Bukankah seharusnya cerita Gevit dan Alena berhenti saat sebelum Gevit bertemu dengan Ivy? Tapi sepertinya takdir mereka tertulis dengan berbagai pilihan, dan yang dipilih adalah mereka tetap melanjutkan cerita yang nyatanya akan semakin rumit. Kedatangan Ivy bukan pertanda bagus untuk Alena yang sudah terlanjur mencintai Gevit.
Meskipun dia belum tau siapa Ivy, tapi insting perempuannya bekerja dengan sangat bagus disini, Alena menyadari beberapa perubahan sikap Gevit. Dulu, dia masih menyempatkan diri untuk menghubunginya di tengah kesibukan yang terus melilit tubuh dan pikiran cowok itu hingga dia harus bisa membagi waktu.
Demi apapun, Alena benar-benar tidak keberatan dengan segala kesibukan Gevit, dia sudah berdamai dengan rasa sepi. Dan itu bukan hal yang serius untuknya. Tapi entah kenapa kali ini perasaan nya berkata lain, Gevit bukan sibuk karena kesibukan hari-harinya melainkan karena ada hal lain.
Hembusan nafas terdengar begitu clueless, pesan yang berjajar di room chat tak kunjung mendapatkan centang biru dua. Padahal tadi Gevit sempat online, tapi saat dia mengetik pesan status online itu menghilang.
Belum lagi, story w******p cowok itu yang begitu ambigu membuatnya jadi menaruh rasa curiga yang berlebihan.
‘When you want to greet me, I will always stand in the same place with the same smile’
“Buat siapa coba kata-kata ini?” Alena menggaruk rambutnya, dia menatap kaca sebentar. “Nggak mungkin kan Gevit berpaling dari, gue?”
Berbicara dengan diri sendiri yang kerap kali disangka gila adalah kebiasaan Alena sejak lama. Dia sering melakukan hal ini, berbicara pada diri sendiri seakan tubuh dan jiwanya ada dua. Dia bisa tergelak dan tersenyum lebar hanya karena berbicara pada diri sendiri. Bukan karena Alena gila, hanya saja, dia sudah terbiasa dengan hadirnya sosok jiwa kedua yang biasanya menjadi teman nya berbicara.
Menutup aplikasi chat nya, Alena bergegas keluar kamar karena jarum jam sudah berada di angka 20. Rumahnya sepi seperti biasa, Riswan belum kembali dari Semarang sementara kabarnya Aurin juga masih disana. Entah ada apa dengan gadis itu, Alena sih tidak peduli. Paling juga lagi minta uang jajan tambahan.
Berlari kecil menuruni anak tangga, Alena menyambar satu kotak s**u yang ada di atas meja dan langsung berjalan keluar. Dia akan menunggu Gevit karena biasanya mereka akan berangkat bersama.
Brumm!!
Alena terjingkat, tangan yang masih memegang gerbang terhenti, tatapan tajam ia layangkan pada sahabat sekaligus tetangga rese nya. Tidak afdol jika hanya menatap Leo tanpa disertai dengan makian.
“Santai dong! Mau bikin orang jantungan lo?” sewot Alena seraya maju tiga langkah mendekat ke arah Leo. “Tau nggak, ini jantung kalo dijual harganya bisa buat beli harga diri lo” lanjutnya seraya menunjuk ke arah tepat di jantung.
“Emang lo udah ada niatan buat jual jantung, Al?” kekehan Leo berhasil menyulut emosi Alena. Gadis itu berdecak pinggang seraya melotot sok galak, padahal mah jatuhnya gemesin banget sampai rasa-rasanya Leo ingin mengirim Alena ke Alaska.
“Mulut lo enteng banget, Yo, ya allah. Amit-amit gue jual jantung”
“Lah tadi kan lo yang bilang sendiri kalo jantung lo di jual bisa buat beli harga diri gue. Dengan kata lain lo emang ada niatan jual jantung. Mau gue bantu promosiin nggak?”
Alena menatap datar ke arah Leo. “Nyenyenye!” tuh kan bibirnya monyong-monyong sekarang. “Udah ngomongnya? Sana berangkat, bikin emosi aja pagi-pagi”
“Dih, cantik lo monyong-monyong begitu?”
“Ya emang gue cantik” Alena mengibaskan rambut layaknya iklan shampo. Sementara Leo langsung memasang wajah geli, padahal dalam hati dia memuji kecantikan Alena.
“Iyain aja udah biar fast.” kata Leo seraya mengibaskan tangannya. Dia hendak memakai helm, tapi menggantung di udara, tersela oleh penawaran yang kemudian di layangkan dengan santai seperti biasa. “Mau bareng gak, Al? Mumpung gue baik hati nih”
“Baik hati? Cih.” katanya. “Tapi nggak deh, makasih. Gue nunggu Gevit aja, takutnya dia entar nyamperin kesini”
“Tinggal kasih tau kalo lo berangkat bareng gue apa susahnya sih? Dia juga nggak bakal marah kok”
“Masalahnya, Leo ganteng--”
“Thanks, gue emang ganteng, gak usah diragukan lagi”
Alena ancang-ancang ingin melempar sepatunya, Leo buru-buru menghentikan bacotannya sebelum sepatu pantofel itu benar-benar melayang ke arah wajahnya. “Masalahnya, Gevit nggak ada kabar dari kemarin. Chat gue aja gak di bales”
Alena kembali membuka room chat nya, masih tidak ada tanda-tanda Gevit akan membalas chat nya. Sekarang Alena jadi tidak yakin apakah Gevit akan menjemputnya atau tidak karena pesan nya dari semalam saja tak terbalas. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak. Mungkin Gevit sibuk atau tidak ingin di ganggu, tapi biasanya cowok itu santai-santai saja jika Alena yang mengganggu dan bukan orang lain. Dan seperti kebanyakan pacar pada umumnya, Alena kesal dan menaruh kecurigaan besar pada Gevit. Takut-takut dia bermain dengan gadis lain dibelakangnya.
Secara, Gevit kan cakep banget. Mana mukanya rada-rada kurang dipercaya kalau urusan percintaan. Dia itu masih noob banget dan pastinya gampang goyah.
Jangan sampai ada drama Gevit yang dulu ngejar-ngejar Alena, dan sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Alena benar-benar tak bisa berpikir positif lagi sekarang. Melihat Alena yang hanya diam saja, Leo kembali bersuara.
“Al, lo tau artinya Ghost?”
Alena menoleh, “Hantu, kan?”
“Kalo Thing?”
“Hal. Kenapa sih?”
“Kalo Ghosting apa?”
“s****n LEO GAK LUCU!” Teriak Alena, dia paham betul Leo tengah mengejeknya. Enak saja, mana mungkin Gevit menghostingnya? s****n emang!
Sementara Leo memacu kendaraannya seraya tertawa terbahak. Sepagi ini berhasil mengerjai Alena adalah kesenangan tersendiri yang bisa Leo rasakan, seakan jika Alena kesal semangatnya untuk pergi ke sekolah meningkat.
Setelah kepergian Leo, Alena menghela nafas. Gadis itu menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, Alena mengecek kembali ponselnya, Gevit masih belum membaca pesannya. Akhirnya, Alena memutuskan untuk menelepon Gevit.
Nada sambung ke empat, barulah telepon mereka terhubung. “Gevit--”
“Al, sori banget gue lagi dijalan, ntar gue kabari lagi oke?”
Tut!
Alena hanya menatap kosong ke arah layar ponselnya. Di jalan katanya?? Alena tidak bisa menunggu lebih lama lagi atau dia akan terlambat, memilih opsi terakhir, akhirnya Alena memesan ojek online.
-Tahubulat-
Benar kok, Gevit sedang ada di jalan. Dia tidak berbohong. Masalahnya sekarang dia juga tidak sendiri, dia bersama seseorang. Tidak perlu deh kalian tebak, karena kalian pasti sudah tau siapa seseorang itu. Dia adalah Ivy.
Kemunculan Gevit di depan g**g tempat kosnya membuat Ivy terkejut, bagaimana mungkin cowok itu bisa nangkring ditempat ini sepagi ini masih dengan seragam sekolahnya.
“Gevit, kok ada disini?”
“Kaget nggak?”
“Lumayan” Ivy mengangguk-anggukan kepala. “Kamu bukannya harus ke sekolah?”
“Iya sih? Tadi cuma iseng aja berhenti disini, eh taunya ketemu sama bidadari”
Ivy tidak bisa menahan senyum gelinya, ketika Ivy tersenyum seakan aura gadis itu jadi di penuhi warna pink seperti buah peach. Dan Gevit selalu ingin melihat senyum manis itu setiap harinya. "Oh iya, kita kan udah jadi teman nih, boleh nggak minta nomor w******p nya?"
Sudah pernah dikatakan bukan? Kalau Ivy lemah dengan segala hal yang berkaitan dengan Gevit? Termasuk saat cowok itu meminta nomor ponselnya. Akhirnya Ivy memberikan nya, tak lama layar ponselnya menyala dan nomor Gevit terpampang disana.
“Kamu mau kemana? Sekalian aja aku anterin” sambung Gevit seraya memasukan ponsel ke dalam saku jaket.
“Aku mau ke studio, ntar malem ada job di salah satu cafe, jadi harus latihan”
“Yaudah aku anterin”
Sebuah motor berhenti di depan motor Gevit, cowok berjaket kulit itu melepaskan helmnya. Wajah segar Anan terlihat sangat tampan, rambut hitamnya di terbangkan angin pagi yang segar. “Lo, bukannya yang di cafe malam itu ya?”
Gevit mengangguk.
“Aku duluan ya, Gevit. Terima kasih atas tawarannya, aku bareng Anan aja” Ivy berjalan ke arah Anan dan langsung naik ke motor cowok itu. Bahkan Ivy melingkarkan kedua tangannya di perut Anan sebelum meletakan kepalanya pada pundak cowok itu.
Hati Gevit panas, bohong banget kalau dia tidak cemburu. Seharusnya yang ada di posisi itu dia, bukan Anan. Cowok gak jelas s****n! Argh! Gevit meninju udara saat motor Anan melesat. Kalau harus bersaing dengan Anan, Gevit mundur selangkah. Anan lebih gagah dan lebih tampan, jika berdiri di samping Ivy, cowok itu lebih cocok dibanding dia yang masih anak sekolah ingusan.
Seperti biasa, Gevit menggunakan kecepatan motornya untuk melampiaskan kekesalan karena Ivy lebih memilih pergi bersama Anan dibanding dengannya.
Dan kekesalan Gevit itu berimbas pada orang-orang terdekatnya yang selalu kena pukul atau maki oleh Gevit.
-Tahubulat-
“Nih anak kayaknya lagi PMS”
“Cangkem mu!” Gevit mendorong bahu Leo dengan sedikit kasar. Dia baru masuk kelas sepuluh menit yang lalu setelah mendapatkan hukuman mengerjakan soal yang ada di LKS, soal yang jumlahnya ada puluhan harus Gevit isi sampai selesai.
“Nih minum, emosi mulu”
Vero menggeser sebotol golda yang sengaja ia beli untuk Gevit saat kembali dari hukuman. “Thanks” katanya singkat seraya meraih botol golda dan meneguk isinya.
“Cuma Gevit doang? Cuih.” Alfa menatap ke arah Vero yang hanya mengangkat bahu singkat. “Gue capek hidup, arghh!!!”
Ketiga sahabatnya menoleh dengan tatapan aneh. “Kerasukan apa lo tiba-tiba bilang capek hidup, Al?” tanya Leo dengan wajah keheranan. “Astaga, jangan-jangan ini pertanda?” Leo berubah heboh, dia menangkup wajah tampan Alfa dengan wajah khawatir yang dibuat-buat.
“Pertanda apa sih, anjing!”
“Pertanda lo bakalan mati lah” sahut Gevit dengan begitu entengnya.
“CANGKEM MU!”
Kali ini seluruh atensi anak-anak yang ada di kelas langsung terpusat pada Alfa, “Apa?!” galaknya menanggapi.
“Nih anak kayaknya kudu di ajarin cara mengkon--”
“Astagfirullah mas! Jangan terlalu v****r nyebutnya” Vero bergidik ngeri dengan wajah super-konyolnya. Tangan besar Leo tanpa sungkan mendorong kepala Vero dengan gemas sekaligus kesal.
“KONTROL b**o!”
“Ngomong dong, ah” dengus Vero seraya mengusap kepalanya.
“Lah lo nyela ucapan gue sempak!”
“Gak waras!” maki Gevit sebelum akhirnya menelungkupkan wajahnya pada lipatan tangan.
Tak lama salah seorang teman mereka berteriak. “Ge! Di cariin cewek lo nih!”
Gevit mengeluh dalam hati, dia melupakan keberadaan Alena karena cenderung lebih banyak memikirkan Ivy. Mau tak mau Gevit mendongak, meski kesal dan tidak mood cowok itu tetap berjalan keluar kelas untuk menemui Alena.
“Lemes banget” celetuk Alena saat melihat wajah kusut Gevit. “Tadi telat ya? Gue denger lo di hukum di perpus”
“Iya”
“Kok bisa telat? Tante Andin lupa bangunin apa gimana?”
“Nggak, tadi ada urusan sih”
“Kalo boleh tau urusan apa? Akhir-akhir lo berubah deh, jadi banyak urusan”
Tatapan mata Gevit tidak seperti biasa, cowok itu berubah jadi dingin dan cuek. Alena bisa merasakannya dan jujur saja dia merasa sebentar lagi akan sakit hati gara-gara most wanted satu ini.
“Al.. nanti ada waktu nggak?”
“Ada, kenapa? Mau kemana?”
“Gue mau ngomong sesuatu sama lo, nanti pulangnya sama gue ya”
“Kali ini nggak ingkar kan?”
Gevit menggeleng, tangan besarnya menyentuh pipi Alena, memberikan usapan lembut disana. “Oke, gue ke kelas duluan kalo gitu”
“Iya”
-Tahubulat-
Perihal jeda nyatanya tak membuat Alena mampu mengucap kata baik-baik saja. Meski saat itu Gevit bilang, jeda adalah kiasan dan bukan akhir dari segalanya. Tapi tolong, jika sudah menjatuhkan jangan beri harapan. Karena nggak semua orang kuat, nggak semua orang sanggup dengan segala jeda yang harus terjadi.
Siang ini, Gevit dan Alena duduk berdua di sofa. Es kelapa muda yang tadinya segar kini tampak tak memiliki cita rasa, bahkan menarik untuk dilihat saja tidak. Es batu yang tadi sebesar kepercayaan Alena kini perlahan mencair lalu melebur bersama dengan rasa kecewa.
“Kenapa? Lo udah nggak suka lagi sama gue sampai minta jeda kayak gini?”
“Al--”
“Gevit, please. Hukuman ini tinggal beberapa hari lagi, kan? Gue cuma mau menuhin hukuman itu aja, kalo setelah itu kita harus selesai, kita akan selesai.”
Sungguh, Alena masih belum siap kehilangan Gevit untuk saat ini. Dan dia akan melakukan segala cara agar Gevit tidak pergi dari hidupnya. Hubungan karena sebuah hukuman yang awalnya hanya dibuat candaan kini berubah jadi hubungan serius, melibatkan rasa yang pasti sudah tidak bisa lagi untuk didefinisikan sebagai lelucon saja.
Sementara Gevit memang meminta jeda pada Alena, bukan tanpa alasan. Dia ingin mengejar Ivy tanpa melukai Alena. Jika keduanya masih terikat hubungan, Gevit merasa tidak bebas dalam mendapatkan Ivy kembali. Dan besar kemungkinan Alena akan semakin terluka karena perubahan sikapnya.
Alena hanya asing yang datang beberapa bulan terakhir, sementara Ivy.. Gevit sampai tidak bisa mendefinisikan seberapa berartinya Ivy di dalam hidupnya.
“Tapi Al--”
“Apa alasan lo minta jeda kayak gini? Apa karena lo udah suka sama cewek lain?” Alena meraih kedua tangan Gevit untuk digenggam erat. “Gevit, tatap mata gue.. lo suka sama cewek lain?”
Gevit memang menatap mata Alena, tap tak ada jawaban apapun yang keluar dari bibir cowok itu. “Bukannya kemarin lo suka sama gue? Lo bilang sendiri lo pengen deket sama gue? Lo terus maju meski gue paksa mundur. Dan sekarang lo udah ngedapetin gue, Ge. Lo juga udah dapetin hati gue…” lirih Alena akhirnya mengakui tentang perasaannya.
“Al, maksud lo…”
Wajah Gevit berubah jadi lebih serius. Alena menunduk dalam-dalam, “Gue suka sama lo”
Ingin sekali rasanya Alena menemukan dirinya yang dulu, yang menolak setiap kali didekati oleh cowok, yang hanya mengharapkan Leo dalam hidupnya. Tapi hidup ini lucu, seakan ingin mengajaknya bercanda dengan lebih menyakitkan. Alena tidak akan menyangkal, bahwa kehadiran Gevit dalam hidupnya turut menyumbang rasa tenang dan membuatnya merasa dilindungi. Gevit selalu menyuguhkan senyum termanis hanya untuknya, Gevit yang selalu treat dia like a queen.
Ponsel Gevit bergetar, nama Ivy tiba-tiba terpampang disana.
“Halo..”
“....”
“Kamu dimana?” wajah Gevit berubah cemas. “Oke tunggu di situ, aku kesana sekarang.” Gevit berdiri, tapi tangannya ditahan oleh Alena.
“Tolong.. jangan pergi..” Alena menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Perasaan Gevit campur aduk, yang menelpon tadi adalah Ivy. Dia bilang, dia butuh bantuan Gevit.
“Sori, Al.. gue harus pergi.”
Detik dimana Gevit benar-benar pergi meninggalkannya, Alena sadar, kalau hati cowok itu bukan lagi untuknya, bukan lagi tentangnya. Dan Alena seharusnya sadar, bahwa dia harus melepaskan, bukan menahan.
Tapi untuk kali ini saja, dia ingin egois. Dia akan tetap menahan Gevit apapun yang terjadi.