Skalla 23

2083 Words
Minggu ke-3. Bener-bener deh, rasanya tidak seburuk yang Alena duga. Entah kenapa dulu dia selalu menolak mentah-mentah saat Gevit hendak mendekatinya, bahkan dia meminta Gevit untuk tidak suka padanya, tapi setelah dirasa dan di jalani, ternyata tidak buruk juga menjalin hubungan dengan Gevit. Dan tak terasa, kini hubungannya sudah memasuki minggu ketiga. Semenjak kehadiran Gevit di hidupnya, dia merasakan sesuatu hal yang berbeda. Yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya. Dulu, dia makan sendiri. Tapi sekarang, Gevit sering menemaninya makan. Dulu dia menonton film atau membaca buku sendiri, tapi sekarang Gevit menemaninya. Dulu dia hanya akan mengerjakan PR dan belajar sendiri, tapi sekarang Gevit tak keberatan membantunya sampai selesai. Cowok itu selalu punya cara sendiri untuk menghabiskan waktu bersama Alena. Bahkan sebelum tidur, mereka masih menyempatkan diri untuk melakukan sleep call an berdua sampai Alena tertidur pulas. Ucapan selamat pagi dan selamat malam menjadi rutinitas baru kedua sejoli itu, apalagi kalau Gevit sudah bilang, 'Jangan mimpi indah, tidur nyenyak saja' rasa-rasanya Alena ingin melayang ke angkasa, dan itu menjadi hal-hal yang selalu ia tunggu. Sejak dia memutuskan untuk menerima Gevit dalam hidupnya, Alena mulai membatasi hal-hal yang dulu sering dia lakukan. Salah satu nya adalah, dekat dengan Leo. Semenjak kejadian malam hari itu, Alena bertekad untuk mengesampingkan Leo dan fokus ke Gevit. Dan hasilnya, yah lumayan lah. Ternyata, Gevit juga seorang pendengar yang baik. Meski kadang cowok itu tidak bisa memberinya solusi, dia tetap mau mendengarkan cuitan Alena yang tidak ada hubungannya dengan dia sama sekali. Karena Gevit selalu suka melihat wajah berseri-seri, wajah gelisah, wajah ketakutan Alena saat tengah bercerita kepadanya.  Bukan hanya Alena yang mulai sering cerita ke Gevit, Gevit pun melakukan hal yang sama. Tapi cowok itu lebih sering bercerita tentang penatnya hari-hari dengan segala aktifitas yang ia lakukan. “Kayaknya bentar lagi gue mau bimbel deh, Al” Siang itu, mereka ada di kantin lantai 3. Alena dan Gevit duduk semeja dan makan bersama. “Lo kan udah pinter, mending ngajarin gue nih yang b**o” sahut Alena, terkekeh. Gadis itu memasukan potongan baksonya ke dalam mulut, mengunyah pelan tanpa suara. “Bisa-bisanya ada orang ngatain diri sendiri b**o. Padahal selalu masuk 3 besar di kelasnya.” “Informasi dari mana tuh?” “Yaelah, kan pengumuman ranking selalu nempel di ruang osis. Jadi gue bisa lihat  nama lo dari sana" Oh iya, Alena hampir lupa kalau Gevit ini dulunya anggota osis. Tapi semenjak kenaikan kelas dua belas, cowok itu memutuskan untuk tidak aktif lagi di kegiatan osis nya. Sesekali kalau dibutuhkan, dia akan membantu dengan senang hati, asal waktunya tidak tabrakan dengan jadwal kesibukannya. “Eh tapi beneran deh, Ge. Kalo lo mau ajarin gue dong, yah paling nggak biar nggak kelihatan d***o kalo di depan lo” padahal, tanpa diminta Gevit sudah melakukan hal itu. Dia sering melakukan video call dengan Alena untuk mengerjakan tugas bersama, kadang Gevit juga datang ke rumah gadis itu untuk belajar bersama.  Keduanya tertawa renyah, “Iya-iya, tapi nggak bisa sering. Paling kalo ada latihan TO atau soal-soal Ujian Nasional” “Sama kalo ada PR" tambah Alena, nyengir kuda. Semenjak dia sering mengerjakan PR bersama Gevit, nilainya selalu sempurna. Paling rendah waktu itu 98, sisanya 100 semua. "Yah, kalo itu mah jadinya tiap hari dong, Al" "Emang lo nggak mau ketemu gue tiap hari?" Gevit mengusap punggung tangan Alena, "Mau dong, masa nggak mau sih" Keduanya melanjutkan makan siang, Gevit mungkin bisa lega karena sikap Alena berubah total dari yang pertama kali dia kenal. Bahkan Gevit tak pernah menyangka, kalau ide hukuman pacaran itu akan membawanya sampai di titik ini. “Nggak kerasa ya, Al, kita sudah memasuki minggu ketiga. Pasti bakalan sulit banget buat lepas lo, mana udah nyaman banget”  Alena menghentikan kunyahannya, gadis itu mendongak, demi melihat sepasang netra Gevit dan dimple cowok itu. Dari tatapan matanya saja, Alena tau bahwa Gevit sebenarnya berat untuk melepaskannya. “Nanti ke rumah ya, Ge” “Ngapain?” “Ada yang pengen gue tunjukin sama lo” “Okay” -Tahubulat- Damn it! Dari sudut kantin, Aurin terus saja menatap ke arah meja yang ditempati oleh Alena dan Gevit, keduanya nampak sangat akrab, bahkan mereka tak segan-segan untuk tertawa bersama. Cemburu? Jangan ditanya lagi. Aurin ingin sekali menjambak rambut Alena, atau mencakar wajah gadis itu. Tapi kalau sampai Riswan tau, maka pria itu akan menghentikan kucuran dana yang diberikan kepadanya setiap bulan. “Lo masih ngebet sama Gevit, Rin?” “Udahlah, lupain aja. Mending cari yang lain.” “Bener tuh, banyak kok yang lebih dari Gevit. Daniel anak pertukaran pelajar juga nggak kalah cakep, Rin. Mana humble pula, dia pasti welcome sama lo, nggak kayak Gevit” Aurin melayangkan tatapan tajam pada teman-temannya, gadis itu memasang wajah sedatar  mungkin. “Bukan urusan kalian juga gue mau ngebet sama siapa.” Mendapatkan jawaban yang seperti itu, teman-temannya saling melempar tatapan tak suka, tapi Aurin pun tak peduli. Selama ini, dia berteman dengan siapapun, gadis itu tidak ingin memiliki geng atau apapun. Kalau dia dekat dengan orang tertentu, mungkin itu kebetulan, besoknya dia akan bersama yang lain. Selama ini juga, Aurin tidak pernah tertarik untuk pacaran dengan siapapun, termasuk Gevit. Dia hanya tidak suka saat melihat Alena mendapatkan apa yang seharusnya tidak gadis itu dapatkan. Dia cemburu pada senyum lebar Alena, dia cemburu pada sepasang netra yang selalu berbinar, dia cemburu pada segala yang dimiliki oleh Alena. Dia merasa, dunia tidak adil dalam memperlakukannya dan Alena, padahal mereka lahir secara bersamaan.  “Lo nggak boleh bahagia, Al” Aurin berdiri, dia menderap ke arah Alena dan Gevit, lantas berdiri di samping meja mereka. “Hai, Ge" sapa Aurin manis manja seperti biasanya. "Gue mau tanya sesuatu sama lo, boleh nggak?" lanjutnya seraya mencondongkan wajahnya lebih dekat dengan wajah Gevit.  Kedatangan Aurin dirasa merusak suasana, membuat Gevit menghela nafas berat. “Tanya apaan?” “Kalo seandainya, Letta menginginkan sesuatu yang lo miliki, apa lo akan kasih sesuatu itu ke dia?" Raut wajah Alena menegang seketika, di liriknya Aurin lewat ekor mata. Tapi yang di lirik justru tak peduli. “Ngapain lo tanya gitu ke gue?” Aurin mengangkat bahu ringan. “Karena dari yang gue denger, kakak itu harusnya sayang sama adiknya, terus kasih apa yang adiknya mau meski dia sendiri juga mau” “Tuh lo tau, terus kenapa masih tanya?” “Just asking” Aurin tersenyum tapi tidak mencapai mata, justru tatapannya kosong. “Karena gue lagi menginginkan sesuatu yang dimiliki kakak gue. Tapi kayaknya dia nggak mau kasih, baik dulu sampai sekarang, dia selalu serakah” Baik dulu sampai sekarang… Apa yang diinginkan Aurin dulu? Riswan? Tapi pria itu masih bersikap adil pada kedua anaknya. Dan selain itu, Alena tidak memiliki apapun yang bisa membuat Aurin juga menginginkannya. Justru seharusnya dia yang berkata seperti itu, dari dulu sampai sekarang Alena bahkan tak pernah mendapatkan kasih sayang Lestari, sedikit pun. “Yaudah deh, kayaknya gue ganggu makan siang kalian, daah Gevit” “Bagus deh kalo lo sadar” gumam Gevit yang tak di hiraukan oleh Aurin, gadis itu melenggang pergi keluar kantin.  “Dia masih gangguin lo, Al?” Alena menggeleng lemah, mana pernah Aurin berani mengganggunya secara langsung? Alena meletakan sendok dan garpunya, “Gue ke kelas duluan ya, Ge. Nanti pulang nya bareng, daah” setelah itu Alena bergegas keluar. Kelas hanyalah alasan Alena agar bisa menyingkir dari hadapan Gevit tanpa di introgasi, niat awalnya yakni mencari dimana Aurin untuk bertanya apa maksud dari perkataannya tadi. Tak sulit menemukan Aurin yang bersandar di samping loker seraya mengulum permen s**u. “Cari gue?-- Anjir, santai dong!” ketus Aurin saat Alena menarik lengannya dengan keras lantas menyentaknya begitu saja. “Apaan sih?” “Lo tadi sengaja kan ngomong gitu ke Gevit karena mau nyindir gue??” “Lah, lo ngerasa?” “Udah lah, gue lagi nggak mau buang-buang waktu ngomong berdua sama lo, apalagi di sekolah kayak gini.” kakak beradik itu saling tatap satu sama lain. Lorong loker termasuk sepi, jarang siswa siswi yang mampir ke tempat ini kalau siang. Lorong ini akan ramai kalau pagi dan setelah pulang sekolah.  “Maksud lo apa ngomong kayak gitu? Gue nggak pernah ngerasa serakah, dan apa yang lo mau dari sesuatu yang gue punya? Papa?" "Lo mikir gitu?" Aurin terkekeh. "Tapi emang bener sih, gue iri karena lo di treat like a queen sama papa, sementara gue...." dia tak melanjutkan ucapannya lagi.  "Apa?" “Terserah deh.” Aurin menjawab dengan suara lirih, matanya mengisyaratkan sebuah kekecewaan. “Gue nggak akan jelasin semua disini, kalo lo emang mau tau alasan kenapa gue benci sama lo, temui gue di rumah.” baru satu langkah Aurin beranjak, dia kembali menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Alena. “Kalo lo emang suka sama Gevit, setidaknya jangan sakiti Leo lebih dari ini, Al” Alena terdiam di tempatnya, perkataan Aurin bagai pukulan keras untuknya. “Lo suka sama Leo, Rin?” monolog nya bertanya entah pada angin yang tak sengaja lewat, atau entah pada tembok yang tak akan pernah bisa berbicara. Aurin sudah menghilang dari pandangannya.  “Al?” Alena kaget saat merasakan sentuhan di pundaknya, gadis itu menoleh, lantas tersenyum lega. “Leo, ngagetin aja” “Boleh minta waktu lo sebentar? Gue mau ngomong” “Ngomong aja, Le” “Lo kenapa akhir-akhir ini ngejauh dari gue?” Leo to the point. “Gue rasa Gevit nggak bisa lo jadikan alasan, Al. Sejak kapan lo lupain gue yang selalu ada buat lo, terus fokus ke Gevit yang bahkan belum ada satu bulan masuk dalam kehidupan lo” “Lo ngomong apaan sih?” kekeh Alena kikuk, “Gue lagi pengen fokus aja, ini ujian-ujian udah mulai berdatangan, kan. Makanya gak ada waktu buat main sama lo” “Oh ya?” Leo merendahkan tubuhnya agar bisa melihat wajah Alena. “Tapi gue lihat tiap hari motor Gevit ada di depan rumah lo tuh” “Kita belajar bareng” sahut Alena cepat seraya mundur selangkah.  Leo kembali menegakkan tubuhnya. “Yah, resiko deh, gue g****k soalnya jadi gak bisa belajar bareng lo” sebenarnya itu adalah bualan sampah Leo, karena pada dasarnya tidak ada orang g****k masuk kelas unggulan. Leo melenggang pergi setelahnya, Alena juga tak berniat menahan cowok itu. Dia hanya diam, menyandarkan punggungnya di tembok. Semua semakin rumit sekarang. -Tahubulat- “Itu muka apa kain pel? Kusut amat”  Kan, baru aja masuk kelas, mulut Gevit sudah ngajak ribut. Padahal mood Leo sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, bahasa mudahnya, senggol-bacok. Tapi Leo tidak akan membacok Gevit karena dia masih ingin menghirup udara segar tanpa di hantui arwah sahabatnya itu.  Oke, hentikan bacotan tak berguna Leo ini.  “Lagi menggalau kayaknya” timpal Vero, terkekeh. Bukannya membela atau mengerti keadaan Leo, Vero justru ada di kubu Gevit dan meledeknya dengan semangat. Oh iya, ngomong-ngomong soal pertengkaran mereka kapan hari sudah selesai, Leo dan Vero juga memutuskan untuk menerima permintaan maaf Gevit, tapi kalau Gevit melakukan hal kotor semacam itu lagi, siap-siap saja keduanya akan memutilasi cowok tampan itu. “Jomblo sok sokan menggalau, dih.” “Bacot kau babi.” maki Leo, lantas menelungkupkan wajahnya pada lipatan tangan. Dia benar-benar tidak ingin diajak bercanda sekarang.  “Gais, gue bawa goo--” “Jangan makan gorengan di kelas!” sembur ketua kelas dengan muka galak, Alfa yang tadinya semangat langsung mengerucutkan bibirnya. “Kalo mau makan di teras luar” “Cih!” Alfa menatap teman sekelasnya, lantas berseru. “Siapa mau gorengan, ikut!” dan yah, yang namanya gratisan mana pernah bisa ditolak sih? Alfa membeli banyak gorengan yang ia bagi-bagikan ke seluruh pengunjung kantin, lalu sisa sedikit dan dia bawa ke kelas untuk teman-temannya. Meski harga gorengan hanya seribu, tapi nyata nya teman-temannya rebutan di depan kelas.  Demi merayakan hari jadiannya dengan Letta kemarin, Alfa melakukan hal tersebut. Gorengan adalah makanan ternikmat, tanpa peduli kasta siapa yang akan memakannya, Alfa yakin semua orang suka gorengan. Alfa berjalan masuk dengan senyum mengembang. “Gue mau traktir kalian, mumpung gue lagi baik hati nih” “Sushi Tei” sela Leo, mendengar adanya tawaran traktiran kewarasannya langsung kembali. “Kalo bukan itu, gue nolak” Vero menoyor kepala cowok yang ada di sampingnya itu. “Giliran denger traktiran aja waras lo” "Ya lumayan bisa makan sushi gratisan, Ver, lo mah ah" "Bener juga sih" “Gimana?” tanya Leo lagi pada Alfa yang saat ini sudah duduk di bangkunya sendiri.  “Oke, ntar malem gue kabarin tempat nya." “Rebesss!!!” jawab ketiganya kompak, mereka mengiyakan tanpa bertanya alasan Alfa mentraktir mereka itu karena apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD