"Tentang jodohku yang belum datang tidak berhubungan dengan daya pikir. Tapi takdir. Aku tidak ingin meminta sesuatu yang menurut aku belum aku perlukan. Jika Allah menganggap jodoh itu sudah aku perlukan, maka pasti akan diberikan dihadapan ku." Abi tidak ingin berdebat tentang masalah jodoh. Karena jodoh adalah takdir Tuhan. Ia juga sudah pasrah pada kehendak Allah. Tidak ingin berjuang untuk mendapatkan wanita impian. Abi percaya sepenuhnya pada kuasa Allah. Jika memang sudah waktunya, pasti akan dipertemukan dengan pasangannya.
"Itu tetap harus diminta lewat doa. Jangan hanya pikirkan diri Abang sendiri. Pikirkan juga keinginan orang tua kita. Walau mereka tidak meminta, tidak memaksa, tapi mereka pasti juga menginginkan Abang cepat menikah. Hidup mereka belum tenang, kalau satu anaknya masih belum punya pasangan." Afi tetap pada pendiriannya meminta Abi berusaha mencari jodohnya. Karena usia Abi tidak lagi muda. Sudah sepantasnya berumah tangga. Dirinya saja sudah memiliki anak yang beranjak dewasa. Sedang Abi istri saja belum punya.
"Selama ini banyak wanita yang mengharapkan Abang. Abang hanya tinggal membuka diri agar bisa menerima mereka. Pilih salah satu yang benar-benar membuat Abang merasa menyukainya. Untuk awal mula tidak perlu cinta dulu, asal Abang suka cinta itu akan datang nantinya." Afi mendesak Abi untuk memikirkan pernikahan, karena ia tahu perasaan orang tuanya. Walau orang tuanya tidak lagi ingin memaksa, tapi pasti perasaan mereka terluka, melihat putranya belum juga memiliki pasangan di saat usia sudah menua.
"Maafkan aku, Afi. Aku bukannya tidak berusaha, tetapi di hatiku memang belum bisa terbuka. Aku lelah, ingin mandi dan istirahat." Abi bangkit dari duduknya, dan berjalan menuju tangga. Mereka hanya berdua berbicara di ruang tengah. Karena orang tua mereka sudah masuk kamar begitu juga dengan Nini dan Kai. Tinggal Afi sendirian di ruang tengah. Ia belum ingin menyerah, masih ingin berjuang menaklukkan hati abangnya agar mau menerima salah satu wanita. Wanita yang berusaha masuk ke kehidupan Abang nya menurut Afi semua wanita baik.
Afi bangkit dari duduk, lalu masuk ke dapur. Pamit pulang pada Acil. Ia tidak pamit pada yang lainnya, karena pasti sedang istirahat semuanya.
Sementara itu di kamar Abi.
Abi membuka pintu balkon kamarnya. Ia berdiri di sisi pagar balkon. Menatap ke bawah. Terlihat olehnya Afi meninggalkan rumah dengan naik sepeda motor. Abi tahu adiknya sangat menyayangi dirinya. Adiknya menginginkan pendamping untuknya. Tapi begitu sulit membuka hatinya. Abi tidak ingin memaksakan diri. Tidak ingin berpura-pura. Ia ingin hidup apa adanya. Bagi Abi sesuatu yang pura-pura bukan dari hati tidak akan baik nantinya.
Bukan cuma di rumah ada wanita yang mengharapkannya. Di kantor juga ada. Anak dari relasi bisnis mereka. Tapi Abi enggan memasukkan ke dalam hati rayuan gadis itu. Abi tipe orang yang tidak pernah mau menerima ajakan ke luar seorang wanita. Abi merasa sudah cukup puas melakukan hal itu di masa lalunya. Ia bukan lelaki yang sangat polos dan lugu. Ia lama tinggal di kota Jakarta yang penuh dengan keramaian. Harus punya mental yang kuat tinggal di Jakarta, agar terhindar dari dosa.
Abi menatap jauh ke depan. Ia pernah jatuh cinta. Tapi memilih menyimpannya, setelah tahu seorang pria sangat mengharapkan wanita itu juga. Abi memilih mengalah. Dan sekarang wanita itu telah menikah dan memiliki anak. Perasaan cintanya kepada wanita itu sudah sirna. Tapi begitu sulit menemukan kembali rasa cinta di dalam hatinya. Abi bukannya ingin menolak rasa cinta, tapi begitu susah membangun cinta. Abi trauma, takut mengalami kisah yang sama. Bukannya ia tidak berusaha. Ia sudah mencoba berusaha, namun kisah itu masih terbayang di depan mata. Lagi pula belum ada seorang wanita pun yang menggoyahkan perasaannya. Perasaannya terlalu kuat, untuk tidak memberi harap.
Abi menghela nafas. Mengingat adiknya yang sudah memiliki anak tiga orang. Ada anak tiri seorang perempuan, yang usianya kini sudah lebih dua puluh tahun, dan sudah bekerja sebagai guru SD. Ada dua orang laki-laki usia enam belas tahun Itu menjadi alasan baginya tidak tergesa mencari pasangan. Apa yang diinginkan orang tuanya sudah didapatkan.
Sekali lagi Abi menghela nafas, lalu melangkah masuk ke dalam kamar. Ditutup pintu balkon, karena ia ingin mandi. Sebentar lagi menjelang azan Maghrib. Kebiasaan setiap malam, ia salat ke musholla bersama Abba nya. Tidak pernah terlewatkan kalau tak ada halangan.
Abi masuk ke kamar mandi. Ia lepas pakaiannya saat di kamar mandi. Diletakkan pakaiannya di keranjang cucian. Ditatap tubuhnya pada cermin besar yang ada dalam kamar mandi. Tubuhnya memang kokoh sekali, efek latihan bela diri sejak kecil. Kulit tubuhnya sawo matang. Sama seperti pria Ramadhan lainnnya. Abi menatap lekat dirinya. Ia mengakui dirinya tampan. Wajah ala India miliknya sangat terlihat jelas. Padahal ia sudah generasi kesekian dari keluarganya. Tapi garis Timur Tengah tetap kentara terlihat.
Abi segera mandi karena harus segera pergi ke musholla.
Selesai mandi, Abi langsung berpakaian. Baju Koko warna putih. Sarung warna hitam dengan motif kotak-kotak, peci warna hitam. Abi memakai parfum khusus yang ia beli dari Tanah Suci beberapa bulan lalu saat ia pergi umroh. Aroma parfum sangat Abi sukai.
Setelah beres bersiap, Abi segera keluar kamar. Ia turun ke lantai bawah. Di ruang tengah duduk Amma dan Abba nya.
"Sudah siap, Bi?" Abba nya mengajukan pertanyaan yang sama setiap harinya. Wajah dan suara Abba nya sangat lembut. Dan diwariskan kepadanya.
"Iya, Abba." Abi tersenyum seraya menganggukkan kepala.
"Ayo kita berangkat." Abba nya bangkit dari duduknya di sofa.
"Berangkat dulu, Amma." Abi mencium punggung tangan Amma nya.
"Iya." Amma nya tersenyum menatap putranya yang bak fotokopi suaminya.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
"Aku pergi dulu, Sayang. Assalamualaikum." Abba juga berpamitan pada Amma.
"Wa'alaikum salam."
Rara mengantarkan suami dan putranya sampai ke depan pintu. Setelah suami dan putranya pergi, pintu ia tutup. Dengan mengucap doa tulus di dalam hati.
'Ya Allah aku mohon buka pintu hati putraku agar mau segera menikah, aamiin.'
Selama beberapa tahun ini Rara menang mencoba sabar dan tidak lagi menuntut Abi untuk segera menikah. Karena sudah mendengar keputusan Abi yang pasrah. Tidak ingin mencari jodoh, hanya menunggu saja jodoh itu datang ke hadapan. Rara tidak tahu apa yang menyebabkan hal seperti itu terjadi pada putranya. Dulu suaminya menikah di usia tiga puluh tiga tahun, sekarang usia Abi sudah tiga puluh tujuh tahun, dan belum memiliki pasangan. Hati Rara sedih, tapi ia memilih menyimpannya tidak mengungkapkan, agar Abi tidak merasa tertekan. Untungnya ia sudah memiliki menantu dan cucu dari Afi. Cukuplah sebagai hiburan diri.
*