Membuatnya Nyaris Terjungkal

1650 Words
Kedatangan Kian di sekolah pagi ini membawa sensasi berbeda dibanding hari - hari sebelumnya. Moge berwarna hitam milik Dion dipadukan dengan pesona anak nakal yang terpancar secara alami dari diri Kian, membuat para siswi berdecak kagum sampai histeris heboh. Lagi - lagi malangkah nasib para siswa lain yang kalah telak.        Para siswi masih belum mau berhenti memandangi Kian bahkan sampai yang bersangkutan sudah selesai memarkir mogenya. Sampai yang bersangkutan keluar dari area parkir, berjalan santai menelusuri lorong menuju ke kelas. Siswi - siswi dari setiap kelas yang Kian lewati berbondong - bondong keluar kelas hanya untuk melihat barang sekilas.        Reaksi yang serupa juga ditunjukkan oleh siswi - siswi teman sekelas Kian saat anak itu sampai di kelasnya. Kian membuka tas, mengeluarkan sebuah LKS matematika. Membuka halaman yang ia inginkan, dan mulai mengerjakan PR yang seharusnya sudah ia selesaikan semalam. Semalam Kian terlalu sibuk duel game dengan seseorang yang menantangnya.       Jadi, ia tak punya waktu untuk mengerjakan PR. Toh, dikerjakan dadakan sekarang, sebentar lagi juga selesai. Perlu diingat, Kian adalah salah satu contoh anak pintar yang tidak bisa dijadikan teladan.       Sekotak balok berwarna pink dengan sebuah pita berwarna senada, tiba - tiba terulur dan diletakkan di atas meja Kian. Perhatian Kian segera teralih dari buku LKS, pada empunya tangan yang mengulurkan kotak hadiah itu. Oh, ternyata si Mina. Kok tumben.        "Buat lo!" Mina cengengesan.        "Dalam rangka?"        "Bukan dalam rangka apa - apa. Cuman gaji kecil buat tutor baru gue."       Kian hanya mengangguk samar. "Ya udah, thanks." Kian hendak melanjutkan mengerjakan PR - nya.       Tiba - tiba saja satu kotak balok kembali telulur dan diletakkan di atas mejanya. Kali ini -- kotak hadiah, dengan warna senada dengan yang tadi, juga dengan pita -- berukuran jauh lebih besar. Perhatian Kian kembali teralih. Ia lagi - lagi melihat siapa empunya tangan yang memberikan hadiah ini. Lho, Mina lagi?       "Lo kenapa, sih, Min?"       Mina cengengesan seperti tadi. Tapi kali ini disertai dengan semburat merah di pipinya. "Titip buat Mas Lintang."        Kian langsung memasang tampang sweatdrop. Ia pikir Mina memberinya dua hadiah sekaligus. Menyesal ia sudah berpikir seperti itu. Jadi, Mina tadi memberinya hadiah, bukan sebagai gaji kecil untuk seorang tutor. Tapi sebagai gaji modusnya Mina pada Lintang yang memperalat Kian.        Yongki memperhatikan pemandangan Kian dan Mina yang sedang berduaan dari bangkunya. Tatapan tak suka itu terlihat begitu jelas melalui kilatan tajam dari mata sipit bak bulan sabitnya.       Beberapa siswi mulai berbisik - bisik di sana - sini. Bisikkan yang membuat telinga Yongki panas. Sepanas suhu hatinya sekarang.        "Berani - beraninya si Kutu Buku deketin Kian. Sok - sok ngasih hadiah pula!"       "Mana dua pula hadianya. Dan Kian nerima dengan senang hati. Tahu gitu, gue bawain dia hadiah tiap hari. "       "Dulu, tiap kali dikasih hadiah dia selalu nolak. Dikasih si Kutu Buku kok mau, ya?"       "Eh, lo udah pada denger belum, sih? Kata Niken, si Kutu Buku sama si Kian, kemarin makan bento barengan, lho!"      "Makan bento? Bareng? Kok gue nggak lihat?"        "Ya jelas nggak lihat, lah! Orang hobi lo aja ngantin mulu tiap istirahat. Sedangkan si Kutu Buku sama Kian selalu anteng di kelas."        "Wah, si kutu buku kok menang banyak bisa deket - deket si Kian."        "Nggak diragukan lagi, dia pasti pakek pelet!"       "Wuih, bener juga, tuh! Dia pasti pakek pelet! Apalagi kemarin ada yang lihat, Kutu Buku sama Kian pulang sekolah bareng naik bus."        "Asli, sah, Kutu Buku pakek pelet! Atau susuk mungkin, susuk pengasihan! Aji - aji jaran goyang!"        Ingin rasanya Yongki menyumpal mulut - mulut pedas para gadis itu. Tapi mana mungkin seorang Yongki melakukan hal itu? Yongki justru menelungkupkan kepalanya di antara kedua tangan di meja. Tak mau lagi mendengar atau mendengar apapun.        Sementara dua orang yang sedang menjadi topik hangat dalam perbincangan, malah asyik melanjutkan obrolan.       "Sip. PR gue udah selesai. Lo mau belajar sekarang apa nanti aja, Min?" Kian menutup buku LKS - nya.       "Dibilangin jangan panggil gue Min?"        "Ya udah, lo mau belajar sekarang apa nanti aja, Mun?"        "Kok Mun?" Mina kebingungan.       "Iya, lah. Mumun kan kembarannya Mimin. Kalo lo nggak mau dipanggil Mimin, berarti lo Mumun dong!"      "Sialan, gue disamain kayak pocong!"        "Emang mirip, kok! Tinggal bungkus aja. Tinggal milih bungkusnya pakek apa. Kalo pakek daun pisang, lo bukan pocong. Tapi lemper!"        "Sialan!" Mina mencak - mencak, geregetan ingin menjambak dan mengarak Kian keliling sekolah. Tapi ia ingat bahwa sekarang Kian adalah harapan satu - satunya agar ia bisa lulus SMA dengan nilai bagus, tanpa harus merogoh kocek lebih dalam dengan ikut bimbingan belajar. "Gue belajar nanti aja pas udah pulang sekolah. Emosi tinggi gue sekarang sama lo!"       "Ya udah, Alhamdulillah, gue bisa lanjutin game! Permisi!" Kian merogoh laci bangku, mengambil handphone dan mulai asyik dengan tampilan layar yang sama sekali tak dimengerti oleh Mina.        "Kata Mak Lampir, lo sama Mas Lintang itu beda ibu, ya?" tanya Mina tiba - tiba. Pertanyaan itu betah sekali berada di otaknya semenjak semalam. Semenjak ia dan Ichal banyak ngobrol tentang keluarga Kian dan Lintang.        "Nah kan, Ichal bukan Mak Lampir, lo juga bukan Pocong Mumun. Kalian berdua adalah titisan presenter infotainment. Tukang gosip!"       Mina merengut kesal. "Bukan gosip, kali! Gue sama Mak Lampir cuman melakukan sesi tanya jawan! "Ya sama aja, Min! Bego emang lo, ya!" Kian mengetuk kepala Mina dengan ujung pulpen. "Terus kenapa kalo gue sama Lintang beda ibu? Masalah?"        "Nggak ada yang salah, sih. Sekarang jadi masuk akal kenapa muka lo sama Mas Lintang kok nggak mirip meskipun kalian kakak adek."       "Emang ada aturan kakak adek harus mirip? Gue aja sama Dion -- yang seayah dan seibu -- nggak mirip - mirip amat. Lo sama Ichal -- yang juga sepabrik -- juga nggak mirip - mirip amat."         "Iya juga, sih!" Mina tengsin sendiri. "Tapi bagus, sih, sekarang ada lo yang nemenin dia. Meskipun lo nyebelin, seenggaknya Mas Lintang nggak kesepian lagi. Kasihan dia, tuh. Udah sebatangkara, sakit pula."       Kian terlihat cuek, namun sebenarnya ia cukup terkejut mengetahui fakta bahwa Mina juga tahu tentang sakitnya Lintang. Kian jadi teringat dengan sesuatu yang sudah ia pikiran semalaman. Tepatnya setelah ia dan Lintang melakukan pembicaraan empat mata kemarin.       "Min, apa lo orang yang bisa dipercaya?"       Mina mengenyit bingung. "Maksud lo?"        "Buruan ngomong aja lah! Gue bisa percaya sama lo, nggak?"        Mina meletakkan jari telunjuk di pelipis. "Uhm ... kata orang, gue ini cewek yang cuek. Gue melakukan apa yang pengen gue lakukan. Dan mengatakan apa yang pengen gue katakan. Kata mereka, gue adalah orang yang optimis, manis dan juga suka menolong. Karena, setiap ada yang minta tolong sama gue, gue pasti bakal nolongin dengan sepenuh hati. Tentang kepercayaan ... kasarannya misal ada seribu cewek di dunia, hanya satu dibanding sembilan ratus sembilan puluh sembilan cewek aja yang nggak ember. Dan gue masuk sebagai bagian dari satu."        Kian mengangguk - angguk. Tapi ia juga cukup terganggu dengan Mina yang melebih - lebihkan anggapan orang tentang dirinya. Manis katanya? Siapa yang bilang Mina manis? Apa mereka buta?        "Bagus lah kalo ternyata lo adalah orang yang bisa dipercaya." Kian melirik jam dinding. Masih sekitar dua menit lagi sebelum bel masuk. Ia harus bergegas, karena tak mau pelaksanaan niatnya tertunda. "Gue kan udah setuju bantuin lo belajar, jadi tutor privat lo sampek lulus. Tentunya, itu butuh banyak pengorbanan waktu dan tenaga. Jadi, sekarang adalah waktunya gue nuntut bayaran dari lo."       "Kok gitu? Padahal lo jadi tutor gue adalah sebagai ganti rugi telur gulung gue yang lo habisin. Lagian, gue tadi udah kasih lo hadiah!"        Kian berdecak. "Les privat di luar, sekali pertemuan bisa habis ratusan ribu. Sementara lo cuman bayar gue pakek telur gulung dan sebuah hadiah? Mana kecil lagi kotak hadiahnya!"       Mina menelan ludahnya. Aduh, ternyata ia harus membayar mahal untuk biaya les privat dengan Kian. "E - emangnya lo minta tolong gue apaan? Gue emang penolong, tapi juga lihat - lihat dulu minta tolong dalam hal apa."         Kian memberi kode pada Mina untuk mendekat. Karena ia tidak mau isi pembicaraannya didengar oleh orang lain. Kian membisikkan sesuatu ke telinga Mina yang membuat gadis absurd itu nyaris terjungkal.        ~~~~~ TM: ROLL EGG - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~         Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD