Skalla-28

2191 Words
Apa kalian tau berapa m/s kecepatan cahaya?  Tidak tau? Tidak penting juga kalian mengetahui hal itu. Speed of Light itu bisa disamakan dengan proses terjadinya perubahan sikap manusia terhadap manusia lain. Banyak faktor yang  mempengaruhi perubahan tersebut. Lalu, pernahkah kalian mendengar kata-kata ini. "Kenapa lo berubah?" Lalu ada yang menjawab. "Bukankah wajar manusia itu berubah? Gue yang berubah atau lo yang hanya jalan di tempat?" Siapa sih yang tidak menginginkan sebuah perubahan jika dalam konteks yang baik. Tapi jika dalam konteks yang buruk, tergantung bagaimana kita menyikapi perubahan tersebut.  Perubahan demi perubahan Leo rasakan, setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit. Sebenarnya bukan Alena yang berubah, tapi Leo yang hanya berhenti di tempat saat Alena sudah melangkah maju ke depan. Benarkan, Alena naik satu tingkat dari status jomblo sekarang sudah taken dengan Gevit. Sementara dia? Jadi jomblo abadi yang tidak bahagia. Jadi, disini siapa yang salah? Meski sulit untuk menerima perubahan sikap Alena, Leo tetap mencoba. Malam ini, yang seharusnya jadi malam bahagia seperti tahun-tahun sebelumnya, harus berantakan hanya karena ucapan itu terlontar dari mulut nya yang lepas kontrol. Malam ini... Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap tanggal 20 Januari, Leo dan Alena pasti akan membuat kejutan  untuk Riswan yang tengah ulang tahun. Tapi tahun ini, Alena tidak menghubungi Leo sama sekali untuk membahas kejutan apa yang akan diberikan kepada Riswan. Bahkan, Leo pergi mencari kado sendiri untuk pria itu. Selepas maghrib, dengan pakaian casual seperti biasa, Leo berjalan keluar rumah untuk pergi ke rumah Riswan, sepertinya pria itu belum pulang karena biasanya Riswan pulang selepas maghrib. Mengenyahkan pikiran-pikiran negatif tentang hubungannya dengan Alena yang sudah tidak bisa dikatakan baik-baik saja, Leo akhirnya melangkah keluar rumah seraya memegang kotak hitam berisi jam tangan yang ia beli tadi sore sendirian. Namun baru sampai gerbang, langkah kaki Leo terhenti, netranya bersitatap dengan Gevit yang baru saja keluar dari dalam mobil Andini.  “Hei” Sapa Gevit seperti biasa, tak menyadari raut wajah Leo yang langsung berubah kecut. “Gue kira lo udah di dalem” Gevit berjalan mendekat ke arah Leo, merangkul bahu cowok itu tanpa rasa aneh sedikitpun.  “Kok lo disini?” Pertanyaan retoris sebenernya, wajar saja kan Gevit datang karena sekarang cowok itu sudah menjabat sebagai pacar Alena. Pupus sudah harapan Leo, kalau ada Gevit pasti semuanya akan terasa aneh, aneh hanya untuk dirinya sendiri. Karena pada kenyataannya Riswan dan Alena senang jika Gevit datang. Dan entah kenapa Leo jadi kehilangan semangatnya. Seakan pikiran positif yang susah payah ia susun kembali hancur. “Gue seharian disini bro. Tadi pulang cuma mandi doang sih, terus balik lagi.” Senyum lebar Gevit membuat  perasaan Leo semakin tak enak. “Gue udah siapin kejutan buat om Riswan sama Alena. Keren deh pokoknya” Oh.. Jadi itu alasan kenapa Alena tidak menghubunginya karena sudah ada Gevit. Seharusnya Leo ingat, seharusnya Leo sadar posisi dia siapa.  “Gevit?” Alena keluar dengan dress selutut, gadis itu terlihat begitu cantik dibawah lampu teras yang menyala terang. Rambutnya dibiarkan tergerai indah, senyum manis menggemaskan muncul. “Eh ada Leo juga” sapa Alena, “Gue tadi ke rumah lo tau, tapi lo nya nggak ada” gadis itu meraih lengan Gevit untuk di gandeng. Percayalah, pasti tiang lampu taman itu tengah menertawakan betapa bodohnya Leo yang berdiri diam di depan orang yang tengah pacaran. Sialnya, orang itu adalah gadis yang selama ini ia taksir mati-matian. “Bentar lagi papa pulang, masuk dulu yuk” Bahkan sekarang Alena hanya menarik Gevit, sementara dirinya? Seperti anjing yang tengah mengekori majikannya. Benar-benar menyedihkan. Kalau bisa, Leo ingin pergi saja dari tempat ini sekarang.  “Yo, menurut lo gimana sama kado ini?” Alena membuka kotak kado itu, dan memperlihatkan sebuah jam tangan berwarna hitam mengkilap, dilihat dari merk nya jelas itu bukan jam tangan murah. “Tadi gue beli sama Gevit sih, patungan. Hahaha” tawa Alena mengudara, tangan besar Gevit mengusap rambut gadis itu pelan takut merusak tatananya. “Bagus kok. Elegan, pasti om Riswan suka” “Bener kan, selera lo sama papa tuh sama” Alena menatap binar ke arah Gevit. “Thanks ya, Ge” “Sama-sama sayang…” BEUH! Apalagi ini! Rasanya Leo ingin sekali membalikan meja berisi kue berukuran sedang yang ada di atas meja lantas mengamuk. Tapi dia masih waras untuk tidak mengacaukan acara  malam hari ini. Terdengar deru mesin mobil yang memasuki garasi. Alena lama begitu semangat. “Pasti itu papa, matiin matiin lampunya” karena posisi Leo yang paling dengan saklar, akhirnya dia yang mematikan lampu. Dalam gelapnya cahaya ruangan ini, dia bisa melihat Gevit mencium sekilas pipi Alena yang langsung mematung di tempat. Adegan itu ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri, s****n! b*****t! Arghhh persetan dengan pertemanan! Leo ingin Alena dan hanya Alena. Apapun yang terjadi, dia akan merebut Alena lagi. “Alena?”  Itu suara Riswan. “Sayang, kok lampunya mati? Kamu dimana?” Tatapan mata Leo masih menghujam ke arah Gevit dan Alena sampai dia tidak sadar kalau sedari tadi Alena memintanya untuk menyalakan lampu. “Pssttt, Yo, lampunya…” desis Alena, Leo tersadar dan langsung menyalakan lampu.  “KEJUTAN!!!!” Teriak Alena membahana, senyum gadis itu mengembang sempurna, terlihat jelas sekali bahwa Alena begitu bahagia malam hari ini. “Selamat ulang tahun, papa!!!” Alena berjalan memeluk Riswan, pelangi setelah badai besar yang selalu muncul untuknya. “Sayang..” Riswan balas memeluk Alena, mendaratkan sebuah kecupan di rambut gadis itu. “Papa jangan nangis ah, malu sama Gevit ih”  Riswan mengusap kasar setitik air matanya, pria itu terkekeh ringan. “Selamat ulang tahun, Om” Gevit juga ikut memeluk pria itu dengan akrab. Riswan menepuk punggung Gevit hangat. “Terima kasih ya, Ge” “Sama-sama, Om” “Om,” Leo tersenyum dan ikut memeluk. “Selamat ulang tahun” “Terima kasih ya, Leo. Kamu ini gak bosen apa kasih ucapan selamat ulang tahun ke om tiap tahun” “Nggak lah om, kan cuma sekali setahun” “Udah-udah, sekarang papa harus tiup lilin dulu” Alena mengangkat cake yang tadi siang dia buat dengan tangan lentiknya sendiri. “Make a wish dulu om” Leo mengingatkan seraya tersenyum tipis. Riswan mengelus rambut Alena dengan sayang. “Om cuma pengen anak-anak om bahagia, dan di kelilingi sama orang-orang baik” setelah itu Riswan meniup lilinnya. Tepuk tangan dari Gevit dan Leo serta seruan Alena membuat ramai ruang makan malam itu. “Alena tolong delivery makanan aja ya, papa mau mandi. Nanti gabung lagi sama kalian disini” “Oke, Pa!” Riswan menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar, Alena segera mengeluarkan ponselnya dan membuka salah satu toko makanan. “Kalian mau makan apa?” tanya dia, “Ah, kalo Leo gue udah tau dia pasti bakalan jawab terserah, iya kan?” “Yeee, sok tau!” Leo mencubit pipi gembul Alena dengan gemas.  “Sakit babi! Gevit, lihat tuh Leo..” adunya, bersembunyi di belakang punggung pacarnya. “Halah, beraninya cepu.”  “Biarin wleeee” Gevit hanya menggelengkan kepala melihat kedua sahabat yang tengah bertengkar itu. Dia tidak cemburu, karena dia bukan tipe pacar protektif yang membatasi pertemanan Alena setelah mereka pacaran. “Gue terserah lo aja sih, Al” “Asal lo tau, Al. Gevit tuh pemakan segala, jadi lo mau pesen batu rebus juga bakal dia makan” “s****n! Nggak gitu juga ya anjing!” Alena tergelak menatap keduanya. “Gue ke toilet bentar” Gevit berjalan ke belakang. Alena duduk seraya sibuk memesan makanan. Leo menarik kursi di samping Alena.  “Lo berubah, Al” Jari Alena yang tengah menari di atas layar ponsel terhenti, tapi tak lama gadis itu melanjutkannya lagi, mengabaikan ucapan Leo. “Gue nggak kenal sama Alena yang sekarang. Kenapa lo ngejauh dari gue, Al?” Leo menarik bahu Alena, memaksa gadis itu agar berhadapan dengannya. “Lihat diri lo, masih fake di depan Gevit. Sementara di depan gue…” dengan sedikit kasar Leo menyibak stocking yang menutupi luka sayatan di lengan tangannya. Gadis itu meringis pelan. “Lo bisa jadi Alena yang rapuh, lo nggak perlu pura-pura, Al.” “Yo…” Alena cepat-cepat menarik tangannya, “Gue nggak perlu jadi diri gue sendiri, karena gue benci. Dan soal ngejauh, sori, karena akhir-akhir ini gue emang sibuk sama Gevit” “Soal hukuman itu, minggu depan kalian selesai, kan? Lo bisa jadi Alena yang dulu lagi, kan?” Alena meletakan ponselnya di atas meja, kini tatapannya lurus ke arah Leo. Andai… “Lo kenapa jadi aneh gini sih? Bukannya dulu lo yang ngebet pengen gue deket sama Gevit? Dan sekarang, gue udah pacaran sama dia dan lo kayaknya nunggu momen putusnya gue sama dia. Mau lo apa?” Diam. Ruangan itu lenggang tanpa suara. Seakan Leo dan Alena tengah membiarkan nafas mereka saling memburu satu sama lain. Alena tidak bohong jika dia masih menyimpan rasa pada Leo, karena sampai kapanpun tidak ada yang bisa menggantikan cowok itu di hatinya. Perasaannya pada Leo tidak akan pernah selesai, dia sangat tau akan hal itu. “Gue suka sama lo.” Dan perasaan itu terbalas, namun di waktu yang tidak tepat. -Tahubulat- Musik. Apa yang ada di pikiran kalian  jika mendengar satu kata itu. Musik itu sudah seperti nafas bagi manusia, mulai dari yang muda hingga yang tua, pasti setidaknya satu kali sehari mereka mendengar musik. Entah saat pergi ke Indomaret, atau saat pergi cafe, atau bahkan sekarang penjual bakso aja menyetel musik keras-keras entah untuk tujuan apa. Banyak genre musik yang ada di era yang sekarang ini. Mulai dari Rock, Pop, Jazz, R&B, dangdut dan masih banyak lagi.  Bagi Aletta, tiada hari tanpa musik. Playlist lagu barat populer 2021 menjadi teman hari-harinya. Bahkan di rumah ini, ada beberapa alat musik yang sengaja Andini beli karena keluarganya mencintai musik.  “Ta, kalo seandainya kamu disuruh milih, antara bisa semua bahasa atau bisa bermusik, kamu pilih mana?” tanya Andini malam hari itu, sekitar pukul 10 malam, keduanya masih melek. Dan akhirnya memutuskan untuk bermain musik di depan TV. “Musik, Ma” “Alasannya?” “Karena aku bisa terjemahin bahasa pake teknologi, tapi aku gak akan bisa terjemahin musik dan nggak semua orang bisa bermusik” Jemari Letta dengan lihai memetik senar gitar dengan alunan lambat. “Mama kenapa suka musik?” “Karena anak-anak mama suka musik” “Alasan yang simpel ya, Ma” goda Letta, Andini terkekeh. Di ruang keluarga itu, keduanya duduk bersila. “Enaknya nyanyi lagu apa ya, Ta” wanita itu memegang dagunya, berusaha menemukan judul yang cocok untuk dia nyanyikan malam ini. “Apa aja sih kalo Letta, mah” “Assalamualaikum” “Waalaikumsalam” jawab keduanya serempak, Gevit datang dengan sekotak makanan.  “Wah, makanan tuh pasti” Letta mengulurkan tangan dengan mata berbinar karena penciumannya sudah bisa mendeteksi makanan apa yang ada di dalam kotak itu. “Dari kak Alena, bang?” “Bukan, dari kolong jembatan. Ya iyalah, dari Alena” Gevit menjatuhkan tubuh di sofa, dia menatap gitar yang sudah di acuhkan oleh Letta karena sibuk membuka kotak makanan. Cowok itu meraih gitarnya, tanpa banyak berpikir, Gevit memetik gitar tersebut. I'm so tired of love songs, tired of love songs Tired of love songs, tired of love Just wanna go home, wanna go home Wanna go home, whoa So tired of love songs, tired of love songs Tired of love songs, tired of love Just wanna go home, wanna go home Wanna go home, whoa Andini hanya menatap geli ke arah Gevit yang bernyanyi secara tiba-tiba, sementara Letta yang duduk di lantai mengangguk anggukan kepala seraya mengunyah makanan. Hari-hari lelah yang akhir-akhir ini ia lalui sendirian sedikit terobati dengan keberadaan kedua anaknya. Andini menyingkirkan rasa takut itu jauh-jauh. Mereka berdua tidak harus tau apa yang tengah ia alami tanpa ketara. “Suara lo fals banget bang” cibir Letta bohong, karena suara Gevit enak di dengar kok. Bahkan kalau dia ikut audisi, yakin deh, pasti lolos.  “Kalo suara gue fals, suara lo apa? Kambing kecepit, hah?!” “Enyah lo!” Letta melemparkan bantal ke arah Gevit yang langsung sigap menangkisnya. “Wleee, gak kenaaa” Sudah lama Andini tidak mendengar pertengkaran Letta dan Gevit. “Itu mama nggak di tawarin? Durhaka banget lo jadi anak” Letta berhenti mengunyah, dia menatap Andini. “Hehehe, mama mau?” Andini menggelengkan kepala, dia tidak lapar. “Kalo udah soal makanan suka lupa sama sekitar ya, Ta?” “Biarin, Ma. Kan cita-cita Letta mau jadi fat girl.” seloroh Gevit. “Tuh kan, Maaa. Bang Ge body shaming mulu!” lagian, mana ada gadis yang cita-citanya jadi perempuan gemuk? Semua ingin punya body goals. Dasar Gevit! “Gevit..” tegur Andini pelan.  “Sukurin!” “Gimana sama acaranya, lancar?” tanya Andini mengalihkan topik. Gevit mengangguk, dia meletakkan gitar itu di samping dan ikut duduk di lantai bersama Letta. “Lancar, Ma.” cowok itu mencomot satu dimsum, lantas menoleh ke arah Andini. “Kata om Riswan, seharian mama nggak ada di kantor” “Hm? Ada kok. Mama di ruangan, emang lagi hectic banget, Ge.” “Oh gitu..” “Lagian ngapain dia ngawasin mama” “Ya nggak tau, Ma” “Ada-ada aja, naksir kali” "Naksir gundulmu"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD