Mario tidak jadi mengantarkan Meisya sampai ke depan kelas istrinya karena dia mendapat telepon dari kantor. Ada meeting dadakan pagi ini. Sebelum memasuki mobil kembali, Mario mengecup bibir Meisya sekilas membuat istrinya itu melotot kesal. Meisya tak suka jika Mario melakukan itu di tempat umum. Untung saja, tak banyak mahasiswa yang lewat di sana pagi ini. Parkiran sudah ramai, sepertinya sudah menuju ke kelas masing-masing.
Kenapa nggak rame, sih? gerutu Mario di dalam hatinya. Mungkin karena mereka tiba di kampus di saat Meisya jam kuliah akan dimulai dalam beberapa menit lagi. Baik lah, besok-besok dia akan mengantarkan Meisya lebih awal ke kampus sekalian membawa Adya. Baru setelah itu mengantar anaknya itu ke rumah mamanya.
"Udah, cepetan sana pergi!" Meisya mengibaskan tangannya. "Aku juga mau masuk."
"Hmmm. Inget, Sya, jangan pernah ladeni cowok-cowok yang godain kamu."
Meisya memutar bola matanya. "Iya, bawel!"
Di perjalanan menuju kelasnya, seorang lelaki menyamai langkah kaki Meisya. Dia menyapa Meisya yang tampak cuek dengan kehadirannya.
"Pagi, Meisya."
"Pagi," sahut Meisya singkat tanpa menoleh.
"Tumben jam segini baru dateng."
Meisya hanya menjawabnya dengan sebuah deheman. Malas meladeni lelaki mana pun yang terlihat ingin mendekatinya.
"Yang barusan itu siapa, Sya? Gue lihat lo bareng cowok tadi di parkiran. Abang lo?"
"Bukan."
"Terus siapa?" tanyanya penasaran.
"Laki gue."
"Hah?!"
Lelaki itu terkejut. Apa benar gosip bahwa perempuan yang sedang gencar di dekatinya ini sudah menikah? Tapi, masa iya perempuan secantik Meisya menikah dengan lelaki seperti itu? Memang sih tampangnya lumayan, tapi lelaki yang bersama Meisya tadi menggunakan kruk untuk berjalan. Menurutnya sangat tidak cocok jika berdampingan dengan Meisya.
Gue jauh lebih baik dari dia, gumamnya menghentikan langkahnya--memperhatikan punggung Meisya yang mulai berjalan menjauh.
***
Walau kakinya belum sembuh total, Mario adalah sosok suami dan ayah yang siaga. Contohnya saja malam ini, di saat Meisya tengah sibuk mengerjakan tugas kuliahnya, Mario langsung ambil alih bermain dengan anaknya. Selagi pasangan suami istri itu tidak sibuk dua-duanya, mereka akan mengurus anak mereka sendiri walau pun ada baby sitter.
Mario sampai ketiduran di kamar anaknya yang terhubung dengan kamar utama mereka.
Beberapa saat kemudian, Meisya yang baru saja selesai mengerjakan tugasnya, mendatangi kedua orang yang tengah tertidur tersebut. Adya yang tertidur di tengah kasur dengan Mario di sisinya. Meisya tersenyum tipis melihat hal itu, sebelum mendekati ranjang untuk meraih Adya.
"Udah selesai ngerjain tugasnya? Maaf, aku ikutan ketiduran bareng Adya, jadi nggak bisa bantu kamu," ucap Mario yang terbangun karena pergerakan Meisya mengambil anak mereka dari kasur. Padahal Meisya sudah berusaha pelan-pelan supaya suaminya tersebut tidak terbangun.
"Nggak apa-apa. Tugasku nggak begitu sulit, kok. Yuk pindah ke sebelah, biar aku gendong Adya." Meisya meraih gadis kecilnya itu untuk dipindahkan ke box bayi yang berada di kamarnya. Meisya belum ingin Adya tidur di kamarnya sendiri, paling nanti jika sudah berusia 2 tahun, baru dia akan mengajarkannya perlahan.
Setelah menidurkan Adya di box bayi, Meisya merebahkan diri di ranjang. Mario di sebelahnya sulit untuk tidur kembali setelah terbangun.
Mario memeringkan badannya menghadap Meisya yang hendak tidur.
"Kamu udah ngantuk?"
"Umm, lumayan, sih. Kenapa?" Meisya menoleh sekilas pada suaminya itu. "Ada yang mau kamu bicarakan?"
Mario mengangguk.
"Nggak begitu penting. Hanya pengen ngobrol aja kalau kamu belum ngantuk. Tapi, kalau udah ngantuk, ya udah, kamu tidur aja."
"Let's talk!"
"Pillow talk, jarang-jarang kita ada momen kayak gini, Sya."
Meisya mengangguk setuju. Semenjak menikah, dia selalu saja bersikap dingin kepada Mario. Tak jarang dia memunggungi lelaki itu ketika tidur. Bahkan, setelah usai berhubungan suami istri pun, dia memilih untuk tidur lebih dulu atau berlama-lama di kamar mandi hingga Mario tertidur duluan. Di saat Adya telah lahir, waktunya lebih banyak dihabiskan untuk bayi mereka itu. Jam tidur Meisya jadi tidak teratur. Tapi Meisya bersyukur memiliki suami seperti Mario. Tak jarang lelaki itu bergantian menjaga Adya saat bayi itu terbangun di tengah malam. Padahal dia harus bekerja keesokan harinya. Dia tetap membantu sang istri mengurus anak.
Lama-kelamaan perlakuan Mario membuat Meosta semakin tersentuh. Perlahan, sikap dinginnya kepada lelaki itu mulai mencair. Tak ada lagi kata-kata ketus yang terlontar dari bibirnya.
Mario menatap wajah cantik natural Meisya di tengah cahaya lampu tidur yang tidak begitu terang.
"Gimana kuliah kamu hari ini?"
"Baik. Kamu sendiri, gimana sama kerjaan di kantor?" Baru kali ini Meisya bertanya mengenai pekerjaan Mario di kantor. Baru beberapa bulan hubungan mereka menghangat, Meisya belum pernah membahas perihal pekerjaan suaminya tersebut.
"Lancar. Do'a ini aja supaya terus meningkat, agar bisa gantiin posisi Papa di kantor."
"Pasti aku do'ain, kok."
Mario tersenyum senang. Dia menyukai momen seperti ini, dengan sikap Meisya yang sudah menghangat padanya.
"Hari ini ada berapa banyak yang godain kamu, Sya?"
"Issh, apaan?"
"Aku tahu. Pasti banyak cowok yang tertarik sama kamu di kampus, iya, 'kan?"
Meisya mengedikkan bahunya.
Mario mencubit gemas hidung Meisya. "Susah emang kalau punya istri cantik dan pintar. Harus ekstra keras buat menjaganya." Mario merapatkan tubuhnya dengan sebelah tangan yang memeluk pinggang istrinya itu, "Kenapa kamu harus ambil jurusan itu sih, Yang? Aku 'kan cemburuan. Kadang suka kepikiran kalau lagi kerja. Kamu di Fakultas Teknik yang mayoritas cowok di sana, takut ada yang ngerebut kamu dari aku!"
Meisya mencibir dalam hati akan tingkah suaminya yang belakangan ini semakin posesif dan cemburuan. Dulu Mario yang dikenalnya tak seperti ini. Lelaki itu selalu percaya diri.
"Ya kali ada cowok di kampus suka sama aku yang notabene-nya udah punya suami. Nggak mungkin lah! Ngaco kamu."
"Bisa aja, Yang! Kalau udah cinta mah, nggak mandang janda, pacar atau istri orang sekali pun."
Meisya geleng-geleng kepala.
"Sekarang tuh bukan jaman pelakor doang, Sya. Tapi pebinor juga!"
"Pebinor?"
"Pengambil Bini Orang."
Meisya sontak tertawa. "Ada-aja aja. Tapi kalau menurut aku, seorang mahasiswa mana mungkin tertarik sama perempuan yang udah punya suami. Kayak nggak ada stok perempuan lain aja. Kan ada banyak cewek cantik bertebaran di kampus."
Mario mendesah. Kenapa istrinya ini tidak juga mengerti dengan kekhawatirannya?
"Sya."
"Ya?"
"Kamu pindah jurusan aja deh! Terserah ambil jurusan apa gitu, yang penting pindah dari teknik. Kalau bisa sih, FEB."
Meisya melongo. Apa kata suaminya? Pindah jurusan? Yang benar saja. Pindah jurusan berarti dia harus mengulang lagi dari semester awal. Meisya tidak mau. Dia sudah semester 5 sekarang. Dan perjuangan dia sampai berada di titik ini, tidak lah mudah. Meisya yang dulunya kuliah dengan bantuan beasiswa, kerja part time untuk kehidupannya sehari-hari.
"Nggak bisa gitu dong, Kak! Aku udah semester 5. Masa iya, aku ngulang lagi dari awal. Aku udah sejauh ini. Lagi pula, aku pengen cepet lulus biar bisa fokus sama rumah tangga kita." Kalau bisa, pengen buka usaha atau ngerjain sesuatu dari rumah, biar produktif. Karena Meisya ingin mempunyai penghasilan sendiri juga nantinya. Kehidupan di masa depan tidak ada yang tahu, Meisya tidak ingin menjadi istri yang hanya mengurus anak dan suami saja. Amit-amit, bagaimana jika terjadi musibah pada suami atau rumah tangganya suatu hari nanti? Meisya harus mempersiapkan segalanya untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
"Kalau kamu kuliahnya pindah ke kelas karyawan aja gimana? Sabtu dan Minggu."
"Aku nggak mau. Materinya padet dalam 2 hari pertemuan itu, kayak kurang maksimal aja menurut aku pribadi. Lagian, aku pengennya weekend itu di rumah sama keluarga. Secara weekdays, kamu kan kerja. Kapan quality time untuk keluarga?"
Mario menghela napas. Bingung harus bagaimana mengatasi rasa cemburunya yang berlebihan. Kalau dia bisa antar jemput Meisya setiap hari, dia akan melakukannya. Bila perlu, menunggu Meisya di depan kelas istrinya itu. Namun, dia juga harus bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya. Walau dia bekerja di perusahaan milik papanya sendiri, tetap tidak boleh semena-mena. Dia bisa kesulitan naik jabatan nantinya kalau tidak serius bekerja.
Mario sungguh ingin mengurung Meisya di kamar hanya untuk dilihat olehnya saja.