Skalla-14

2664 Words
Mungkin ini adalah hari terburuk yang akan Letta lalui, entah kenapa semua orang membuatnya kesal. Atau entah kenapa dia yang sedikit lebih sensitif hari ini. Mungkin karena mendekati jadwal menstruasi, jadi mood nya naik turun. Aletta pernah mendengar kata-kata ini keluar dari mulut Alena, "Just bad day, not bad life". Jadi dengan segenap kesabarannya, gadis itu menahan untuk tidak mengamuk. Senyum yang biasa ia suguhkan pada dunia kini meredup bersamaan awan gelap yang mulai menutupi sinar matahari tadi pagi. Terdengar gelegar rendah dari atas sana, kemungkinan besar setelah ini akan turun hujan. Mungkin semesta juga tau, tentang kekesalan Letta pada Gevit karena dipagi yang cerah tadi justru mengajaknya untuk berdebat tentang hal yang tidak begitu penting. Tak berhenti di situ, kekesalan Letta juga disebabkan karena ulah Andini yang malah mengulur waktu hingga dia dan Gevit hampir terlambat sampai di sekolahan. Sekarang, bahkan pak Bani masuk ke kelas dengan setumpuk kertas ujian yang harus mereka selesaikan dalam waktu 90 menit. Mood Letta yang naik turun ini, tidak yakin bisa mengerjakan meski hanya satu soalan saja. "Ta, psst" Letta memilih untuk menulikan pendengarannya saat Sasha yang duduk tak jauh darinya mendesis seperti ular. Bukan karena Letta pelit atau apa, dia sendiri masih dalam mode serius kalau tidak ingin fokusnya buyar begitu saja.  Padahal soal Sejarah ini biasanya mudah bagi Letta. Tapi untuk saat ini, kenapa semuanya jadi terlihat susah sekali. "Bangke lo, Letta!" lagi, sepertinya dia masih belum menyerah. Sejujurnya, Letta tidak paham dengan Sasha, gadis itu tidak bodoh-bodoh amat kok. Buktinya dia bisa masuk tingkat dua berkat kemampuan otaknya. Tapi entah kenapa, dia suka sekali meminta contekan kepadanya. Angel menyenggol lengan Letta, desisan dari Sasha mengganggu indera pendengarannya dan dia tidak bisa berkonsentrasi untuk mengerjakan soal ulangan harian. "Biarin, gue belum selesai" bisik Letta ke Angel. "Tapi dia berisik, Ta." "Udah lo nggak usah peduliin dia, anggap aja tawon." baru saja Letta hendak kembali mengerjakan, Sasha dengan lantang bersuara membuat atensi seluruh murid langsung tertuju padanya. "Letta astagfirullah, ya allah, ya robbi. Jangan pelit napa"  "Sasha!" Gadis itu spontan mendongak, dia menatap pak Bani dengan wajah polosnya. "Ya, Pak?" "Ada apa?" "Tidak ada apa-apa, Pak. Saya cuma mau pinjam tipe ex ke Letta" dengan begitu percaya dirinya Sasha menjawab pertanyaan pak Bani. Gadis yang saat ini mencepol rambutnya itu menghela nafas, dia meniup poni nya jengah. Letta terpaksa menoleh, tangannya terulur untuk memberikan tipe ex kepada Sasha. Senyum manis terbit saat mendapati tipe ex itu terlampir lipatan kertas kecil yang didalamnya ada jawaban Letta. Dengan semangat Sasha langsung mengisi lembarannya. Dia sebenarnya sudah hampir selesai, hanya kurang lima nomor, tadi dia sudah menyebutkan nomornya meski Letta tidak menanggapi. Dan inilah hasilnya sekarang, hahaha. Setelah selesai dengan kegiatannya, Sasha berdiri, dia berjalan maju untuk mengumpulkan lembaran jawabannya. Kan, benar apa kata Letta kalau Sasha itu tidak bodoh. Buktinya sekarang dia udah maju mengumpulkan lebih dulu dibanding Letta. "Gila tuh anak, dia yang nyontek, dia juga yang selesai duluan" komentar Angel, Letta tak peduli, dia masih asik dengan soal-soal yang tengah dikerjakan. Daripada sibuk mengurusi Sasha, Letta lebih memilih untuk melanjutkan mengerjakan. Ayo, Letta, fokus. "Ngel, nyontek nggak?" tawar Letta setelah dua puluh menit terlewati begitu saja. Angel menggeleng, dia hampir selesai. "Gue duluan" "Okay" Letta berjalan maju, tak lama Lisa menyusul seraya tersenyum jenaka ke arah Letta. Mereka meninggalkan Angel sendiri, nanti gadis itu akan menyusul. Di luar ruangan, Sasha yang tengah mengulum permen langsung menyungsung senyum lebar menyambut kedua temannya. "Mana si malaikat?" "Angel, Sha" "Iya, iya, Angel. Mana dia?" "Masih ngerjain, gue tawarin contekan nggak mau" "Dih, sombong." celetuk Sasha. Lisa menabok p****t gadis itu dengan gamas. "Bukan sombong, tapi dia percaya sama kemampuannya sendiri. Nggak kayak lo" "Yailah, gue cuma nyontek lima nomor aja kook." Perdebatan mereka terjeda saat Angel datang, gadis yang kemana-mana selalu menggunakan bando itu tersenyum. "So sweet banget sih pake nunggu gue segala" celetuk Angel seraya memasang cat face nya yang justru malah minta ditabok. Letta merotasikan bola matanya, sudah biasa melihat tingkah Angel yang seperti itu. "Kantin yuk, laper nih" Letta mengelus perut nya. "Eh, gue nggak bisa, Ta. Hari ini gue udah janji mau bantuin anak Osis buat bikin proposal pengajuan sponsor untuk acara purna kakak kelas" Lisa melepaskan rangkulannya, dia menatap ke tiga temannya dengan tatapan curiga. Tidak ada angin-tidak ada hujan, Lisa tiba-tiba mau membantu anak osis padahal dirinya bukan anggota. Sasha gantian menabok b****g gadis berambut panjang itu. "Sejak kapan lo jadi bagian dari anak Osis?" Lisa meringis, alih-alih menjawab cewek itu malah menunjukan deretan giginya yang rapi. "Bukan jadi bagian sih, lebih tepatnya mereka butuh bantuan gue, dan gue cuma sekedar membantu. Itu doang kok" Letta menatap mata Lisa yang bergerak dengan gelisah, kenapa dia seperti melihat sesuatu? Bukan kebohongan, lebih tepatnya Lisa seperti menyembunyikan sesuatu.  "Yakin cuma bantuin doang kan?" Angel tersenyum, dia menggenggam erat jemari Lisa. Gadis itu mengangguk. "Yaudah deh, kalo niat lo emang baik, kita sih dukung-dukung aja." "Bener tuh kata Angel" kali ini Letta yang menimpali. "Yaudah deh, gue pergi dulu ya, bye!" "Semangaaaat!" teriak mereka bertiga secara bersamaan. -Tahubulat- Kantin ramai diisi oleh manusia-manusia kelaparan yang ingin segera mendapatkan makanan mereka untuk mengisi perut yang kosong. Selama 4 jam mendapat gemblengan di kelas membuat perut mereka lapar. Apalagi, di luar tengah hujan deras, membuat nafsu makan mereka jadi meningkat.  Beramai-ramai mereka datang ke kantin untuk mencari semangkuk bakso, mie ayam, soto atau indomie seleraku. "Duduk aja, Al. Biar gue yang pesen makan" Alena hanya mengangguk singkat, membiarkan Gevit berlalu begitu saja. Tadi, mendadak Gevit datang ke kelasnya dan menjemputnya untuk ke kantin bareng. Awalnya Alena hendak menolak, tapi senyum menyebalkan milik Vero yang tiba-tiba melintas di ingatannya membawa gadis itu sampai di tempat ini. Padahal tadi Alena tidak ingin makan dan hanya ingin membaca novel sad story seraya mendengarkan musik di saat hujan. Pasti feel nya makin kerasa. Sialan memang Vero, awas saja, Alena akan balas dendam nanti kalau ada momen yang pas. "Oh, jadi setelah putus sama Gala, lo kegatelan sama Gevit, cih" Meski sudah tau suara siapa itu, Alena tetap mendongak, dia menatap Aurin yang melipat tangan didepan d**a.  Brak. Aurin menggebrak meja Alena. Gadis itu mencondongkan wajahnya di depan wajah Alena. Berharap lawannya akan merasa terintimidasi.  "Lo tau kan kalo gue suka sama Gevit?" "Bukan urusan gue juga" jawab Alena yang kelewat santai, dia tidak pernah takut pada Aurin, sama sekali. Karena Alena tau Aurin tidak akan berani menyentuhnya. Atau kalau gadis itu berani, maka Alena sendiri yang akan membalasnya dengan cara yang lebih menyakitkan.  "Jauhi dia. Gevit hanya akan jadi milik gue, Alena" "Lo b**o atau bodoh sih? Ngejar-ngejar orang yang bahkan gak suka sama lo. Sadar, Rin, lo tuh cantik. Bisa dapetin cowok lain, nggak harus Gevit!" Alena muak, dia benar-benar muak dengan drama seperti ini. Gadis itu berdiri, menatap Aurin dengan tajam. "Gue cuma mau Gevit, nggak mau yang lain." tandas Aurin tak goyah sama sekali. "Terserah lo." dan setelah itu Alena berlalu begitu saja. Tepat saat Alena menggeser pintu kantin, Gevit datang dengan dua semangkuk mie ayam dan dua gelas teh hangat. "Alena, lo mau kemana?!" teriak Gevit tapi agaknya percuma karena Alena sudah pergi.  "Pasti gara-gara lo kan?" desis Gevit tajam, dia meletakan nampan itu diatas meja dengan sedikit kasar lantas menyambar dua buah roti dan sekotak s**u lalu meninggalkan uang lima puluh ribuan diatas meja. Gevit berlari mengejar Alena ke kelasnya. Tapi belum sempat Gevit masuk, dari depan pintu dia melihat adanya Alena yang tidak sendiri. Ada Gala disana tengah menyuapi gadis itu makan. Mungkin dia juga yang membawakan makanan untuk Alena. Memberanikan diri, Gevit melangkah masuk. "Al" Keduanya sama-sama menoleh, Gala langsung bangkit, saat dia hendak meminta penjelasan kepada Gevit lengannya ditahan oleh Alena. "Udah, Ga, ini bukan salah Gevit juga kok"  "Mau apa lo kesini?!" tanya Gala dengan nada tak bersahabat sama sekali, Gevit tidak gentar sedikitpun. Cowok itu masih tetap berjalan sampai akhirnya tiba di depan bangku Alena.  "Gue cuma mau kasih ini--" Gala dengan kasar menepis roti dan s**u yang diulurkan oleh Gevit hingga makanan itu jatuh di lantai. Tangan Gevit terkepal kuat, dia benci ketika melihat orang membuang-buang makanan seperti itu. Dulu dia pernah merasakan kelaparan, melihat Letta menangis hanya karena ingin minum s**u tapi Andini tidak mampu membelikan nya. Mengingat kenangan itu saja membuat amarah Gevit langsung terpancing. Dengan tatapan nyalang, Gevit menarik kerah Gala. "Kalo lo nggak suka gue kasih roti itu ke Alena, setidaknya lo nggak perlu tepis kayak gitu!"  BUGH! "Gala!" pekik Alena, gadis itu memegang kedua bahu Gala dengan raut wajah khawatir, apalagi kini sudut bibir Gala berdarah. Terpancing emosi, Gala balas memegang kerah Gevit dan menyeretnya hingga keluar kelas. "Gala, Gala, udah Ga, gue mohon sama lo, plis" Alena terus memohon, dia tidak ingin adanya pertengkaran antara Gevit dan Gala hanya karena nya. Gala sudah tidak peduli, darah harus dibalas dengan darah. Gevit mengikuti saja kemana Gala akan membawa dirinya, cowok itu menaikan sudut bibirnya. "Gevit!" saat Vero hendak maju, Gevit mengangkat sebelah tangannya, "Keep calm" Gala mendorong Gevit hingga tubuh cowok itu jatuh ke lantai lapangan. Yang pasti mereka langsung basah kuyup karena hujan mengguyur dengan cukup deras. "Gue dari kemarin udah sabar-sabarin buat  nggak nonjok muka b******k lo itu" ucap Gala pertama kali. Gevit mencoba berdiri hingga kini keduanya berhadapan. "Tapi sekarang gue nggak bisa lagi, lo mundur, itu artinya lo pengecut--" Bugh! "Bacot!" maki Gevit karena dia merasa Gala terlalu banyak bicara. Hujan mungkin tau, bahwasanya memendam kekesalan terlalu lama hanya akan menjadi boomerang untuk diri sendiri. Dan lebih parah lagi untuk orang lain. Hujan juga jadi saksi, dimana Gala meninju perut Gevit juga menendang lutut bagian belakangnya hingga membuat cowok berwajah tampan itu langsung tersungkur. "Lo pikir gue nggak tau tentang hukuman yang temen b*****t lo itu kasih ke Alena?" Gala berjongkok, dia menepuk pelan pipi Gevit. "Cara main cowok buat dapetin cewek nggak gitu, bro" Gevit memegang perutnya yang nyeri, bukan cuma perut melainkan wajah pun sama. Tak jauh beda dengan Gevit, Gala pun mendapatkan luka yang cukup di bagian wajah. "Cuih!" Gevit meludah. "Terus apa bedanya sama lo yang memanfaatkan keluarga buat dapetin Alena? Perjodohan? s**t!" Gevit mencoba bangkit. Senyum tipis Gala perlahan luntur. "Lo tau ap--" tangan Gala mencekik leher Gevit, dan begitu pula sebaliknya. Mereka saling mencekik satu sama lain. Anak-anak lain hanya menonton dari koridor tanpa berniat memisahkan kalau tidak ingin basah kuyup juga. "LEPASIN!!" Alena berlari ke arah mereka, dia tak peduli kalau hujan semakin deras mengguyur.  "KALIAN INI KENAPA SIH?! CUMA MASALAH SEPELE AJA DIBESAR-BESARIN!" Teriak Alena karena suaranya bersahut-sahutan dengan suara hujan. "Masalah sepele buat lo bukan berarti masalah sepele buat orang lain juga, Al." balas Gevit, menatap Alena dengan datar dan setelah itu dia melenggang pergi. Alena menunduk dalam-dalam, entah kenapa dadanya jadi sesak sekarang. Gala memegang bahu Alena. "Ganti baju gih, nanti lo demam" dan setelah itu dia juga ikut pergi meninggalkan Alena.  -Tahubulat- "Mama.. Letta mau es loli.." "Jangan makan es loli, nanti Letta batuk" "Maaa, Letta laper.." "Sabar ya, nanti kalo mama udah pulang mama belikan makan" "Maa, Letta mau sekolah kayak abang" "Nanti ya, kalau mama udah ada uang lebih Letta boleh sekolah kayak abang" "Abang, lihat, mama pulang bawa apa"  saat itu Andini pulang dengan menenteng kantong plastik berwarna hitam. Di dalamnya ada sepatu bekas yang ia beli di pasar loak untuk Gevit karena anak itu akan masuk sekolah hari senin nanti. "Yey! Sepatu baru!" Apa kalian pernah mendengar kata-kata, jika kau melihat wanita yang berdiri tegak di tempatnya yang sekarang. Jangan hanya melihat hasilnya, tapi lihat juga prosesnya. Gevit begitu menghargai kerja keras Andini yang selama ini bekerja banting tulang untuk dia dan Letta hingga bisa sampai di kehidupan yang sekarang. Dimana dulu dia pernah menahan lapar, dan kalaupun ada makanan itu hanya berlauk tahu atau tempe dengan cocolan kecap manis. Andini bekerja serabutan di toko sembako, kadang kalau juragan lagi baik, Andini bisa pulang dengan membawa sekilo beras. Gevit juga masih ingat, dimana dia dan Letta selalu terlonjak kegirangan apabila mencium aroma nasi yang baru matang. Baunya wangi, karena di setiap bulir, ada kasih sayang dan cinta yang Andini bubuhkan untuk mereka. "Makanya kalo jadi cowok jangan sok jagoan, udah tau gak pinter adu otot, masih aja ngeyel" Lamunan Gevit buyar, dia menoleh ke arah adiknya yang saat ini tengah membersihkan luka-lukanya di UKS. "Khawatir ya?" tanya Gevit di barengi senyum tipis. "Khawatir lah! Pake tanya lagi"  "Aw, aw, pelan-pelan anak cantiiikkk" Gevit mencubit pipi Letta dengan gemas saat adiknya dengan sengaja menekan cotton bud yang sudah dibubuhi obat merah ke luka-luka Gevit.  "Lagian lo tuh.. ah, untung aja pihak sekolah nggak tau. Kalau sampai tau mampus lo ditangan Mama"  Letta menempelkan plester di pelipis Gevit dengan hati-hati, dia bahkan bisa ngilu sendiri hanya dengan melihat luka-luka tersebut.  "Nanti kalo di introgasi Mama, lo bantu gue ya, Ta?" "Ogah" "Ayolah, Ta. Masa lo tega lihat abang di hukum sama Mama?" "Bukan urusan gue." Tok.tok. Keduanya menoleh, mendapati Alena berdiri disana. "Gue ke kelas duluan" Letta turun dari bangkar, dia berjalan keluar dan saat melewati Alena gadis itu hanya tersenyum tipis. Alena masuk, Gevit masih diam di tempatnya. "Lo nggak apa-apa?" "Pertanyaan retoris, basa basi kan?" tebak Gevit, dia tau Alena bukan mengkhawatirkannya. Dan dia terlalu bodoh karena berharap gadis itu mau melihat sedikit saja ke arahnya. Bahwa dia terluka, bukan hanya diluar, melainkan di dalam. "Sori" "Untuk kesalahan yang mana?" Alena menatap dua bola mata Gevit dengan intens. "Emang kesalahan gue ke elo banyak banget ya?" gadis itu meringis. "Banyak. Mau gue sebutin satu persatu?" Gevit membentangkan jarinya di depan wajah Alena. "Pertama, kesalahan lo karena lo itu cantik banget. Kedua, lo salah karena udah mengabaikan cowok secakep gue. Ketiga, lo salah karena udah bikin gue jatuh cinta. Keempat, lo salah karena gara-gara lo gue jadi bucin t***l. Kelima, lo salah....." "Apa?" "Karena lo udah ambil seluruh tempat yang ada di hati gue, Al." Suara gerimis masih terdengar dari dalam uks, mengisi kekosongan kedua anak adam dan hawa yang saat itu masih saling bertatapan, sepertinya mereka tengah berbicara lewat tatapan mata itu. Dari hati ke hati, membahas hal yang begitu dalam. Seolah tidak ingin ada yang mendengar kecuali mereka berdua, bahkan angin dan dinding yang membisu pun tak bisa menyela pembicaraan mereka. Alena menarik tangan Gevit, dia meletakan plester bermotif buah peach ditelapak tangan cowok itu. "Lo pasang sendiri, gue...mual." Saat Alena hendak kabur karena geli mendengar kata-kata Gevit barusan, dengan cepat Gevit menarik bahu Alena membuat gadis itu menoleh. "Soal hukuman dari Vero,..kalo lo mau berhenti gue bisa bantu bicarain sama dia." Dengan pelan Alena menyingkirkan tangan Gevit dari bahunya. "Nggak perlu, gue harus sportif kan. Nggak fair kalau gue menghindari hukuman. Lagipula, cuma sebulan." "Lo,..tau kan apa maksud Vero kasih hukuman itu?" "Mungkin.." Jawab Alena dengan sedikit ragu.  "Jadi?" "Ya.. nggak masalah." "Itu artinya nggak masalah juga kalo gue anggap lo sebagai pacar beneran?" Alena menghela nafas, sepertinya ini memang kesalahan dia karena sudah membuat Gevit jadi bucin t***l. Dengan senyum yang sedikit terpaksa gadis itu  mengangguk. "Sure." "Boleh gue pergi sekarang?" tanya Alena, Gevit mengangguk.  Setelah kepergian Alena, UKS lenggang karena tidak ada yang stay disana kecuali dirinya. Cowok itu membaringkan tubuh di bangkar dengan salah satu tangannya menjadi bantalan. Netra Gevit menatap plester pemberian Alena dengan senyum tipis yang menghiasi bibir tebalnya.  "Ternyata, selain lo udah ambil tempat di hati gue, sekarang lo ambil tempat di pikiran gue ya, Al" gumam nya. "Sakit nggak?" "Sakit, kak.." "Kakak bacain mantra dulu ya, bimsalabim, sembuh!" gadis itu meniup lutut bocah yang kala itu jatuh saat bermain sepeda. "Udah nggak sakit, kan?" "Hm, udah sembuh. Makasih kakak cantik" "Sama-sama, bisa naik sepeda lagi kan?" "Bisa" Mendung memang belum tentu akan turun hujan, tapi mendung membawa peringatan untuk orang-orang agar membawa payung atau bahkan mantel mereka agar tidak kehujanan bila hujan menghendaki turun ke bumi. Seperti itu juga Alena, dia sudah memberi peringatan pada Gevit agar tidak jatuh cinta padanya. Tapi Gevit tak memperdulikan hal itu, dia tetap maju demi cintanya. Jika suatu saat Gevit sakit hati, itu bukan salah Alena, tapi itu salah Gevit sendiri karena dia tidak mau mendengarkan, bahwa hujan deras akan segera datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD