Skalla-32

2218 Words
Kadang, kita tidak tahu bagaimana semesta meresep setiap pertemuan-pertemuan yang tiba-tiba terjadi begitu saja. Entah dengan pohon mangga yang ada di sudut ibu kota, dengan pedagang kebab yang biasanya membuka stand di depan stasiun kereta. Setiap pertemuan pasti sudah digariskan oleh sang pencipta, tidak ada pertemuan yang akhirnya sia-sia saja kecuali pertemuan dengan orang yang kita sayang lalu putus dan berakhir dengan permusuhan, fiks sih itu sia-sia banget. Seakan tuhan paham betul kalau Gevit merasa malas dan badmood disuruh ke pasar pagi-pagi, bau amis ikan dan ayam, belum lagi bau buah busuk di tambah dengan bau daster baru yang digantung oleh pedagangnya membuat perut Gevit jadi bergejolak. Untung saja dia bisa menahan semua bau-bauan itu, bicara soal bau, ada satu bau yang tidak akan bisa ditolerir oleh Gevit, bau badan.  Dan s**l nya, ada salah satu tukang angkut yang hanya mengenakan singlet tipis tengah mengangkat karung ikan melewatinya. Demi tuhan, siapa yang merencanakan pembunuhan terhadap Gevit pagi ini???  Ingin sekali Gevit berteriak dan memaki orang itu, tapi saat kumis tebal nya meneteskan keringat dan urat ototnya timbul semua, dia mengurungkan niat untuk memaki. Cowok itu melanjutkan berjalan menuju seorang gadis yang tengah berdiri seraya memegang tas belanjaan.  Pertemuan kedua dengan Ivy, Gevit benar-benar berharap bahwa Ivy sekarang sudah mengingatnya. Tapi harapan itu seakan hanya angin berlalu, karena nyatanya Ivy masih kekeh dengan topeng nya, dia pura-pura tidak mengenal Gevit lagi. Padahal di dalam lubuk hatinya, dia ingin menyapa meski hanya dengan kata "Long time no see, Gevit." “Kita ketemu lagi” Melupakan pembunuhan berencana yang melibatkan bau keringat, bau ketek dan bau ikan yang menjadi combo baginya, saat berdiri didepan Ivy, Gevit merasa kembali mendapatkan pasokan oksigen langsung dari pegunungan himalaya alias segar banget. Wajah cantik Ivy tanpa polesan make up membuatnya semakin berdebar, dari dulu Ivy selalu cantik.  Dengan rambut lusuh dan wajah cemong karena debu aja Ivy terlihat cantik, apalagi sekarang yang jauh lebih glow up. “Oh, kamu yang kemarin di cafe kan?”  Gevit mengangguk dengan semangat 45, padahal saat upacara 17 agustus saja dia tidak sesemangat saat bertemu dengan Ivy-nya. Boleh kan Gevit sebut begitu? Karena mau bagaimanapun, Ivy akan menjadi miliknya, Gevit tidak akan pernah melepaskan bagian yang akan melengkapi puzzle kehidupannya. "Syukurlah kalo kamu masih inget aku. Jadi, gimana? Udah bisa inget juga belum kalo aku Gevit? Anak kecil yang dulu sering main sama kamu?" Ingin sekali Ivy tertawa keras melihat wajah berharap Gevit yang menurutnya sangat menggemaskan. Tapi sayangnya, Ivy harus tetap memakai topeng datar menyebalkan ini. "Maaf ya, aku nggak inget sama sekali" Wajah Gevit langsung kembali sendu, seakan jawaban Ivy adalah rasa sakit yang sepertinya akan terus menghantamnya. Kenyataan bahwa Ivy melupakan sosoknya memang menjadi rasa sakit tersendiri bagi Gevit. Melihat wajah sedih itu, Ivy selalu lemah. Dia tidak bisa berlama-lama di depan Gevit atau semuanya akan kacau.  Saat Ivy hendak kabur, lengan nya ditahan oleh Gevit. Kedua netra mereka bertemu, Ivy merindukan sorot mata itu, mata yang setiap menatapnya selalu dibasahi oleh air mata, sekarang mata itu putih bersih. Ingus yang dulu sering menggantung di dua lubang hidung itu, sekarang tidak ada lagi, berganti dengan hidung mancung yang sempurna. Kedua pipi yang kotor karena debu dan selalu ia usap dengan lembut, kini berubah jadi semulus sutra. Ivy gatal, ingin sekali mengelus wajah Gevit. Tapi sayangnya, Ivy merasa rendah bila berhadapan langsung dengan Gevit. Dia merasa orang seperti Gevit memang tidak cocok bersanding dengan dirinya yang tidak punya apa-apa kecuali masalah. Karena masalah dan Ivy itu sudah seperti soulmate. “Nggak masalah deh kamu lupa sama aku, kita bisa kenalan lagi” Gevit mengulurkan tangannya yang di sambut malu-malu oleh Ivy. Mungkin dengan begini jauh lebih baik, Ivy tidak menolak, karena dia juga merindukan sosok yang ada di depannya ini. “Gevit” “Ivy” “Lucu ya” Gevit terkekeh, “Padahal dulu kita sedekat bulan dan bintang, tapi sekarang kita sejauh matahari dan bulan” “Maaf mas, tangan..”  Gevit yang sadar pun melepaskan tangan yang sedari tadi masih tertaut. "Boleh nggak aku peluk kamu? Soalnya kamu mirip banget sama teman masa kecilku" Mau. Lidah Ivy kelu, seakan tiga huruf itu punya beban puluhan ton yang tidak sanggup ia ucapkan hingga tergantikan dengan kata-kata yang lebih ringan. "Maaf, tapi ini di pasar dan kita baru kenalan, nggak sopan rasanya kalo pelukan" Benar-benar pribadi Ivy. Gadis itu bisa bersikap seolah dia melupakan Gevit, tapi untuk pribadinya, dia tidak akan bisa menutupi hal itu. Gevit sangat tau Ivy, jadi ketika dia mendapatkan jawaban seperti itu, insting nya langsung mengatakan bahwa yang ada di depannya ini benar-benar Ivy, sayangnya Gevit tidak tau apa yang membuat Ivy jadi melupakan dirinya layaknya dia merupakan barang lama yang telah usang. "Aku juga minta maaf" Gevit tersenyum. "Aku masih ingat, dulu temanku bilang kalo kita salah kita harus minta maaf, karena permintaan maaf itu penting. Dari maaf kita bisa memulai untuk memperbaiki diri dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama." Boleh tidak sih Ivy menangis sekarang? Gevit mengingat setiap ucapan dan nasihat yang dulu pernah dia katakan pada cowok itu. Padahal dulu Gevit masih kecil, karena sering bertengkar dengan adiknya, Letta atau dengan anak tetangga Gevit pasti selalu mengadu pada Ivy.  “Tinggal di sekitar sini?” Gevit mengalihkan pembicaraan.  Ivy mengangguk singkat, perasaannya sudah amburadul dan tidak karuan, mungkin dia tidak sekuat itu saat berhadapan langsung dengan Gevit. Kapan dia akan sukses, lalu muncul di depan Gevit dalam keadaan pede dan di waktu yang tepat, dimana Gevit masih single. Ivy mengharapkan kejadian itu benar-benar terjadi nanti, nanti... “Udah selesai belanjanya? Mau aku anterin pulang?” dia menawarkan tumpangan seakan lupa kalau kedatangannya ke sini tidak sendiri. Gevit melupakan Letta yang masih sibuk mengobrol tentang naiknya harga daging akhir-akhir ini.  “Abang!”  Nah kan, sepertinya topik harga daging telah usai hingga suara cempreng itu terdengar di telinga Gevit. Dengan sedikit malas Gevit memutar tubuhnya menatap sang adik tercinta. "Udah selesai nih" Letta mengangkat tiga kilo ayam dan satu kilo daging. "Bantu bawain dong, berat banget kayak dosa lo" Emang kurang ajar mulut Letta. Mungkin dulu pas pembagian filter dia telat bangun jadinya tidak kebagian. "Itu mulut main genjreng aja kayak nggak ada beban" balas Gevit seraya memutar bola mata malas. "Emang pas malaikat nimbang dosa gue, lo ikut nontonin?" "Nggak  penting banget pertanyaan lo, sini!" Letta mulai merengek. “Taruh aja di situ ntar gue ambil." lanjutnya seraya menunjuk sudut pedagang daging. "Gue masih ada urusan" “Urusan apa sih? Sama bapak-bapak pedagang sayur? Mau beli apa?" “Gue--” ucapan Gevit terputus saat dia menoleh ke belakang, sosok Ivy sudah tidak ada disana. Cowok itu berdecak, lantas berjalan ke arah Letta. “Ayo!” kesalnya seraya merampas daging yang ditenteng oleh sang adik. "Wah, kerasukan jin pasar nih orang" Letta mengekor di belakang Gevit. Lagi-lagi dia kehilangan jejak Ivy, tidak masalah, Gevit tidak akan tinggal diam saat tau gadis itu ada di Bandung. Dia pasti akan bertemu kembali dengan Ivy, pasti. Dan Gevit berjanji pada dirinya untuk mengejar dan mendapatkan Ivy, dia tidak ingin meninggalkan Ivy lagi seperti yang dulu pernah ia lakukan. -Tahubulat- Langkah kaki kadang lebih bijak daripada pemikiran-pemikiran aneh yang kerap kali melintas di otak. Langkah kaki yang mantap penuh keyakinan nyatanya lebih mempunyai power daripada hanya angan semu yang tidak pernah terealisasikan satu pun. Daripada sibuk berpikir, mempertimbangan akan memilih kata 'Ya' atau 'Tidak' lebih baik ambil jaket dan kunci motor lalu bergegaslah pergi. Langkah kaki selalu tau kemana dia harus pergi. Ke tempat warung soto dan toko buah, misalnya.  Atau ke rumah gadis cantik yang masih terlelap dalam tidur nyenyaknya setelah semalaman ia habiskan untuk menangisi kepergian dua orang yang seharusnya menjadi penopang. Mau ditangisi sekeras apapun segalanya terasa percuma, karena mereka merasa mereka pantas bahagia, disini yang tidak pantas adalah dirinya saja.  Seingatnya, pagar rumah semalam masih terbuka karena dia lupa menutupnya, tapi pintu terkunci rapat. Mungkin itulah yang membuat si tamu memencet bel seperti orang kesurupan. Lisa berdecak, dia menyibak selimut tebalnya dan bergegas beranjak sebelum bel listriknya meledak karena terus di sentuh-sentuh. Ew, memangnya bel serendah itu mau di sentuh sembarangan? Skip, kita terlalu melenceng jauh dari pembicaraan. Siapa sih yang mengganggunya pagi-pagi di hari minggu seperti ini? Apa dia tidak tau bahwa Lisa butuh kualitas tidur yang baik? Supaya saat bangun nanti dia bisa menghadapi kerasnya kenyataan yang seringkali menamparnya hingga jatuh tersungkur tak berdaya sendirian. Berjalan terhuyung-huyung menuruni anak tangga, Lisa yang masih setengah sadar dan mengenakan piyama menguap lebar di belakang pintu.  Tok.tok.tok “Iyaaa,..” jawabnya malas, tangan Lisa bergerak membuka salah satu daun pintunya, seketika cahaya menyeruak membuat matanya silau. Butuh waktu beberapa saat untuk dia bisa melihat siapa tamu yang datang pagi-pagi begini. “Selamat pagi” Vero tersenyum geli saat melihat Lisa dalam kondisi seperti ini, sepertinya kedatangan nya mengganggu jam tidur gadis itu. “Lis?” “Hm?” Lisa memicingkan salah satu matanya, barulah dia bisa melihat wajah tampan Vero. “MAMPUS!” Saat Lisa hendak menutup pintu, tangan Vero malah menahan. “Kakak ngapain pagi-pagi kesini? Ish, gue belum mandi, kak!” “Nggak apa-apa, anjir, Lis.” Lisa mengalah, dia kembali membuka pintu seraya menyisir rambutnya yang pasti berantakan banget menggunakan jari-jari lentiknya. “Kak Vero kok nggak kasih tau gue kalo mau dateng kesini?” Vero terkekeh, “Nggak sengaja lewat, terus gue beliin lo sarapan sekalian. Mau sarapan bareng?” halah, alasan Vero saja. Orang dia sengaja datang karena tiba-tiba kepikiran kondisi perut Lisa yang pastinya tidak akan ada yang menjamin. “Apa dulu lauknya” Lisa menahan senyum, membuat Vero gemas, cowok itu mengusap kepala Lisa sebelum memegang kedua pundak gadis itu dan membalikannya sebelum dia mendorong tubuh Lisa seperti kereta untuk masuk ke dalam rumah. “Banyak.” Seraya menyiapkan makanan yang tadi dibawakan oleh Vero, pikiran Lisa melanglang buana. Dia berterima kasih pada Tuhan, karena di titik ini tuhan mengirimkan sosok yang begitu luar biasa. Sosok yang mau jadi penopang tubuh lemahnya, sosok yang mau meluangkan waktu hanya untuk membuat bibirnya mengkurva indah, dan karena hal itu, dia percaya kalau Tuhan selalu punya alasan jika menghadirkan seseorang dalam hidup kita. Lisa tak berharap lebih dari ini, di titik sekarang dimana dia dan Vero perlahan menjadi dekat dan saling menguatkan saja sudah cukup. Lisa tidak ingin menjadi manusia yang serakah, selalu menginginkan yang lebih dan lebih.  Karena Lisa takut, dia takut Tuhan menghadirkan seseorang yang kemudian akan diambil lagi. Rasa sakitnya pasti begitu membekas, tapi siklus datang dan pergi mungkin akan dia rasakan lagi setelah kepergian kedua orang tuanya. Mereka memang membiayai sekolah Lisa, tapi untuk kebutuhan sehari-hari gadis itu, tidak ada jatah apapun lagi. Jadi, Lisa memang harus mencari pekerjaan agar bisa menghidupi dirinya sendiri. Mungkin ini saatnya dia mengeluarkan amunisinya, keterampilan yang selama ini Lisa pendam dalam diam. Keterampilan yang sepertinya bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. “Sabtu depan lo ikut ke Mandalawangi?” tanya Vero seraya mengupas jeruk. “Ikut, Kak. Yakali gak ikut, setahun sekali loh” Lisa datang dengan semangkuk besar soto dan dua piring nasi.  “Mau jalan nggak hari ini? Minggu depan kan kita nggak bisa ketemu tuh” Pergerakan Lisa terhenti, apa maksudnya? Tidak, tidak, jangan baper Lisa. Vero hanya bosan dan ingin pergi jalan denganmu. “Kemana? Biasa kalo minggu waktunya gue rebahan sih kak” “Kemana aja, BIP mungkin, siapa tau lo butuh sesuatu buat dibawa pas camping nanti” “Tenang aja sih, kak. Gue orangnya nggak ribet, bawa barang yang ada aja lah” “Udah kelihatan sih” “Kakak sendiri bentar lagi ada PAS kan?" “Iyups, bentar lagi lulus” “Enak ya” “Nggak, nanti nggak bisa lihat wajah lo tiap hari” “Ampun suhu” Lisa tertawa terbahak, disusul tawa Vero yang juga tak kalah kerasnya. Disini bukan hanya Lisa yang bersyukur karena ada Vero yang hadir di hidupnya, tapi begitu juga sebaliknya. Vero akhirnya bisa merasakan kebahagiaan versi lain, rasa bahagia yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Bahagia hanya karena melihat senyum lepas di bibir Lisa. Bahagia hanya karena melihat tatapan mata tulus itu. “Kak” panggil Lisa tiba-tiba. “Maaf ya” “Maaf buat apa?” “Karena gue pernah suka sama kakak” “Lis--” “Tenang, kak. Gue nggak akan maksa apapun kok, gue cuma mau bilang aja takutnya nyesel aja kalo perasaan gue selama ini tak tersampaikan” Lisa memasukan sesuap nasi, dia mengunyah seraya menunduk, tak berani menatap Vero lagi. “Lagipula, gue sadar diri kak. Gue nggak cocok berdiri di samping kak Vero. Kita itu ibarat langit dan bumi, jauh banget” “Nggak ada salahnya suka sama orang, Lis. Dan itu wajar” tangan besar dan berotot Vero meraih salah satu tangan Lisa untuk di genggam erat. “Apa sebuah hubungan harus selalu disertai ikatan, Lis? Kalo nggak, boleh dong gue tetap ada disini. Karena keberadaan gue bukan untuk mengikat sebuah hubungan, tapi untuk menemani lo jalan di tengah hujan lebat dan angin kencang. Lo butuh teman dibanding pacar” “Gue butuh kakak” “I will stand beside you” Vero tersenyum manis sekali, mata tajamnya berubah sendu. "Makasih ya, Kak" "Sama-sama" "Untuk sotonya, besok boleh bawa lagi" Lagi-lagi tawa Vero tak bisa dibendung, pagi yang cerah ia habiskan bersama orang yang selalu memaksakan diri untuk bersinar lebih cerah, padahal ada kalanya matahari tertutup oleh awan tebal dan digantikan dengan hujan lebat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD