Skalla-19

2305 Words
Angin malam menerbangkan rambut cowok yang saat ini duduk termenung sendirian di teras rumah dengan semangkuk mie kuah rasa soto. Hanya suara-suara jangkrik dan entah hewan apa yang terdengar di samping rumah, pada tanaman lebat yang mengelilingi pagar. Pukul sebelas malam, dia menghirup aroma kuah soto yang begitu kental.  Tok.Tok.Tok. "Teee sateeee!!!"  Gerobak sate melintas di depannya, hanya sekilas. Setelah itu dia kembali menyelami pikirannya lagi.  “Bengong aja, lagi mikirin apa sih?” Datang dari dalam rumah satu orang yang mengenakan bokser hitam juga kaos putih tipis polos, dia membawa dua cangkir kopi hitam sebagai teman bermalam.  “Udah izin ke ke om Anggoro kalo lo mau nginep disini?” tanya seseorang bernama Alan tersebut, dia menyeruput sedikit kopi hitamnya. Kafein itu mulai melewati tenggorokannya, seakan punya kekuatan yang maha dahsyat, seketika matanya tidak ngantuk. Alan menggeleng-gelengkan kepala, takjub. “Udah” jawab Alfa santai, cowok jangkung itu mulai memakan indomie nya dengan nikmat. Rumah teman adalah pelarian terbaik ketika ada masalah, seperti yang dilakukan oleh Alfa kali ini. Dia memutuskan untuk pergi ke rumah Alan setelah dari pemakaman Dewi dan menginap disana, besok kan hari libur jadi dia santai. Toh tadi Alfa sudah izin ke Anggoro, dan pria itu mengizinkan nya untuk menginap. Anggoro kaget saat Alfa memberitahukan kalau dia ada di Jakarta, tapi Anggoro tidak marah, dia memaklumi kalau Alfa pergi kesana untuk menjenguk Dewi. “Modelan lo yang kayak begini gue yakin pasti ada masalah, bener kan?” “Kata siapa gue ada masalah? Sok tau” Alfa meneguk kuah sotonya sampai habis, dia makan dengan cepat. Setelah menelan kunyahan nya, dia menyambar kopi hitam yang tadi dibawakan oleh Alan. “Babe udah tidur, Lan?” lanjut Alfa bertanya. “Udah, jam sembilan tadi minta kerokan, masuk angin katanya” Babe, alias bapak, adalah orang tua tunggal yang dimiliki oleh Alan setelah ibu nya meninggal, babe seorang pemilik rumah makan nasi padang yang ada di pinggir jalan raya, Alan sering membantu babe nya setiap pulang sekolah. Dia bukan anak konglomerat, jaksa, pengacara, atau CEO-CEO keren lainnya, Alan hanya anak babe yang serba biasa saja, begitu kata sang empu saat pertama kali memperkenalkan diri didepan kelas dua setengah tahun yang lalu. “Lo jadi kuliah dimana?” “Unpad kalo keterima SNMPTN sih, kalo enggak ya yaudah, bantuin babe aja di rumah makan” Alfa mengangguk, hidupnya kalau dibandingkan dengan Alan jauh lebih baik. Alfa suka berteman dan menghabiskan waktu disini, dirumah ini, rumah ini juga seperti rumah kedua untuknya. “Lo sendiri mau kemana? Luar Negeri?” kali ini Alan yang melontarkan pertanyaan. Tak ada sedikitpun rasa iri pada diri Alan terhadap apa yang dimiliki oleh Alfa, dia juga tidak pernah insecure saat berteman dengan Alfa yang latar belakangnya ekonominya bertolak belakang dengan dia. Bagi Alan, tuhan sudah membagi rezeki dan takdir seadil-adilnya meski kadang manusia masih sering merasa tidak puas, karena itu memang sudah kodratnya. “Belum tau” jawab Alfa singkat.  Lenggang, temaram sorot lampu jalanan yang ada di depan rumah Alan menjadi spot terbaik untuk menyelami lautan pemikirannya, alias bengong dan melamun. Seakan suasana malam ini begitu mendukung kalutnya isi otak dan hati Alfa. “Lan” panggil Alfa singkat membuat Alan langsung menoleh. “Lo pernah nggak sih merasa hidup itu berat? Like, someone who feels that the situation is never on his side” Mendengar itu Alan hanya terkekeh, gelapnya malam hari ini kalau diibaratkan kehidupan Alan masih gelapan hidupnya Alan, hanya saja, dia punya satu penerangan yang paling terang dari segala yang terang, Tuhan. Alan punya Tuhan dan dia percaya kalau Tuhan akan selalu menyinari hari-hari tergelapnya. “Pernah lah pasti. Gue juga pernah punya bad day, Al. Lo pernah nggak sih denger kata-kata ini, hari yang baik akan memberikan lo kebahagiaan, tapi hari yang buruk akan memberikan lo sebuah pelajaran” Alan menatap lenggangnya jalanan, jarum jam panjang tak terasa sudah berada di angka empat. “Gue lihat lo lagi kalut, tapi lo nggak tau apa yang sebenarnya lo kalutin” “Overthinking?” “Yes, like that” Keduanya kembali terdiam. “Biasa, kalo gue udah curhat ke mama rasanya plong, Lan. Tapi hari ini, gue ngerasa hampa banget” “Pulang, Al. Lo butuh bahu om Anggoro.” Alan menatap intens Alfa. “Lo nggak akan pernah nemuin jalan keluarnya, karena lo terjebak disana. Mungkin karena om Anggoro lagi hectic di tempat kerjanya, jadi dia jarang punya waktu buat lo. Dan itu bikin lo merasa kalut, sedikit kehilangan padahal jelas-jelas om Anggoro satu rumah sama lo” Benar. Sedikit banyak dia membutuhkan keberadaan Anggoro untuk saat ini. Alfa merindukan sosok papa yang seperti dulu, tapi dia tau kalau waktu tidak akan pernah bisa di mundurkan. “Hm, besok gue pulang” “Gimana sama sekolah baru?” Alan mematik korek apinya, mungkin ini jarang diketahui oleh orang lain bahwa Alan itu merokok. Meski tidak sering, bisa seminggu hanya dua kali, bisa juga sesekali. Dia bukan perokok berat. Kepulan asap keluar dari bibir dan hidungnya. “Lumayan, tapi karena gue masuk kelas unggulan, jadi temen-temen sekelas berasa kaum elit semua.” Alan tertawa, “Visualnya sih elit,  akhlaknya elit juga nggak tuh?” Alfa mendengus, tapi tak urung dia juga ikut tertawa. “Buruk, hahaha” keduanya tergelak di tengah sepinya malam hari, waktu terus berlalu, gelas kopi kini sisa setengah, Alan terus menikmati nikotin itu tanpa menawarkannya pada Alfa, karena dia tau Alfa tidak merokok.  “Gue baru masuk berapa minggu udah kena fitnah, katanya gue tukang bully” “Temen lo sendiri yang ngefitnah?” Alfa mengangguk. “Gara-gara cewek, what do you think about that, Lan?” “Tolol.” Lagi-lagi mereka tergelak. “Terus lo hajar nggak dia?” Kali ini, Alfa meredakan gelak tawanya. Kedua bola matanya menatap wajah cowok berkacamata itu. “Gue maafin lah, apalagi gue lagi suka sama adiknya. But other than that, I really don’t care, Lan” “As Always, Alfarel!” Alan menepuk bahu Alfa, dia membuang puntung rokoknya.  Cepat sekali Alan menghisap nikotin itu. Dengan nikmat Alan meneguk kopinya. “Masih suka bola nggak? Malam ini ada liga Inggris, Arsenal versus Crystal Palace” “Masih lah, mau begadang nih?” “Why not?” Keduanya masuk ke dalam rumah, tak lupa Alan menutup pintu. Tapi sebelum pintu itu benar-benar tertutup, dia menyempatkan diri untuk mengulas sebuah senyuman. “No shoulder is stronger, that the shoulder of a pretender” -Tahubulat-  Alena mencoret satu tanggal lagi, kini tersisa 20 hari dan hukumannya selesai. Alena berjanji, setelah 20 hari, dia akan mengambil resiko, dia tidak peduli pada siapapun. Gadis itu akan mengungkapkan perasaannya pada Leo. Urusan diterima atau ditolak itu belakangan aja. Terdengar deru mobil masuk garasi, itu pasti Riswan. Meletakan bolpoinnya, Alena melangkah keluar kamar untuk menyambut kedatangan Riswan. Dengan langkah kaki seringan bulu, dan senyum manis mengembang, Alena membuka pintu. Tapi yang dilihatnya bukan Riswan melainkan Lestari--Ibunya. “Mama” senyum Alena langsung luntur, digantikan dengan wajah datar dan waswas, untuk apa Lestari datang ke rumahnya malam-malam begini. Plak! Alena memegangi pipinya yang terasa panas. “Putusin pacarmu itu! Riswan udah sekolahin kamu, keluarin banyak uang buat kamu! Bahkan dia jodohin kamu sama Galaksi, dan sekarang dengan tidak tau dirinya kamu malah pacaran sama cowok lain?!” Huufftt… Alena ingin sekali menutup pintu tanpa peduli, tapi dia tidak tahan lagi. Akhirnya gadis itu menatap Lestari dengan sorot mata penuh luka. Apa selama ini Lestari tidak pernah melihat seberapa dalam luka yang sudah wanita itu torehkan pada Alena? “Apa urusan mama larang-larang aku?! Papa nggak pernah permasalahkan itu, Ma!” “Kamu udah berani bentak mama, hah?!” Saat Lestari hendak melayangkan pukulan lagi, ada yang menahannya, Leo berdiri di belakang wanita itu dengan tatapan tajam dan wajah datar. “Tante mau saya laporkan ke kak seto karena sudah melakukan k*******n terhadap anak?” Lestari menarik paksa lengannya. “Kamu lagi. Kenapa kamu selalu ikut campur dalam urusan keluarga kami, hm?!” “Kita bukan keluarga.” Ucap Alena lirih. Hubungannya dengan Lestari sudah cukup rusak dan terlalu buruk jika dikatakan sebagai keluarga. Alena bisa menerima segalanya, mungkin, tapi dia belum bisa menghapus luka batin karena ulah Lestari padanya.  “Ale--” “Jangan sebut namaku lagi!” Bentak Alena dengan suara keras, gadis itu menjerit frustasi. “Asal mama tau, selama ini udah banyak luka yang mama kasih buat aku! Udah banyak rasa sakit yang mama berikan padaku! Sampai aku mikir, apa benar aku ini anak mama, apa benar aku darah daging mama, tapi setiap pertanyaan yang aku lontarkan jawabannya selalu mengecewakan, ya, aku benar-benar anak mama.” Alena menyeka air matanya.  “Tapi sekarang aku benci sama mama, di dunia ini aku cuma punya papa, dan aku tidak punya mama.” Brak! Alena menutup pintu dengan begitu keras, Leo hanya bisa menelan salivanya. Inilah yang selalu ditakutkan oleh cowok itu perihal keadaan Alena yang punya mental terlalu kuat. Dia adalah salah satu anak broken home yang kuat, tidak pernah menunjukan seberapa parahnya keadaan keluarganya hanya untuk mendapatkan simpati dari orang-orang, apalagi berkoar-koar di sosial media. Orang tidak akan pernah bersimpati padanya, justru untuk segelintir orang yang tidak menyukai Alena hanya akan menertawai keadaan gadis malang itu. Lestari masih diam, menatap pintu kayu itu dengan tatapan kosong. “Anak itu, sejak kapan dia jadi kurang ajar?” entah mungkin hanya Leo yang salah dengar, suara Lestari gemetar seperti menahan tangis. Tak lama wanita itu melengos pergi begitu saja dan masuk ke dalam mobilnya. Tangan Leo sudah terangkat hendak mengetuk pintu, hatinya ikut sakit saat mendengar raungan isak tangis Alena dari dalam rumah. Tapi otaknya bilang, “Jangan masuk, biarkan dia tenang dulu” lalu Leo mengangguk paham, tapi saat mendengar bunyi prang! Hatinya dengan keras langsung berteriak. “Masuk g****k! Kalo dia kenapa-kenapa lo orang paling t***l yang pernah hidup di dunia ini” Dan tanpa basa basi, Leo membuka pintu kayu itu. Langkah kaki cowok itu berhenti saat melihat sebuah guci berukuran sedang pecah, pecahan itu tercecer di lantai. Tatapan Leo tertuju pada sosok Alena yang terduduk, bersandar di tembok seraya menangis. Cairan berwarna merah kental mengalir dari pergelangan tangan dan kakinya. Jantung Leo berdetak lebih cepat, bukan menghampiri Alena, dia malah pergi mencari kotak p3k, karena Leo rasa itulah yang paling dibutuhkan oleh Alena saat ini. Tak lama, cowok itu kembali, dia ikut duduk di lantai. Alena diam tak bergerak saat Leo mulai membersihkan luka-lukanya. Dia masih sibuk menangis. “Kayak gini lagi, Al” gumam Leo, dia bisa melihat bekas sayatan yang ada di lengan gadis itu, sehari-harinya tidak akan yang tau karena Alena sering mengenakan pakaian panjang, untuk menutupi bekas itu Alena memiliki semacam stocking tangan yang menyatu dengan kulitnya. Dia memesannya khusus, Leo tau karena dia adalah partner Alena saat mengambil benda itu. “Katanya janji gak bakal kayak gini lagi..”  “Gue capek, Yo” gumam Alena menjawab, tatapan matanya kosong, dipenuhi kehampaan, rasa sakit dan rasa putus asa. Air mata masih menetes tanpa suara. "Kadang, gue pengen lihat getah dari pohon lain, Yo. Setelah itu gue bisa denger nyanyian merdu mereka, suara mama merdu, Yo" Leo menggelengkan kepala. "Lo mau lihat getah dari pohon lain? Nih" cowok itu menggoreskan pecahan guci ke lengannya hingga mengalirkan darah. Alena menatap darah itu dengan sedih. "Ternyata nggak sesuai ekspektasi gue ya" gumam Alena lagi. "Karena lo bukan orang jahat Alena, meskipun lo sering lihat getah lo sendiri bukan berarti lo juga pengen lihat getah orang lain. Lo nggak seburuk itu" Alena terkekeh miris. “Apa gue mati aja ya?” Leo menghela nafas, Alena sering kali mengucapkan keinginan nya untuk mati. Jika saja Leo bisa membersihkan luka di hati dan batin Alena, dia pasti akan melakukannya, dia juga akan memberikan pengobatan terbaik untuk gadis itu. Tapi Leo tidak bisa, Alena terlalu menyayangi rasa sakit itu dan merawatnya sendirian. Setelah membalut luka yang ada di pergelangan tangan, Leo berganti membersihkan luka yang ada di kaki gadis itu.  “My life, can never change” “Nggak akan ada yang berubah kalau lo sendiri gak mau berubah, Al” Bola mata Alena bergerak, menatap Leo yang dengan telaten membersihkan luka-lukanya. “Emang ada bedanya kalau gue mau berubah, Yo?” Tangan Leo Berhenti, “I am not sure” jawabnya pendek. Dia juga tidak bisa menjanjikan apapun untuk saat ini. “Emang ada urusan apa sih mama lo kesini?” “Dia minta gue buat mutusin Gevit, Yo. Kalo gue bisa, udah gue lakuin dari awal” “Tiba-tiba banget dia mau ngurusin kehidupan percintaan lo?” “Aurin.” Satu rahasia yang tidak pernah diketahui oleh banyak orang, tapi Leo mengetahuinya, lagi-lagi hanya dia yang tau tentang rahasia ini. “Pasti dia yang minta ke mama” lanjut Alena, suaranya lemah sekaan tenaganya sudah terkuras saat dia menangis tadi.  “Cewek itu, kayaknya tergila-gila banget sama Gevit” “Gue mau lihat, seberapa gilanya dia kalau tau kedekatan gue sama Gevit” Everyone has a dark side that is usually rarely shown. Maybe only at certain times, she will show her dark side, to the person who is so annoying in her life. Begitu juga dengan Alena yang memang sudah lelah dengan segalanya.  “Nggak, gue nggak setuju. Gue akan bicara sama Vero dan Gevit kalo hukuman itu harus berhenti, gue--” “Yo, lo siapa? Lo nggak bisa atur hidup gue, hidup gue sepenuhnya milik gue.” Deg. Alena mencoba bangun dari posisinya meski dengan susah payah karena pergelangan kaki cewek itu terluka kena pecahan guci. Tanpa mengucapkan apapun lagi dia berjalan tertatih menaiki anak tangga menuju kamarnya. Sementara Leo harus menelan kata-kata Alena dengan mentah-mentah. Ya, dia seharusnya sadar diri kalau dia bukan siapa-siapa dan dia tidak berhak mengatur kehidupan gadis itu, meski niatnya baik ingin mengeluarkan Alena dari jurang permasalahan. “Mungkin sekarang gue bukan siapa-siapa buat lo, Al. Tapi bisa jadi, suatu saat gue akan jadi segalanya buat lo.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD