Hujan tau kapan dia harus berhenti agar pelangi bisa muncul, meski tak selalu pelangi akan muncul selepas hujan berhenti. Seperti itu pula Alena memaknai takdir yang harus ia terima, Lestari bagaikan hujan deras sementara dia hanya anak kecil yang takut akan banjir. Hujan tak selalu tentang kenangan, karena Alena merasa dia tak punya kenangan apapun bersama dengan Lestari, Ibu kandungnya sendiri.
Kalau Lestari itu hujan, maka Riswan adalah pelangi untuk Alena. Menyingkirkan sejenak rasa bencinya pada sosok Lestari, Alena selalu ingin terlihat bagai anak paling bahagia ketika di depan Riswan. Bahkan tentang luka-luka itu, Riswan tidak pernah tau. Alena selalu memakai stocking nya, dia hanya akan melepas benda itu saat di kamar dan menguncinya.
"Papa udah berkorban dan berjuang banyak hal buat gue, jadi gue nggak mau terlihat menyedihkan pas di depan papa" kata Alena sore itu pada bulan Agustus 2021 pada teman curhat satu-satunya, teman yang tau tentang segalanya, teman yang lebih dari sekedar teman bagi Alena, Leo Brawijaya orangnya.
Seakan tidak pernah ada kejadian apapun semalam, paginya Alena nampak seperti anak normal kebanyakan. Dia turun dengan seragam rapi, rambut dijepit agar poninya tidak menghalangi pandangan, senyum manis dia suguhkan untuk Riswan yang semalam baru pulang kantor pukul dua dini hari. Dan hari ini Riswan memutuskan untuk tidak masuk kerja lantaran ingin mengistirahatkan tubuhnya.
Katanya, Ayah itu cinta pertama anak perempuannya, dan Alena menyetujui hal itu meski dia tau tidak semua anak seberuntung dirinya yang memiliki ayah sesempurna Riswan. Dan dia tidak seberuntung teman-temannya yang bisa memiliki Ibu terbaik, sosok pahlawan dan sosok rumah dikala dia kebingungan dan tersesat ditengah jalan.
Riswan sudah bangun sejak pagi tadi, dia sengaja ingin membuatkan anak gadisnya sarapan terbaik meski hanya sekedar nasi goreng dan telur ceplok. Di sela kesibukan nya, Alena tak pernah meminta yang macam-macam atau meminta waktunya, meski Riswan juga tak keberatan jika Alena ingin bercerita tentang banyak hal kepadanya. Satu hal yang membuat Riswan ingin menutup telinga adalah ketika Alena sudah meminta Ibu sambung padanya.
“Pagi, Pa” sapa Alena seraya mencium pipi Riswan, gadis itu duduk di kursi, sepiring nasi goreng ada di hadapannya. Riswan mengangkat telur mata sapinya, dia meletakan telur setengah matang itu di atas nasi goreng milik Alena.
“Papa nggak kerja?”
“Nggak, hari ini papa mau istirahat aja, Al”
“Oh gitu.." gadis itu mengangguk paham. "Coba aja papa mau nikah lagi, kan enak pagi-pagi ada yang siapin sarapan, buatin kopi, kalo papa capek bisa pijitin papa--"
"Papa bisa ambil pembantu atau panggil tukan pijit"
Alena mendengus geli, "Iya deeeh, terserah papa" gadis itu memulai menyuap sarapannya. "Ngomong-ngomong mbak Priska cantik juga, Pa. Mana baik lagi, kalo aku mau ketemu sama Papa dia yang nemenin aku nunggu di lobi"
"Papa yang suruh"
"Mbak Priska juga perhatian sama aku, sering bantuin ngerjain PR juga---"
"Jadi, mau sarapan atau mau ngomongin Priska, Alena?"
Alena hanya nyengir kuda, dia sering menggoda Papa nya. Lagipula, Priska lumayan juga jika benar-benar jadi Ibu sambung nya, Alena tak keberatan. Priska adalah sekretaris papanya, wanita berusia 32 tahun itu entah kenapa memilih untuk tidak menikah sampai berkepala tiga. Padahal jika dilihat-lihat, Priska salah satu orang yang cocok jika mau buat konten t****k dengan sound Miss Independent. Udah mandiri, pintar, baik, cantik pula. Pria yang bisa mendapatkan Priska, pastilah sangat beruntung. Dan Alena diam-diam berharap, bahwa papanya adalah pria beruntung itu.
Sudah lama sekali Alena tidak merasakan kehangatan sebuah keluarga utuh, dia juga tak terlalu mengharapkan hal itu terjadi. Cukup dengan Riswan yang sesekali menemaninya seperti ini Alena sudah senang. Gadis itu makan dengan lahap, sementara Riswan meminum kopi seraya membaca koran pagi. Alena mencuri pandang, haruskah dia menceritakan kedatangan Lestari kemarin kepada Riswan.
Oh iya, ngomong-ngomong Alena sudah bilang ke Riswan kalau dia ingin berhenti berhubungan dengan Gala. Awalnya Riswan tidak setuju, tapi saat Alena menjelaskan dengan penuh pengertian akhirnya pria itu mau mengerti.
“Yasudah, papa nggak bisa kasih kamu kebahagiaan yang lebih, dan papa nggak bisa paksa kamu juga, Alena. Kamu bebas menemukan kebahagiaan versi kamu sendiri” tuh kan, Riswan tuh tidak kolot, dan Alena bersyukur akan hal itu.
“Mama semalam kesini, Al?” tanya Riswan melirik ke arah Alena dari balik koran yang ia baca.
Alena menatap pria yang duduk di hadapannya, lantas mengangguk singkat. “Kamu nggak apa-apa, kan?”
“Nggak kok, Pa”
"Dia nggak bikin ulah, kan?"
"Enggak, Paa"
"Tapi kok guci di sudut nggak ada?"
Skak.
Alena terdiam, dia lupa akan hal itu. "Papa nggak tau apa yang kamu lakukan setelah Lestari datang, Al. Tapi papa harap, kamu nggak bermain sama api, papa nggak bisa jagain kamu setiap saat. Jadi papa mohon, kamu jaga diri kamu sendiri baik-baik ya?"
Bolehkah Alena menangis saat ini? Dia merasa berdosa sekali, dari sudut matanya, gadis itu menatap lengan nya sendiri yang dipenuhi oleh bekas sayatan. Alena nggak bisa jaga diri, Pa...
Meski sekarang hidup Lestari dan Riswan terpisah, Riswan tidak pernah melalaikan kewajibannya, dia tetap menafkahi anak bungsunya yang saat ini tinggal bersama Lestari. Adik yang sedikit banyak dibenci oleh Alena, adik yang tidak pernah berani menyentuhnya secara langsung tapi selalu menggunakan Lestari untuk menyakiti Alena. Adik itu adalah Aurin. Alena dan Aurin bersaudara, mereka lahir bersamaan namun tidak kembar identik.
“Papa nggak akan desak kamu buat cerita, tapi papa akan tunggu semua kejujuranmu. Karena papa tau semakin kamu dewasa kamu butuh privasi"
“Iya, Pa” sahut Alena lemah.
“Hari ini berangkat bareng Leo?”
Alena menggeleng, “Gevit, Pa”
Riswan melipat korannya, dia menatap Alena sejenak. “Sejak kapan kamu mau dijemput cowok selain Leo sama Gala?”
Entahlah, Alena juga bingung. Mungkin karena dia merasa tak enak dengan Leo setelah apa yang dilakukan cowok itu untuknya semalam. Perihal Gala, sudah di katakan kalau Alena sebisa mungkin akan menjauh dari dia. Gevit menjadi opsi terakhir Alena sekaligus alat untuk memanas-manasi Aurin.
Maaf, Ge.
“Sejak hari ini”
Sudut bibir Riswan terangkat. Lupakan tentang pembahasan suram tadi, “Serius, anak papa ini nggak lagi naksir sama cowok lain, kan?” Riswan mencondongkan wajahnya ke arah Alena yang langsung salah tingkah. “Tuh kaaan..”
“Papa kenapa sih?”
“Tuh kaaann…”
“Papa ngeselin!”
Pagi itu Riswan tergelak karena wajah menggemaskan putri sulungnya, “Yaudah, cepetan sarapannya udah siang juga”
Alena buru-buru menghabiskan sarapannya, tak lama terdengar deru mesin motor dari luar. Riswan segera bangkit. “Papa mau kenalan dulu sama yang namanya Gevit”
“Pa-” sebelum Alena mencegah, Riswan sudah melenggang pergi begitu saja. Tubuh Alena merosot seketika, bisa kacau kalau sampai papa nya tau siapa Gevit dengan kepribadian good boy dan segudang prestasi nya, pasti Riswan akan langsung suka dan setuju. Gevit akan semakin gencar mendekatinya. Alena buru-buru meneguk air putih, dia menyambar backpack lantas berlari keluar rumah.
Di ambang pintu gadis itu berhenti, dia menatap Riswan yang menepuk bahu Gevit seraya tertawa. Sementara dari raut wajah Gevit, tak ada rasa canggung sedikit pun disana. Alena berdehem, membuat keduanya kompak menoleh.
“Tuh anaknya dateng”
“Hai” sapa Gevit manis seperti biasanya.
“Gevit ini ternyata anak temen kantor papa, Al. Mama nya Gevit famous banget disana”
Kalau famous ya deketin atuh, Pa. Biar Alena bisa sama Leo dan Gevit jadi saudara aja. s**l, Alena tidak tau harus memberikan reaksi seperti apa.
“O-oh, gitu..”
“Om bisa aja, aku yakin mama pasti cuek sama yang begituan. Soalnya, mama pernah bilang kalau nggak akan nikah lagi"
“Wah, sama dong. Om juga mikir gitu, lagipula Om punya dua anak gadis yang nantinya bisa rawat Om kalo udah tua, yakan, Al?”
“E-eh, iya pa..”
"Alena punya adik??"
Mampus! Jangan sampai Gevit tau siapa adik Alena.
"Ah, em, Pa, udah siang kita harus berangkat dulu" sela Alena cepat sebelum Riswan menjawab pertanyaan Gevit barusan.
“Yaudah kalau gitu kalian berangkat aja, udah siang”
Setelah mencium tangan Riswan, keduanya berangkat menuju sekolah
-Tahubulat-
Paginya, mungkin masih normal.
Siangnya, bisa di maklumi.
Sorenya, yah mungkin dia memang akan membuka diri.
Sehari, dua hari, tiga hari, ...satu minggu berlalu dengan begitu cepatnya. Dan Gevit sekarang termenung melihat keanehan yang terjadi pada gadis yang ada di sampingnya ini. Siapa lagi kalau bukan Alena?
Entah kesambet apa tiba-tiba sikapnya jadi semanis ini, bahkan tak segan-segan Alena menunjukan perhatiannya pada Gevit saat di kantin sekolah, dia juga tidak keberatan kala Gevit menggandeng tangannya meski banyak pasang mata yang menatap penuh iri ke arah Alena. Apa Alena sudah mulai terbiasa dengan status pacar yang disandangnya? Ataukah ada maksud lain? Sebenarnya Gevit tak harus ber-negative thinking dengan Alena, karena itu tidak baik tentu saja. Seharusnya pula dia senang karena akhirnya dia bisa mendapatkan Alena.
“Kenapa sih? Lihatin gue segitunya banget”
Seperti saat ini, tak ada angin, tak ada hujan, malam minggu Alena mengajak Gevit untuk pergi nonton Spider-man: No way home yang sudah rilis beberapa minggu yang lalu. Gevit juga baru tau kalau Alena sepertinya menyukai film superhero macam itu. “Nggak, lo cantik kalo lagi fokus gini”
Alena terkekeh geli, “Oh ya? Gue terlihat cantik karena lo udah bucin sama gue”
“Gitu ya?”
Alena mengangguk, dia kembali memakan popcorn big size nya, dia sengaja membeli ukuran besar agar bisa kongsian dengan Gevit, biar lebih romantis aja.
Jujur saja, Gevit tidak begitu suka dengan film superhero semacam ini, yah sesekali dia terpaksa nonton karena Letta adalah Marvel stan, setiap Marvel merilis movie baru dia pasti nonton. Dan ini sudah yang kedua kalinya Gevit nonton Spider-man: No Way Home.
Tapi karena hari ini Alena yang meminta, dengan senang hati Gevit menyetujui, hingga berakhir dengan duduk di dalam bioskop ini lagi. Bedanya dia bersama Alena, bukan Letta.
Gugup, tentu saja. Ini first time dia kencan dengan Alena, siapa yang tidak gugup coba. Alena juga tidak kaku atau canggung, dia benar-benar seperti pacar idaman yang selama ini Gevit harapkan.
“Wajah lo lebih menarik dari film nya, Al” ucap Gevit terang-terangan.
“Aneh, padahal lampunya mati, gimana caranya lo bisa lihat wajah gue”
“Entahlah”
Gevit tidak bohong, menatap Alena mengandalkan cahaya layar bioskop nyata nya lebih menarik daripada melihat aksi Peter Parker mengeluarkan jaring laba-labanya. “Menurut lo, gue sama Tom Holland gantengan siapa, Al?”
Saat itu, Alena hanya tersenyum simpul, tapi tak lama kemudian dia menjawab. “Elo”
Gevit bisa melihat wajah Alena dari remangnya cahaya, tapi dia tidak bisa melihat dimana letak ketulusan Alena saat mengatakan hal tersebut. Setelah itu tidak ada pembicaraan apapun diantara keduanya sampai film selesai. Keduanya keluar dari bioskop sekitar pukul 9 malam.
“Kita makan dulu ya, Al”
Alena Mengangguk, menurut.
Saat mereka keluar dari pintu bioskop, Alena tak sengaja menabrak seseorang. “Maaf”
“It’s okay,” katanya seraya mengelus lengan. “Aku menghargai kamu mau minta maaf kayak tadi, jadi nggak papa”
Seperti deja vu, Gevit menatap sosok yang berdiri di samping Alena. Tatapan matanya turun ke arah tulang selangka, tidak ada tanda lahir disana. Aman. Gevit menghela nafas, dia merangkul pundak Alena dan membawa gadisnya pergi begitu saja meninggalkan sosok tersebut.
“Makan pecel lele kayaknya enak, Ge”
“Boleh”
Dinginnya angin malam membuat Gevit harus memberikan jaketnya agar Alena tidak kedinginan, sementara dia tahan dengan udara dingin, jadi tak masalah. Malam ini mereka habiskan di tenda pecel lele dengan sepiring nasi dan satu gelas teh hangat juga obrolan-obrolan hangat.
“Emang mama tuh gitu orang nya, Al. Asik lah pokoknya. Kapan-kapan gue ajak ke rumah ya, ketemu sama mama”
“Nggak ah, gue takut” tolak Alena, karena dia merasa semuanya terlalu cepat jika harus bertemu dengan mama Gevit.
Jemari Gevit mengusap sisa makanan di sudut bibir Alena dengan usapan lembut, cowok itu tersenyum hangat sehangat lampu berwarna kuning yang ada di tenda ini. “Mama gue nggak gigit”
“Tapi gue emang sedikit banyak penasaran sama keluarga lo, Ge. Ini nggak apa-apa gue tanya-tanya gitu?” Yah, Alena sedikit banyak mulai tau tentang kehidupan Gevit, dia selalu senang kala mendengar cerita Gevit tentang keluarganya. Selama seminggu ini, Alena benar-benar memaksakan dirinya untuk dekat dengan Gevit untuk tujuan-tujuannya. Tidak buruk juga sebenarnya dengan dekat dengan Gevit. Cowok itu mau mengajarinya jika ada materi yang sulit, dia juga bisa mengajari Alena bermain basket dan renang, bisa menjadi lawan debat Alena tentang kasus-kasus yang terjadi. Contohnya kasus Rasis terhadap penduduk kulit hitam.
Padahal ini baru seminggu Alena memutuskan untuk dekat dengan cowok itu dan dia sudah merasa nyaman begitu saja.
“Nggak apa-apa dong”
“Mama lo keren deh, bisa besarin anak dan didik lo sama Letta sampai jadi seperti yang sekarang. Gue lihat Letta nggak jauh beda sama lo kemampuannya, attitude nya, dan segala-galanya”
“Kekurangan seseorang nggak selalu jadi kelemahan, Alena. Meskipun gue hanya punya satu orang tua, gue merasa lebih dari cukup. Dengan begitu gue juga bisa belajar bersikap lebih dewasa setidaknya untuk mama dan Letta, juga diri gue sendiri.”
“Jujur aja, pas lo marah waktu itu gue sempet takut”
“Sori, gue emang gak pernah suka melihat orang buang buang makanan, Al. Di luar sana banyak orang yang kelaparan. Termasuk gue dulu…” katanya lembut. "Kelihatannya emang sepele, tapi bagi orang-orang yang hidup serba kekurangan itu perkara serius."
"Bener sih, Ge. Gue termasuk orang yang sering sisain makanan, tapi pas dengar lo ngomong kayak gini, bikin gue sadar kalau selama ini gue salah"
"Lo tau nggak, hal yang kelihatannya sepele tapi juga sangat penting untuk diperhatikan?"
"Apa tuh"
"Minta maaf dan bilang terima kasih"
"Kan emang spele banget, Ge. Apalagi di Zaman sekarang, kayak minta maaf tuh udah nggak ada harga dirinya lagi. Sekarang minta maaf besoknya di ulangi lagi. Begitu juga dengan terima kasih, banyak orang yang lupa sama kata-kata itu"
"That's point, Al. Buat gue, ketika gue bilang maaf, itu artinya gue janji nggak akan mengulangi kesalahan yang sama. Dan minta maaf nggak selalu harus yang muda ke yang tua, atau yang salah ke yang tidak bersalah. Begitu juga dengan ucapan terima kasih, biasanya hal kayak gini terjadi sama temen atau orang-orang terdekat yang lupa bilang terima kasih. Dengan dalih; halah, orang udah biasa, udah deket juga, ngapain bilang makasih. Gue rasa itu salah banget"
Gevit memperbaiki posisi duduknya, semakin malam obrolan mereka semakin dalam. Tenda pecel lele juga semakin ramai, tapi mereka tak peduli satu sama lain, sibuk mengisi perut masing-masing. Alena mendengarkan ucapan Gevit panjang lebar, malam yang begitu berharga untuknya.
"Pemikiran lo bikin gue inget sama Gala, Ge. Kayaknya kalian kalau kenal bakalan jadi teman sepemikiran, cara kalian memandang segala hal itu selalu dari sudut pandang yang berbeda"
"Emang gitu?"
Alena mengangguk. "Gue ambil contoh aja, temen gue ada yang suka Korea, K-pop, K-drama pokoknya yang berbau Korea gitu lah. Ya lo tau sendiri budaya Kpop tuh kayaknya udah menjamah negara kita dan membaur dengan begitu akrabnya. Biasa yang suka k-pop atau k-drama itu cewek-cewek, sementara cowoknya pada suka ngatain entah karena rasa iri atau apa gue juga nggak tau..."
Gevit menyedot es tehnya, dia masih mendengarkan Alena yang sibuk bercerita. "Terus gue tanya Gala, apa pendapat dia. Dan dia cuma jawab, 'Everyone's reason for being happy are different, Al'. Terus dia nambahin 'Nggak masalah kalau mereka suka Korea, asal mereka masih bisa menjaga diri mereka sendiri, nggak ikut-ikutan budaya mereka. Nggak sampai menyembah atau membela Idol dengan sebegitunya, terus mancing war sana sini, tau tau punya musuh.'"
"Gue setuju sama pemikiran, Gala. Dan nggak semua cowok Ilfeel sama cewek yang suka korea. Kalo cowoknya pinter, dia pasti bisa berpikiran secara terbuka supaya bisa mengimbangi pemikiran ceweknya"
Entah kenapa Alena saat ini ingin tersenyum selebar daun pintu untuk melampiaskan rasa kagumnya pada sosok Gevit. Tapi dia lantas ingat sesuatu..
“Hukuman kita tinggal dua minggu lagi” kata Alena kemudian.
Setelah itu gue akan menjauh.
Kata lanjutan itu hanya bisa Alena ucapkan dari hati, tak ingin merusak rencananya gadis itu memilih untuk mencari posisi aman saja. “Jalani aja dulu” balas Gevit santai.