Sepuluh bulan kemudian...
Sejak 5 bulan yang lalu, ketika Adya berusia 5 bulan, Mario dan Meisya sudah tak lagi tinggal di rumah orang tua Mario. Mereka sekarang menempati rumah baru yang telah direnovasi. Untuk apartemen Mario yang selama ini ditempati lelaki itu ketika masih lajang, telah dijual waktu untuk untuk tambahan membeli rumah yang cukup besar. Selain itu, Mario juga ingin melupakan kenangan buruk yang pernah dia lakukan di apartemen itu bersama selingkuhannya dulu.
Mario tidak mau dibantu seutuhnya oleh sang papa perihal rumah untuknya dan Meisya. Jadi, uang yang diberi oleh papanya digunakan sebagai biaya renovasi rumahnya yang menelan biaya cukup besar.
Meisya jarang menuntut banyak hal pada Mario, apa lagi sampai dibelikan rumah sebesar itu atas namanya juga. Meisya sempat protes, namun Mario mengatakan bahwa itu adalah hadiah pernikahan darinya dan juga sebagai bentuk terima kasihnya karena Meisya telah mengandung buah hatinya dan menjaganya dengan baik. Mario begitu memanjakan Meisya dengan banyak hal.
Perlahan, gunung es Meisya mencair karena perlakuan Mario yang memperlakukannya bagaikan seorang ratu. Tiga bulan belakangan ini sikap Meisya mulai menghangat terhadap Mario. Tapi, hingga saat ini dirinya belum mengakui perasaannya kepada Mario yang telah lama dia pendam.
Meisya juga telah mulai kuliah kembali di kampus yang baru di Jakarta mulai 2 bulan yang lalu. Dia melanjutkan kuliahnya pada semester lima, tidak perlu lagi mengulang dari awal karena jurusan kuliah yang diambilnya masih sama dan tidak perlu ada penyesuaian dengan mata kuliahnya. Bedanya, kali ini dia kuliah di universitas swasta. Namun, cukup ternama dan elit. Tentu saja, itu permintaan dari orang tua Mario. Walau menantu mereka berasal dari keluarga sederhana, tetap harus mendapatkan pendidikan tinggi.
Meisya memoles bedak tipis di wajahnya dan menggunakan lip balm warna bibir di depan meja rias. Dia akan bersiap ke kampus hari ini. Barusan, dia baru saja selesai menyuapkan Adya makan. Setiap hari Meisya bangun pagi dan menyempatkan diri membuatkan MPASI untuk anaknya.
Pintu kamar terbuka membuat Meisya menoleh seketika. Mario masuk kamar kembali dengan setelan kerjanya. Padahal, mereka telah selesai sarapan bersama Adya juga kira-kira 10 menit yang lalu.
"Kok belum jalan?" tanya Meisya sambil meraih tasnya di atas meja rias, masukkan lip balm dan bedak ke dalam tasnya.
"Bareng kamu."
"Loh, kamu nggak telat emang?" Meisya biasa berangkat naik ojol, jarang di antar oleh Mario karena suaminya itu harus ke kantor juga. Tapi, sebelum itu, dia mengantar anaknya beserta baby sitter yang ke rumah mertuanya. Meisya tidak mempercayakan sepenuhnya sangat anak kepada pengasuh tanpa pantauan keluarga. Jarak ke rumah mertuanya tak begitu, hanya sekitar 15 jika dia menggunakan taksi online atau kadang di antar Mario. Dari sana, baru dia berangkat ke kampus.
"Udah izin, kok. Ayo!"
"Jangan seenaknya mentang-mentang perusahaan punya papa sendiri."
"Sekali-kali. Nganterin istri cantik tercinta ke kampus, Papa nggak akan marah sama aku."
Meisya mendengkus, bukannya tersipu. Sudah biasa, mendengar gombalan receh dari suaminya itu.
Ketika Meisya berdiri, Mario berdecak tak suka memperhatikan penampilan istrinya itu. Kalau di kampus, Mario yakin kalau banyak yang tak menyangka jika Meisya sudah mempunyai seorang anak. Penampilan Meisya dinilai Mario masih seperti anak kuliahan yang belum menikah.
"Nggak ada baju lain?"
"Kenapa emang sama baju ini?" Meisya meneliti kembali penampilannya. "Nggak ada yang salah."
"Kamu penampilannya kayak anak ABG di luaran sana. Gimana nanti kalau ada yang kepincut sama kamu? Cantik begitu."
"Aku baru 21 tahun kalau kamu lupa. Ya, masih muda lah!" ujar Meisya membanggakan diri. Dia selisih 2 tahun dengan Mario. Suaminya itu berusia 23 tahun 2 minggu yang lalu.
Meisya berjalan mendekati suaminya itu. "Jangan khawatir aku bakalan kepincut sama orang lain di luar sana, karena... aku bukan kamu! Aku ke kampus benar-benar untuk kuliah tujuannya."
Mario tertohok. Mengingat masa kuliahnya yang tidak hanya fokus pada satu titik saja. Meisya benar berkata seperti itu.
***
Walau jarang ada waktu mengantar Meisya ke kampus, namun Mario mengawasinya dari jauh. Hampir sebulanan ini, dia meminta seseorang untuk mengawasi Meisya sejak istrinya itu mulai kuliah kembali. Bukan karena tak percaya pada istrinya tersebut, namun Mario lebih khawatir pada banyak laki-laki di kampus atau di mana pun mendekati Meisya tanpa dirinya berada di sisi sangat istri. Mario begitu posesif menjadi suami.
Dari laporan yang diterima dari orang kepercayaannya, bahwa ada beberapa lelaki yang berusaha mendekati Meisya di kampus. Mario tentu saja kesal. Bahkan, Meisya juga dapat julukan sebagai mahasiswi cantik di sana walau belum lama kuliah di kampus itu. Foto Meisya pun ada di posting-an lambe kampus. Bagaimana Mario tidak meradang dibuatnya. Dia ketar-ketir, menahan diri untuk tidak memblokir akun-akun para buaya darat yang komen pada foto Meisya yang di posting oleh lambe kampus tersebut.
Melihat penampilan Meisya sekarang, lelaki normal mana pun yang melihat akan menyukainya. Meisya yang cantik natural dengan penampilan yang tidak ketinggalan trend lagi. Bukan berarti Mario menganggap Meisya dulunya jelek, bukan. Hanya saja, dulu Meisya sama sekali tak terlihat menonjol di kampus. Cantik, namun tak nampak di permukaan karena kesederhanaannya dan juga anti sosial. Tak mempunyai banyak teman dan merupakan kaum bawahan yang bisa kuliah di kampus yang sama dengan Mario karena beasiswa.
"Ibu berangkat dulu ya, Adya. Nanti Ibu pulang lebih cepat. Jangan rewel anak Ibu yang cantik!" Meisya mencium pipi gembul anaknya tersebut, lalu pamit kepada Sesil, Ibu mertuanya. "Titip Adya, Ma."
Sesil tersenyum. Dia selalu senang jika cucunya dititip kepadanya. Sesil betah berlama-lama dengan Adya.
"Aku jalan, Ma." Gantian Mario yang pamit setelah puas menciumi Adya.
Di dalam mobil, Meisya sibuk membaca baca karena dia ada kuis hari ini. Semalam dia sudah belajar sewaktu Adya sudah tidur, sekarang dia hanya ingin mengulang kembali agar tidak lupa.
Hampir setengah jam perjalanan, sebentar lagi akan tiba di kampus Meisya.
"Aku turun di depan kampus aja. Nggak usah anterin ke dalam. Biar kamu bisa langsung ke kantor," ujar Meisya sambil menutup bukunya.
"Nggak!" bantah Mario tidak setuju. "Nanti masuk ke dalam aja, Pak," ujarnya pada sang sopir.
"Kamu tahu sendiri, rame pagi begini."
"Nggak masalah. Emangnya kenapa?"
"Ya nggak kenapa-napa, sih. Cuma entar susah lagi mau keluar."
"Nggak apa-apa."
Saat Meisya turun dari mobil, Mario buru-buru mengambil kruknya dan ikut turun.
"Lah, kenapa kamu ikut turun juga?" tanya Meiya heran.
"Mau anterin kamu sampe depan kelas."
Meisya berdecak.
"Ngapain sih, Kak? Kurang kerjaan banget!" Meisya tak habis pikir, apa Mario pikir dia adalah anak TK/SD baru mau masuk sekolah yang harus di antar sampai di depan kelas segala.
"Pengen aja," sahut Mario cuek bebek, tak peduli dengan raut kesal Meisya. "Ayo jalan!"
Bibir Meisya mengerucut sebal. Suaminya ini dari kemarin-kemarin bertanya semua tentang kuliah dan bagaimana di kampus, Meisya sudah menjelaskan semua. Namun, Mario terus menanyakan hal yang sama, setiap hari! Padahal, Meisya sudah berkali-kali mengatakan bahwa dia tak akan tertarik dengan lelaki mana pun. Ya kali, dia sudah punya suami masih lirik sana sini.
Melihat Meisya yang belum melangkahkan kakinya dan tangan bersidekap di d**a, Mario menghela napasnya.
"Aku cuma mau kasih lihat ke bocah-bocah di kampus ini kalau kamu itu udah punya aku. Jadi, awas aja kalau ada yang berani macam-macam sama kamu."
Dalam hatinya, Meisya senang dengan sikap posesif Mario. Tapi, asal jangan berlebihan. Seperti saat ini, menurut Meisya, Mario itu sedikit berlebihan pagi ini.