Rania mencerna satu persatu kalimat yang keluar dari Dirga. Ia tidak ingin kehilangan satu kata pun yang bisa merubah makna dari ucapan pria paruh baya itu. Beberapa kali kalimat itu berulang di kepalanya, sampai pada akhirnya ia tidak bisa menemukan kesalahan dan ia tersadar mimpi buruk segera menghampirinya. Kepalanya mendadak pening, matanya sedikit berkunang dan tubuhnya seketika lemas.
“Apakah ini mimpi buruk?” pikir Rania.
“Rania...” panggil Candra pelan. Ia khawatir sejak tadi putrinya tidak bersuara setelah mendengar ucapan dari Dirga Narawangsa.
“Rania, kamu baik-baik saja?” kini giliran Dirga yang bertanya tapi gadis itu masih diam dengan tatapan kosong ke arahnya.
Sebuah tepukan halus di pundak Rania akhirnya membuat kesadarannya kembali. Ia menoleh ke arah Derren, pria itu sedang menatapnya dengan tatapan datar.
“Kamu di panggil sama Papa saya dan Papa kamu. Kenapa kamu malah diam?” suara Derren akhirnya keluar karena ia gemas melihat Rania mematung.
Rania menatap wajah pria yang disebut oleh Dirga akan menjadi calon suaminya. “Nggak. Ini nggak boleh terjadi. Pria jutek nggak tahu sopan santun ini jadi suami aku? Bisa kurus kering, makan hati kalau kayak gini,” pikirnya ngeri..
Tamu tak diundang ini membuat Rania ingin bangun dari mimpi buruk yang mungkin saja akan berkepanjangan. Ia tidak tahu harus senang atau sedih karena dugaannya tentang Dirga akan menjadikannya istri tidak terbukti. Tapi, Rania justru dihadapkan pada kenyataan yang lebih buruk yaitu soal Derren sebagai calon suaminya. Pria asing yang sejak pertama bertemu sengat menyebalkan bagi Rania.
Rania menghirup oksigen sebanyak-banyaknya sebelum memulai negosisasi tentang masa depannya bersama dengan Dirga serta Candra.
“Sebelumnya saya mau minta maaf sama Om Dirga. Maksud Om tadi, saya akan menikah dengan dia?” Rania menoleh Derren dengan ragu, kemudian kembali menatap Dirga.
Pria itu tersenyum, “Iya, Nak. Om ingin menjadikan kamu sebagai menantu, istri dari Derren dan ibu untuk Jesse”
“Kenapa harus saya Om? Banyak di luar sana wanita yang bisa Om Dirga jadikan menantu dan tentunya lebih daripada saya. Saya tidak mengenal putra Om, membayangkan menikah dengan pria asing membuat saya takut. Apa yang akan terjadi dengan pernikahan tanpa cinta?” Tanpa Rania sadari, suaranya sejak tadi meninggi karena menahan emosi. Otaknya tidak bekerja dengan baik, sampai lupa dengan siapa ia tengah berbicara.
“Rania...” tegur Candra.
Dirga tersenyum lebar, “Tidak masalah, Pak Candra. Saya suka sikap putri Bapak apa adanya. Dari pada protes di belakang lebih baik dibicarakan baik-baik.” Kini ia kembali menatap Rania yang tengah menunggu, menuntut sebuah penjelasan. “Kalau kamu tanya kenapa saya memilih kamu, jawabannya adalah karena saya tahu kamu wanita yang tepat untuk Derren. Saya tahu sifat kamu seperti apa dan saya percaya Candra mendidik putrinya dengan baik. Saya juga yakin kalau kamu wanita terbaik yang bisa menjadikan hidup seorang Derren Narawangasa lebih bermakna.”
Terdengar klise di telinga Rania, ini bukan jawaban yang ingin ia dengar. Apa karena ia berasal dari keluarga sederhana sehingga Dirga berpikir kalau Rania tidak akan menolak perjodohan ini. Rania menatap wajah sang ayah, meminta penjelasan namun pria itu hanya tersenyum tenang.
“Kalau kamu keberatan dengan keberadaan Jesse saya harap…”
“Bukan masalah Jesse, Om. Tapi saya belum berniat menikah dan hal itu belum terlintas di pikiran saya akan terjadi dalam waktu dekat. Saya masih ingin bekerja dan .....” Rania bingung, dan apa lagi yang ia ingin lakukan di masa sendirinya?
“Dan apa Rania?” tanya Candra.
Rania tertunduk, “Rania nggak bisa pisah sama Papa dan Gavi,” entah sejak kapan air matanya mendesak ingin keluar. Padahal sejak tadi ia terlihat tangguh untuk berdebat dengan dua pria di ruangan ini. Jangan sebut tiga, karena Derren hanya sebagai pendengar seolah ia membiarkan Rania bertarung dengan Dirga dan Candra.
Mendengar isak dari gadis di sebelahnya, batin Derren terusik. “Pa, jangan desak dia. Biarkan dia berpikir dulu, kalau nyatanya dia menolak ya itu yang terbaik,” ucap Derren tenang.
“Maaf Nak Derren, terima kasih kalau mengerti dengan situasi Rania. Mungkin Rania masih syok dan belum tahu harus memberi jawaban apa,” ucap Candra. Ia juga tidak tega melihat anaknya begitu terkejut dengan kejadian mendadak ini.
“Papa setuju dengan saran kamu, Derren. Rania jangan menangis, maaf kalau kedatangan Om mengganggu pikiran kamu. Tolong pertimbangkan lagi ucapan Om, karena Jesse berharap kamu mau menjadi Mamanya. Pelan-pelan saja, jangan sampai terburu-buru dalam menentukan keputusan.”
Rania terdiam sambil menghapus air matanya. Ia tidak menjawab lagi karena ia juga bingung harus bagaimana. Hatinya menolak dan jelas-jelas ini sungguh tidak masuk akal, menikah dengan pria yang tidak ia kenal.
Setelah Dirga mengutarakan tujuannya kepada keluarga Candra, kini pria paruh baya itu sudah pulang bersama dengan putri dan cucunya. Sedangkan Derren sengaja meminta waktu untuk bicara berdua dengan Rania.
Rania mengajak Derren bicara di taman belakang agar tidak perlu takut jika obrolan keduanya didengar oleh Candra dan Gavi.
“Anda mau bicara apa?” tanya Rania saat keduanya duduk di sebuah gazebo.
“Kalau kamu ingin menolak, bilang saja. Jangan terlalu memusingkan permintaan Papa saya,” ucap Derren dingin. Pria itu sejak tadi tidak menampakkan senyum sedikit pun.
Rania hanya tertunduk, “Jelas saya menolak karena saya tidak kenal sama anda. Walaupun waktu pernikahan Dokter Delila kita pernah bertemu tapi sikap anda sudah cukup membuat saya tahu bagaimana karakter anda yang sebenarnya. Jadi membayangkan kita menikah membuat saya takut.”
“Baguslah. Saya tidak perlu bersusah payah meyakinkan Papa agar membatalkan niatnya karena kamu sendiri sudah menolak. Kabari setelah beberapa hari lagi, agar Papa tidak curiga. Supaya beliau percaya kamu sudah memikirkan jawaban ini dengan matang.” Derren beranjak dari duduknya.
“Kenapa bukan kamu saja yang bilang tidak setuju dengan rencana ini?”
“Karena Papa tidak akan peduli dengan pendapat saya. Bagi Papa kalau dirasa baik di matanya, ya itu artinya baik juga untuk anak-anaknya. Begitu juga dengan wanita yang dipilih, dipastikan cocok menjadi istri saya.” Derren menatap Rania yang tertunduk, “Ada yang mau kamu tanyakan lagi?”
“Tidak, untuk saat ini sudah cukup. Saya sakit kepala kalau berpikir terlalu keras disaat seperti ini.” Rania beranjak dari duduknya lalu berjalan lebih dulu untuk mengantar Derren ke depan rumahnya.
Setelah kepergian Derren, Rania segera membersihkan diri kemudian ia menyiapkan makan malam untuk Candra dan Gavi. Bahkan ia harus menghangatkan makan malam yang dibeli karena sudah dingin. Beres dengan tugasnya, Rania pamit ke kamar untuk beristirahat. Rasa lapar yang tadi melanda, mendadak hilang dan yang tersisa adalah kekecewaan pada Candra karena tidak membicarakan hal penting seperti ini terlebih dahulu.
“Kamu tidak makan, sayang?” tanya Candra begitu selesai mencuci tangan.
“Rania nggak lapar, Pa. Papa makan sama Gavi saja. Rania mau istirahat,” jawab Rania dingin kemudian meninggalkan Candra yang masih berdiri di dapur dekat meja makan.
Makan malam kali ini terasa beda. Jika biasanya Gavi dan Candra makan berdua karena Rania piket malam. Tapi kali ini, putrinya sedang marah dan tidak mau diganggu. Candra paham bagaimana perasaan Rania, tapi ia juga ingin yang terbaik untuk putrinya karena belum tentu ia memiliki umur yang panjang untuk bisa menjada Rania.
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*