Skalla-27

2153 Words
Datangnya malam bahkan tak membuat pemuda dan pemudi itu beranjak dari sofa mereka masing-masing. Justru semakin malam, rasanya semakin nyaman dengan alunan merdu angin yang bersaut-sautan dengan lagu Andmesh Kamaleng- Cinta Luar Biasa. Entah lebih merdu mana, suara angin atau suara musisi asal Indonesia itu.  Langit pun turut mendukung suasana restoran daging tempat dimana Lisa dan Vero menghabiskan senja dengan saling bertukar cerita. Tentang sibuk nya kelas dua belas, tentang organisasi yang ada di sekolah, tentang makanan kampus yang semakin lama semakin kehilangan cita rasa, atau tentang pilpres 2024 nanti. Lisa tidak merasa canggung, bahkan bintang seharusnya belajar dengan dia tentang arti sebuah kepercayaan diri. Lihatlah, bahkan langit cerah itu kosong mlompong, tidak ada taburan bintang, hanya ada bulan sabit yang nampak samar tertutup gumpalan awan putih yang menggantung di langit cakrawala.  Piring-piring yang awalnya penuh dengan makanan yang terbuat dari olahan daging perlahan-lahan licin tandas. Vero dan Lisa makan dengan lahap, seakan kegiatan seharian tadi menguras isi perutnya hingga kosong mlompong. Setelah menghabiskan minuman pertamanya, Vero memesankan satu gelas minuman lagi untuk menemani cengkrama mereka malam hari ini. "Dulu pas kelas sepuluh gue aktif banget di Osis, Gevit sama Leo juga sih sebenernya. Cuma karena kesibukan Gevit dia jarang ikut kegiatan, kalau Leo sih antara niat gak niat" Lima menit lalu, Vero bercerita tentang serunya kegiatan OSIS. Dia bercerita seperti seorang politisi handal yang tengah melakukan kampanye.  "Terus tuh ya, pengalaman yang paling membekas waktu pelantikan di Lembang. Beuh, waktu itu hujan deras banget, tapi panitia nya maksa buat melanjutkan acara. Katanya, hujan cuma air, bukan batu." "Ya nggak salah sih, kalo hujan batu mah udah bonyok-bonyok kalian" sela Lisa seraya mengunyah es batu dan tertawa renyah. Dia mendengarkan dengan seksama. "Lo sendiri udah nentuin mau ikut organisasi apa?" Lisa hanya mengedikkan bahunya, lantas menggeleng. "Nggak ikut kayaknya, lagian males banget. Pramuka aja masih sering bolos" jujur nya dengan wajah polos.  Vero tertawa, "Udah biasa sih kalo anak-anak sekarang pada males organisasi, mereka lebih suka nongkrong di cafe, padahal ikut organisasi itu seru banget, pengalamannya banyak, ilmu nya banyak" Angin menerbangkan suara tawa mereka berdua, cerita-cerita random yang kadang di comot asal memenuhi setiap detik yang terlewati. Lisa masih ingin berlama-lama di tempat ini, selain karena dia ingin menghabiskan waktu bersama Vero, lalu mendengarkan cowok itu bercerita, dia malas pulang ke rumahnya. Karena sampai rumah nanti, hanya kesepian lah yang menyambut kedatangannya. Rumah itu bagai pengingat luka untuknya, jadi sebisa mungkin Lisa menjauhi rumah nya. "Gimana sama tempat ini, Lis?" "Top deh!" Lisa mengangkat dua jempol nya seraya tersenyum manis. "Makanan nya delicious banget, minumannya juga segar. Apalagi gratisan, makin mantap, kak!" Lagi-lagi Vero tertawa, Lisa yang ada di depannya ini bukan Lisa yang biasa dia lihat di sekolah. Entah, sepertinya Vero mulai mengerti satu hal, bahwa Lisa akan berubah jadi jutek kalau siang hari, malam harinya dia akan berubah menjadi diri sendiri yang lebih santai, dan lebih rapuh. “Kapan-kapan gue ajak ke tempat lain, gue punya banyak rekomendasi restoran” “Beneran?” tanya Lisa dengan semangat, tapi tak lama semangatnya pudar. "Tapi nggak enak ah kalo lo yang traktir terus, ntar gantian deh gue yang traktir" meski dia sendiri tidak yakin. Sepertinya mulai sekarang Lisa harus mencari pekerjaan agar bisa menghasilkan uang.  “Lo nggak apa-apa kan pulang malem?” “Nggak, gue bebas sih mau pulang jam berapapun” Lisa meneguk minuman dari gelas keduanya. Udara dingin membuat gadis itu sedikit menggigil, tapi dia menepis rasa dingin itu karena di dekatnya ada Vero yang mampu menghangatkan hatinya. Pinggiran gelas masih menempel di bibir tipisnya, pintu restoran terbuka dan dengan gerak reflek Lisa menatap pengunjung yang datang melalui ekor matanya. "Uhuk!" "Lis" Vero menarik dua lembar tisu, membersihkan area bibir Lisa yang basah. "Hati-hati aja minumnya" kata Vero khawatir.  Lisa diam, matanya masih mengikuti kemana perginya si pengunjung tadi. Dia bahkan tak mengacuhkan omelan Vero yang terus membersihkan dagu hingga lehernya. Tiba-tiba saja, dadanya sesak, matanya panas. Sekuat tenaga Lisa menahan agar cairan bening itu tidak tumpah di depan Vero. Gadis itu menelan salivanya susah payah, seakan tenggorokannya menolak keras cairan kental itu.  "Lo dari tadi nggak dengerin--Lisa?" Tangan Vero berhenti mengusap bibir Lisa, tatapan matanya mengikuti kemana arah tatapan mata Lisa. "Hey, lo kenapa?" guncangan Vero membuat kesadaran Lisa kembali. Gadis itu menunduk, menyembunyikan sorot mata kecewanya.  Lisa menarik nafas panjang sekali, lalu menghembuskannya pelan, seakan dengan begitu kesedihannya turut menguar. Dengan sisa-sisa ketegarannya, Lisa mengatakan.. “Itu mama sama keluarga barunya, kak” Kepala Vero langsung menoleh ke arah satu keluarga yang terus-terusan di tatap oleh Lisa, mereka terlihat begitu hangat, akrab dan harmonis. Kedua tangan Vero terkepal erat saat melihat wanita yang memakai dress abu-abu itu tengah memeluk seorang gadis mungkin berusia 13 tahunan. Bagaimana bisa wanita itu lebih menyayangi anak orang lain dibanding dengan darah dagingnya sendiri. Darah lebih kental dari air mungkin tidak berlaku bagi Lisa. Nyatanya, mama nya lebih care dengan orang lain dibanding dengannya. Pernahkah dia di peluk oleh mama nya seperti itu? Pernahkah mama nya tersenyum lebar ke arahnya seperti itu. Dan pernahkah mamanya menatap papanya penuh puja seperti itu. Tidak, mama nya tidak pernah melakukan itu. Tidak ingin melihat Lisa semakin sakit hati, Vero meraih tangan gadis itu. "Kita pulang yuk?"  “Nggak masalah, kak.” Lisa yang tadinya menunduk kini mendongak, menatap Vero dengan wajah yang kembali seperti sedia kala. Tidak ada kesedihan baik di mata maupun di wajah. Sudah berapa lama gadis berlatih menyimpan lukanya sendirian sampai dia terlihat begitu lihai dalam memakai topengnya.  “Tadi kak Vero mau ngajak gue ke tempat lain kan? Kapan? Besok? Lusa?” “Lisa…” "Gue juga ada sih rekomendasi tempat seblak, kak Vero mau--" "Lis please..." Lisa terdiam mendengar panggilan selembut itu. Bahkan sampai sekarang dia belum pernah dipanggil dengan intonasi selembut oleh papa nya. Selama ini, Lisa yang terlihat sedikit tomboy dan jutek selalu merasa iri dengan teman-temannya. Dia iri pada Letta yang meski tidak punya keluarga utuh, dia tetap bahagia, harmonis dan saling menyayangi. Dia iri pada Sasha yang meskipun jarang menghabiskan waktu dengan orang tuanya, tapi sesekali keluarganya menyempatkan diri untuk liburan, family time. Dia juga iri pada Angel, sepertinya dia yang paling sempurna di circle nya. Angel memiliki keluarga utuh, orang tua yang dewasa selalu memahami anak-anaknya, mendidik Angel hingga sebaik sekarang, Angel juga punya kakak cewek yang pengertian, sekarang kuliah di salah satu kampus ternama.  Sementara dirinya, harus hidup di tengah-tengah keluarga hancur seperti ini. Lara, kesepian, ketakutan, adalah teman sejatinya. Dia tidak pernah bercerita mengenai keluarganya pada ketiga temannya, entahlah, Lisa hanya tidak ingin menjadi beban untuk teman-temannya. Dan sekarang, cowok yang seharusnya dia jauhkan dari masalah-masalah ini, justru semakin mendekat. Meruntuhkan sedikit demi sedikit benteng pertahannya.  “Mulai sekarang gue disini buat lo” katanya lagi dengan suara lembut, genggaman tangan Vero erat dan begitu meyakinkan. Lisa penasaran, apakah pundak Vero juga sekokoh itu untuk ia jadikan sandaran? "Kak, boleh pinjem pundaknya bentar?" Vero yang tadinya ada di seberang kini pindah posisi di samping Lisa. Tanpa mengatakan apapun, dia meraih tubuh Lisa, menenggelamkan wajahnya pada d**a bidang nya. Vero membiarkan Lisa menumpahkan amarah dan kekecewaan lewat air mata yang mulai mengalir deras tanpa suara.  “Gue mau pulang, kak” di tengah isak tangis, Lisa mengatakan hal itu. “Oke, kita pulang.” Keduanya beranjak dari tempat itu, sampai di depan pintu, Lisa menyempatkan diri untuk melihat wajah bahagia mama nya sekali lagi. “Mama bahagia ya, aku nggak akan ganggu mama lagi”  -Tahubulat- “Jangan di pegang!” Alena buru-buru menarik tangan Gevit yang hendak memegang loyang panas berisi cheese cake yang baru saja ia keluarkan dari oven. Alena mendengus kesal, katanya sih pintar. Tapi ceroboh parah. Lihatlah, dua jari cowok itu sudah dibalut plaster akibat terkena goresan pisau saat memotong tadi.  Bukan hanya itu, entah sudah berapa kali kepala Gevit kepentok pintu lemari dapur.  “Kenapa cerobohnya makin parah sih, Gee??? Itu kan masih  panas!. Kalo tangan lo melepuh gimana? Sakit tau! Itu udah ada dua plester, mau nambah lagi, hah?!” Gevit diam, diam-diam menikmati wajah Alena yang terlihat begitu cantik apalagi saat tengah mengomel seperti ini. Pipinya mengambang lucu seperti pipi hamster. Bibirnya mengerucut imut seperti bibir kelinci. Pokoknya, Alena itu definisi cantik dan imut, ditambah kalau senyum beuh, manisnya... Pulang sekolah tadi, Alena bilang dia ingin membuat Cheese cake karena hari ini ulang tahun papa tercinta. Jadi, Gevit mengantarkan gadis itu untuk membeli bahan nya, lalu dia ikut ke rumah untuk membantu. Sebenarnya tidak bisa dikatakan membantu, karena sedari tadi dia hanya merecoki Alena. “Lo tuh udah berapa kali ngomelin gue seharian ini, duh, Al. Luka kayak gini aja nggak akan nyakitin gue, tenang aja lagi" "Lo sih bilang gitu nggak mikirin gue yang khawatir..." Jari Gevit bergerak iseng dengan menoel pipi Alena. "Cie khawatirrr, cie cie...lucunya..." kini Gevit mencubit kedua pipi Alena karena dia tidak tahan lagi melihat kegemasan gadis satu ini.  “Nih lucu! Mau?!” Alena mengangkat teflon kecil ke arah Gevit yang langsung mundur selangkah seraya terkekeh menyebalkan.  “Galak sih kalo ini” cowok itu mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V.  Alena mengambil ponselnya yang tergeletak di meja, lantas membuka icon kamera untuk memotret cheese cake yang dengan susah payah ia buat, sendirian. Catat itu, Gevit hanya membantu doa. “Ge, minta nomor tante Andin dong. Mau laporan nih” “Cieeee” “Cia cie mulu, cepetan sini." Gevit tak banyak menggoda lagi, pasalnya Alena galak banget. Meskipun galak, Gevit tetap cinta mati pada Alena. Sebenarnya dia cuma cinta tidak sampai mati juga sih, ngeri amat cinta sama pacar sampai mati, tapi pas di suruh bilang sayang dan terima kasih ke orang tua malunya setengah mati. Siapa lagi kalau bukan yang lagi baca cerita ini.  “Foto sama gue juga dong, Al, terus kirim ke mama” “Dih, nanti kamera gue kotor karena muka lo” “Yeee, gitu amat” Gevit menarik hidung Alena. Alena membuka kamera depan, dia juga ingin ikut selfie, enak saja. Akhirnya mereka berdua mengambil foto selfie dengan cheese cake yang ada di tangan Gevit. Tak peduli jika wajah mereka belepotan. “Wih, ini bagus nih!” Gevit menunjuk salah satu foto, Alena menggeleng. “Bagus di elo, jelek di gue, lihat masa manyun gini.” Setelah berdebat panjang lebar melebihi durasi debat pilpres, akhirnya Alena memutuskan untuk mengirim fotonya dan Gevit yang lumayan enak di lihat ke Andini selaku si pemberi resep. Bahkan tadi Alena sempat video call dengan Andini untuk memastikan apakah adonan nya udah tepat atau belum. [Tante Andini] Alena: [Sent photo] Andini: Wah, kayaknya enak tuh, Al. Andini: Kamu pinter banget buatnya Alena: Makasih resepnya tante, semoga papa suka > Andini: Sama-sama cantik. Eh itu yang belakang merusak  pemandangan seharusnya di blur aja, Al Tawa Alena pecah, sementara Gevit menatap gadis itu dan ponselnya secara bergantian. “Ngetawain apa sih?” “Hm? Bukan apa-apa kok” buru-buru Alena mematikan layar ponselnya. “Buah yang lo potong tadi lo taruh mana?” Alena memang meminta bantuan Gevit untuk memotong buah yang nantinya akan dijadikan hiasan di atas cake nya. Selain memotong buah, cowok itu juga hampir memotong tangannya sendiri. Alena kapok, dia tidak akan meminta bantuan Gevit kalau soal potong memotong lagi. Gevit mengangguk dengan wajah polos, dia membuka kulkas dan menyodorkan kotak transparan ke arah Alena. Saat kotak itu di buka, mulut Alena langsung menganga, dia tak tau harus berkata apa lagi. “Ge..” “Ya??” Gevit menjawab dengan polosnya. “Gue tadi minta potong buah kan?” “Bener” “TERUS KENAPA MALAH LO CINCANG?!” Teriakan Alena membahana saat melihat stroberi cincang karya Gevit yang luar biasa. Padahal dalam imajinasinya, dia hanya meminta Gevit memotong biasa, tak perlu sampai di cincang seperti ini. “Hehehe…” “Emang bener-bener lo ya, Ge” “Emang bedanya potong sama cincang apaan dah, Al?” “Ya beda.” “Kayak gue sama lo ya, beda. Gue suka lo, sementara lo nggak” Alena terdiam, jantungnya yang bereaksi. Tiba-tiba saja dia jadi salah tingkah. “Apaan sih” “Bercanda” Gevit mengusap rambut Alena, “Harus potong lagi gak  nih?” "Nggak usah deh, ini aja." Setelah mengoles cream di atas cake, Alena menaburkan cincangan buah ke atasnya. "Dah beres." gadis itu menatap bangga ke hasil karya nya. "Gimana menurut lo? Cantik nggak?" "Cantik, kayak yang buat" "Ngalus aja terus" jemari Alena menarik dua lembar tisu, lantas dia mengusap wajah cemong Gevit. "Tiang banget sih, turun dikit dong" protesnya, Gevit menekuk lutut hingga wajahnya sejajar dengan wajah Alena. Melihat gadis itu sibuk membersihkan wajah, Gevit jadi terpesona sendiri. "I love you, mama Andini" Tangan Alena terhenti, wajahnya datar, tak lama dia melemparkan tisu itu tepat mengenai mata Gevit yang langsung kembali berdiri tegak. "Kok mama Andini sih, kan yang di depan lo gue!" "Ck." Gevit menarik tubuh Alena hingga membuat gadis itu berbalik badan. Gevit memeluknya dari belakang, lantas membisikkan sesuatu. "I love you, Al.. more than you know" Alena ingin meleleh saat itu juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD