Abi dan Abba nya tiba di jalan depan rumah. Mereka bertemu dengan keluarga dari rumah El. Ada El, Raka, Risma, dan Rama.
"Paman! Aku mau gandengan dong!" Risma memanggil Abi dan langsung menggandeng manja lengan pamannya. Abi hanya tersenyum menanggapi sikap keponakannya. Hal seperti itulah yang dilakukan Risma setiap hari kepadanya. Bermanja ria walau hanya sejenak.
"Risman tidak ke musholla?" Tanya Aay pada El.
"Risman salat di rumah saja, karena sulit meninggalkan Zia. Jadi dia yang menjadi imam salat di rumah." Jawaban El untuk pertanyaan tentang menantunya.
"Aku lihat progres rumahnya sudah hampir selesai ya. Apa bisa selesai saat hari raya kurban?" Tanya Abi penasaran akan rumah Risman dan Zia.
"Targetnya memang hari raya kurban. Semoga saja selesai sesuai harapan." Harapan El tidak ada kendala dalam proses pembangunan rumah anaknya.
"Berapa biayanya?" Tanya Aay penasaran. Karena rumahnya cukup besar meski terkesan sederhana saja bangunannya.
"Al, suami Shana belum mau mengatakan berapa biaya tepatnya. Hanya perkiraan saja sekitar tiga ratus juta. Itu baru bangunannya. Belum isinya. Semua barang yang ada di rumah itu nanti barang baru. Hanya barang pribadi saja yang lama." Penjelasan El singkat, tapi cukup tepat.
"Risman dan Zia sangat beruntung. Banyak mendapat berkah dari Allah. Ingin membangun rumah tanahnya dibelikan Abba nya. Entah ada rezeki apa lagi untuk mereka." Raka bicara dengan suara pelan, memuji keberuntungan keponakannya.
"Rezeki anak mereka." El tertawa.
"Aamiin."
"Hal yang paling Ima tunggu nikahnya Paman Abi. Kapan, Paman?" Risma menanti jawaban Abi tentang sesuatu yang sesungguhnya keluarga Ramadhan tunggu.
"Menunggu jodoh datang ke hadapan Paman." Abi menjawab dengan suara lembut.
"Jodoh itu harus diusahakan, Paman. Apalagi usia Paman sudah hampir empat puluh tahun. Andai Ima bisa jadi Mak comblang seperti Kak Zia. Paman, Ima carikan jodoh deh." Risma berkata dengan penuh semangat ingin mencarikan jodoh pamannya.
"Sabar. Jika saatnya sudah tiba bagi Paman untuk menikah pasti akan diantarkan Allah kehadapan paman." Abi berkata lembut pada Risma yang sudah tidak sabar ingin melihat pamannya menikah cepat.
"Bagaimana kalau yang diantarkan orangnya tidak cantik, tidak keren?" Tanya Risma merasa khawatir dengan jodoh pamannya. Karena baginya pamannya sangat tampan harus memiliki istri yang cantik.
"Siapapun orangnya. Jika memang sudah jodoh, harus diterima dengan lapang dada." Tak ada rasa khawatir dalam hati Abi tentang jodoh yang mungkin nanti akan datang ke hadapannya.
"Ima doakan cepat datang jodoh Paman, aamiin."
"Aamiin."
Mereka salat bersama di mushola. Setelah salat magrib mereka pulang untuk makan malam di rumah.
Berkumpul di ruang makan Aay, Rara, Kai Razzi, Nini Rara, dan Abi.
"Bagaimana pandangan kamu tentang Raisa tadi, Abi?" Tanya Kai Razzi ingin tahu tanggapannya tentang perasaan Abi terhadap Raisa.
"Pandangan mata, dia wanita yang baik." Abi menjawab apa adanya saja sesuai dengan perasaannya.
"Pandangan hati?" Tanya Nini Rara juga ingin tahu penilaian Abi kalau menurut hatinya.
"Maaf, Nini. Hatiku tidak menanggapi. Belum ada komentar tentang dia." Abi menggelengkan kepalanya. Kai Razzi dan Nini Rara jadi teringat Aay' saat masih muda. Abba dan anaknya sangat mirip sekali. Hanya Aay lebih pemalu daripada Abi.
"Kalau Kai lihat dari tingkahnya, dia seperti berusaha menarik perhatianmu. Itu terlihat sekali." Penilaian Kai Razzi tentang Raisa.
"Mungkin begitu, Kai. Tapi aku belum ada perasaan tertarik. Dia memang cantik, menarik pada pandangan mata. Tapi belum bisa menilai lebih jauh dari itu." Abi tidak menolak hal itu. Seperti yang Afi katakan, Raisa berusaha menarik perhatiannya.
"Kalau ingin menilai lebih jauh. Tentu harus lebih mengenal dulu. Begitu prosesnya sebuah perkenalan sebelum pernikahan. Tidak bisa melihat langsung ingin nikah. Karena belum menemukan kecocokan dari sifat kalian berdua. Apa kamu tidak ingin mencoba." Kai memancing tanggapan Abi tentang sikap Raisa yang terlihat jelas menyukainya.
"Aku belum tertarik Kai." Abi menggelengkan pelan kepalanya.
"Rasa tertarik biasanya akan datang setelah saling mengenal. Karena itu ada yang mengatakan tak kenal maka tak sayang." Kai membujuk Abi agar mau membuka hati.
"Entahlah, Kai. Anak orang kaya yang hidupnya terbiasa nyaman, aku rasa tidak cocok dengan kehidupan kampung kita." Abi benar-benar seperti tidak berniat membuka hatinya untuk Raisa. Abi menganggap Raisa tidak cocok dengan kehidupan kampung yang dicintainya.
"Jadi tipe wanita yang kau inginkan tiap gadis desa yang biasa saja."
"Aku tidak ingin mengatakan tipeku seperti apa. Tapi gadis yang akrab dengan kehidupan kampung menurutku lebih baik." Abi setuju kalau dikatakan tipe wanita yang disukainya adalah tipe wanita kampung. Meski suara sarjana S2 tinggal di Jakarta sangat lama, tapi ia tidak ingin memiliki istri yang terlalu menunjukkan dirinya hebat. Ia tertarik dengan wanita yang sederhana, seperti tipe wanita Ramadan pada umumnya.
"Belajar sedikit membuka diri, Abi. Usia Kai dan Nini sudah sangat tua. Kami berharap bisa melihat anak Zia lahir, dan kamu menikah." Kai mengungkapkan harapannya pada Zia dan Abi.
"Iya, Kai. Maafkan aku. Aku hanya ingin jodoh yang pas di hati. Bukan ingin yang macam-macam." Abi tak ingin berdebat dengan keluarganya tentang jodoh. Karena ia sudah memasrahkan pada kehendak Allah. Seperti apapun jodoh yang Allah persiapkan untuk dirinya, akan iya terima dengan lapang d**a. Namun untuk mencari Abi tidak menginginkannya.
"Cinta memang tidak bisa dipaksakan, tapi bisa diusahakan. Dalam keluarga kita banyak yang menikah diawali tanpa cinta. Tapi bisa sampai akhir hayat mereka. Setelah saling mengenal satu sama lain, tumbuh rasa sayang dan cinta." Kai berusaha menanamkan hal itu kepada Abi. Bahwa tak semua cinta datang pada pandang pertama. Tak semua jodoh datang tiba-tiba. Semuanya perlu perjuangan, kalau ingin cepat perlu pencarian. Hal ini yang tampak nya tak ingin dilakukan oleh Abi. Abi terlihat pasif saja setiap ada wanita yang datang mendekati. Seakan Abi tidak memiliki hati pada wanita. Inilah yang membuat Kai sedikit khawatir. Walau tidak ada sikapnya yang menunjukkan kalau Abi tidak normal. Namun pergaulannya di Jakarta yang dulu sangat luas cukup mencemaskan.
"Aku mengerti, Kai. Tapi untuk saat ini aku tak ingin merasakan sesuatu yang memang bukan untukku. Aku percaya, jika Allah sudah menunjukkan wanita mana yang harus aku nikah. Pasti wanita itu datang dan menggugah perasaanku." Abi tetap pada keyakinannya.
"Kai tak berani memaksa Abi. Kai hanya bisa mendoakan kamu. Semoga Allah mendatangkan jodoh terbaik untukmu."
"Aamiin."
Aay dan Rara diam saja, tidak ikut bicara, karena mereka berdua sudah pasrah pada keinginan putranya. Yang penting Abi bahagia apapun yang ingin dijalaninya.
*