Skalla-21

2143 Words
Musim hujan masih berlanjut karena Januari belum berakhir, meski semalam tidak hujan, pagi ini nampak begitu mendung. Awan gelap menggantung di langit cakrawala, meski mendung, semangat olahraga Skalla family tidak menurun sedikitpun. Pukul tujuh pagi hari, Letta sudah bersiap dengan celana legging abu-abu dipadukan dengan kaos oversizenya. Rambut  panjangnya dia cepol menjadi satu agar tidak mengganggu. Tak lupa, topi berlogo adidas sudah bertengger manis di kepalanya. Gadis cantik berwajah kecil imut itu berjalan keluar dan memulai pemanasan seraya menunggu Andini dan Gevit yang masih bersiap di dalam rumah.  “Pagi, Aletta” “Michael” Aletta melambai, Michael adalah tetangganya. Rumah cowok itu berjarak tiga rumah darinya. Tapi mereka tidak satu sekolah dan tidak jadi teman dekat tentu saja. Lagipula, Letta sudah punya 3 teman dekat, jadi dia tak butuh teman dekat lagi.  Bukan hanya itu, Letta juga jarang bertemu Michael membuat keduanya tidak begitu akrab.  “Lagi olahraga juga?” lanjut Letta bertanya retoris.  Pasalnya, hari ini Michael mengenakan training, kaos dan juga sepatu, bahkan cowok itu sekarang lari-lari di tempat. Jelas bukan kalau Michael sedang berolahraga bukannya jualan bubur ayam? “Nggak, lagi jualan bubur ayam--ya iyalah lagi olahraga” Letta menghentikan aktivitasnya, dia menatap Michael seraya menahan senyum geli. Wajah Michael tidak jelek, dia punya darah Tionghoa, kulitnya putih pucat dan wajahnya mulus seperti aktor Korea. “Jadi, lo lagi olahraga apa lagi jualan bubur ayam nih?” Aduh! Cowok itu menepuk jidatnya sendiri, gapapa, orang cantik mah bebas. “Olahraga, Aletta…” jawabnya dengan sesabar mungkin. Letta ber-oh-ria. Lalu dia kembali menyeletuk. “Kok lo masih disini aja, gue denger lo mau pindah ke Batam” yah, keluarga Michael emang sering pindah-pindah tempat tinggal lantaran pekerjaan mereka yang mengharuskan.  "Denger dari mana tuh? Perasaan lo jarang main sama gue" Letta menaikan bahunya tak acuh. "Kemarin nggak sengaja baca grup chat anak komplek yang lagi bicarain lo, katanya mau pindah" Michael mengangguk-angguk. "Itu mah baca bukan denger, Letta" "Ya.. itu deh pokoknya" “Akhir bulan gue baru pindah” “Banyak banget rumah lo” Michael tertawa sumbang. “Iyanih, kalo lo mau boleh deh ambil rumah yang disini” Mata Letta melebar, gadis itu maju dua langkah memangkas jarak di antara mereka. “Serius?” “Ya nggak lah, bercanda doang. Yakali” Ish! Ingin sekali Letta menabok muka Michael sekali saja untuk melampiaskan rasa kesalnya. Gadis itu melipat tangan didepan d**a, menatap Michael dengan kesal. “Dasar.” Melihat raut wajah Letta yang menggemaskan saat cemberut, Michael ingin sekali meremasnya seperti squishy. Tapi dia masih sayang nyawa, kalau dia sampai melakukan hal tersebut, maka bukannya nggak mungkin Gevit akan memutilasinya. Dan tiba-tiba saja dia dikirim ke rumah dalam keadaan tidak utuh lagi. “Ngomong-ngomong lo masih jomblo apa udah taken, Ta?” tanya Michael tiba-tiba. Aletta mengerutkan kening. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan bodoh seperti ini. Batin Letta ngenes. "Taken," jawab Letta singkat. "Takenan-bathin" Keduanya sama-sama tergelak, jokes anak-anak t****k yang lagi trending nih. Ketahuan banget kalau kebiasaan Letta pas gabut itu scroll t****k. Tak lama, suara tawa mereka reda, kalau terus-terusan tertawa juga tidak enak. Nanti disangka orang gila. “Gue belum taken, kenapa? Lo mau ngajak gue pacaran apa gimana?" Waduh, Michael seperti cacing kepanasan. Mukanya memerah dan salah tingkah, bahkan cowok itu mendadak tidak berani menatap manik mata Letta. Dia hanya senyum-senyum tidak jelas, kontras dengan wajahnya yang berahang kokoh.  “Emangnya kalo gue ajak lo mau, Ta?” “Kenapa nggak?” Kali ini giliran Michael yang melotot tak percaya, dia kira cukup sulit untuk mendekati Letta, jangankan taken, berteman dekat saja sepertinya sangat mustahil, yah, bukan hanya karena Letta sepertinya tak pernah tertarik dengan cowok dan punya kakak galak seperti Gevit, tapi karena mereka beda keyakinan. Miris bukan? “Serius?” Letta tertawa, “Ya nggak lah, bercanda. Yakali” mampus, Letta mengerjai Michael, malahan gadis itu meniru kata-kata Michael yang tadi membuat cowok itu meninju udara kosong untuk melampiaskan rasa kesalnya. “Emang bang….” hampir saja Michael kelepasan mengumpat, untungnya dia menyadari siluet Gevit yang saat itu keluar dari rumah. “...Gevit” Letta menoleh, dia menemukan abangnya berjalan ke arahnya. “Widih, pagi-pagi udah keringetan aja, Mic” “Iyanih, Bang. Biar sehat” “Oh, keringetan karena olahraga, bukan keringetan karena deket-deket sama Letta kan?” Double s**t! “Eh? Kok gue?” Letta menatap Gevit dengan raut wajah bingung, tapi abangnya hanya menaikan bahu tak acuh.  “Lupain aja deh, gue duluan kalo gitu, daaah. Zàijiàn!!” setelah itu Michael kabur. Tidak aman kalau ada Gevit diantara dia dan Letta. Sejauh ini, dia hanya sekedar naksir dengan Letta karena gadis itu sangat cantik menurutnya.  "Dia ngomong apa, Bang? Sirup marjan?" Gevit mendorong jidat adiknya, "Bukan sirup marjan, cantiiikkk. Dia lagi ngomong bahasa mandarin, artinya sampai jumpa" "Ooooo, kok abang tau?" "Belajar makanya, jangan pacaran mulu" "Yeee, ngaca dong" balas Letta tak mau kalah. “Mama mana?” “I’m here!!” wanita itu datang dengan legging dan kaos crop top hoodie yang memperlihatkan pusar dan perut langsing tanpa gelambir. Letta dan Gevit sama-sama menggelengkan kepala, Andini ini tipe mama-mama zaman now, tapi untung saja tidak sampai malu-maluin. Kan, sekarang banyak tuh mama-mama narsis di medsos. “Yuk!”  Ketiganya mulai berlari mengelilingi komplek.  "Ma, nanti bikin konten pargoy yuk!" ajak Letta yang langsung di tentang keras oleh Gevit Skallata. Pada dasarnya, keluarga harmonis itu tergantung pada siapa pelakunya. Keluarga harmonis juga tak melulu tentang memiliki anggota keluarga yang lengkap. Seharusnya Letta dan Gevit bersyukur dia memiliki Andini di hidup mereka, Andini berperan menjadi sosok ibu, ayah sekaligus teman dan pelindung untuk mereka. -Tahubulat- Semakin kamu ingin menghindar, semakin otakmu memaksa untuk terus memikirkan dia. Leo tau ini salah, dia tau perasaannya adalah kesalahan. Tak seharusnya dia seperti ini, sudah lama dia menjalin hubungan pertemanan dengan Alena, dan selama itu pula dia menahan perasaannya. Tapi setelah dia tau Gevit juga menyukai Alena, entah kenapa Leo merasa terancam, dan dengan bodohnya dia membantu Gevit agar bisa dekat dengan Alena meski tau itu menyakiti perasaannya. Suara reporter berita bahkan tak bisa membuyarkan lamunan Leo, saat ini dia tidak ingin pergi kemana-mana. Sejak pagi, dia mengurung diri di kamar dan baru keluar saat perutnya lapar. Setelah makan tadi, Leo memutuskan untuk berbaring di sofa dengan lengannya yang dijadikan bantalan. Dia ingin menghindar, tapi itu terlalu kejam untuk Alena. Semenjak kejadian malam itu, Leo jarang menghubungi Alena, lagipula dari pengamatannya Alena sekarang dekat dengan Gevit. “Bik” panggil Leo menghentikan langkah kaki si bibi yang tak sengaja melintas. “Ada apa, Mas?” “Sini deh” Leo bangkit dari posisinya, dia kini duduk, menepuk sofa di sampingnya. “Aku mau cerita sesuatu” Bibi duduk disana. “Kalo aku suka sama Alena itu salah nggak, Bi?” Waduh. “Nggak, Mas. Semua orang punya hak untuk menyukai dan membenci. Jadi kalo mas Leo suka sama mbak Alena, itu nggak salah. Yang salah itu, kalo mas Leo maksa mbak Alena buat membalas rasa suka itu” “Oh gitu…” Leo mengangguk-angguk, seharusnya dia tak perlu menyalahkan diri sendiri atas rasa suka ini. Toh, hanya Harry Potter dan Hermione yang bisa menjalani persahabatan tanpa melibatkan perasaan.  “Ada lagi yang mau ditanyakan, Mas?” “Nggak, Bi.” “Pesan bibi cuma satu, Mas. Kalo emang mas Leo suka sama mbak Alena, berjuang. Kalo sekiranya nggak terbalas dan mas Leo kesakitan, berhenti, Mas. Mas Leo masih muda, masa depannya masih panjang” Saat bibi hendak beranjak, Leo menahannya, dia teringat satu hal lagi. “Bi” “Ya, Mas?” “Menurut bibi, stigma tentang cowok itu nggak perlu berjuang pas masih pacaran, nanti berjuangnya pas udah nikah aja, biar nggak sia-sia perjuangannya, itu gimana?” “Aduh, Mas. Kalo mas Leo tanya ke bibi ya jelas bibi jawab nggak setuju!” wanita paruh baya itu kembali duduk. “Gini ya, Mas. Cewek kalo udah serius sama satu cowok, pasti pertimbangan nya banyak banget. Salah satunya tentang perjuangan si cowok. Kalo pas masih pacaran aja cowoknya gak meyakinkan, gimana pas nikah nanti. Cewek mikirnya jauh kedepan, Mas, tentang nasibnya yang bakal di gantungkan ke pundak suaminya.” Leo mengangguk, seperti mendapatkan pencerahan baru. “Gitu ya, Bi?” “Jadi pacaran itu tahap analisis cewek, Mas. Kalo sejak pacaran aja mas Leo udah berjuang, pasti kebelakang mas Leo juga bakal ngelakuin hal yang sama, dan bahkan lebih karena statusnya udah nikah. Tapi kalo pas pacaran aja mas Leo nggak mau berjuang dan cuma jalanin gitu aja, cewek juga gak bakal yakin sama nasibnya setelah nikah sama mas Leo” “Bibi ternyata keren juga ya” Wanita itu tersenyum malu-malu. “Nggak semua orang anggap bibi keren, Mas. Karena pemikiran bibi ini, mungkin laki-laki menganggap bibi terlalu aneh dengan pemikiran yang aneh pula, nggak seperti kebanyakan cewek manis dan manja. Mungkin karena itu juga laki-laki nggak ada yang mau sama bibi” “Tapi bibi bahagia?” Mendengar pertanyaan itu, bibi terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk. “Bibi bahagia mas” “Kalo bibi bahagia, aku juga bahagia. Karena disini, aku cuma punya bibi. Mungkin kebelakang nanti aku akan terus butuhin bibi, baik sebagai pengurus atau sebagai teman curhatku” “Siap deh, Mas, gaji bibi naik ya berarti?” Keduanya sama-sama tergelak di ruang tv siang hari itu. -Tahubulat- “Mie udah, kerupuk udah, makaroni udah, mozzarella udah, sosis udah, telur udah, tinggal sayuran yang belum, Kak” Letta mendongak, kedua netra nya bertabrakan dengan netra milik Alfa yang sedari tadi tak lepas dari wajah cantik gadis yang ada di depannya. “Kak?” Letta mengibaskan tangannya di depan Alfa.  “Eh, sori” “Nggak apa-apa kok” Letta hanya nyengir, “Kita masih butuh sayuran, di rak pojokan kayaknya” Alfa kembali mendorong troli nya menuju rak pojokan. Dia mengambil dua sawi dan dua tomat berukuran besar.  “Kak Alfa doyan jamur?” “Enggak, gue alergi jamur sama kayak papa” “Oh yaudah, nggak usah beli deh” “Udah selesai?” “Udah, yuk” Siang tadi, Alfa tiba-tiba datang ke rumahnya dan izin ke Andini untuk membawa anaknya jalan-jalan sebentar. Taunya, Alfa ingin makan seblak tapi buatan sendiri. Dan kebetulan Letta bisa membuatnya. Jadilah mereka belok ke supermarket untuk membeli bahan-bahannya.  Keluar dari supermarket, Letta mengeluh. “Ini dari tadi mendung mulu perasaan, hujan juga enggak” “Mendung kan belum tentu hujan, Ta” Alfa menyodorkan helm pada Letta. “Kayak deket belum tentu jadian gitu ya, kak?” Mampus kode keras bung! Letta memakai helm nya dengan ekspresi biasa saja, berbanding terbalik dengan Alfa yang hanya senyum-senyum tidak jelas. Kendaraan roda dua itu akhirnya melesat menuju rumah Alfa. Tak jauh kok, sepuluh menit juga udah sampai. Ini pertama kalinya Letta pergi ke rumah Alfa yang ternyata lumayan gede. Tapi kalau dibandingkan dengan rumah Leo atau Vero, rumah ini masih kalah. Karena rumah mereka berdua gede banget. “Sori ya, rumah gue kecil. Soalnya yang tinggal disini cuma gue sama bokap” “Nggak masalah, rumah gue juga kecil kok kak” Keduanya masuk. “Papa nya kak Alfa di rumah?” melihat mobil yang terparkir rapi di garasi membuat Letta jadi canggung sekarang.  “Di rumah, tapi nggak apa-apa. Gue udah izin kalo mau bawa lo kesini” “Oh gitu..” “Assalamualaikum… masuk, Ta” “Ih, kok sepi” “Banget, makanya gue seneng di luar rumah soalnya rumah gue sepi banget” Alfa meletakkan belanjaannya di pantry. Cowok itu membuka kulkas dan menyodorkan sebotol minuman s**u ke arah Letta. “Minum dulu gih” Letta menerimanya dengan senang hati. Rumah ini nyaman meski sepi, interiornya millennial sekali. “Kak Alfa” panggil Letta kemudian, dia menutup minumannya. “Kok lo nggak marah pas tau yang sebar rumor itu bang Ge? Lo juga gak ilfeel sama gue” Senyum Alfa mengembang, bagaimana dia bisa ilfeel pada Letta kalau dia sendiri menyukai gadis itu? Kalau soal marah, Alfa sudah melupakannya bahkan setelah pulang dari rumah Alan minggu lalu. “Emang ada untungnya gue marah sama Gevit? Enggak, kan? Lagipula, gue nggak mau cari masalah di sekolah baru. Kalau soal Ilfeel sama lo, kenapa harus? Kan ini semua gak ada sangkut pautnya sama lo.” “Ya.. biasanya orang lain kan gitu. Kalo nggak suka sama satu orang pasti merembet ke sanak keluarga se titis-titisannya.” “Lebay ah.” Keduanya sama-sama mengembangkan senyum lebar. “Yaudah yuk mulai masak” Alfa mengambil dua celemek dari dalam lemari. “Sini gue bantu pasangin” menurut, Letta tak keberatan saat tubuhnya hampir berhimpitan dengan Alfa. Bahkan gadis itu sempat menahan nafas. “Tubuh lo kecil banget” ucap Alfa seperti bisikan di telinganya, menggelitik bagian bawah telinga hingga membuat bulu kuduknya meremang semua. “Ish! Kak Alfa kok malah body shaming sih?” Alfa hanya tertawa. “Jadi, gue bisa bantu apa?” Bantu gue biar bisa pacaran sama lo, Kak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD