan kiri, “katanya ada live musiknya juga sih” Live musik yang mereka pikir adalah live musik seperti di tempat tongkrongan pada umumnya. Nyatanya… tidak. Sekitar pukul 9 malam, penyanyi dan segenap grup band nya masuk. Mereka menyambut pengunjung dengan suka cita. Saat memperkenalkan diri, para penonton jadi tau kalau nama grup band itu adalah The Hope. Lalu seorang gadis yang menjabat sebagai vokalis hanya memperkenalkan namanya saja. Setelah itu, dia bertanya lagu apa yang ingin para pengunjung dengarkan pertama kali untuk malam ini. “LINGSIR WENGI!” Teriak Leo seperti biasa, cablak. Suaranya yang seantero bumi beserta galaksinya membuat orang-orang yang ada di sana tertawa.  “Maaf mas, saya nggak bisa lagu lingsir wengi. Tapi mbak-mbak yang duduk di samping mas-nya mungkin bisa” Goda si Vokalis yang punya senyum semanis madu, Leo bukannya takut malah ngakak.  Saat musik mulai dimainkan, para pengunjuk beranjak mendekat dan berdiri di depan penyanyinya. Tidak sampai dekat karena grup band itu ada di panggung setinggi tulang kering manusia.   “Gue harus ikut dugem halal nih” Leo bersemangat pergi ke sana di susul Alfa dan Vero. Malam ini mereka ingin bersenang-senang tanpa memikirkan apapun. Tapi agaknya ada satu manusia yang masih terdiam di tempatnya. Manusia yang bukannya bersenang-senang malah sibuk menggali memorinya, menyelami ingatannya dan mengobrak abrik hatinya sendiri. Dia kenal, mungkin sangat mengenal siapa gadis yang tengah memegang mic di depan itu. Gadis berambut panjang yang mengenakan dress hitam selutut, riasan make up yang sempurna, sesempurna suara nyanyiannya.  “Apapun akan aku lakukan demi musik, bahkan jika aku harus pergi dari rumah” Dia kembali. Sosok nya kembali hadir di hidup Gevit. Satu pertanyaan muncul. “Apa dia masih mengingat gue sebagai anak kecil yang sering menangis di depannya?” Ivy Zenovia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD