Two Brothers Talk

1244 Words
Menjelang makan malam, ada sebuah mobil pick up yang membawa sebuah moge alias motor gede. Moge kesayangan Dion, yang mulai sekarang akan Kian pakai untuk berangkat dan pulang sekolah.       Saat ini Kian dan Lintang sedang berdiri di teras, mengawasi orang - orang itu menurunkan moge dari pick up.       "Mas Kian, Tuan marah - marah lho tadi," ucap Pak Supir.        "Marah - marah kenapa, coba?" sungut Kian.       "Karena apa lagi? Sama kayak dulu. Tuan nggak tega lepas Mas Kian bawa motor sendiri ke sekolah."       "Weleh, si Ayah, mah!" dengkus Kian. "Ntar aja, deh, aku telepon Ayah buat jelasin!"       Sehabis moge terparkir manis di garasi, dan orang - orang itu berpamitan, barulah Lintang berani mengajukan pertanyaan yang sedari tadi urung diucapkannya. "Jadi Ayah selama ini belum tega lepas kamu naik motor sendiri?"        Kian terkesiap, ia sudah tertangkap basah. Kian berakhir cengengesan tidak jelas. "Ayah, tuh, lebay aja. Gue udah mahir banget kok bawa motor! Cuman gue emang belum punya SIM, sih," jujur Kian.       "Yang bener? Kalo Ayah nggak ngasih izin, Mas juga nggak kasih kamu izin bawa motor sendiri!"        "Tang, jangan ikutan lebay kayak Ayah, deh! Beneran, gue udah mahir!"       "Kalau bener udah mahir, kenapa belum punya SIM?"        "Soalnya, gue belum cukup umur!"       Lintang mengernyit bingung. "Kok bisa? Kamu, kan, udah kelas 12. Seharusnya udah 17 dong umurnya!"       "Belum, Tang. Umur gue bakal 17 tahun bulan Februari tahun depan! Semua ini gara - gara si Tuyul itu!" Kian jadi mengenang masa lalu.       Saat pertama kali ia bertemu sang Musuh Bebuyutan — Yongki — di sebuah lapangan bermain milik sekolah TK dekat rumah. Yongki mengejek Kian yang belum sekolah kala itu. Keesokan harinya, Kian ngotot pada Ibu untuk segera disekolahkan. Ibu berusaha melarang, karena Kian belum cukup umur. Tapi karena Kian memaksa, sampai menangis gulung - gulung di lantai, Ibu akhirnya pasrah.       Kian meminta Ibu untuk menyekolahkannya di TK manapun, asal bukan sekolah TK yang dekat rumah. Karena ia tidak mau bertemu dengan si Tuyul.       Prestasi Kian di TK ternyata sangat luar biasa. Meskipun ia masih kecil, tapi dengan bekal kemampuan baca tulis yang sudah lancar — karena Ibu selalu rajin mengajarinya, bahkan sejak sebelum Kian masuk sekolah — Kian diberi penghargaan lompat kelas. Dari nol kecil, langsung ke kelas 1 SD.       Kala itu, aturan dalam dunia pendidikan belum serumit sekarang. Dulu anak dengan umur yang belum genap 5 tahun, sudah boleh masuk SD, asal mampu. Beda dengan sekarang, di mana anak SD minimal harus berusia 7 tahun.       Di SD, Kian bertemu lagi dengan Yongki. Mereka satu kelas. Yongki terkejut dengan kehadiran si Anak Payah yang pernah ia ejek. Kian dan Yongki terus bersaing dalam hal apapun, entah itu akademik ataupun non akademik. Sialnya, dari SD sampai sekarang, mereka selalu satu sekolah. Ironisnya lagi, mereka selalu sekelas.         "Tuyul?" Lintang mengulang pernyataan Kian dengan pertanyaan.        "Iya, tuyul!" Kian melenggang mendahului Lintang masuk rumah.       Lintang segera menyusul adiknya dengan sedikit berlari. Ia mendapati Kian yang sedang duduk santai, menyalakan televisi, menonton serial animasi Naruto.       "Berarti sekarang umur kamu masih 16, ya!" Lintang mengawali pembicaraan lagi.      "So pasti!"       "Kalau kamu umur 16, berarti Dion umur ...?"       "Si Dion, mah, udah tua!" ledek Kian.       Lintang tergelak. "Tua gimana?"        "Ya tua umurnya, lah. Dia 2,5 tahun di atas gue. Sekarang umurnya udah hampir 19. Seharusnya kita jarak dua tingkat di sekolah. Tapi kenyataannya, kita cuman jarak satu tingkat!"       "Eh, itu mah kamu aja yang sekolahnya kemudaan!"       "Nggak masalah tua atau muda, sih. Dion aja yang bego!"        "Hus, nggak boleh gitu!"       "Emang kenyataannya gitu!" Kian ngotot. Kian berdeham kecil. Ia juga jadi penasaran dengan umur Lintang. "Kalo lo?"       "Aku?" Lintang terlihat takjub karena Kian mau repot - repot balik bertanya padanya. "Tahun ini aku bakal 20."      Kian mengangguk - angguk. Dalam benak ia berpikir. Ya ... sejak awal ia dan Dion sudah tahu bahwa Lintang memang lebih tua dari mereka. Namun jika diperjelas seperti ini, rasanya tetap menyesakkan d**a. Ayah lebih dulu memiliki anak dengan selingkuhannya, dibandingkan memiliki anak dengan istrinya sendiri.        Tapi sekali lagi ... ini bukan salah Lintang. Kian berusaha menanamkan pemikiran itu dalam - dalam. Satu - satunya orang yang salah adalah Ayah. Ah, bukan hanya Ayah. Selingkuhannya juga salah.       Kian kadang berpikir. Pantaskah ia menyebut wanita itu sebagai selingkuhan Ayah? Karena pada kenyataannya, wanita itu memang kekasih Ayah semenjak sebelum dijodohkan dan menikah dengan Ibu.       Ah, entah lah! Semakin dipikirkan, semakin membuat Kian pusing.       Seburuk apapun Ayah, ia tetaplah sosok Ayah yang harus Kian hormati. Seburuk apa pun wanita itu, ia tetaplah seorang Ibu. Seorang Ibu yang sangat dirindukan kehadirannya oleh Lintang.       "Tang, boleh gue tanya sesuatu?"        "Tanya apa?"       "Sebelumnya gue minta maaf karena lagi - lagi nanyain hal yang sensitif." Kian memberi jeda sebentar. "Lo benci nggak, sih, sama Ayah? Dan ... sama Ibu lo?"       Dengan cepat Lintang menggeleng. "Aku nggak pernah benci mereka."       "Sedikit, pun? Lo sama sekali nggak marah setelah apa yang mereka lakuin ke lo?"       Lintang menggeleng lagi. "Nggak seperti Ayah yang jelas keberadaanya, Ibuku ... entah berada di mana. Aku tahu namanya, aku juga punya fotonya, tapi nggak pernah tahu di mana keberadaannya sekarang. Ichal selalu bantuin Mas nyari, tapi ... belum ketemu."       "Sorry, gue lancang tanya kayak gini ke lo." Kian benar - benar tak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi Lintang. Ia juga merutuki kebodohannya sendiri. Merutuki rasa ingin tahunya yang terlalu berlebihan, sehingga berakhir menyakiti Lintang.       "Nggak apa - apa, Yan. Mas berkali - kali bilang, tanyakan apa yang ingin kamu tahu. Dan Mas akan menjawab." Lintang terkekeh. "Mas harap ... Mas masih punya cukup waktu. Supaya kesempatan Mas untuk bertemu mereka, juga lebih besar." Lintang mengakhiri penjelasan dengan senyuman khasnya. Senyuman dengan lesung pipit di sudut bibir, yang menyimpan sejuta makna di baliknya.         ~~~~~ TM: ROLL EGG - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~        Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD