PART. 1 JODOH UNTUK ABI
"Nikahi aku, Paman!"
Abi terhenyak mendengar permintaan itu. Sebuah permintaan yang tak terduga akan diajukan oleh seorang wanita kepadanya.
Selama beberapa hari ini pikirannya tengah dipusingkan dengan perjodohan. Ada tiga keluarga yang datang ke rumahnya berharap ia bisa menikah dengan anak gadis mereka. Tapi perasaan Abi tak tergerak sedikitpun saat melihat para wanita itu. Wanita cantik dari kelas atas. Menurut Abi tidak sesuai dengan cara hidup keluarga mereka yang sederhana.
Sekarang tiba-tiba seorang gadis muncul di hadapannya. Minta untuk dinikahi. Apa yang sebenarnya terjadi sehingga gadis ini minta ia nikahi?
*
Satu Minggu sebelumnya.
Sore ini Abi tiba di rumah jam lima sore. Saat memasuki halaman rumah Abi melihat sebuah mobil tidak dikenal parkir. Mobil mewah keluaran terbaru. Abi memasukkan mobilnya ke garasi. Selalu seperti itu setiap hari yang Abi lakukan, karena kalau sudah sampai di rumah jarang sekali keluar lagi dengan menggunakan mobil. Karena itu walau usia mobilnya sudah lima tahun masih tetap bagus. Andaipun ia ingin pergi ke jalan depan untuk membeli jajan, Abi lebih senang memakai sepeda motor. Lebih gampang parkir.
Keluar dari garasi, Abi masuk ke taman samping rumah. Di mana ada pintu penghubung dengan ruang tengah. Saat Abi masuk di sambut oleh Afi adiknya.
"Ayo ke ruang tamu. Ada tamu yang ingin bertemu Abang." Afi menarik lengannya. Mengajak ke ruang tamu.
"Siapa?" Abi menahan lengannya dari tarikan Afi. Langkah mereka terhenti.
"Teman Amma saat kuliah." Afi menatap wajah Abi dengan lekat. Abi merasa melihat harapan dalam sorot mata adiknya.
"Oh."
Abi mengikuti langkah Afi ke ruang tamu. Di sana ada Nini Rara, Kai Razzi, kedua orang tuanya dan empat orang tamu.
"Assalamualaikum." Abi menyapa semua orang yang ada di sana. Suaranya yang lembut persis suara abba nya mengagetkan semua orang.
"Wa'alaikum salam."
"Nah ini Abi. Jagoan kami. Abi, perkenalkan ini Pak Rasman, ini Bu Raina, ini putri mereka Raisa, ini putra mereka Raymond." Rara memperkenalkan semua tamu mereka kepada putranya.
"Saya Abi." Abi mengulurkan tangannya kepada Pak Rasman dan Raymond. Tapi Abi tidak menyambut uluran tangan yang disodorkan oleh Bu Raina dan Raisa. Karena sejak beberapa tahun yang lalu ia sudah membuat peraturan dirinya tidak akan menyentuh wanita yang bukan dari keluarganya. Sehingga ia hanya menyatukan kedua telapak tangannya di depan d**a, sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.
"Maafkan putra kami, dia sudah lama tidak menyentuh wanita. Jadi kalau bersalaman dengan wanita seperti ini saja." Rara menjelaskan kepada temannya agar tidak terjadi salah paham.
"Oh tidak apa. Abi berapa umurnya?" Tanya Bu Raina. Bu Raisa menatap lekat wajah Abi yang sangat mirip dengan Abba nya.
"Usia saya tiga puluh tujuh tahun." Abi menjawab pertanyaan itu dengan suara yang lembut.
"Kalau saya lihat, Abi ini tipe yang penyabar." Pak Rasman mengomentari sikap Abi yang sangat lembut.
"Alhamdulillah. Dia memang tidak banyak tingkah, dan tidak banyak bicara. Mungkin karena itu yang membuat dia belum menikah sampai saat ini." Rara menggambarkan sifat putranya kepada temannya.
"Raisa usianya sudah dua puluh empat tahun juga belum menikah. Sepertinya merasa lebih enak hidup sendiri, Karena dia sudah bisa mengelola perusahaan ayahnya. Padahal kita sebagai orang tua menginginkan generasi penerus untuk keturunan kita." Bu Rasti menatap putrinya. Wajah putrinya yang cantik tampak merona. Terlihat jelas kalau Raisa punya perhatian terhadap Abi. Tapi Abi sendiri tidak menampakkan sikap tertarik. Abi terlihat biasa saja.
"Ya seperti itulah. Tapi sebagai orang tua kita tidak bisa juga memaksa. Karena mereka yang akan menjalaninya. Jadi kami sebagai orang tua sudah pasrah saja. Lagi pula kami sudah memiliki tiga cucu dari Alfi. Jadi tidak ingin menuntut Abi untuk segera mencari istri." Karena sudah cukup lama mengharap Abi menikah, tapi belum juga bertemu jodoh, akhirnya Rara pasrah saja pada yang akan terjadi. Rara percaya pada putranya, tidak akan mungkin melakukan sesuatu yang membuat berdosa.
"Kami juga sudah memiliki cucu dari Raymond. Sayangnya pernikahan Raymond tidak berjalan lama. Hanya dua tahun setelah melahirkan, mereka berpisah. Kami berharap keduanya akan segera menikah." Bu Raina bercerita sedikit tentang pernikahan Raymond yang gagal.
"Anak zaman sekarang agak sulit untuk didesak. Pemikiran mereka berbeda dengan pemikiran kita. Sebagai orang tua kita ini bisa mendoakan saja." Kai ikut bicara.
"Benar sekali. Semoga anak-anak kita bisa menggapai harapannya, aamiin."
"Aamiin."
Pembicaraan mereka masih berlanjut ke berbagai hal. Selama mengobrol Alfi memperhatikan dengan seksama tingkah laku Raisa. Bagi Afi terlihat jelas Raisa ingin menarik simpati Abi, tapi abangnya itu biasa saja. Setelah kelurga itu pergi, Afi membicarakan hal itu dengan Abi.
"Cantik ya, Bang!" Afi membuka obrolan dengan memancing Abi menilai wajah Raisa.
"Hmm." Abi hanya bergumam.
"Ingin kubuka d**a Abang, biar Ketahun isi hati Abang!" Mata Afi melotot pada Abi.
Abi tertawa melihat reaksi kesel adiknya. Sejak menikah adiknya jauh lebih ceriwis dari sebelumnya. Untung suaminya sabar sekali. Sehingga rumah tangga mereka aman, damai, dan sejahtera.
"Kenapa kamu marah. Aku tidak menolak penilaian kamu tentang gadis itu. Setiap gadis pasti cantik, hanya cantiknya yang berbeda saja." Abi tertawa pelan.
"Aku memuji dia karena aku pikir dia cocok dengan Abang." Ingin Afi katakan apa hasil pengamatannya terhadap Raisa.
"Orang lain berpikir cocok. Yang dipikirkan belum tentu merasa cocok." Abi menggelengkan kepala.
"Wanita seperti apa sih yang Abang cari, biar bisa aku bantu mencarikan." Desakan Afi karena Abang nya begitu sulit menentukan pilihan.
"Aku tidak sedang dalam proses mencari istri. Aku hanya menunggu yang Allah berikan kepadaku. Ya berdoa saja semoga ada yang datang ke hadapanku untuk minta aku nikahi."
"Kalau ada yang minta dinikahi memangnya abang langsung mau?"
"Belum tentu. Tergantung isi hatiku."
"CK. Punya Abang kok begini banget, susah sekali disuruh nikah!"
"Bukan susah, hanya hatiku belum menerima untuk menikah saat ini."
"Apalagi alasannya, Bang. Abang mengaku tidak pernah patah hati, tapi yang Abang tunjukan saat ini persis seperti orang patah hati. Melihat wanita cantik tidak tertarik lagi. Apa Abang tertarik pada laki-laki?"
"Astaghfirullah Al adzim. Aku normal, Afi. Hanya belum bertemu jodoh saja."
"Aku sebel. Sudah banyak menyodorkan wanita, tidak satupun di terima."
"Aku tidak ingin menerima sesuatu yang tidak aku inginkan. Abba dan Amma sudah memahami hal itu. Aku berterimakasih kepadamu karena sudah memenuhi keinginan mereka memberikan cucu."
"Meski aku sudah memberi cucu, mereka juga sebenarnya ingin cucu dari Abang!"
"Keinginan bukan kebutuhan. Aku tidak ingin melakukan yang tidak aku inginkan."
"Daya pikir Abang harus dirubah. Yakin diri itu kebutuhan, dan mintalah kepada Allah, agar diberikan."
Abi menatap wajah adiknya yang kesal kepadanya.
*