TWY Part 9b

1287 Words
“Rania pulang, Pa,” sapa Rania begitu melihat sang ayah sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton tv. “Sayang, Papa kira kamu pulang terlambat,” ucap Candra begitu melihat putrinya masuk ke dalam rumah. Rania menghampiri sang ayah, memberi salam seperti biasa namun raut wajahnya yang berbeda. “Urusan Rania sudah selesai, Pa. Jadi bisa pulang cepat.” “Kamu pulang sama siapa? Tadi Papa dengar suara mobil di depan.” “Rania cuci tangan dulu, Pa.” Setelah selesai mencuci tangan dan meletakkan barang bawaan ke dalam kamar serta makanan untuk makan malam di meja makan, kini Rania sudah duduk di sebelah Candra. “Tadi Rania pulang sama temen kerja sekaligus yang bantu Rania beli hadiah untuk ulang tahu Gavi, Pa.” Candra mengangguk pelan, “Kenapa tidak diajak mampir, kan sudah bantu kamu.” Rania baru ingat tidak menawarkan itu pada Nathan dan kini ia sedikit menyesal. “Ah iya katanya buru-buru, Pa,” sahut Rania. Rasanya juga aneh mengajak teman pria mampir ke rumah karena Rania tidak pernah melakukan hal itu. “Baiklah, sekarang kamu mandi dulu. Setelah itu Papa ingin bicara sama kamu, sambil menunggu Gavi pulang les. Setelah itu baru kita makan malam,” ujar Candra. “Iya Pa.” Rania meninggalkan Candra untuk membersihkan diri. Hari ini ia sangat lelah, lelah fisik dan lelah pikiran. Keduanya sama-sama membutuhkan waktu untuk segera beristirahat. Tidak butuh waktu lama, Rania keluar dari kamarnya dengan kondisi wajah yang segar karena sudah selesai mandi. Gadis itu menghampiri ayahnya yang tengah berada di ruang kerja. Ia sudah yakin kalau yang akan dibahas oleh Candra mengenai Derren. “Duduk Rania,” titah Candra pelan. Rania menuruti ucapan ayahnya dan duduk berhadapan dengan Candra dipisahkan oleh meja kerja. “Papa mau bicara apa sama Rania?” tanya Rania tidak sabar. Candra tersenyum tenang,“Nak, apa kamu masih marah sama Papa?” Rania tidak berani menatap sang ayah, “Pa, Rania nggak pernah marah sama Papa. Rania hanya kecewa kenapa Papa nggak pernah cerita sebelumnya.” “Baiklah, Papa akan ceritakan semuanya secara detail agar kamu tidak merasa kecewa lagi. Semoga penjelasan Papa bisa membantu kamu mengambil keputusan.” Candra menarik napas sebelum menjelaskan semua pada Rania. “Rania akan mendengarkan dengan baik.” “Jadi, setelah acara makan malam kamu dengan keluarga Pak Dirga, besoknya Papa dipanggil oleh beliau di kantor. Beliau menceritakan semua tentang awal mula perkenalannya dengan kamu sampai undangan makan malam. Harusnya makan malam itu dihadiri oleh Derren tapi karena dia sibuk dengan pekerjaan, alhasil kamu tidak bertemu dengan dia. Saat Papa dipanggil oleh Pak Dirga, beliau menyampaikan niat baiknya untuk menjadikan kamu sebagai menantu, istri dari Derren.” “Terus kenapa Papa nggak bilang apa-apa sama Rania? Harusnya Papa langsung cerita biar aku nggak kaget kayak kemarin, Pa.” “Kalau Papa cerita, apa kamu menerima dengan senang hati kedatangan keluarga Pak Dirga ke rumah ini?” “Ya belum tentu juga.” Sahut Rania datar. “Tapi masa Papa nggak ingat kalau Pak Dirga adalah pemilik perusahaan tempat Papa kerja, waktu aku cerita ada undangan makan malam?” “Jujur saja Papa tidak ingat karena kamu juga tidak menyebut nama keluarganya. Selama ini Derren yang mengganti posisi Pak Dirga jadi itu sebabnya Papa tidak kepikiran kalau Dirga yang kamu maksud adalah Dirga Narawangsa.” Rania bisa melihat ketenangan sang ayah saat mengatakan itu semua. “Papa nggak menutupi sesuatu dari Rania kan? Maksudnya sikap Papa yang sering menyendiri dan melamun itu bukan karena perjodohan ini?” “Bukan sayang. Memang jauh hari sebelumnya kamu diundang makan malam, Pak Dirga sempat menemui Papa juga. Tapi hanya sekedar ngobrol biasa seperti yang sering dilakukan dengan karyawannya. Pak Dirga menanyakan bagaimana keadaan keluarga kita. Berapa Papa punya anak, bagaimana kondisi anak-anak Papa dan lebih banyak menanyakan tentang kamu. Awalnya Papa biasa saja menanggapi obrolan itu, tapi saat mengingat ucapan Pak Dirga soal umur kamu yang sudah cocok berumah tangga, itu membuat Papa gelisah.” “Dan sekarang Papa tahu kan tujuannya Pak Dirga mengatakan agar Rania cepat menikah karena apa?” Candra menghela napas pelan melihat raut wajah Rania yang kesal. Ia tahu bagaimana sifat putrinya jika tidak menyukai sesuatu. Apalagi ini menyangkut pendamping seumur hidup, pasti Rania akan berusaha mencari cara agar seseorang bisa memahami perasaannya. Terlebih lagi orang yang dimaksud adalah ayahnya sendiri. “Nak, Papa tidak akan memaksa, kamu bisa putuskan sendiri. Tapi ingat pesan Papa, pikirkan dengan baik. Seorang ayah ingin anaknya bahagia, tidak ada yang menginginkan putri kesayangannya terjerumus dalam kesengsaraan. Papa tahu Derren seperti apa, walaupun sikapnya dingin tapi dia sangat menghormati orang lain.” “Bukan hanya Rania yang tidak menginginkan perjodohan ini tapi Derren juga, Pa. Bahkan dia yang minta Rania bicara sama Pak Dirga untuk menolak perjodohan ini. Karena jika Derren yang melakukannya, Pak Dirga tidak akan mau.” Rania terpaksa jujur pada Candra. Ia tidak ingin terjebak semakin jauh. “Karena Derren tahu kamu pasti menolak. Kamu seperti tidak tahu ego seorang laki-laki seperti apa. Gavi kan sering bersikap seperti itu.” Hidup diantara Candra dan Gavi memang sedikit banyak memberikan pemahaman pada Rania bagaimana sifat seorang laki-laki. Apalagi ia menghabiskan waktu yang sangat banyak dengan Gavi, jadi ia sudah tahu kadang ego adiknya lebih banyak bermain disetiap pertengkaran dengan dirinya. Candra kembali tersenyum melihat putrinya yang tidak memberi tanggapan. “Masih ada waktu untuk memikirkan ini dengan baik. Segala keputusan yang kamu ambil pasti ada dampaknya. Papa hanya ingin kamu ingat nasihat Papa, Rania.” “Ah jadi pada diem di sini. Aku kira Papa pergi dan Kak Rania belum pulang.” Gavi muncul dari balik pintu dengan wajah terlihat lega. Gavi melirik kakaknya yang tertunduk dan suasana di ruangan tersebut sedikit tegang. “Lagi bahas apa? kok pada tegang?” “Tidak ada Gavi. Sebaiknya kamu mandi dan kita makan malam bersama.” Gavi mengangguk paham, “Iya, Pa. Kalau begitu Gavi permisi dulu.” Gavi menyentuh pundak Rania, “Jangan marah nunggu aku mandi, cuma sebentar kok.” “Aku nggak makan, Gav. Kamu makan malam sama Papa aja.” “Kenapa begitu Rania?” “Tadi Rania udah makan sama temen, Pa.” “Tapi dari semalam Papa cuma makan berdua sama Gavi. Temenin Papa ya,” pinta Candra. “Iya nih, jangan ngambek berkepanjangan dong Kak.” “Cerewet kamu, Gav.” Sembur Rania. “Sensitif banget sih, awas wajah Kakak nanti jadi penuh sama kerutan karena marah,” ledek Gavi. “Gavi..” tegur Candra sebelum semuanya semakin panjang. Setelah menuruti keinginan Candra untuk menemani makan malam, Rania tengah berbaring di kamarnya. Ia memikirkan kejadian beberapa hari ini, heran akan kebetulan yang terjadi. Bagaimana bisa Dirga adalah pemilik perusahaan tempat ayahnya bekerja. Dan bagaimana bisa anak dari pria itu adalah Derren. Pria yang memberi kesan buruk dari pertama bertemu. Belum lagi sikapnya yang dingin, begitu keras menolak perjodohan ini. “Kenapa di zaman semodern ini masih ada istilah perjodohan? Emang sih Pak Dirga bilang aku masih bisa menolak. Tapi kalau semua menaruh harapan besar biar aku menerima, gimana caranya aku menolak,” gerutu Rania sambil membenamkan wajahnya pada bantal tidurnya. Drrrttt Drrrrttt Drrrttt Rania mengangkat wajahnya ketika mendengar getar ponsel miliknya yang di letakkan di meja nakas. Ia menggeser tubuhnya untuk menjangkau ponsel itu dan melihat sebuah pesan dari Andrian. Alis Rania mengernyit membaca pesan dari Andrian. “Mas Andrian ngapain mau ketemu besok?” Rania bicara pada dirinya sendiri. “Ahh nggak tahu deh. Ya Tuhan jangan kasih aku masalah lagi. Cukup masalah dengan Derren bikin sakit kepala, jangan ditambah sama Andrian. Belum lagi kalau Eliana tahu, bisa pecah kepala mikirin banyak masalah,” keluh Rania. Ia bahkan berguling ke kanan dan ke kiri karena frustasi dengan situasi saat ini. ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD