Fitnah Itu Lebih Kejam

1277 Words
"Saya butuh sekali, Pak," pinta Daffin. "Saya hanya bisa memberikan ini, hutang-hutangmu masih banyak," ucap lelaki itu yang kerap kali dipanggil Pakde pemilik toko sembako. Daffin mengulas senyum melihat uang ratusan sepuluh lembar. Lelaki itu bersyukur karena pemilik toko itu masih mau memberikan pinjaman, setelah melakukan perjanjian jam kerja Daffin bertambah. Lalu Daffin beranjak keluar dari toko tempat kerjanya itu. Dia harus mendapatkan sisa untuk membayar biaya pengobatan sang istri. Tiba-tiba terdengar suara bariton yang menyapanya. Daffin pun menoleh ke sumber suara yang tampak siluet tubuh lelaki berpakaian jas rapi melempar senyum kepadanya sedang berdiri menyandar di mobil berwarna hitam abu. "Hallo, aku perlu bantuanmu," ucapnya sambil melambaikan tangan kepada Daffin. "Arwana?" Daffin mengerutkan dahinya. Lalu dia pun memangkas jarak mendekati Arwana yang bergeming di posisi yang sama. Sejurus kemudian Daffin pun melontarkan pertanyaan kepada Arwana. "Ada apa datang ke sini? Tumben." "Di rumah ada televisi yang sedikit ada masalah. Padahal baru beli satu minggu yang lalu. Bisa kau lihat sendiri, ada masalah apa?" "Televisi itu masih garansi. Kenapa tak hubungi pihak toko?" Daffin menatap tajam Arwana. Tak biasanya lelaki itu bersikap manis kepadanya dan hari ini benar-benar sangat manis dan tampak ramah. "Aku ingat kalau kamu bisa membetulkan elektronik juga 'kan. Tenang, aku bayar kamu sepuluh kali lipat. Lantas kenapa harus minta tolong kepada orang lain? Jika Kakakku ini bisa betulkan," jawab Arwana menyunggingkan senyum simpul. Hening. Daffin sedikit ragu untuk menerima tawaran dari Arwana. Namun, dia pun membutuhkan biaya cepat. Jika Daffin menjadi tukang ojol dalam seharian tak mungkin dapat dua juta dalam satu hari. Lelaki itu pun terdiam sembari berpikir panjang dan menatap lekat Arwana yang masih berdiri bergeming sambil melipat kedua tangannya di depan dadaa. "Bagaimana, Kak Daffin?" Arwana yang tak pernah konsisten memanggil Daffin. Hampir lima belas detik. Daffin tertegun sejenak. Lalu dia mengangguk pelan menyetujui permintaan Arwana dan itu sangat disambut hangat oleh Arwana. Maka lekas Arwana meminta Daffin segera naik ke dalam mobil. Memang dasarnya si Arwana ini sombong dan arogan. Ketika di dalam mobil masih sempat menyindir Daffin yang duduk di sampingnya. "Pasti Kak Daffin sudah lama tak naik mobil mahal. Ini 'kan keluaran BMW keluaran terbaru dan aku beruntung bisa mendapatkan mobil ini. Mau tahu nggak ini dari siapa?" "Saya tak peduli. Ini mobil dari siapa." Daffin memalingkan wajahnya. Dia lebih memilih melihat pemandangan luar daripada mendengarkan celotehan kesombongan Arwana yang diberi hadiah dari sang ayah. Sungguh terlihat sekali pilih kasih Kennedy kepada Daffin dan Arwana. "Oke, aku tak akan banyak bicara. Tapi, ayah lebih sayang kepadaku," ucap Arwana sembari membusungkan dadaanya dan melanjutkan menyetir mobil dengan laju kecepatan tinggi. Daffin saat ini hanya mampu menyeringai tipis dengan kesombongan yang Arwana tampilkan. Dia sadar diri, memang saat ini belum bisa menjadi orang yang dapat dibanggakan oleh Kennedy. Akhirnya mereka berdua tiba di rumah Arwana. Tampak Desi duduk di teras sambil bermain ponsel dan dia melempar senyum kepada Daffin dan Arwana yang baru turun dari mobil. "Tunjukkan televisi yang rusak," ucap Arwana sembari mengerlingkan mata kepada Desi. "Iya," jawab Desi singkat mengulum senyum tipis, lalu dia berdiri dan mulai berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Daffin pun segera menguntit dari belakang. Akan tetapi, tiba-tiba tangan kekar Arwana menepuk pundaknya. "Ini bayaranmu. Simpan dulu," ucap Arwana tersenyum lebar. "Saya belum tahu kerusakannya apa? Dan kamu tiba-tiba sudah memberikan uang kepada saya." "Pegang saja dulu. Jika ada yang mesti diganti bisa kamu beli 'kan?" sahut Arwana. "Maaf, saya tak bisa terima uang sekarang. Sebelum saya tahu dulu kerusakan televisimu." Daffin pun berbalik badan beranjak pergi meninggalkan Arwana yang masih berdiri di ambang pintu. "Miskin saja kamu masih angkuh, Daffin. Tak mau terima uang. Padahal kamu mental tempe dan miskin juga," cetus Arwana. Untungnya telinga Daffin sudah kebal dengan cacian dan hinaan yang dilontarkan oleh Arwana. Daffin berjalan menuju ruang keluarga yang luasnya hampir sama dengan dua kamar. "Ini televisinya bisa kamu lihat," ujar Desi sambil menunjukkan televisi tersebut. Lalu wanita itu lekas meninggalkan Daffin sendiri. Iya, benar-benar sendirian di ruangan sebesar itu. Tanpa membuang waktu lagi. Daffin pun segera mengambil remote televisi. Dia mulai periksa letak kerusakan ada di mana? Ternyata tak dapat menyala. Lekas Daffin pun mengambil televisi itu. Namun, baru saja dia memegang televisi. Arwana datang tiba-tiba sambil meneriakinya. "Hai, pencuriii!" "Saya bukan pencuri," jawab Daffin yang kebingungan melihat dua satpam Arwana berjalan ke arahnya dengan tergopoh-gopoh. "Hajar dia!" titah Arwana. Daffin terbelalak dan mulutnya mengatup berdiri tegak sambil memegang televisi. "Maksudnya apa ini? Kamu yang pinta aku harus cek ini televisi." "Aku tak bilang seperti itu!" bentak Arwana berkacak pinggang. Dua satpam itu pun langsung mendekati Daffin. Maka lelaki berhidung bangir itu menaruh televisi di meja dan dia berusaha menjelaskan bahwa sebenarnya dia bukan pencuri. "Saya bukan pencuri!" bantah Daffin sambil memasang kuda-kuda hendak melawan. Namun, dua satpam itu segera meringkus Daffin ketika Arwana mengingatkan bahwa bila melawan, maka itu membuktikan bahwa Daffin seorang pencuri. "Sial, kamu jebak saya!" geram Daffin. Pukulan dan tinjuan melayang ke pipi Daffin dari dua satpam Arwana yang menyerang membabi-buta. Sampai Daffin terhuyung limbung jatuh. Samar-samar pandangannya mengedar melihat Arwana melempar senyum kepadanya berdiri di depan. Sungguh manusia yang tak mempunyai hati belas kasihan. Arwana memang ingin sekali melihat Daffin menderita. "Kau pencuri!" "Arwana, mau kamu apa? Kenapa harus jebak seperti ini?!" Tak berselang lama datang polisi langsung menangkap Daffin yang masih terduduk mengusap darah yang keluar dari hidung tak berhenti. "Tangkap dia, Pak. Ini videonya. Aku punya bukti kalau dia itu pencuri dan lihat pakaian istriku compang-camping karena dia berusaha mau menodainya," jelas Arwana sambil menunjuk ke arah Desi yang tiba-tiba sudah menangis terisak sambil mendekap kedua lututnya untuk menutupi bagian depan badannya yang ternyata robek. "Apa?! Saya tak pernah menyentuhnya." Daffin mengelak sambil beringsut mundur menjauhi dua polisi yang berpakaian cokelat berjalan ke arahnya. "Jangan bohong. Aku hampir dilecehkan olehnya, Pak," timpal Desi sambil memelotot. Arwana pun segera menutup badan Desi dengan jasnya dan dia menatap nanar kepada Daffin. "Kenapa, Kak? Desi ini adik iparmu. Kamu mau menodainya juga. Sungguh terlalu. Kamu itu jahat!" dumelnya. "Jangan melawan." Polisi itu langsung memborgol Daffin. "Pak, ini fitnah. Saya tak salah. Justru tadi dia yang meminta saya agar datang ke sini. Dan saya tak menyentuh istrinya juga!" hardik Daffin memberikan perlawanan. "Jelaskan saja nanti di kantor!" bentak polisi itu sambil mendorong Daffin agar berjalan. Iya, dia diperlakukan seperti penjahat kelas kakap yang digiring dari dalam rumah mewah Arwana menuju keluar. Dengan demikian, nilai jelek Daffin di mata tetangga Arwana yang ternyata sudah berada di depan halaman rumah Arwana menjadi saksi Daffin ditangkap polisi. Arwana mengintimidasi Daffin. Entah kapan warga setempat dengan Arwana datang? Saat ini sudah ramai berada di depan rumah. Mereka menyaksikan pertunjukan penangkapan Daffin. Kini Daffin tak mampu melawan karena Arwana memberikan video di mana dia sedang memegang televisi dan fitnah yang dituduhkan dari Desi dan Arwana yang paling mengecewakan Daffin adalah di saat dia disangka hendak menodai Desi. "Saya bukan pencuri, Pak." Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara orang yang membuat Daffin terpukul. "Mungkin gara-gara istrinya cacat. Jadinya ngelirik adik iparnya dan karena dia nggak kerja makanya mencuri!" "Padahal 'kan tampan. Harusnya bisa cari uang itu gampang. Jangan jadi pencuri." "Iya, kalau mau jadi lelaki simpanan tante-tante bakal sejahtera. Hahahhaaha ...." Daffin memicingkan mata melirik ke arah orang-orang yang menghinanya. Membicarakan bukan di belakang lagi, melainkan di depan mata Daffin. Lalu polisi itu pun memaksa Daffin agar segera masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba Arwana mendekati Daffin. Mendekatkan bibirnya ke telinga Daffin. "Tenanglah, di penjara. Aku akan yang menjaga istrimu atau apa perlu menemaninya di malam hari," bisik Arwana. "Sial, mau apa kamu?! Jangan macam-macam," geram Daffin seraya memelotot yang langsung membogem mentah wajah Arwana. Lelaki berjas itu terhuyung sambil memegangi hidung. "Tangkap dia, Pak. Dia penjahat kelas kakap!" Arwana dengan lantang memberikan perintah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD