“Iya ada apa, Pak?” tanya Daffin lembut sembari tersenyum tipis.
"Saya mau pulang. Tapi, dompet saya hilang. Tak punya ongkos. Boleh saya, menumpang gratis," jawab lelaki paruh baya itu.
Daffin mengulum senyum manis, dia mengangguk seraya mempersilakan lelaki paruh baya itu agar naik. "Pak, tak usah bayar. Saya akan antar Bapak ke rumah dengan selamat."
"Terima kasih." Lelaki tersebut sumringah mendapatkan jawaban dari Daffin. Lekas dia duduk di belakang.
Daffin pun segera mengantar lelaki paruh baya itu. Mereka berdua menembus jalanan yang lenggang. Sepanjang perjalanan Daffin berusaha menyimak menjadi pendengar setia penumpangnya.
Ternyata lelaki paruh baya itu baru sampai dari kampung, tetapi mendapatkan musibah karena dompetnya dicuri saat di angkutan umum, tanpa disadari olehnya.
"Apa yang membuat Bapak datang ke kota ini?" tanya Daffin.
"Saya hanya ingin bertemu anak dan cucu. Ingin memberikan kejutan kepada mereka. Hari ini pas ulang tahun cucu saya. Mereka selalu baik dan sering pulang ke kampung. Tapi, biar kali ini saya yang datang ke rumah mereka," jawabnya.
Hati Daffin terenyuh mendengar cerita dari si penumpang yang begitu tulus menyayangi anak dan cucunya.
'Andaikan Ayah seperti itu,' batin Daffin.
Saking asyiknya mengobrol. Akhirnya, sampai di tempat tujuan. Lelaki paruh baya itu memeluk Daffin. Rasanya seperti mendapatkan pelukan hangat dari seorang ayah.
"Semoga kamu selalu beruntung, diberikan kesehatan, dan dimudahkan rezekinya."
"Terima kasih, Pak. Doanya." Daffin tersenyum lebar sambil mengurai pelukannya.
Kemudian lelaki tersebut berbalik badan dan meninggalkan Daffin sendiri bergeming di tempat. Selang lima detik si penumpang itu sudah ada di depan pintu rumah.
Tak berselang lama. Pintu dibuka, lalu keluar seorang lelaki yang usianya hampir sebaya dengan Daffin.
Daffin menghela napas lega karena dia dapat menyaksikan pertemuan ayah dan anak sungguh mengharukan. Lantas dia pun segera naik ke motor dan meninggalkan tempat itu dengan sumringah. Meskipun, malam ini dia tak menemukan penumpang yang membayarnya, tetapi dia dapat melihat ketulusan hati seorang ayah yang tak pernah Daffin dapatkan dari Kennedy.
Tiba di rumah. Daffin masuk ke dalam kamar sudah mendapati sang istri yang sudah tidur terlelap pulas. Lelaki itu menyunggingkan senyum getir sambil duduk di pinggir kasur sembari membelai puncak kepala sang istri.
Merasakan ada tangan hangat yang bergerilya di area ceruk lehernya. Shakira pun menggeliat dan membuka matanya perlahan-lahan.
"Mas, sudah pulang?"
"Iya, tidurlah lanjutkan. Kenapa bangun?"
"Mas, sudah makan?" tanya Shakira.
"Saya sudah," jawab Daffin yang harus berbohong kepada sang istri. Lalu dia menyodorkan uang hasil kerjanya malam ini. Sejurus kemudian dia kembali berucap, "Maaf, saya punya segini untuk membeli obat-obatan ibumu."
"Nggak apa-apa, Mas." Shakira sumringah mendapatkan uang dari Daffin, berapa pun selalu dia terima dengan senang hati tanpa menampilkan wajah cemberut karena melihat uang dari Daffin jumlahnya sedikit.
"Saya mau mandi." Daffin mengecup puncak kepala Shakira, lalu dia beranjak masuk ke dalam kamar mandi.
Shakira pun menaruh uang dari Daffin di dompetnya yang selalu dia simpan di bawah bantal. Rencananya besok dia ingin ke rumah sakit untuk membayar biaya pengobatan sang ibu, tetapi tiba-tiba pandangannya mendadak kunang-kunang. Dadaanya mendadak sesak sekali.
Bola mata Shakira sudah bergulir ke atas. Dia pun meringis kesakitan sambil memanggil Daffin. "Masssssss! Tolong."
Shakira membanting dirinya dari kasur ke lantai. Dia merangkak ingin mengetuk pintu kamar mandi. Dadaanya benar-benar seperti dihimpit barang-barang besar. Shakira merasakan sesak napas.
Suara air yang turun dari shower meredam suara permintaan tolong Shakira. Daffin masih asyik mandi dan memakai sabun.
Lima belas menit kemudian. Daffin selesai mandi. Dia keluar dari kamar mandi. Betapa terkejutnya Daffin saat mendapati Shakira yang terjatuh ada di lantai dengan gelas yang sudah berserakan di lantai.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Daffin langsung membopong Shakira naik ke kasur.
"Shakira, kenapa?"
"Shakira, bangun!"
Tangannya terulur mengusap-usap pipi Shakira agar bangun, tetapi tak kunjung sadar juga Shakira. Maka Daffin lekas membopong tubuh sang istri beranjak keluar dari kamar.
Pikirannya kacau. Bahkan Daffin saking khawatir dan kalut. Daffin bingung cara membawa Shakira ke rumah sakit. Sudut matanya melirik ke arah kain panjang berwarna cokelat batik yang ada di tali jemuran.
"Lisa mungkin lupa ambil ini," ucap Daffin.
Lantas dia pun langsung mengikatkan tubuh Shakira dengan dirinya di daerah pinggang dan punggung. Daffin seolah sedang menggendong anak kecil di belakang punggung. Dengan demikian, Shakira setidaknya aman berada di atas motor karena berada di perlindungan Daffin yang mengikatnya diikat dengan dirinya sendiri.
Daffin naik ke motor dan melaju dengan kecepatan sedang. Jantungnya berdetak cepat karena khawatir dengan kondisi Shakira.
"Shakira, bertahan."
"Kita pasti bisa sampai ke rumah sakit," ucapnya menguatkan dirinya sendiri.
Suara petir bersahut-sahutan di langit yang gelap pekat. Angin berhembus kencang dari arah Utara. Daffin pun sebelah tangannya memegangi tangan Shakira dan sebelah tangannya menarik gas dengan kecepatan sedang.
Alam seperti memberikan tanda akan turun hujan, sedangkan Daffin dan Shakira masih di tengah jalan belum tiba di rumah sakit terdekat yang jaraknya memakan waktu empat puluh lima menit dari rumah Daffin.
Rinai hujan turun berlomba dari langit. Jangan tanya bagaimana keadaan Daffin dan Shakira saat ini. Pastinya baju keduanya basah kuyup masih di tengah jalan. Ditambah air hujan seakan menusuk ke area mata Daffin. Lelaki itu tak pantang menyerah membawa Shakira.
"Mas," lirih Shakira yang tersadar.
"Shakira," jawab Daffin sambil memberhentikan motornya.
"Dadaaku sakit dan terasa sesak," ucap Shakira.
"Sebentar lagi sampai," balas Daffin menguatkan.
Tiba di rumah sakit. Shakira pun lekas diberikan pertolongan pertama oleh tenaga medis, sedangkan Daffin berdiri di depan ruang UGD. Tampak cemas dan gelisah.
Tak berselang lama. Shakira yang sedang terpejam, dipindahkan dari UGD ke ruang rawat inap. Daffin pun mengekori dari belakang.
Seorang perawat menghampiri Daffin. "Maaf, Pak. Ini biaya administrasinya, yah." Wanita itu menyodorkan secarik kertas.
"Istri saya sakit apa?" tanya Daffin menerima kertas putih tersebut.
"Apakah Anda tak tahu jika istri Anda memiliki penyakit Asma? Istri Anda sudah mendapatkan kamar. Di area Kemboja nomor lima belas," selorohnya.
Daffin menggelengkan kepala. Pantas saja dia pernah menemukan nebulizer---alat bantu pernapasan di laci meja di kamar. Bayangannya seolah ada di depan mata.
"Istri saya belum pernah cerita."
"Asmanya sudah kronis."
Lelaki itu pun tertegun mencerna ucapan dari perawat. Dia berdiri bergeming sambil mengusap wajahnya kasar. Lalu Daffin berjalan menuju ruang administrasi. Berniat ingin membayar juga pengobatan mertua dan sang istri.
Namun, setelah sampai. Daffin justru menatap nanar biaya pengobatan mertuanya dan sang istri mahal. Dia hanya punya uang dua juta, sedangkan uang yang harus dibayar lima juta.
"Sus, saya bayar segini dulu. Besok saya lunasi."
"Boleh, Pak."
"Saya harus mencari uang ke mana lagi?" gumam Daffin sambil berbalik badan beranjak pergi.
Lalu dia menekan nomor telepon. Menghubungi seseorang yang dapat dimintai tolong olehnya. Siapa lagi jika bukan bosnya, tetapi Daffin tak diberi uang pinjaman lagi karena hutang Daffin sudah banyak, belum lunas.
Daffin berjalan pelan-pelan berusaha berpikir keras cara mendapatkan uang untuk melunasi biaya pengobatan sang istri dan mertuanya.