Skalla-8

2118 Words
Andini sudah menaruh curiga pada anak gadisnya yang sedari tadi hanya mesam mesem tidak jelas. Bukan Letta banget kalau bangun tanpa harus di teriaki lebih dulu, tapi hari ini bahkan saat Andini masih memasak sarapan gadis itu sudah bangun dan turun dengan seragam rapi serta duduk manis di kursinya. Awalnya Andini tak menghiraukan perubahan tingkah laku Letta, dia kira anak gadisnya mendapatkan hidayah lalu bangun pagi. Tapi lama kelamaan sikap Letta yang cengar cengir tidak jelas membuat Andini jadi khawatir. Janda dua anak itu menaruh semangkuk soto ayam di atas meja, "Kamu baik-baik aja kan, Ta?" tanya Andini akhirnya menyuarakan rasa penasarannya. Letta mengangguk dengan semangat, "Baik kok, Ma. Baik banget malah, kenapa emangnya?"  "Mama ngerasa ada yang aneh aja sama kamu. Takutnya kamu kenapa-kenapa dan perlu ke dokter." "Em,.. Ma." panggil Letta tiba-tiba, Andini hanya menjawab seadanya. "Kalo Letta mau pacaran,... mama kasih izin nggak? Tangan Andini yang tadi sibuk mengambil nasi di piring kini terhenti, netra hitam legam itu menatap Letta. Raut wajah Andini tak terdefinisikan membuat Letta was-was sendiri. Pasalnya, dulu saat Letta pacaran dia tidak bilang-bilang ke Andini. Tapi sekarang kan Letta sudah cukup dewasa, dan kemungkinan untuk diperbolehkan pacaran tuh sedikit lebih besar gitu. Setelah menatap anak bungsunya sejenak, Andini kembali dengan kegiatannya. "Memangnya kamu lagi suka sama siapa? Atau ada yang lagi suka sama kamu?" "Nggak ada sih, Ma. Letta kan cuma tanya aja," "Yah, kalo kamu udah siap buat sakit hati sih nggak masalah, Ta." "Mama kok ngomongnya gitu sih?" tanya Letta kesal. "Omongan orang tua itu doa loh, Ma" ya, meskipun ucapan Andini ada benarnya karena Letta sudah pernah merasakan yang namanya sakit hati, meski tidak sampai yang parah, tapi tetap saja namanya sakit hati. Andini mengusap rambut Letta dengan sayang, wanita itu tersenyum teduh. "Sudah jadi hukum alam kalau kamu mau mencintai seseorang, resikonya ya sakit hati. Mama cuma memperingatkan kamu, karena mama nggak mau anak gadis mama ini disakitin sama cowok. Tapi kan, semua keputusan ada di kamu, mama juga nggak bisa terlalu banyak membatasi. Takutnya, kamu memberontak dan malah macem-macem." Andini menjeda sebentar kalimatnya. "Nanti yang rugi bukan hanya kamu, tapi juga mama dan nama baik keluarga Skalla" "Memangnya kalo kita mencintai seseorang dan memutuskan buat pacaran udah pasti bakal sakit hati ya, Ma?" Letta kembali melayangkan pertanyaan. Kali ini Andini duduk di kursi, melipat tangannya di atas meja lantas menatap Letta dengan intens. "Mama nggak yakin, tapi kalo kamu butuh jawaban dari sudut pandang Mama, Mama bakal jawab 'Iya'" Gadis itu terdiam, dia sudah lupa bagaimana rasanya sakit hati. Bahkan ketika Letta mencoba mengingat, rasanya begitu kosong dan hambar. Tapi, saat ini dia tengah mencintai siapa? Dan kenapa tiba-tiba dia bertanya seperti itu kepada Andini? Apakah ini refleknya karena sedari tadi chattingan sama Alfa? Dan alasan kenapa Letta jadi cengar cengir juga karena Alfa. Apakah sebesar itu efek keberadaan seorang Alfarel Benjamin di hidup Gea Skaletta? Secepat ini? -Tahubulat- Hari ini Gevit ada tanding basket, hanya pertandingan persahabatan antar sekolah. Pertandingan itu akan dilangsungkan setelah kegiatan belajar mengajar selesai, tapi sejak pukul satu siang ini semua pemain dari SMA Bintang Mulia sudah siap. Tinggal menunggu arahan dari pelatih dan setelah itu mereka akan langsung pergi ke SMA Arwana. Disaat anak-anak yang lain sudah siap dan bersemangat, tapi tidak dengan Leo. Dan yang mengetahui itu semua adalah Vero, sedari tadi cowok itu terus saja memperhatikan sahabatnya yang tengah murung. Dia berjalan mendekat, menepuk pundak Leo membuat sang empu terkejut. "Lagi mikirin apa?" tanya Vero pelan, dia tidak ingin pembicaraannya didengar oleh siapapun. Leo tersenyum tipis, menggeleng. "Bukan apa-apa." "Serius?" Lagi-lagi Leo hanya tersenyum tipis.  Dia tidak bisa memberitahu masalah ini kepada siapapun termasuk pada sahabatnya Vero dan Gevit. Karena ini menyangkut masalah pribadinya. Tapi mungkin,.. Vero sudah mengetahui hal itu. Hanya saja, sahabatnya itu memilih untuk bungkam. Lima belas menit kemudian, lima orang berangkat plus dua orang yang akan menjadi pemain cadangan. Hanya dua orang karena yang lainnya tidak bisa ikut, ya sudahlah. Menaiki mini bus menuju SMA Arwana. Gevit duduk di depan sementara Leo dan Vero satu bangku di belakang. Getaran ponsel membuat atensi Leo teralihkan. Sebuah pesan masuk dari seseorang, hanya pesan biasa yang berisi semangat bertanding. Meski singkat namun membuat hati Leo merasa hangat dan tenang, dia segera mematikan ponselnya sebelum ada orang lain yang melihat pesan tersebut. "Lo nggak pernah pandai menutupi sesuatu hal, Yo."  "Maksud lo?" Vero tersenyum, "Gue tau siapa yang kirim pesan ke elo tadi, dia--" "Diam." "Lo mau jadi backstabber?" Leo mengerutkan kening, dia menoleh menatap Vero dengan intens. "Emangnya lo pikir gue sanggup ngelakuin itu, Ver?" "Kalo urusannya sama hati, gue rasa lo bakalan sanggup." "Sejak kapan lo tau tentang ini?" tanya Leo penasaran. "Emm, sejak kapan ya? Setahun lalu, mungkin."  Mereka mengobrol dengan suara pelan, karena Vero juga tau betapa sensitifnya pembicaraan kali ini. "Gue lagi coba kontrol biar nggak kebablasan, Ver." "Sulit, Yo, apalagi kalo bukan cinta sepihak." "Maksud lo?" "Yah, kemungkinan dia juga sama kayak lo. Lagian lo pernah bilang kan, kalo hubungan dia dan pacarnya hanya sepihak. Nggak menutup kemungkinan dia suka sama cowok lain, dan cowok itu elo." Ucapan Vero barusan akan terus diingat oleh Leo. Ketakutan mulai masuk ke dalam pikiran dan hati Leo, seharusnya dia tidak begini, seharusnya dia bisa mengendalikan diri. Tapi nyatanya, semakin Leo berusaha menghindar dan bersikap biasa, hatinya justru semakin sakit, rasa sayangnya semakin bertambah. "Gue nggak tau." Vero menarik sudut bibirnya, "Lo bukannya nggak tau, lo cuma pura-pura nggak tau." Percakapan mereka berdua tidak berlanjut. "Chill, Yo. Jangan paksa hati lo buat berhenti mencintai, lo bisa maksa diri lo buat bersikap biasa aja, tapi lo nggak bisa paksa hati lo, karena dia tau kemana akan berlabuh" -Tahubulat- Di lain tempat, Alena yang saat ini tengah berada di depan sekolah terus saja menatap ponselnya. Dia masih belum mendapatkan balasan dari seseorang yang baru saja dia beri kata-kata penyemangat. Ingin sekali Alena pergi menonton pertandingan basket itu, hanya saja dia tidak bisa karena pacarnya melarang gadis itu pergi. Motor harley hitam berhenti di depannya, "Yuk!" "Iya." Alena manut saja, pengendara harley itu adalah pacarnya. Galaksi, atau biasanya dipanggil Gala. Mereka berdua memutuskan untuk berpacaran karena keinginan orang tua masing-masing, plus Gala juga menyukai Alena. Lagipula, siapa sih yang tidak menyukai gadis secantik Alena? Bahkan Gevit saja jatuh cinta pada gadis itu. Sebelum pulang kerumah Gala menyempatkan diri untuk mampir ke rumah makan, dia tau Alena pasti lapar dan di rumah gadis itu tidak ada siapa-siapa. Gala bukan cowok jahat, dia adalah pacar idaman sebagian besar kaum hawa. Tampan, baik, perhatian, dewasa, rich, mana royal lagi. Tapi sayangnya, Alena tak tertarik dengan Gala, dihatinya sudah ada satu nama yang selalu tersemat disana. Mereka berdua masuk, Gala pergi memesan makanan sementara Alena duduk. Tak lama cowok bertubuh tinggi dan berbadan atletis itu bergabung dengan pacarnya. "Om Riswan belum pulang, Al?" tanya Gala mengawali. Alena menggeleng, "Masih lama, Ga. Lagian papa kan baru berangkat tiga hari yang lalu." "Kalo lo butuh apa-apa panggil gue, gue pasti langsung meluncur ke rumah lo." "Iya." Selama pacaran dengan Alena, Gala merasa gadis itu begitu mandiri bahkan terkesan tak membutuhkan dirinya. Gala juga tidak keberatan, asal Alena bisa menjaga diri dan bisa menjaga hati (yang sebenarnya bukan untuk dia) dimanapun Alena berada. Yang penting, ketika dia membutuhkan Alena, Alena harus ada saat itu juga.  Bagi Alena, keberadaan Gala tidak terlalu penting. Setiap dia membutuhkan sesuatu sudah ada Leo yang akan selalu ada. Entah saat Alena mengeluh kelaparan, Leo datang membawakan dia makanan. Saat Alena ingin pergi ke suatu tempat, Leo akan mengantarkannya. Jadi, wajar saja kalau Alena lebih nyaman dengan Leo daripada Gala. Meski dia sering menghabiskan waktu dengan Leo, bukan berarti Alena jarang bersama Gala. Alena juga sering menghabiskan waktu dengan Gala, karena cowok itu yang meminta. Meski hanya sekedar video call, teleponan, atau makan di depan komplek Alena. Kadang tiba-tiba Gala memesan taksi untuk menjemput Alena dan membawa gadis itu kerumahnya. Di rumah Gala, Alena akan main masak-masak dengan mama nya, setelah itu mereka akan mengobrol bertiga. Gala selalu menyukai interaksi dua wanita yang begitu dicintainya itu. "Ga, lo tau kan kalo gue belum bisa suka sama lo?" Gala tersenyum tipis, dia mengangguk. Entah harus menunggu berapa lama sampai Alena mau menyukainya. "Tau, bahkan setelah hampir setahun kita pacaran dan lo tetap belum bisa suka sama gue, Al." "Perasaan nggak bisa di paksa, Ga. Begitu juga sama perasaan lo yang udah terlanjur sayang sama gue, bener kan?" Tanya Alena, tapi sebelum Gala menjawab gadis itu sudah menambahkan lagi. "Tapi mau sampai kapan lo terus berjuang sendirian, Ga?" "Ngelepas lo juga percuma, Al. Kedua orang tua kita udah jodohin kita dari lama." "Perjodohan bisa dibatalkan, Ga. Kalo lo mau kita bisa bilang ke orang tua masing-masing, mereka orang berpendidikan, Ga, nggak mungkin maksa anak-anaknya buat menyetujui sebuah perjodohan yang konyol seperti ini." Perkataan Alena menampar keras Gala, dia tau, dia sangat tau kalau selama ini Alena tidak nyaman menjalin hubungan dengannya. Dan Gala sudah egois dengan menahan Alena, cowok berwajah tampan itu menatap intens gadis yang ada di depannya. "Lo bener-bener mau mengakhiri hubungan ini, Al?" "Iya, Ga. Gue udah capek, dan lo pasti juga ngerasain hal yang sama." Gala terdiam sejenak sebelum akhirnya dia mengangguk. "Yaudah kalo itu mau lo, Al. Gue bakalan ngomong ke Papa." "Thanks ya, Ga." "Gue rela ngelepas lo karena gue bener-bener sayang sama lo, Al. Gue pengen lihat lo bahagia." Alena menatap kedua mata Gala yang tersirat kekecewaan dan juga keputusasaan. Sedikit kasihan sebenarnya, tapi Alena akan lebih jahat jika dia terus-terusan terjebak di dalam hubungan ini dengan Gala.  Makanan datang, "Makan dulu, Al." Alena mengangguk, dia mengambil sendok dan garpunya, lantas melahap makanan kesukaan dia yang tadi sudah dipesankan oleh Gala. "Oh iya, lo mutusin gue bukan karena rumor soal Gevit yang suka sama lo, kan?" Alena tersedak, gadis itu segera meneguk minumannya. Netra sipit nya menatap Gala sejenak, sebelum menjawab pertanyaan konyol cowok itu. "Nggak lah, lagian kalo disuruh milih antara lo sama Gevit, gue pasti pilih lo, Ga." Gala tertawa. "Jangan gitu, Al. Nanti kena karma lho, dan akhirnya lo jadi bulol ke Gevit" "Amit-amit" Alena mendengus, dia melanjutkan makan. "Anak-anak yang masuk daftar most wanted di BM tuh, bukan tipe gue, Ga. Gue males berhubungan sama mereka, pasti di bicarain sana sini, di sindir sana sini. Ribet lah" "Tapi gue juga masuk loh, Al" Gala menaik turunkan alisnya, menggoda Alena. "Ya makanya, lo bukan tipe gue"  "Cih, frontal banget ngomongnya" Alena hanya mendengus geli menanggapi ucapan Gala. Alena yakin, Gala tidak akan marah apalagi membencinya hanya karena dia memutuskan hubungan sepihak. "Malem ini lo ikut, kan?" Oh iya, acara makan malam yang seharusnya diadakan kemarin batal dan diganti jadi hari ini. Mungkin ini waktu yang tepat untuk Alena mengatakan bahwa dia ingin mengakhiri hubungan dengan Gala didepan keluarganya. "Em, iya. Nanti sekalian gue ngomong sama keluarga lo, kalo kita nggak bisa bersama lagi" "Al--" "Karena ini keputusan gue, jadi gue juga yang harus bertanggung jawab, Ga. Lo tenang aja, oke?" "Hm, terserah lo deh." -Tahubulat- Tinggal sendiri di rumah sebesar ini bukanlah masalah untuk Alena, gadis itu sudah terbiasa dengan rasa sepi yang menjadi teman sehari-harinya. Alena paham jika orang tuanya sibuk bekerja, dia benar-benar tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi ada satu hal yang Alena selalu inginkan, yakni Ibu sambung. Sudah berapa kali dia meminta kepada Riswan agar pria itu menikah lagi dan Alena mendapatkan Ibu baru. Beda dari kebanyakan anak yang tidak menginginkan Ibu sambung, Alena benar-benar menginginkannya. Sudah sepuluh tahun berlalu, dia hanya dibesarkan oleh pengasuh dan jelas rasanya berbeda. Mama nya? Masih ada kok. Tapi Alena jarang bahkan hampir tidak pernah bertemu dengan mama nya kecuali saat penerimaan raport sekolah. Mama nya terkesan tidak peduli pada Alena dan lebih condong ke adiknya. Bahkan ketika sidang perceraian kedua orang tuanya selesai, mama nya hanya ingin membawa sang adik, dia? di lupakan. Untung saja, papa nya begitu menyayanginya dan mau merawatnya. "Thanks ya, Ga, mau mampir dulu nggak?" "Nggak deh, Al, next time aja" "Oke" "Nanti gue jemput ya, jam 8" "Siap" Alena tersenyum, "Hati-hati dijalan" Gala hanya mengangguk, dia kembali menjalankan motornya setelah mengantar Alena sampai dirumah dengan selamat. Gadis berambut hitam panjang itu berjalan memasuki pagar dengan langkah gontai, dirumah nya pasti sepi. Setahun lalu, Alena bilang ke Riswan kalau tidak perlu pengasuh lagi, dia bisa hidup mandiri dirumah. Dan Riswan akhirnya memberhentikan pengasuh Alena, sebagai gantinya Riswan mempekerjakan satu supir untuk anak semata wayangnya. Ponsel Alena bergetar, nama Leo ada disana. "Cie, pasti mau pamer kalo menang pertandingan nih anak" dengan senang hati, Alena mengangkat panggilan Leo. Apalagi itu adalah panggilan video. "Pas--" ucapan Alena terhenti kala melihat wajah Leo, "Anj- lo kenapa??" Leo tersenyum, "Bisa kesini sekarang nggak?" "Shareloc, gue kesana sekarang" Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi Alena langsung memesan taksi dan pergi ke tempat dimana Leo berada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD