Skalla-13

2016 Words
Ramai dan Rusuh. Dua kata yang cocok untuk menggambarkan keadaan rumah Leo semenjak kedatangan teman-temannya. Bahkan saat matahari hendak pulang ke peraduannya, mereka tak peduli, masih asik bermain Uno. Sejauh ini, Vero yang paling jago dalam bermain Uno. Entah terbuat dari apa jemari lentik itu sampai lihai menarik balok tanpa roboh padahal penyangganya sudah miring. Canda tawa mengiringi permainan mereka, sejauh ini, semua berjalan dengan semestinya. Alena dan Leo memilih untuk tidak melanjutkan perdebatannya tadi. Mereka asik bermain dengan yang lain setelah semangkuk bakmi tandas di perut masing-masing. “Wooohoooo, yeeessss” Tawa Vero kembali mengudara saat lagi-lagi Alena yang kalah dan dia yang menang. Alena memang payah dalam bermain uno, gadis itu mendengus, sudah tiga kali dia kena hukuman. “Wah, parah lo, Al.” Cibir Alfa, gara-gara uno mereka menjadi lebih dekat sekarang. Yah, tidak dekat-dekat amat, setidaknya diantara mereka sudah tidak ada sekat orang asing lagi. Mereka akhirnya saling mengenal satu sama lain. “Udah ah, gue mau pulang. Nggak asik” Alena hendak bangkit, namun lengan nya kembali ditarik oleh Leo membuat tubuh gadis itu kembali terduduk.  "Eits, lo belum dapet hukuman ya, Al" Leo terkekeh saat melihat wajah cemberut Alena. Menurutnya, itu sangat menggemaskan. Sore itu, mereka memutuskan untuk bermain dan tertawa bersama. Perihal rasa yang belum bisa tersampaikan, bisa dilupakan sejenak. Tentang Gevit yang menyukai Alena, dan tentang Alena yang memilih Leo sebagai pelabuhannya. Atau bahkan tentang awan yang menggantung di langit senja saat kedua netra itu saling bertemu dengan seutas senyum di bibir ranumnya. Kadang, sesuatu yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata, mungkin bisa tersampaikan hanya dengan tatapan mata. Dan seperti itulah cara cinta bekerja, yang mungkin belum disadari oleh pemiliknya. Alfa gila, dia baru berapa hari bertemu dan dekat dengan Letta, namun rasa-rasanya dia sudah jatuh cinta pada gadis itu. Benar kata orang, hanya butuh waktu sedetik untuk kamu menyukai seseorang. Tapi butuh waktu yang cukup lama untuk kamu bisa melupakan orang tersebut.  “Udah sore nih, pulang yuk” Ajak Letta, dia sudah mendapatkan pesan dari Andini yang meneror nya untuk segera sampai dirumah sebelum adzan maghrib berkumandang. “Yah, kok pulang. Alena kan belum dapet hukuman” celetuk Vero, sia-sia dong kemenangannya kalau tidak bisa melihat Alena dihukum. Dia masih memikirkan, hukuman apa yang akan ia berikan kepada Alena sebagai penutup permainan uno ini “t*i lo, Ver. Cepetan, apa hukumannya?” Alena yang memang sudah lelah, dia jadi sensitif.  Mereka semua tergelak, Alena sendiri yang masih setia memasang wajah bebeknya. “Emm.. apa yaaa…” karena Vero yang menang, dia yang akan memberikan hukuman untuk Alena. Dan hukuman kali ini harus lebih seru dari biasanya. Netra Vero mengerling jahil, dia menatap Alena yang sudah memasang wajah was-was. “Gimana, kalau hukumannya lo pacaran sama Gevit selama sebulan?” “s****n!” Maki Alena spontan, “Ngotak dong lo” lagi, dia kesal. Bahkan teramat sangat kesal, bagaimana mungkin Vero mengajukan hukuman seperti itu. “Yah, Al. Harus sportif dong. Cuma sebulan kok, namanya juga hukuman. Kalo lo nggak tersiksa kan nggak afdol” "Nggak, nggak, gue nolak. Ganti hukuman apa aja asal jangan yang itu" Alena mengibaskan tangannya, tanpa sadar apa yang dia lakukan tadi sedikit menyentil perasaan Gevit. Setidaksuka itukah Alena kepadanya? Gevit terdiam di tempatnya, dia menatap Vero dengan tatapan menuntut penjelasan. “Ver, jangan gitu lah..” Leo mencoba membela Alena, namun keputusan Vero sudah bulat. Dia ingin memberikan hukuman itu kepada Alena. Dan Alena yang sudah tersudut, tak bisa membela dirinya, dia tak bisa membantah lagi hingga akhirnya menyetujui hukuman yang diberikan oleh Vero. Ketika matahari benar-benar hilang, berganti dengan taburan bintang di luasnya langit terbentang, disaat itulah Alena dan Gevit saling bertemu pandang cukup lama. Saling menelisik ke dasar hati lewat tatapan mata. Akankah Alena bisa menjalani hidupnya dengan label hukuman menjadi pacar Gevit. Akankah juga Gevit mampu memanfaatkan kesempatan yang sudah diberikan oleh sahabatnya, Vero. Semua terlalu kabur malam ini, sejenak, mereka tidak akan membahasnya dan memilih untuk saling melenggang pergi menuju ke peraduan masing-masing. Sebelum besok, ketika matahari kembali menyungsung, mereka akan bertemu di sekolahan. "Just bad day, not bad life" gumam Alena seraya berjalan ke rumahnya. -Tahubulat- Andini menatap dua anak nya dengan tatapan penuh pujian, selain pintar, mereka juga cantik dan tampan serta berbakat. Andini tidak berharap yang muluk-muluk untuk kedua anaknya, Gevit tidak perlu jadi seorang Profesor, Aletta juga tidak perlu jadi business woman skala Internasional. Andini hanya berharap dua anaknya bisa menjadi diri mereka sendiri. Karena dengan begitu, keduanya bisa menciptakan kebahagiaan versi mereka masing-masing. Bahagia. Kadang kata itu sering diucapkan tanpa memikirkan maknanya. Bagi Andini, kata bahagia bukan hanya sekedar kata, bahagia punya arti yang lebih dalam. Seseorang bisa senang dan tertawa di siang hari, mereka hanya terlihat begitu bahagia, bukan menjadi bahagia secara nyata. Bahagia tidak selalu tentang tawa, tangis pun kadang juga bisa disebut bahagia. Denting sendok dan garpu beradu dengan piring bundar memecah lamunan Andini, wanita itu tersenyum teduh seperti biasanya.  “Kalian mau bareng mama atau naik gocar aja nanti?” Andini memulai sarapan yang tadi belum disentuh sama sekali, mulai menyuap nasi dengan sayur brokoli diatasnya. “Bareng mama aja deh, lebih hemat” jawab si bungsu, disusul cengiran lebar. Motor Gevit masuk bengkel untuk di servis, dan nanti sore baru bisa diambil. Jadi pagi ini, mereka akan berangkat ke sekolah bareng Andini. "Bener juga sih, yaudah nanti bareng mama aja" Andini kembali menyuap, tapi netra tercuri saat melihat Gevit hanya mengaduk-aduk sarapannya tanpa minat. “Gevit?” Andini menyentuh punggung tangan anak sulungnya, Gevit sedari tadi melamun. Tidak fokus pada telur mata sapi rasa ceplok yang sudah dibuatkan dengan sepenuh hati oleh Andini. Bahkan mungkin sayur brokoli yang ada di piring cowok itu sudah menangis lantaran tak kunjung dimakan. “Kamu sakit?” Gevit segera menggeleng. "Sarapan nya nggak enak ya? Atau mau mama buatin menu yang lain?" Lagi-lagi Gevit hanya menggeleng, dia tidak nafsu makan pagi ini. Gevit meletakan sendok dan garpunya, sebelum akhirnya mengatakan. “Aku udah selesai sarapannya, aku tunggu di mobil ya, Ma” dan secepat kilat Gevit sudah menghilang dari ruang makan. Apanya yang udah selesai, bahkan Gevit belum memasukan sebiji nasi pun ke dalam mulutnya. Andini juga Letta saling diam, hanya melempar tatapan tak mengerti dengan kelakukan Gevit barusan. "Sarapan nya beneran nggak enak ya, Ta?" Aletta menggeleng. "Enak kok, Ma." gadis itu jujur, masakan Andini memang paling enak versi kedua anaknya. "Mungkin bang Ge aja yang lagi nggak nafsu, biarin aja, Ma. Nanti kalo laper juga makan kok" "Yaudah, nanti ingetin dia buat makan di sekolahan ya, Ta" "Sip, Ma" Mereka memutuskan untuk melanjutkan makan, “Gimana sekolahnya?” “Aman kok, Ma” “Bang Ge?” Letta menimbang sejenak, dia menatap manik mata Andini. Haruskah dia memberitahukan segala yang terjadi dengan Gevit belakangan ini. “Sebenernya belakangan ini bang Ge sering kayak gitu, Ma. Mood nya naik turun. Em.. dia lagi suka sama cewek, tapi ceweknya udah punya pacar. Tapi sekarang si cewek udah putus kok sama pacarnya..” “Gara-gara abangmu?” Gadis itu menggeleng. “Bukan, aku juga nggak tau. Tapi rasa-rasanya bukan deh” Hanya sampai disitu Letta bercerita, dia tidak mengikutsertakan soal kejadian semalam yang mungkin membuat pikiran Gevit tersita. Tentang Alena yang harus menjadi pacarnya karena sebuah hukuman permainan. “Letta udah selesai nih, Ma.” “Yaudah duluan aja ke mobil, Mama mau beresin ini dulu” jawab Andini seraya menatap piring-piring kotor yang ada di meja. Gadis itu mengangguk, lantas berjalan pergi begitu saja. Letta masuk ke dalam mobil, dia ada di kursi belakang karena didepan ada Gevit. “Masih kepikiran sama hukuman dari kak Vero, bang?” “Menurut lo aja lah, Ta.” “Chill, bang. Ini kan cuma hukuman” “Buat lo sih gitu, tapi buat gue nggak sesederhana yang lo pikir.” Memang, banyak hal yang menyita pikiran Gevit. Pertama, dia akan dipandang sebelah mata oleh Alena karena pasti gadis itu berpikir kalau semua ini ada kongkalikong antara dirinya dan Vero. Padahal mah, hukuman ini pure pemikiran Vero tanpa campur tangan Gevit.  Kedua,.. Gevit menatap wajah Letta dari spion, gadis itu tampak menata poninya dengan cermin kecil. Kedua, Gevit jadi berhutang budi pada Vero karena sudah membantunya sampai sejauh ini. Dan sebagai imbalan, Gevit tau apa yang Vero inginkan, Aletta. Gevit bisa saja membuat Vero dan Letta dekat, tapi dia tidak tega jika adiknya merasa tertekan karena menjalin hubungan dengan terpaksa. Gevit tidak sejahat itu. “Ta” “Hm?” Bingung, itulah yang dirasakan oleh Gevit saat ini. Bagaimana dia akan mengatakan semua yang ada di otaknya?  “Lo.. itu, Vero..” Letta langsung paham kemana arah pembicaraan Gevit. Gadis berkuncir kuda itu menghela nafas, dia menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi mobil. Menatap kepala Gevit dengan datar. “Lo mau paksa gue buat suka sama kak Vero, gitu?” “Bukan, Ta—“ “Gue pikir lo lebih tau gue dibanding siapapun, bang. Tapi kalo lo mikir dengan kak Vero bantuin lo buat dapetin kak Alena, terus lo ngelakuin hal yang sama ke gue.. It’s more annoying than I thought” Andini masuk ke dalam mobil dengan senyum seperti biasa, dia menatap kedua anaknya yang sama-sama memasang wajah kesal membuat Andini tau kalau diantara mereka telah terjadi cekcok. “Mau baikan atau bolos sekolah aja?” “Maa…” rengek keduanya, Andini tak peduli, dia masih belum menyalakan mesin mobil. Wanita itu justru asik membuka ponsel dan bermain sosmed. “Mamaaa, nanti kita telaaat” kai ini Letta yang lebih keras merengeknya. “Gevit, pindah ke belakang.” pinta Andini, saat Gevit hendak menolak, tatapan Andini menyiratkan tidak menerima penolakan. Akhirnya, Gevit keluar dan kembali masuk ke kursi belakang. Keduanya sama-sama saling memalingkan wajah, enggan untuk berdekatan. “Oh, jadi masih nggak mau berdamai?” Kali ini Andini menoleh ke belakang. “Kalau masih nggak mau berdamai, mending kalian turun terus jalan kaki ke sekolahnya” Spontan, Gevit menarik lengan Letta untuk di jabat, bahkan cowok itu langsung memeluk adiknya seraya mengucapkan kata maaf. “Sori ya, Ta. Kayaknya disini gue yang terlalu kekanak-kanakan. Gue nggak bakalan ngelakuin hal itu ke elo” “Iya, gue juga minta maaf” “Nah, gitu kan enak mama lihatnya, sekarang kita berangkat ke sekolah” -Tahubulat- Angin berhembus secara teratur pagi itu, mungkin angin tidak tau kalau Alena sudah kedinginan sejak diatas motor tukang ojek online yang ia pesan untuk mengantarkannya ke sekolahan. Leo masih memutuskan untuk tidak masuk sekolah, dia akan masuk besok katanya.  Kendaraan roda dua yang tadi membawa Alena kini akhirnya tiba di depan gerbang SMA Bintang Mulia, gadis itu segera turun dan mengangsurkan pecahan lima puluh ribu ke arah tukang ojek dengan tangan gemetar karena menahan dingin nya udara pagi kota Bandung. "Ma..makasih, bang" "Sama-sama, teh. Si teteh kedinginan gitu, cepet masuk kelas. Salah siapa tadi nggak bawa jaket"  Alena memaksakan diri untuk tersenyum, gadis itu mengangguk dan langsung berjalan setengah berlari memasuki gerbang sekolah. "Gila dingin banget, brrrr" Alena memeluk tubuhnya sendiri, dia tidak berharap ada orang lain yang mau memeluknya dikala seperti ini seraya mengucapkan kata selamat pagi dengan hangat. Lima langkah dari ujung koridor, langkah Alena terhenti saat sebuah jaket mendarat di tubuhnya, membalut punggung hingga bahunya. Gadis itu mendongak, menatap wajah tampan yang juga tengah menatapnya. "Selamat pagi" sapa Gevit dengan senyum yang manis sekali. "Nggak masalah kan kalo gue pakein itu buat lo? Kayaknya lo lebih butuh dibanding gue" masih mempertahankan senyumnya, Gevit mengusap kepala Alena sebentar, sebelum akhirnya melenggang pergi. Banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka, Alena tak peduli, justru sepasang bola matanya menatap punggung Gevit yang berlalu hingga kemudian menghilang di belokan. Aroma segar peppermint langsung masuk ke indra penciumannya. "Gue nggak lagi mimpi, kan?" monolog Alena, saat udara kembali berhembus, dia merekatkan jaket milik Gevit. Tak apalah, toh dirinya juga butuh jaket itu sekarang. Alena melanjutkan langkah. Dia tidak menyadari sesuatu, mungkin hari ini jaket itu yang melekat di tubuhnya, mungkin juga jaket itu yang mampu membuat Alena sedikit merasakan kehangatan. Tapi suatu saat,  jaket itu akan bertransformasi menjadi sosoknya, sosok yang sampai saat ini bahkan belum bisa ia terima kehadirannya. Namun lambat laun, justru sosok itulah yang akan membuat Alena bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD