Skalla-31

2395 Words
Ivy Zenovia. Nama itu seperti di ukir menggunakan tinta permanen, tidak akan pernah bisa dihapus hanya dengan air biasa. Apalagi sang pemilik tempat ukiran tidak pernah ingin menghapus nama seindah itu dari hati atau bahkan dari ingatannya. Semua tentang Ivy adalah kebahagiaannya, dan dia selalu mengharapkan sosok Ivy hadir dalam hidupnya.  Perangkat pemutar musik kembali memutar lagu-lagu lama yang terdengar sangat klasik, pengisi acara yang sejak dua jam yang lalu menemani kini telah pergi. Para pengunjung tempat itu kembali ke kursi masing-masing, melanjutkan topik yang sempat tertunda karena sibuk berjoget bersama sang penyanyi yang punya cita-cita menjadi seorang musisi terkenal. Kepala Leo menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok yang telah lenyap dari tempat semula mereka berada. “Loh, mana Gevit?” tanya dia dengan raut kebingungan. Saking asyiknya berjoget di depan membuatnya melupakan keberadaan salah satu sahabatnya.  “Ke toilet kali” kali ini Vero yang menjawab, dia duduk seraya mengecek ponsel yang sepi karena tidak ada notifikasi selain dari operator kartu yang dipasang di ponselnya. Memilih untuk melupakan Gevit, ketiganya menyambung obrolan dengan topik yang berbeda. Tentang betapa cantik dan merdu nya suara penyanyi tadi. “Kalo dia ikut audisi menyanyi, kayaknya bakalan langsung lolos tanpa seleksi deh” celetuk Alfa seraya memasukan makanan ke dalam mulutnya. Seakan dia tau banget proses seleksi yang dilakukan oleh penyelenggara audisi.  “Nama band nya tadi apa sih? Mau follow nih, siapa tau bisa kenalan sama penyanyinya” jiwa-jiwa bujang jomblo Leo keluar, tidak apa-apa kan? Meski dia menyayangi Alena, tapi mereka kan belum jadian. Leo pernah mendengar kata-kata ini, mungkin kalian juga pernah. “Perkuat pusat, perbanyak cabang” “Halah lo mah mana punya pusat” celetuk Vero tak setuju.  “Punya dong” “Punya orang lebih tepatnya” Leo mendengus kesal. “Itu gara-gara lo ya anjing, udah mana cepetan namanya” "The Hope kalo nggak salah" Alfa yang paling waras menjawab. Leo langsung berselancar di media sosial. "Grup baru ternyata, eh, di follow ama Ivy!" seru Leo, sementara kedua orang yang tengah bersamanya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. "Widiih, cakep banget nih orang" Malam semakin larut, obrolan mereka semakin ngawur dan nama-nama binatang akan selalu ikut andil dalam setiap kalimat yang terlontar.  Di lain tempat, tepatnya di samping cafe, Gevit berdiri diam. Dia menatap lurus ke depan, pada sosok yang tengah tertawa seraya mengemasi barang-barang nya. Lagu yang tengah di putar di dalam cafe terdengar hingga di tempatnya berdiri saat ini, meski telah tumbuh dewasa, perasaan-perasaan euforia kala itu masih tersimpan rapi di lubuk sana, kembali menjadi angin segar di tengah ketidak jelasan perasaan yang ia miliki selama ini. Ivy tumbuh dengan begitu baik, dia terlihat begitu cantik dan wajahnya juga sedikit lebih dewasa. Senyum manis itu masih menjadi memori paling berharga untuk Gevit, kala dia menangis, Ivy pasti akan tersenyum untuknya, karena gadis itu tau obat paling mujarab untuk tangis Gevit adalah senyumannya. Gevit ingin mendekat, tapi seperti ada sesuatu yang menahan, kakinya bahkan tidak mau bergerak. Sudah lima belas menit dia berdiri di samping Cafe, mengabaikan dinginnya angin dan sibuk mengamati wajah Ivy. “Kalo aku udah besar nanti, boleh kan pacaran sama kamu?” Kala itu, sekitar tahun dua ribu sembilan, Gevit yang tengah bermain dengan Ivy tiba-tiba mengatakan hal itu. Sementara sebagai tanggapan, Ivy malah tertawa kencang. Saat itu, mereka masih sama-sama kecil. Ivy 3 tahun lebih tua dibanding dengan Gevit. Dan perbedaan keduanya terlihat sangat jelas. Tapi sekarang, disaat umur Ivy 21 tahun dan Gevit 18 tahun, justru wajah Gevit yang terlihat lebih dewasa dibanding dengan Ivy.  “Mbak” panggil Gevit pada salah satu pelayan yang tak sengaja lewat. “Iya, Mas?” “Mau tanya, band yang tadi tampil, sering kesini ya?” Pelayan itu tampak berpikir sebentar, sebelum akhirnya menggeleng. “Baru pertama kali ini, Mas. Itupun karena gitarisnya ponakan yang punya Cafe. Denger-denger sih band baru jadi belum sempat tampil di banyak tempat” “Oh gitu, terima kasih” “Sama-sama, Mas” Kalau band itu adalah band baru, jadi selama ini kemana Ivy pergi? Gevit baru beranjak saat mereka beranjak, dia harus bertemu dengan Ivy malam ini apapun yang terjadi karena bisa jadi setelah ini dia tidak akan pernah bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Saat tau Ivy hendak masuk ke dalam mobil, Gevit mempercepat jalannya, bahkan cowok itu setengah berlari. “Ivy!” Ivy tidak mendengar karena telinganya disumpal oleh headset. “Ivy!” panggil Gevit lagi. Salah satu teman band nya menyadari panggilan itu, dia menepuk pundak Ivy, gadis itu melepaskan headset nya. “Apa?” “Dipanggil tuh” tunjuk cowok itu dengan dagunya ke arah Gevit yang berdiri tak jauh dari sana. Ivy menoleh, dia menatap sebentar ke arah cowok yang katanya memanggilnya.  “Lo kenal sama dia, Vy?” “Enggak.” jawab Ivy singkat. “Bentar deh, gue samperin dulu siapa tau ada yang penting” “Oke, kita tungguin deh” Ivy berjalan mendekat, jantung Gevit berdetak lebih cepat. Senyumnya mengembang tanpa bisa dicegah lagi. Dia merindukan sosok Ivy Zenovia yang selama ini masih menjadi bagian termanis hidup Gevit. Mereka bertemu dulu di perumahan kumuh tempat keduanya tinggal, rumah Ivy hanya berjarak dua rumah dari kontrakan tempat dimana Gevit tinggal.  Lalu setelah lulus SD, dia pindah ke Bandung karena Andini saat itu berhasil membeli rumah dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan penghasilan yang lebih besar tentunya. “Tadi manggil aku? Ada apa?” tanya Ivy bingung. “Vy? Kamu nggak ngenalin aku?” tanya Gevit, saat dia hendak memegang bahu Ivy, gadis itu mundur selangkah. “Ivy, ini aku Gevit!” “Gevit??” Ivy mengerutkan keningnya bingung. Dia tidak bisa mengingat siapa itu Gevit, dan kenapa cowok ini bisa mengenalnya. “Aku nggak kenal, sori ya, namaku emang Ivy, tapi kayaknya kamu salah orang” Gevit menggelengkan kepala. “Nggak mungkin, kamu pasti Ivy Zenovia kan? Vy, ini aku Gevit, teman masa kecilmu.” perasaan Gevit mulai tidak enak. “Nggak mungkin kamu lupa sama aku, Vy. Kita bahkan satu SD loh dulu, pisah karena aku harus pindah rumah” “Maaf banget ya, Mas, aku benar-benar nggak inget siapa kamu. Aku permisi dulu ya” Ivy berjalan cepat kembali ke mobilnya, sementara Gevit hanya diam menatap kepergian Ivy. Tak lama mobil itu melesat keluar cafe.  Gelapnya malam semakin terasa sesak, pada puzzle yang kehilangan beberapa bagiannya, pada angin yang bersedia membelai lembut hati seseorang yang masih setia berdiri pada paving basah tapi bukan karena guyuran air hujan bulan januari.  “Apa keberadaanku nggak seberarti itu buat kamu, Vy?” Gevit seperti pemuda yang patah hati, padahal Ivy bukan siapa-siapa, dan mereka tidak terikat status apapun kecuali pertemanan yang memang sudah lama terputus. Ponsel Gevit bergetar, nama Alena disana, jemarinya menggeser tombol merah, malas untuk berbicara. Dia hanya ingin Ivy untuk saat ini, dia ingin memeluk tubuh gadis itu di tengah dinginnya malam. Lalu bercerita betapa menariknya masa kecil mereka, nostalgia ala-ala dua orang yang kembali bertemu setelah sekian lama berpisah.  Sebuah tepukan pundak menyadarkan Gevit dari lamunannya, dia menatap Leo yang tengah berdiri di sampingnya. “Nih, cewek lo” kata Leo seraya mengulurkan ponsel yang tersambung dengan Alena. Gevit menerima ponsel itu, Leo menggelengkan kepala sebelum meninggalkan Gevit. “Ge? Lo ngapain sih? Kenapa telepon gue di matiin?” “Sori, gue tadi sibuk” “Gitu ya, oke deh, gue cuma mau bilang besok jadi kan kita jalan?” Bukankah Gevit hanya perlu menjawab kata, Ya, tapi kenapa rasanya begitu berat. Apa karena kehadiran Ivy kembali menarik perasaan terdalam Gevit hingga menutupi perasaannya pada Alena? “Sori ya, Al, gue besok ada urusan, jadi lain kali aja ya” “Loh kok gitu?” “Udah dulu ya, ntar kalo udah sampe rumah gue telepon lagi” Dan pada kenyataannya, Gevit hanya menjadi pecundang yang bersembunyi pada label good boy yang sudah di sandangkan padanya sejak dua tahun yang lalu. Karena sampai Alena tertidur pukul dua dini hari, Gevit tidak menepati ucapannya untuk menelepon gadis itu kembali, entah karena lupa atau entah karena sengaja. Terlalu sibuk memikirkan Ivy membuat Gevit melupakan sosok Alena. -Tahubulat- Ivy sampai di kamar kos nya dengan tubuh lelah, seharian dia latihan untuk tampil malam hari ini. Gadis itu meraih botol minum dan meneguknya, dia mengelus tenggorokannya singkat, menatap foto dirinya yang tersenyum di dalam sebuah pigura berukuran 12x15 cm itu.  “Seandainya malam itu kamu nggak keluar, Vy” gumam nya pada diri sendiri. Lagi-lagi penyesalan itu hadir, selama berbulan-bulan, di kamar kos berukuran sedang ini dia meratapi kesalahan fatalnya yang membuat dia harus keluar dari list nama pemenang audisi menyanyi. Menjadi musisi terkenal adalah cita-cita terbesar Ivy sejak dulu. Dia tak pernah tertarik dengan apa yang ada di bangku sekolah, bukan hanya karena kedua orang tuanya tidak mampu menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi, tapi karena Ivy memang tidak tertarik. “Penyanyi Cafe juga nggak buruk-buruk amat kok” Ivy mengangkat bahunya singkat. Ponsel gadis itu bergetar, ada nama orang tuanya disana.  “Halo, Ma?” “.....” “Sebanyak itu untuk apa, Ma?” “........” “Ivy nggak punya uang sebanyak itu. Mama tau sendiri Ivy keluar dari---” “......” “Oke” Selalu seperti itu. Sampai kapan kedua orang tuanya mau mengerti kondisi Ivy, kalau dia sendiri terlampau pas-pasan hidup di Bandung. Mereka tidak pernah tau perjuangan Ivy selama di luar kota, karena yang mereka pikirkan hanyalah Ivy-sukses-punya-banyak-uang. Padahal kenyataannya tidak begitu. Dia dikeluarkan dari audisi karena ketahuan pergi ke club malam, padahal itu atas undangan teman seperjuangannya di audisi, tapi saat Ivy sampai di club tidak ada teman-temannya disana. Paginya Ivy dipanggil dan dengan sangat terpaksa dikeluarkan. Dari Jakarta, Ivy pergi ke Bandung hingga akhirnya bertemu dengan teman-teman satu band nya.  “Kalo kamu gak bisa kerja di tempat yang bagus dan punya gaji gede, lebih baik kamu menikah sama orang kaya aja, Vy. Muka mu cantik, jangan di sia-siakan” Kata-kata yang tidak akan pernah Ivy lupakan karena kata-kata itu berhasil menciptakan luka yang begitu menyakitkan untuk Ivy. Saat Ivy merebahkan tubuhnya dia mengeluh, “Sshhh” tangannya bergerak ke belakang punggung, disana ada sebuah miniatur kecil lusuh iron man. Senyum manis Ivy muncul. Dia lupa kapan tepatnya miniatur ini diberikan kepadanya. “Hei” Ivy berbicara pada miniatur itu. “Ternyata kamu inget sama aku, Ge” jemari Ivy mengelus miniatur itu dengan penuh kelembutan. Ivy ingat tentu saja pada Gevit teman masa kecilnya, teman bermain di perkampungan kumuh itu. Bahkan sebelumnya, Ivy pernah bertemu dengan Gevit di depan bioskop, Gevit tidak mengenalnya karena dia memakai masker saat itu, tapi Ivy begitu mengenali Gevit hanya dalam sekali tatap saja. Yang membuat Ivy pura-pura lupa adalah, status Gevit yang mungkin sudah memiliki pacar. Ivy yakin, Gevit pasti akan langsung lari ke arahnya dan meninggalkan pacarnya yang sekarang. Dan Ivy tidak ingin jahat, lagipula, sebelumnya Ivy sudah pernah mengikuti Gevit sampai ke rumah kok, dan dia tau dimana Gevit tinggal selama ini. Tidak jauh dari tempat kos-kosannya.  “Aku insecure, Ge. Dibanding kamu, aku nggak ada apa-apanya. Jadi lebih baik kita nggak dekat kayak dulu lagi” Ivy bangkit, meletakan miniatur itu di nangkas sebelum beranjak ke kamar mandi.  Sayangnya, wajah Gevit tidak bisa enyah dari pikiran Ivy. Bagaimana dia menatap nya dengan binar kerinduan, bagaimana Gevit menatapnya dengan penuh harap, dan bagaimana kecewanya Gevit saat dia bilang kalau dia tidak mengingat cowok itu.  “Nanti kita ketemu lagi kalo aku udah sukses, Ge, kalo aku udah cocok berdiri di samping kamu lagi.” -Tahubulat- Gevit menarik selimutnya hingga menutupi sebagian wajahnya, dia malas bangun, tidak peduli sekarang jam berapa. Gevit memilih untuk berlama-lama di dalam mimpi, karena disana dia bisa bertemu dan tertawa kembali dengan Ivy. Mungkin karena pikirannya tersita oleh gadis itu membuat Gevit sampai bermimpi tentang Ivy. Aletta menerjang masuk ke dalam kamar kakak nya, gadis itu berdecak pinggang melihat Gevit yang biasanya semangat bangun pagi kini masih bergelung dibawah selimut. “Abang” gadis itu berjalan, duduk bersila di pinggir ranjang Gevit. “Abang bangun, temenin gue ke pasar, di suruh mama belanja sayur” “Vy…” “Ish.. abaang” “Ivy aku kangen kamu..” Letta mengerutkan kening, dia merangkak mendekati wajah Gevit, sepertinya cowok itu tengah mengigau. “Ivy kamu dimana…” “Ivy siapa?” Tangan Aletta menyibak selimut itu, membuat wajah Gevit terkena secercah cahaya matahari. “Bangun woy!” Akhirnya Gevit bangun, masih berusaha mengumpulkan nyawa nya yang tercecer, Gevit  menatap wajah Letta yang tengah menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya.   “Hayo Ivy siapa? Abang selingkuh dari kak Alena ya?” “Apaan sih..” Gevit hendak menarik selimutnya lagi, tapi Letta menahannya. “Eits, jangan tidur lagi. Temenin gue ke pasar” “Males aah…” “Abaang, ini yang suruh mama loh, abang mau durhaka sama mama?” “Ck.” Akhirnya Gevit bangun, cowok itu menggaruk rambutnya. “Yaudah sana, ngapain masih disini?” “Hehe, takutnya lo tidur lagi” Aletta beranjak dari sana. “Gue tunggu dibawah, cepetan!” Menuruti keinginan Letta, akhirnya Gevit bangkit, dia tidak akan mandi sepagi ini, hanya menggosok gigi dan mencuci wajah, lalu mengganti kolor nya dengan celana training. Memakai kaos hitam dan topi hitam, Gevit keluar kamar. “Udah siap?” Letta memasukan daftar belanjaan ke tas nya lantas mengangguk. “Mama kita berangkat dulu ya!” “Iyaa, hati-hati!” Jarak dari rumah ke pasar sebenarnya tidak terlalu jauh, di dekat perumahaan mereka ada sebuah g**g sempit nah itu masuk, belok kanan lurus 500 meter lalu ada pertigaan belok kiri keluar menuju jalan raya dan lima menit kemudian sampai disana.  Setelah motornya terparkir, Gevit mengekor di belakang Letta mulai memasuki pasar untuk membeli daging ayam dan sapi.  “Bu, ada wagyu a5 nggak?” Gevit menatap Letta dengan bingung. Tumben sekali Andini membeli daging mahal itu, biasanya mama nya hanya membeli daging kualitas premium “Ada, mau beli yang itu?” “Nggak, cuma tanya aja” Letta nyengir tanpa dosa. “Kasih ayam nya tiga kilo sama daging sapinya satu kilo ya, bu” “Ta, Ta, lebar banget lubang dosa lo” Letta malah ngakak mendengar hal itu. “Biarin kenapa sih, bang. Orang cuma bercanda kok” Gevit hanya memutar bola matanya, tapi dia tak sengaja menangkap siluet seseorang yang tengah memilih sayuran. “Ivy..” tanpa pamitan ke Letta yang tengah mengobrol dengan pedagang ayam, Gevit berjalan pergi begitu saja. “Ivy!” Ivy menoleh, mampus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD