Suasana sarapan keluarga Candra begitu hening. Hanya terdengar suara sendok dan garpu yang berbenturan dengan piring keramik. Sejak tadi Rania memilih diam setelah apa yang terjadi semalam. Jangan tanya apakah Rania bisa tidur dengan nyenyak. Jangankan tidur nyenyak, memejamkan mata saja Rania begitu sulit. Yang terlintas adalah wajah Derren yang dingin akan menjadi suaminya. Namun bayangan pria itu diselingi dengan senyum manis Jesse yang selalu Rania rindukan. Kalau ia menerima lamaran dari Dirga, itu artinya Rania akan menjadi ibu sambung dari bocah tampan itu.
“Rania, nanti bisa pulang cepat? Ada yang mau Papa bahas sama kamu.” Suara Candra memecah kesunyian di meja makan.
Gavi yang ada di sana hanya diam, fokus menikmati sarapan nasi goreng favorit buatan kakaknya. Dari sudut matanya Gavi mencoba mengintip bagaimana ekspresi sang kakak. Tahulah sifat kakaknya yang lebih suka memendam perasaan, seberat apapun masalah yang dihadapi.
“Rania usahakan, Pa. Kebetulan sudah ada janji dengan teman,” jawab Rania datar.
“Baiklah, Papa tunggu kamu di rumah.”
Perlahan Rania beranjak dari duduknya. Bahkan nasi goreng di piring belum habis barang setengahnya. Ia belum bisa menelan makanan sejak tadi malam, sampai wajahnya terlihat pucat selain karena kurang tidur. Bukan melakukan aksi mogok makan, hanya sedang tidak berselera untuk makan.
Gavi yang melihat Rania pergi setelah berpamitan dengan sang ayah, menatap iba. Membayangkan kelak kakaknya tidak bisa ia lihat setiap sarapan dan makan malam, itu membuatnya sedih.
“Pa...” Gavi tidak tahan lagi jika terus diam.
“Kenapa Gav?”
“Papa yakin menerima perjodohan pria bernama Derren untuk Kak Rania?” tanya Gavi tegas. Walaupun ia masih anak SMA tapi ia juga berhak terlibat jika menyangkut masa depan kakak perempuannya.
“Ralat Gavi, Pak Dirga melamar Rania jadi Kakak kamu masih bisa menolak.”
“Tapi Papa berharap kalau Kak Rania mau menerima kan?”
“Kenapa bertanya seperti itu? Kamu tidak yakin dengan Derren?” tanya balik Candra dengan nada tenang.
Gavi menghela napas panjang, “Pa, jelas Gavi tidak yakin. Kita ini tidak kenal pria itu. Bagaimana kalau sifatnya buruk terhadap Kak Rania? Gavi nggak rela lihat Kak Rania menderita”
“Papa tahu yang terbaik untuk putri Papa, Gav. Keluarga Pak Dirga adalah keluarga yang baik. Selama ini perusahaannya juga selalu berjalan lancar dalam kendali Derren,” tandas Candra.
“Tapi buktinya pria itu bercerai dengan istrinya, itu artinya pasti ada yang salah sama rumah tangga mereka.”
“Gavi, kamu tidak sepantasnya memiliki pemikiran seperti itu. Derren pasti punya alasan kuat kenapa bercerai dengan istrinya. Kita tidak boleh ikut campur dan jangan berpikir buruk tentang keluarga mereka.”
“Ya sudahlah, Gavi juga nggak akan bisa mencegah kan? Aku harap Kak Rania bisa menentukan jalan yang terbaik.”
“Kita doakan saja, Gavi.”
***
Rania membenamkan wajahnya pada kedua tangan yang terlipat di atas meja. Hari ini pikirannya kacau, tidak fokus dalam bekerja. Bahkan tadi sempat mendapat komplain dari pasien karena terlambat mengganti cairan infus yang hampir habis. Tidak biasanya ia seteledor ini dalam bekerja. Masalah pribadi yang merembet ke dalam pekerjaan sungguh hal yang Rania hindari selama ini.
“Ran, kamu lagi ada masalah ya?” Eliana menghampiri Rania setelah menyelesaikan tugasnya. Ia sempat mendengar saat Rania dimarahi oleh keluarga pasien.
Rania mengangkat wajahnya, melihat Eliana duduk di hadapannya, “Nggak kok. Kok kamu nanya gitu?” tanya Rania lemas.
“Aku kerja sama kamu nggak sebulan dua bulan. Kamu bukan tipe orang ceroboh atau nggak konsen. Pekerjaan kamu teliti nyaris sempurna tapi hari tumben kamu dapat komplain. Siapa yang nggak khawatir coba.”
Rania kembali tertunduk lemas, “Nggak kok, kayaknya aku cuma kecapean deh. Oh iya, gimana rencana perjodohan kamu? Udah ketemu sama orangnya?” Menyedihkan rasanya mengkhawatirkan Eliana sedangkan dirinya juga terjebak dalam perjodohan.
“Nah aku mau cerita itu juga. Aku kesel banget sama bokap dan nyokap, padahal mereka tahu siapa orangnya tapi pas aku minta liatin fotonya masa nggak dikasih. Di suruh nunggu seminggu lagi buat ketemu,” ucap Eliana dengan nada kesal.
“Apa semua perjodohan serumit ini?” pikir Rania.
“Sabar aja seminggu itu cepat kok. Aku yakin pria pilihan orang tua kamu pasti bukan orang sembarangan,” sahut Rania berusaha menenangkan Eliana tapi membesarkan hatinya juga.
Rania merasa heran kepada dirinya sendiri. Kenapa ia semudah ini memberi nasihat orang lain sedangkan ia sendiri begitu rumit menentukan jawaban untuk Derren.
Eliana memicingkan mata melihat Rania tiba-tiba terdiam, “Hei, malah ngelamun. Kesambet entar kamu,” seru Eliana membuat Rania terkesiap.
“Eh, maaf,” sahut Rania.
“Yakin deh kamu ini lagi mikiran sesuatu ya?”
“Nggak kok, aku ngantuk El.”
“Sebentar juga ganti shift kok, kamu bisa tidur sepuasnya.”
“Aku harus pergi sama Nathan.”
Eliana menatap curiga, “Kamu pergi sama Nathan? Kalian berdua mau nge-date?”
“Ngaco, aku pergi sama Nathan buat bantu cari hadiah untuk Gavi.”
“Gavi ulang tahun?”
“Iya, dan aku belum tahu mau kasih apa makanya mau dibantu sama Nathan.”
Eliana mengangguk, “Oh, aku kira kamu mau buka hati buat Nathan.”
Rania hanya menggeleng, bisa-bisanya Eliana berpikir dirinya kencan dengan Nathan yang sangat jarang bisa akur dengan dirinya.
***
Setelah mendapatkan barang yang cocok untuk dijadikan hadiah buat Gavi, Rania mengajak Nathan untuk makan di salah satu restoran Thailand yang ada di Mall tempat keduanya berbelanja. Mengingat selera makannya hilang sejak kemarin, tiba-tiba saja Rania menginginkan makanan Thailand dan beruntung Nathan tidak menolak saat diajak ke sana. Ini juga sebagai tanda terima kasih Rania kepada pria itu karena berhasil memilihkan jam tangan yang bagus untuk Gavi. Bahkan Nathan lebih semangat daripada Rania yang belum apa-apa sudah mengeluh pegal pada kakinya.
Menu makanan yang menjadi pilihan Rania adalah hidangan paling lumrah ditemui di restoran Thailand yaitu Tum Yum. Rasa makanan yang segar serta pedas mampu membuat pikiran Rania sedikit membaik. Nathan sendiri memesan Phad Thai kesukaannya. Sebagai menu penutup keduanya kompak memilih Mango Sticky Rise.
“Ran, aku boleh tanya sesuatu?” Setelah makanan tandas barulah Nathan berani mengajak Rania bicara serius.
“Hhmm?”
“Aku perhatikan sejak tadi kamu diem terus.”
“Masa sih?”
“Ya biasanya kamu rame tapi hari ini ngomong seperlunya saja. Ada masalah ya?”
Apa yang dikatakan Nathan benar adanya. Rania hanya antusias saat diajak memilih barang yang Nathan pilihkan, setelah itu maka ia akan kembali diam. Hal yang jarang Nathan lihat pada diri Rania.
Rania tersenyum tipis, “Aku baik-baik saja kok, Nath. Mungkin karena capek keliling.”
“Masa sih? Biasanya makin capek kamu malah makin cerewet.”
Rania mengangkat bahunya, “Ya anggap saja hari ini aku sedikit berbeda.”
“Kamu ada masalah? Cerita aja sama aku, janji kok aku nggak akan bocor.”
Rania menggeleng, “Nggak kok, Nath. Aku baik-baik saja.”
Nathan menghela napas, “Baiklah kalau itu yang kamu rasakan. Tapi kalau ada masalah kamu cerita ya.”
“Makasih Nathan yang ganteng dan baik hati,” ucap Rania dengan nada imut.
Nathan tidak akan memaksa karena bisa menimbulkan rasa risih pada Rania terhadapnya. Nathan tahu betul bagaimana sifat Rania yang selalu tangguh dan kuat dalam menghadapi berbagai hal. Terbukti dengan hasil kerjanya yang selalu membuat puas dan kagum. Pria itu tahu, hidup Rania yang tidak mudah karena kehilangan sosok seorang ibu membuat gadis itu menjadi pribadi yang kuat.