Ivory Kartika Wulandari

1330 Words
Kian mengendap menuju kamar Lintang. Kian bukannya takut ketahuan Lintang. Itu tidak mungkin. Karena Lintang belum pulang. Melainkan ... Kian takut ketahuan Pak Joe. Saat akhirnya Kian sampai di depan pintu kamar kakaknya, Kian dengan cepat menyelinap masuk. 'Huff, aman!'        Pandangan mata Kian segera menyapu seluruh isi ruang, sembari otaknya mendeteksi -- kira - kira di mana Lintang menyimpan berkas - berkas penting yang ia miliki.       Kian melangkah cepat membuka satu per satu laci nakas. Tidak ada. Ia beralih menuju bupet. Ia membuka satu per satu laci juga. Sama seperti tadi. Nihil. Kian beringsut menuju ke lemari pakaian. Kecil kemungkinan Lintang menyimpan berkas di sana. Tapi tak ada salahnya dicoba. Sayang, lagi - lagi hasil samalah yang Kian dapat. Hanya tabung - tabung obat milik Lintang yang ada di mana - mana.        Kala rasa putus asa mulai muncul, mata Kian menangkap bias yang dihasilkan oleh cermin besar lemari pakaian di hadapannya. Di kolong ranjang Lintang, ada sebuah kotak yang berukuran cukup besar. Kotak itu terlihat antik. Seperti peti untuk menyimpan harta karun.        Kian merogohkan tangannya ke kolong, berusaha meraih kotak itu. Dapat. Kian dengan susah payah menggeser kotak itu keluar dari kolong. Mungkin isinya benar - benar harta karun. Berat sekali.       Ada sebuah gembok yang menyegelnya. Sial. Di mana kuncinya?        Kian kembali mengacak - acak laci per laci yang ada di kamar ini. Syukur lah, Kian menemukan sebuah pouch kecil berisikan banyak kunci. Entahlah mana kunci kotak harta karun ini. Kian hanya tinggal mencobanya satu - satu.        Sampai pada kunci ketujuh, syukurlah kotak itu berhasil terbuka. Rasa penasaran membuat Kian membukanya dengan kecepatan maksimal. Kian cuku kecewa saat tahu isinya hanyalah kertas - kertas. Jadi, kotak ini memang berat dari sananya. Bukan karena berisi harta karun. Kian kemudian terkikik. Menertawai dirinya sendiri.        Untuk apa ia kecewa karena tidak menemukan harta karun dalam kotak ini? Tujuannya ke mari, kan, bukan untuk itu. Lagi pula seandainya kotak ini benar - benar berisi harta karun, memang Kian akan menjualnya?       Kian memilah kertas - kertas yang ada. Sampai ia menemukan secarik kertas yang terlihat paling lusuh. Pada ujung atas bagian kiri kertas itu terdapat sebuah foto yang dilampirkan dengan sebuah klip. Foto seorang wanita muda yang sedang tersenyum. Senyumannya sangat mirip dengan Lintang.        Kian membaca data yang tertera pada kertas lusuh. Data itu berasal dari fotokopi sebuah kartu mahasiswa:         Nama                                          : Ivory Kartika Wulandari NPM                                             : 91.1.01.04.0045 Tempat, tanggal lahir              : Kediri, 18 September 1971 Program Studi                          : Seni Teater       ~~~~~ TM: ROLL EGG - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~        Mina berlari cepat sambil membawa selebaran teater musikal tahunan yang ia dapat dari anak - anak teater seminggu yang lalu. Saat melihat Kian duduk tenang di bangku, Mina segera menghampirinya.        "Yanh ...!" seru Mina di sela - sela napasnya.        "Lo kenapa, sih? Manggilnya biasa aja! Jangan mendesah! Jadi ambigu!"        "Mendesah gundulmu!" Mina tanpa ragu menempeleng kepala Kian. Sebuah hal yang membuat Mina semakin dibenci oleh siswi - siswi di sini.        "Buset, Min. Puyeng pala gue!" Kian mengelus kepalanya dengan sayang.        "Nih, lihat!" Mina menunjukkan selebaran yang ia bawa.        "Ini, kan, selebaran teater musikal dari seminggu kemarin. Gue juga dikasih." Kian membuka kantong kecil yang berada pada bagian tas ranselnya. "Nih!" Kian menunjukkan selebaran miliknya yang kelupaan belum dibuang.        "Bagus, deh, kalo lo masih nyimpen. Coba lo baca siapa nama tutor teaternya nanti!"        Mata Kian segera menelisik tulisan demi tulisan yang tertera pada selebaran. "I.K Wulandari." Kian merasa tidak asing dengan nama itu.        "Belum sadar setelah baca namanya? Katanya lo pinter. Ternyata telmi!" cerocos Mina.       Kian berusaha memahami maksud Mina. Dan ia memang merasa nama itu tidak asing, kok. I.K Wulandari ... kedua netra Kian membulat. I.K Wulandari. Ivory Kartika Wulandari. Ibunya Lintang.        "Akhirnya nyadar juga, kan, lo!" tembak Mina.         "D - dimana dan kapan gue bisa ketemu sama dia?" Kian sampai tergagap dibuatnya.        "Gue udah tanya anak teater tadi. Bu Ivo -- nama panggilan beliau -- bakal ke sini pada saat seleksi akhir pemilihan pemeran utama teater musikal. Tapi ...."        "Tapi ...?"        "Nggak sembarang orang yang bisa ketemu beliau. Beliau orang penting, tauk!"        "Terus siapa aja yang boleh ketemu?"        "Para anak teater, panitia penyelenggara, kepala sekolah, guru - guru dan karyawan sekolah, dan juga ... para murid yang ikut audisi teater musikal itu."        "Gampang, minta aja alamat rumahnya! Ntar kita datengin ke sana."        "Nggak semudah itu, Yan. Udah gue bilang, beliau orang sibuk. Jam terbangnya tinggi. Beliau jarang ada di Kediri. Dan lo yang merupakan orang asing, tiba - tiba dateng ke rumah beliau. Ya, mana ditemuin? Yang ada lo malah diusir sama satpam!"        "Minta nomor teleponnya?"        "Yan, harus gue ulang berapa kali? Beliau orang penting. Apa, sih, kita dibanding beliau? Upil, Yan ... UPIL!!!"        Kian terdiam cukup lama. "J - jadi ... itu artinya ... gue harus ikut audisi?"        Mina mengangguk mantap. "Itu solusi satu - satunya."        Kian terlihat berpikir keras. Ia bahkan sama sekali tidak menaruh minat padahal semacam ini. Tapi bukan itu masalah utamanya. Sekarang ia sudah kelas 12. Kepala sekolah melarang seluruh anak kelas 12 untuk mengikuti kegiatan apapun di sekolah termasuk ikut audisi teater musikal akhir tahun.        Bel masuk akhirnya berbunyi. Mina bergegas kembali ke bangkunya sendiri, meninggalkan Kian yang masih memikirkan semuanya. Para murid juga berbondong - bondong memenuhi semua bangku yang tadinya kosong di sana - sini. Tak terlalu lama, seorang guru wanita datang.         Guru itu membuka pelajaran hari ini dengan salam, dilanjutkan dengan absensi. Beliau memanggil nama murid satu per satu. Awalnya absensi berjalan mulus dan lancar. Sampai akhirnya guru itu menyebut nama seseorang. "Tanaka Yongki Aditama?"       Tidak ada jawaban. Semua pasang mata di sini kompak menengok pada bangku Yongki. Kosong.       "Tanaka Yongki Aditama?" Guru itu mengulang menyebut nama Yongki.        "Yongki nggak masuk, Bu!" lapor salah satu murid.        "Ke mana? Ada suratnya?"        "Kurang tahu, Bu. Sepertinya nggak ada yang dititipin surat."        Bisik - bisik dari siswi - siswi terdengar. Mempertanyakan di mana keberadaan idola mereka yang satunya. Karena rasanya aneh ... ada Kian, tapi tidak ada Yongki.        ~~~~~ TM: ROLL EGG - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~         Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD