Mario baru kembali dari kantin rumah sakit setelah satu jam lamanya di sini. Baru saja dia membuka pintu kamar rawat yang ditempati Meisya, rahangnya mengeras melihat istrinya itu tersenyum pada seorang lelaki yang tengah menggendong anaknya. Siapa lagi kalau bukan Arshaka. Bunyi pintu terbuka sama sekali tidak disadari oleh Meisya dan Shaka sehingga membuat Mario bertambah kesal. Saking serunya mereka mengobrol berdua.
Mario tak menyangka jika Shaka sama sekali tidak mengindahkan larangannya. Sudah pasti lelaki itu mencari tahu tentang nama Meisya pada bagian administrasi. Karena, ponsel Meisya dipegang oleh Mario dari tadi. Ada pesan masuk dari Shaka ketika Mario baru saja tiba di kantin. Mario sengaja hanya membacanya saja, tidak membalasnya. Biar Shaka menduga kalau Meisya mengabaikannya. Rupanya, lelaki itu pantang menyerah untuk menemui Meisya.
"Anak kamu cantik banget, Sya. Matanya juga indah, kayak kamu," ujar Shaka sambil menatap lekat bayi mungil yang berada di dalam gendongannya.
Muka Mario memerah mendengar ucapan Shaka. Apa lelaki itu masih saja berharap kepada istrinya?
Hanya Arshaka, Meisya dan bayinya yang ada di ruangan itu. Entah ke mana kedua mertua Mario saat ini. Darah Mario mendidih, melihat pemandangan itu dan juga ucapan Shaka barusan. Mereka bertiga tampak seperti sebuah keluarga kecil yang bahagia. Tidak. Mario menggelengkan kepala. Anak dan istri gue hanya milik gue. Selamanya...
"Jangan berani-beraninya lo sentuh anak gue! Turunin dia dari gendongan lo!" seru Mario sambil terus berjalan mendekat ke arah Shaka.
Shaka tidak terkejut dengan kehadiran Mario. Perlahan, dia memberikan bayi itu kepada Meisya. Lalu, dia tersenyum ke arah Mario.
"Gue cuma pengen lihat bayi kalian aja, kok. Nggak lebih." Meski di dalam hatinya Shaka rindu sekali pada Meisya. Bohong jika dia sudah lupa dengan seseorang yang disukainya sejak zaman putih abu-abu itu. Perasaannya terhadap Meisya masih tersisa meski perempuan itu sudah berstatus sebagai istri orang. Dan walau Shaka sendiri juga telah dijodohkan dengan perempuan lain.
Cinta Shaka kepada Meisya begitu besar. Bahkan, waktu itu dia mau bertanggung jawab atas kehamilan Meisya walau perempuan itu mengandung darah daging dari Mario. Hanya saja, keberuntungan tak berpihak padanya. Ketika Meisya yang dikecewakan oleh Mario pada akhirnya bersedia menikah dengannya, namun restu tak Arshaka dapat dari papanya. Papa Shaka menentang keras niat Shaka untuk menikahi Meisya. Restu dari mamanya saja tidak cukup kalau itu. Shaka tidak bisa berkutik ketika papanya mengancam akan mencelakakan Meisya. Tentu lah Shaka tidak ingin perempuan yang sangat dicintainya itu sampai kenapa-napa.
Shaka mundur perlahan, begitu juga dengan Meisya. Perempuan itu sadar diri usai berbicara banyak hal dengan Tina, mamanya Arshaka. Dari pembicaraannya dengan Tina, Meisya bisa mengambil kesimpulan jika hubungannya dengan Shaka akan sulit kalau hubungan mereka akan terus dilanjutkan. Bagaimana pun, restu kedua orang tua itu penting dalam melangkah ke jenjang pernikahan.
Mario mendengus. Dia tak akan percaya begitu saja kalau Shaka tak punya niat lain ke sini. Mario harus waspada. Meski Meisya sudah berstatus sebagai istrinya dan dia percaya dengan isterinya itu walau terkadang masih bersikap dingin padanya, tapi dia hanya tidak yakin dengan Arshaka. Lelaki yang dia tahu berniat ingin menikahi Meisya waktu itu dan mau bertanggung jawab atas anak yang bukan merupakan darah dagingnya. Dapat disimpulkan seberapa dalam rasa cinta lelaki itu kepada Meisya. Lelaki yang selalu memandang Meisya dengan tatapan memuja saat menunggu Meisya bekerja di cafe. Mario benci mengingat hal itu. Kesal pada dirinya sendiri yang hanya bisa tersenyum kecut melihat Meisya dari kejauhan tanpa berani menghampiri.
"Buruan keluar! Udahan lihat bayinya, 'kan? Nggak usah lama-lama di sini. Enek gue lihat lo."
Meisya hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. Malas meladeni.
"Iya, ini juga gue mau keluar." Pandangan Shaka beralih pada Meisya. "Aku pamit dulu ya, Sya. Speed recovery, dan semoga bayi kamu tumbuh menjadi perempuan seperti kamu."
Mario memutar bola matanya.
Setelah Arshaka keluar dari ruangan itu, Mario duduk di samping brankar.
"Ibu sama Ayah ke mana?" tanyanya pada Meisya yang hendak memberikan ASI kepada bayi mereka.
"Lagi keluar," jawab Meisya singkat, tanpa menoleh.
"Ke mana?"
"Nggak tahu."
Mario menghela napas. Meisya ini kenapa masih dingin saja kepadanya?
"Dia lama di sini?" tanya Mario lagi.
"Apaan?"
"Cowok gagal move on barusan. Dia dari tadi di sini. "
"Nggak juga."
"Kamu seneng didatengin sama dia?"
Meisya mendelik. "Jangan ngaco deh!"
"Tapi kelihatannya tadi kayak gitu. Kamu nggak pernah kayaknya senyum-senyum gitu kalau lagi ngomong sama aku," ujar Mario sendu. Dia menatap Meisya lekat. "Apa kamu bahagia dengan pernikahan kita, Sya?"
***
Mario memejamkan matanya di sofa ketika mertuanya sudah kembali di ruangan. Matanya memang terpejam, akan tetapi pikirannya ke mana-mana. Kehadiran Arshaka hari ini cukup mengganggu ketenangannya. Bagaimana jika lelaki bernama Arshaka itu berniat untuk merebut Meisya darinya?
"Biar Ibu aja yang jagain Adya. Kamu tidur aja sekarang, istirahat."
"Iya, Bu. Tapi aku mau makan dulu."
Mario membuka matanya percakapan ibu mertuanya dengan Meisya. Bagaimana bisa dia hendak enak-enakan tidur, sementara istrinya belum makan siang? Mario menepuk keningnya. Tanpa menunggu, dia bangkit dari sofa, mengambil kruknya lalu berjalan ke arah brankar. Dilihatnya Meisya tengah membuka plastik yang menutupi makanannya. Dan Adya yang tengah digendong oleh Deborah, sang ibu mertua.
"Biar aku suapin," ucap Mario ketika sudah berada di samping istrinya tersebut.
"Nggak usah. Aku makan sendiri aja."
Mario tak pantang menyerah. Dia mengambil sendok dan membuka lauk yang belum dibuka oleh Meisya. "Sesekali aja, Sya. Kamu kan sudah berjuang untuk kelahiran anak kita. Biarin aku membantu kamu selagi aku bisa. Aku mohon... "
Meisya akhirnya menurut saja karena tatapan dari ibunya yang memintanya untuk menuruti ucapan Mario.
"Gimana? Enak?"
Meisya menggeleng.
Namanya juga masakan rumah sakit. Jarang ada yang enak. Usai dioperasi tidak boleh makan sembarangan, apa lagi yang pedas.
"Tapi tetap dimakan ya, Sayang? Buat sekarang kamu nggak boleh makan yang aneh-aneh dulu. Demi anak kita," ujar Mario lembut. Dia kembali menyuapi Meisya dan perempuan itu tetap mau membuka mulutnya.
"Udah. Aku nggak mau makan kagi," ujar Meisya setelah memakan beberapa sendok yang disuapin Mario.
"Sedikit lagi, oke? Dua suap aja."
"Aku nggak mau, Kak!"
Mario menghela napasnya.
"Ya udah, kalau gitu makan buah aja. Mau, 'kan?"
"Hmmm."
Setelah makan buah dan istirahat sejenak. Mario membantu Meisya untuk merebahkan brankar yang ditempati istrinya itu ke dalam posisi tidur.
"Kamu istirahat. Biar aku dan ibu yang jaga Adya." Mario mengusap kepala Meisya, lalu mencium kening istrinya itu hingga membuat muka Meisya memerah. "Selamat tidur, istriku tercinta."
Sungguh Meisya malu tatkala ibu dan ayahnya yang senyum-senyum melihat perlakuan manis Mario kepada anak semata wayang mereka.