Adya Marsya Chalondra, Mario dan Meisya sudah sepakat memberikan nama itu ketika anak mereka lahir. Adya itu artinya sumber utama yang memiliki banyak kebaikan, Marsya adalah gabungan antara nama Mario dan Meisya, terakhir Chalondra yang artinya cerdas dan pintar. Meisya berharap nama yang disematkan kepada anaknya itu akan sesuai dengan arti dari namanya tersebut.
Sosok Meisya dan Mario bisa dibilang sama-sama cerdas dibidang akademik. Hanya saja, Meisya tak begitu pandai dalam bersosialisasi, beda halnya dengan Mario. Meisya berharap perpaduan antara dirinya dengan Mario bisa menghasilkan yang terbaik.
Pingsan usai anaknya berhasil dilahirkan, Meisya masih berada di dalam ruangan operasi sana untuk penanganan lebih lanjut. Sedangkan Mario sudah diminta untuk keluar dan dia menemani anaknya yang sudah dibawa ke sebuah ruangan bayi oleh sang perawat. Setelah itu, dia melangkahkan kaki menuju ke depan ruangan di mana tempat Meisya berada. Cukup lama di sana, Meisya belum juga keluar dari tempat itu. Mario panik. Keringat dingin bercucuran di dahinya. Dia duduk dengan kepala tertunduk di depan ruang operasi.
"Tenang. Meisya pasti akan baik-baik aja." Sesil menepuk-nepuk bahu anaknya itu. "Oh ya, mumpung lagi di rumah sakit ini. Mau cek sekalian kaki kamu? Astaga... Mama baru sadar kalau kamu tadi bisa gendong Meisya loh!"
Mario mendongak. Dia juga baru kepikiran, heran kenapa dia bisa tiba-tiba saja menggendong Meisya padahal dia ke mana-mana selalu menggunakan kruk karena kakinya yang tak kunjung sembuh?
"Coba kamu berdiri dan jalan tanpa kruk!"
Begitu tiba di rumah sakit, Meisya langsung dibawa oleh petugas rumah sakit menggunakan brangkar dorong pasien. Dan Mario turun dari mobil dengan menggunakan kruk satu lagi yang memang berada di dalam mobilnya.
Mario mencoba berdiri dan melangkah, namun baru 2 langkah, dia terjatuh. Terdengar helaan napas kecewa dari Sesil. Beda dengan Mario yang tetap tersenyum dengan keadaannya.
"Mungkin tadi lagi darurat, Ma. Jadi Tuhan kasih aku jalan biar segera bawa Meisya ke rumah sakit."
"Tapi nanti tetap dicek lagi perkembangannya. Siapa tahu aja ini pertanda baik dan kamu bisa berjalan dengan normal lagi dalam waktu dekat." Sesil memberikan semangat.
"Iya. Tapi nggak sekarang ya, Ma. Aku mau nungguin istri aku dulu."
Tak lama kemudian para dokter keluar dari ruangan operasi.
"Gimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Mario tak sabar kepada salah satu dokter yang menangani operasi Meisya.
"Istri anda baik-baik aja. Tidak ada masalah dengannya. Mungkin dia hanya kelelahan dan pingsan barusan. Dia akan segera dipindahkan ke ruangan rawat."
Mario dan Sesil lega mendengar ucapan dokter. Tak sabar rasanya untuk kembali mengucapkan kata terima kasih untuk istrinya itu yang telah berjuang melahirkan darah dagingnya. Mario ingin memeluknya dan mengatakan bahwa dia sangat mencintai perempuan itu.
***
Meisya meneteskan air mata bahagia ketika bayinya telah diantarkan ke ruangannya agar segera disusui. Sesil menggendong cucunya tersebut dari dalam box bayi dorong untuk diberikan kepada Meisya yang brangkarnya agak dinaikkan supaya dia bisa leluasa menyusui. Pasca operasi caesar, Meisya belum bisa duduk. Buat buang air pun, dia menggunakan kateter untuk beberapa saat.
"Cantik kayak ibunya," ujar Mario yang duduk di pinggir brangkar.
Meisya tersenyum dan menelusuri wajah bayi yang berada di dadanya itu dengan jemarinya. Mario benar, bayi mereka tampak cantik. Mata bulat dan kulit putih seperti Meisya, serta hidung mancung dan alis yang tebal mewarisi Mario. Benar-benar cantik!
"Ayo kasih dia ASI kamu, Yang! Kayaknya dia udah nggak sabar," ujar Mario melihat anaknya yang mulai menangis.
Meisya malu membuka kancing dasternya di hadapan mertua dan juga suaminya sendiri. Padahal mertuanya itu sedang mengobrol di sofa tanpa melihat ke arahnya.
"Nggak apa-apa. Sini aku tutupin!" Seolah tahu apa yang tengah dipikirkan istrinya itu, Mario menutup bagian depan Meisya dengan selimut. Namun, Meisya masih tampak ragu.
"Sama suami sendiri, ngapain malu? Sini aku bukain dan buruan dikasih ASI! Kasihan dia udah nangis."
"Cupcupcup, jangan nangis, Sayang!" Meisya berusaha menenangkan bayinya itu. Sedangkan Mario, membuka beberapa kancing atas daster Meisya dengan sebelah tangannya hingga membuat Meisya melotot. Mario mengabaikannya.
Bayi itu langsung diam ketika sudah mendapatkan ASI dari Meisya. Untung saja, sejak 2 minggu yang lalu, ASI Meisya sudah keluar. Jadi sekarang tak perlu dipancing lagi agar keluar.
"Namanya Adya Marsya Chalondra. Sesuai yang kita bicarain waktu itu," ujar Mario menatap istri dan anaknya secara bergantian.
Meisya mengangguk. Tatapannya tak lepas dari bayi mungil yang tengah menyusu kepadanya saat ini.
"Semoga dia tumbuh menjadi perempuan yang cantik dan pintar kayak kamu." Satu tangan Mario menyelipkan anak rambut Meisya ke belakang telinga perempuan itu. "Terima kasih banyak, Sya. Terima kasih udah berjuang untuk anak kita. Aku sayang sama kalian berdua, sampai nanti, selamanya."
Sesil dan Abas berhenti mengobrol, lalu beralih kepada pemandangan di brangkar sana. Mereka berdua bahagia melihat anak, mantu dan cucu kesayangan mereka bersama. Sesil berharap rumah tangga Mario dan Meisya akan abadi sampai akhir hayat nanti. Semoga mereka berdua bisa melewati ujian rumah tangga yang pastinya akan datang menghampiri tanpa diduga.
***
Mario menuju kantin rumah sakit untuk membeli makanan. Dari pagi, dia belum memakan apa pun karena panik akan Meisya yang akan melahirkan.
Meisya dan anaknya baru bisa pulang lusa. Sesil dan Mario sudah pulang tadi, tinggal lah Deborah dan suaminya di ruangan Meisya. Pasutri itu baru saja tiba dari Bandung kira-kira setengah jam yang lalu.
Langkah Mario terhenti ketika melihat seseorang yang baru saja keluar dari kantin. Seseorang itu terkejut melihat Mario. Hanya sesaat, hingga dia berjalan lebih dulu mendekati Mario.
"Apa kabar? Lama nggak ketemu."
Mario mendengus.
Walau Meisya sudah resmi menjadi miliknya, tapi dia tetap tidak suka pada lelaki yang berada di hadapannya ini. Bagaimana jika suatu saat nanti dia merebut Meisya darinya?
Lelaki yang tak lain bernama Arshaka itu terkekeh menyadari tatapan sebal yang ditunjukkan Mario kepada. "Kaki lo udah mendingan?"
"Ngapain lo di sini?" tanya Mario ketus dengan mengabaikan pertanyaan Shaka. Mata Mario menyipit menatap Arshaka curiga, apa lelaki itu tahu jika Meisya telah melahirkan? Atau Meisya yang mengabari Arshaka? Mario jadi berpikiran negatif akibat rasa cemburu yang menguasai dirinya.
"Nganterin teman," jawab Shaka jujur. Dia memang mengantarkan Cynthia yang merupakan tunangannya itu ke sini.
Beberapa kali Shaka mengantarkan perempuan berisik itu untuk menengok temannya yang tengah koma di rumah sakit ini. Ternyata, perempuan yang dia labeli dengan perempuan berisik, kekanakan dan penggoda itu mempunyai rasa kepedulian yang tinggi dengan temannya.
Arshaka suka pusing menghadapi kelakuan anak teman bisnis papanya itu. Mimpi apa dia dijodohkan dengan perempuan seperti itu. Kebanyakan sifat minusnya. Shaka sering dibuat meradang oleh sikapnya.
"Bohong banget! Bilang aja lo pengen ketemu bini gue, iya, 'kan?"
"Apa?" Kedua alis Shaka bertaut.
"Iya! Ngaku aja lo! Lo tahu Meisya lahiran di rumah sakit ini, makanya lo ke sini. Ck. Ngapain masih aja ngarepin dia, sih? Cari yang lain sana!"
"Meisya melahirkan di sini? Udah lahiran belum? Gue pengen lihat."
Mario berdecak.
"In your dream! Lo nggak gue bolehin lihat istri dan anak gue! Entar bisa-bisa lo rebut dari gue."