Matahari menyungsung dari timur, menampakan dirinya dengan malu-malu kepada dunia bahwa dia masih bersinar hari itu. Dia tidak murung karena tertutup awan, dia juga bergerak perlahan mengabaikan angin yang berhembus kencang pagi itu. Suhu kota Bandung pagi hari mencapai 21 derajat celcius membuat gulungan selimut tebal berwarna grey semakin erat merengkuh tubuh jangkung yang masih tergolek diatas tempat tidur.
Agaknya cahaya matahari yang menyapa pagi ini masih belum mampu mengembalikan sosok itu dari alam mimpi ke dunia nyata.
Sampai pada menit ke 20, disaat jarum jam pendek berhenti di angka 6, suara perpaduan antara sendok dan panci yang memekakan telinga terdengar oleh indera pendengarannya.
“Arghhh. Papa…” gumam bibirnya mengeluh, nyawa seseorang itu masih belum terkumpul sepenuhnya, dia masih mencoba mengumpulkan setengah nyawa yang masih tercecer entah dimana.
“Alfa! Mau bangun jam berapa kamu?!” kali ini gedoran pintu tak terelakan lagi, Alfa terbangun dari tidurnya dengan nyawa utuh. Dia tidak berani menyibak selimut tebalnya karena suhu yang begitu dingin.
Alhasil, Alfa bangun dengan tubuh yang masih terbalut selimut tebal. Dua kaki panjangnya berjalan ke arah pintu, saat daun pintu terbuka, tampaklah wajah tampan papa yang sudah rapi mengenakan kemeja berwarna biru telur asin, dipadukan dengan dasi berwarna biru gelap.
“Widih, udah rapi aja, Pa”
Anggoro berdecak pinggang, tangannya yang sedari tadi memegang sendok kini sudah beralih ke telinga anak semata wayangnya. “Aaaaa, aduh, aduh, sakit, Pa.” Alfa terkekeh kekeh menahan sakit di telinganya.
“Jam segini baru bangun, hm? Mau bolos?” tanya Anggoro tak habis pikir. Dia mengeluarkan banyak duit hanya untuk memasukan Alfa ke Bintang Mulia, mana anak itu minta masuk ke kelas unggulan pula.
“Iya, iya, ini Alfa kan udah bangun” Anggoro melepaskan jewerannya, terdapat bercak merah di telinga Alfa. Cowok bertubuh tinggi 180 cm itu menatap Anggoro dengan kesal seraya mengusap telinganya.
Netra Anggoro tercuri pada bekas robekan di sudut bibir putranya. “Habis berantem sama siapa?” todong nya langsung tanpa basa basi.
“Siapa yang berantem?” Alfa mencoba berkilah dari tatapan penuh intimidasi yang Anggoro berikan. Tapi agaknya, Anggoro tidak bisa percaya begitu saja.
Dengan sedikit kasar, Anggoro meraih dagu Alfa. Menggoyang-goyangkannya pelan. “Masih mau bohong sama, Papa?”
Alfa melepaskan diri dari Anggoro. Cowok itu menatap wajah papa nya dengan tatapan aneh. “Iya, semalam aku berantem sama temen. Awalnya aku juga nggak tau kenapa tiba-tiba dia nyerang aku. Tapi sekarang aku tau apa alasannya, Pa”
Anggoro menghela nafas, dia mungkin sedikit keras dalam mendidik Alfa. Tapi itu semua juga demi kebaikan Alfa sendiri. Apalagi, sekarang dia adalah seorang single parent. Anggoro harus menepati janjinya pada Dewi untuk mendidik Alfa hingga anak itu bisa jadi orang dimasa depan.
“Cepat mandi, papa harus berangkat ke kantor sekarang. Kamu sarapan sendiri nggak apa-apa, kan?”
Anggukan kepala diberikan. Bukankah hal semacam ini sudah biasa? Dia menghabiskan sarapan dan makan malamnya sendiri karena Anggoro lebih sering lembur dan pulang larut. Beda sekali dengan dulu saat Dewi masih hidup.
Keluarga kecil yang harmonis, Dewi adalah ibu rumah tangga yang baik, Alfa seperti biasa jadi anak berprestasi di sekolahnya, sementara Anggoro sebagai manajer perusahaan pertambangan milik teman kuliahnya. Jarang sekali ada cekcok di keluarga itu, sampai akhirnya keharmonisan mereka berakhir kala Dewi divonis menderita kanker. Dan beberapa bulan kemudian Dewi berpulang.
“Pa”
Panggil Alfa saat Anggoro sudah sampai di anak tangga. “Nanti mau ke makam mama nggak? Aku kangen sama mama”
Pria bersetelan rapi itu lagi-lagi menghela nafasnya. “Papa nggak bisa, Al. Hari ini papa lembur lagi”
“Lagi?” beo Alfa yang mendapatkan anggukan kepala dari Anggoro.
“Yaudah deh, next time aja”
Setelah itu Alfa masuk ke dalam kamarnya, lenggang, Anggoro menatap pintu kayu itu dengan tatapan tak terdefinisikan. “Maafin papa, Al” dan setelah itu, Anggoro turun ke bawah.
Di dalam kamarnya, Alfa tak membuang-buang waktu lagi. Dia bergegas mandi, tak butuh waktu lama, sepuluh menit juga cukup untuk menyelesaikan bersih diri. Alfa berdiri di depan cermin, menatap lebam yang ada di sudut bibirnya karena tonjokan yang diberikan Vero semalam.
Berhenti deketin Letta katanya.
Alfa menarik sudut bibirnya, dia terkekeh singkat. “Gerak aja belum, udah suruh berhenti.” gumamnya, lantas mengambil cukur untuk membabat habis kumisnya yang tidak seberapa tebal itu. Alfa risih kalau atas bibirnya harus ditumbuhi oleh kumis seperti ini.
-Tahubulat-
Kadang jejak akan hilang ketika kita menghapusnya dengan sengaja, atau dia akan tetap hilang ketika ada angin yang membantu untuk menghapus jejak itu. Tapi, bagaimana jika tak ada siapapun yang mau membantunya untuk menghapus jejak yang sudah lama tertinggal jauh di belakang. Atau justru, malah mereka ulang jejak tersebut agar terlihat lebih nyata, meskipun dia tau itu adalah luka.
Pagi-pagi, Bintang Mulia sudah heboh dengan berita baru. Bukan tentang Gevit atau Alena, bukan juga tentang Sarah yang lagi-lagi menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti lomba fashion show di Universitas-universitas terkenal di Indonesia.
“Jadi dia tukang bully itu?”
“Ya gusti, kasep sih, tapi tukang bully buat apa”
“Kok tega sih dia bully temen nya sendiri”
“Denger-denger dia sampai di DO dari sekolah gara-gara jadi tukang bully”
“Tukang bully nggak seharusnya masuk Bintang Mulia”
“Halah, dimana-mana mah sama aja, uang selalu menang”
Alfa tidak buta, dia juga tidak tuli. Saat dia melangkah melewati koridor, banyak pasang mata yang menatap ke arahnya, bahkan mereka tak segan-segan menunjuk dirinya seraya berbisik-bisik. Ada juga yang terang-terangan membicarakan dia dengan suara keras.
Cowok berseragam putih abu-abu itu mempercepat langkah kakinya agar bisa sampai di kelas. Tak jauh beda dari gerombolan sepanjang koridor tadi, di kelasnya, semua mata langsung tertuju padanya saat dia melangkah masuk.
“Al, bener ya lo jadi tukang bully di sekolah lama?”
Shit!
Rumor dari mana lagi itu? Alfa menderap, dia merampas asal ponsel salah satu teman sekelasnya. Di sana, tepatnya di grup chat gosip Bintang Mulia, foto, nama, identitas bahkan sampai tidak kejahatan yang bahkan belum pernah Alfa lakukan ada.
“Siapa yang kirim ini, hah?!” Jelas dia marah, itu semua fitnah. Ya tidak semua sih. Tapi mereka terlalu melebih-lebihkan. “GUE TANYA SIAPA YANG KIRIM BERITA SAMPAH INI?!!”
“Lo buta? Itu kan ada namanya di grup chat.” Vero menarik sudut bibirnya, menatap Alfa yang murka.
Netra Alfa menatap uname yang ada di w******p, hanya ada (~) tanpa keterangan apapun. “s****n! Pasti elo, kan?!” kali ini Alfa menerjang ke arah Vero. Kalau cowok itu yang menyebarkan, fiks, Vero kekanak-kanakan.
“Jangan nuduh sembarangan, cuk!” Vero mendorong tubuh Alfa yang saat itu mencengkram kerahnya. “Lo kalo nggak ada bukti mending cari bukti dulu” lanjut cowok berparas bak anime hidup itu seraya merapikan kembali seragam sekolahnya.
“Wih, apa nih rame-rame” Gevit berdiri di ambang pintu kelas, cowok itu melipat tangan didepan d**a seraya bersandar di pintu dengan kaki yang disilangkan.
“Buka grup aja, Ge”
Gevit merogoh saku celananya, dia melihat grup angkatan yang ramai membahas masalah Alfa. Gevit mengerutkan kening, lantas menatap ke seluruh penjuru kelas sebelum akhirnya berhenti tepat di titik dimana Alfa berdiri.
“Kalian percaya sama rumor yang kayak gini?” saat pertanyaan itu meluncur, seluruh kelas terdiam. Gevit membuka room chat grup kelasnya, lantas mengetikan beberapa kata disana. Semua orang menatap ponselnya masing-masing.
“Ge—“
“Apa kalo gue kirim rumor bahwa Vero simpanan tante-tante seperti itu kalian juga akan percaya?” Gevit menyela ucapan Vero. “Nggak, kan? Karena gue juga nggak punya bukti yang membenarkan hal tersebut. Sama hal nya dengan Alfa, dia bagian dari kelas ini, keluarga kita. Bukannya mencari kebenaran, kalian malah menyudutkan dia”
Cowok itu mulai berjalan ke arah bangkunya dengan santai, dia duduk disana, lantas mengeluarkan headset, malas mendengar pembicaraan kelas yang menurutnya kurang menarik. Untuk apa ada di kelas unggulan kalau pikiran mereka saja sesempit itu.
Jarum pendek akhirnya berhenti tepat di angka tujuh, disusul suara bel yang berbunyi. Seluruh siswa mulai berjalan masuk ke kelas mereka, dan yang sudah ada di kelas berjalan menuju bangku masing-masing. Alfa terpekur di tempat duduknya, siapa pelaku dibalik rumor sampah ini.
“Gue emang nggak suka lo deket-deket sama Letta, tapi bukan berarti gue mau menjatuhkan lo dari belakang kayak gini.” ucap Vero tiba-tiba, “Kenapa nggak lo coba cari tau dulu, ini semua menyangkut masa lalu lo. Dan kita semua baru kenal sama lo kemarin.”
Masuk akal, Alfa juga berpikir panjang. Siapa yang menyebarkan rumor itu. Tidak mungkin kan teman-teman barunya disini. Lantas siapa?
“Lo tau temen Letta yang namanya, Daniel?” tanya Vero, tak lama dia kembali berbicara. “Dia juga satu SMA sama lo, dia anak pertukaran pelajar. Daniel masuk di tingkat dua. Lebih masuk akal lo nuduh dia daripada nuduh gue”
Saat itu, Alfa tidak ingin memikirkan apapun. Semuanya jadi berantakan di dalam otaknya, seperti debu yang beterbangan kesana kamari, berpindah posisi, juga menambah asumsi-asumsi aneh yang membuat d**a Alfa jadi sesak.
Ingatannya pergi terlampau jauh ke masa lalu, tepat dimana dia berusia 13 tahun. Hari itu menjadi hari bahagia bagi Alfa karena dia bisa menyaksikan salah satu temannya berlumur tepung, kecap asin dan juga telur.
Meski baunya busuk, tawa Alfa tetap mengudara. Seakan yang terjadi pada temannya itu lelucon yang patut untuk di tertawakan. Dia tidak pernah melakukan pembullyan secara langsung, Alfa hanya akan menjadi penonton, dia ada diantara para pembully itu, memang.
Bahkan saat bu Nares masuk, pikiran Alfa tak kunjung berubah jernih. Justru semakin dalam dia memikirkan kejadian itu, semakin keruh pula suasana hatinya.
“Selamat pagi, anak-anak”
“Pagi buuuuu..”
“Seperti biasa, sebelum mulai kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, berdoa dimulai”
Pada saat semua penghuni kelas saling memanjatkan doa, Alfa justru bangkit, menyita atensi mereka semua. Tanpa permisi, dia berjalan keluar.
“Alfa! Mau kemana kamu?!”
Bahkan teriakan bu Nares hanya dianggap angin berlalu, Alfa tidak peduli. Dia hanya ingin mencari tau siapa sosok dibalik penyebar rumor itu, dan dia harus segera membersihkan namanya.
-Tahubulat-
“Aw! Aw! Aw! Pelan-pelan dong!”
Alena membanting gulungan kasa dengan kesal, dari tadi juga dia udah pelan-pelan. Untung-untungan dia mau membantu Leo untuk mengganti kasa yang menempel pada sebelah matanya.
“Tahan dikit kenapa sih, lebay banget!” cibir Alena, dia menyobek kain kasa dan dengan penuh kehati-hatian Alena menempelkan kasa itu ke sebelah mata Leo yang masih terpejam, lantas merekatkan nya dengan plester.
“Maacccii tuan putri” Leo mengusap kepala Alena, ada rasa hangat saat dia dan Alena menghabiskan waktu berdua seperti ini. Meski adu mulut kadang tak terelakan lagi.
“Gak usah sok manis, geli gue” Alena merapikan kotak p3k itu, lantas meletakkan nya di tempat semula sebelum akhirnya dia kembali join dengan Leo di sofa dengan setoples keripik pisang.
“Tadi di sekolah panas banget” Alena mencomot keripik pisang milik Leo. “Ada rumor kalo anak baru itu ternyata pernah jadi tukang bully di sekolah lamanya.”
Suara TV yang menampilkan berita utama tak lagi menjadi pusat perhatian Leo, cowok berwajah tampan itu menoleh ke arah Alena. “Anak baru? Alfa maksud lo?”
Alena membuka lockscreen ponselnya, dia menunjukan isi grup chat angkatan ke arah Leo. Memang sih, dari tadi pagi Leo belum sempat membuka ponselnya karena tidak ingin. Lagipula, lebih asik bermain game daripada memegang ponsel yang bahkan tidak ada satu kontak pun yang tersemat di apps chattingan nya.
“Gila, siapa yang sebar rumor kayak gini coba, kurang kerjaan banget” Leo mengembalikan ponsel Alena.
“Menurut lo rumor ini beneran nggak?”
“Mana gue tau! Lagian gue temenan sama dia juga baru kemarin, kan?” Leo kembali memasukan keripik pisang itu ke dalam mulutnya, irama kunyahan begitu pelan beriringan dengan pikirannya yang sibuk memikirkan sesuatu.
“Kasihan banget deh, baru masuk udah kena rumor kayak gini” timpal Alena lagi. Dia menyandarkan punggungnya di sofa, lantas kepalanya tergolek begitu saja di pundak Leo.
“Le” panggil gadis itu sebentar, menunggu respon Leo.
“Bantuin gue buat jauh-jauh dari Gevit dong” lanjutnya terang-terangan. Usahanya untuk membuat Gevit ilfeel dengan cara terbahak-bahak gagal. Nyatanya, Gevit malah kagum dengan Alena karena gadis itu mampu menjadi dirinya sendiri meski di depan banyak orang. Nggak munafik lah, intinya.
“Kenapa nggak lo coba dulu deket sama dia sih, Al? Lagian Gevit baik tau, dia tuh kayak nggak punya kekurangan sama sekali. Barang bagus nggak boleh di sia-siain, Al.”
Alena menghela nafas, tangannya kembali mencomot keripik pisang itu, bukan untuk dimakan melainkan untuk di letakan di depan Leo. “Seandainya lo disuruh milih antara keripik pisang sama cheese cake, lo bakalan pilih mana?”
“Keripik pisang lah, gue kan gak suka cheese cake.”
“That’s point, Leo. Lo pasti bakalan pilih sesuatu yang lo suka, meskipun dibandingkan dengan yang lebih bagus sekalipun.” perjelas Alena. “Mau sebagus apapun Gevit, gue akan tetep pilih orang yang gue suka.”
“Emang, lagi ada orang yang lo suka?”
Netra hitam legam Alena menatap wajah Leo dari jarak sedekat ini. “Lo.” dengan berani Alena mengatakan hal itu yang sontak membuat tawa Leo mengudara.
“Sa ae nih keripik singkong ngalus nya.”
Kadang, orang-orang melihat segalanya lebih mudah saat dibuat candaan. Tapi, ketika tengah membicarakan perihal perasaan, apakah hal itu juga bisa dibuat bercandaan? Apakah hati harus dibuat lelucon juga agar mudah dimengerti oleh semua orang?
“Jangan suka gue, Al. Nanti makin rumit” Di sela kekehannya, Leo mengatakan hal itu. Alena seperti merasa déjà vu, dimana dia juga mengatakan hal yang sama kepada Gevit saat itu. Meminta Gevit untuk berhenti dan jangan pernah menyukainya.
“Assalamualaikum, Aletta cantik dataaang!!”
Keduanya langsung menegakan punggung, mereka menoleh ke arah sumber suara cempreng itu. Untung saja suara Aletta mampu memecahkan situasi muram di antara Leo dan Alena. Letta muncul dibalik tembok, disusul Gevit, Vero dan juga Alfa. Mereka datang beramai-ramai.
“Hai, kak” sapa Letta ceria seperti biasanya, dia menyapa Alena dan Leo bersamaan. “Nih, aku bawain bakmi depan sekolah. Hehe” Alena menerima kantong plastik besar berisi bakmi. “Biar gue yang siapin, Ta”
“Gue bantu kak”
Akhirnya, keduanya berjalan menuju dapur.
“Kak Alena pacaran ya sama kak Leo?”