PART. 10 TAMU TAK TERDUGA

1028 Words
Abi menatap El. "Barangkali ada getaran untuk gadis yang ini. Amelia cantik, tidak terlalu agresif, cepat tanggap. Mungkin kamu tertarik." El menjelaskan maksudnya. "Oh. Tidak ada. Biasa saja." Abi menggeleng karena ia memang merasa biasa saja. "Sesuatu yang luar biasa bisa datang dari yang biasa saja. Aku masuk ruangan ku dulu ya." El melangkah meninggalkan Abi tanpa menunggu jawaban Abi. Abi menatap punggung abangnya, tidak ada getaran sedikitpun dalam hatinya untuk Amelia. Ia menganggap Amelia teman biasa saja, meski berteman dengan Amelia lebih nyaman daripada dengan Raisa. Karena Amelia tidak terkesan mendesak untuk bersamanya. Abi melangkah masuk ke dalam ruangannya. Ia duduk di kursi kerja. Berusaha melupakan sejenak obrolan dengan El tadi. Ia tidak ingin berlarut memikirkan tentang pasangan hidup, karena sudah pasrah pada kehendak Allah. Tidak ingin mencari, cukup menunggu Allah memberi, entah lewat jalur mana akan datang nantinya. Andai pun tidak datang, Abi pasrah saja. Tak perlu meminta jodoh terlalu berlebihan. Ia memiliki keponakan yang nantinya akan memberinya cucu. Abi berusaha larut dalam pekerjaannya. Ada beberapa file yang harus diperiksa. Beberapa kerjasama baru yang akan dilakukan. Memang tidak mudah bekerja seperti dirinya. Tapi ia sudah terbiasa sejak di Jakarta, tidak lagi terasa sebagai beban baginya. Abi bersyukur karena tidak pernah secara khusus memikirkan tentang para wanita yang mengejarnya. Sehingga tidak menjadi beban pikiran dan tidak mengganggu pekerjaannya. Ponselnya berbunyi. Telepon dari satpam di pintu gerbang kantor. "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam, Mas Abi. Maaf , Mas ada keponakan Mas Abi ingin bertemu." Abi terkejut mendengar apa yang disampaikan oleh Pak satpam. Ia banyak punya keponakan. Keponakannya yang mana datang mencari ke kantor. "Keponakan? Siapa?" Abi bertanya penasaran. "Non Fani, anaknya Bu Afi." Jawaban satpam sekali lagi mengejutkan Abi. Merasa bingung dengan tujuan Pani mencarinya. "Oh." "Apa boleh masuk?" "Oh ya. Silakan masuk." "Terima kasih." Abi berdiri dari duduknya. Ia tidak tahu kenapa Fani bisa sampai ke kantornya. Abi ke luar ruangan. Ia berdiri di ambang pintu kantor. Satpam mengantarkan Fani menggunakan payung, karena hari hujan. "Terima kasih." Fani dan Abi sama-sama berterima kasih kepada Pak Satpam. Pak Satpam kembali ke pos jaga di depan. "Assalamualaikum, Paman." Fani mencium panggung tangan Abi. "Wa'alaikum salam. Masuk dan duduklah." "Terima kasih." Mereka berdua duduk di sofa. "Ada apa?" Tanya Abi. "Cuma mau numpang ngadem." Fani tertawa pelan. "Numpang ngadem?" Abi bingung dengan jawaban Fani. "Iya. Kalau Paman sibuk silakan saja." Fani tidak ingin mengganggu kerja Abi. "Kamu itu ada urusan apa ke sini, Sayang?" Abi masih penasaran dengan tujuan Fani datang ke kantornya secara tiba-tiba. "Itu tadi. Numpang ngadem." Fani tertawa lagi. "Definisi numpang ngadem ala kamu itu apa, Sayang?" Abi bertanya lembut kepada keponakannya. "Aku cerita, tapi jangan ceritakan ke Ayah dan Amma ya!" Fani menatap Abi dengan lekat. "Ada apa sebenarnya?" Abi bertambah penasaran. "Janji dulu!" "Iya." Fani menatap lekat mata Abi, mencari kepastian kejujuran Abi kalau tidak akan cerita kepada kedua orang tuanya. Fani menghela nafas lalu memulai ceritanya. "Ayah meminta aku servis mobil di dealer. Ya aku bawa ke dealer. Ternyata antri dan di sana ada Mas Devano." Fani memulai ceritanya. "Mas Devano siapa?" Abi tidak kenal siapa itu Devano. "Anak Bos peternakan, temannya Ayah." "Bagus kan kamu ada temannya menunggu antrian." "Aku tidak mau menunggu dengan dia!" Kepala Fani menggeleng. "Kenapa?" "Takut dikira memberi harapan!" "Memangnya kamu tidak ingin menikah?" "Tidak mau sekarang!" Kepala Fani menggeleng lagi. Untuk saat ini ya memang belum ingin menikah. Sementara ayahnya menginginkan ia segera menikah karena usianya sudah cukup untuk itu. Apalagi Zia yang lebih muda darinya sudah menikah. Ponsel Fani berbunyi. Ayahnya yang menelepon. "Ayah!" Fani menatap Abi. "Terima!" "Ngomong apa?" "Jujur saja kalau kamu di sini bersama aku." "Assalamualaikum, Ayah." "Kamu di mana?" "Di kantor Paman Abi." "Hah! Mau apa kamu di situ?" "Mau santai saja." "Memangnya di dealer tidak bisa santai?" "Tidak ada yang kenal. Aku malu." "Tidak ada yang kenal? Bukannya ada Devano servis mobil juga di sana." "Kok Ayah tahu?" "Dia memberitahu kalau kamu pergi dari sana." "Untuk apa dia memberitahu Ayah hal itu. Aku tidak merugikan dia, Ayah." "Heh. Mana Paman kamu. Ayah ingin bicara dengan Paman kamu." "Ayah ingin bicara dengan Paman." "Halo, Bang." "Halo, Abi. Minta maaf kalau Fani mengganggu kamu." "Tidak apa, Bang. Dia bisa santai saja di sini." "Terima kasih, Abi. Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." "Apa kata Ayah?" "Ayahmu minta maaf, kalau aku merasa terganggu dengan kedatangan kamu. Ayo masuk ruangan, aku harus melanjutkan pekerjaan. Kamu bisa duduk di sofa ruanganku." "Ada Snack dan minuman tidak, Paman?" "Ada." Mereka bangkit dari duduk lalu masuk ke ruangan Abi. "Eh, ruangan Bang El mana?" "Itu disebelah." "Oh. Bang El tidak punya sekretaris ya?" "Tidak ada." "Kalau Paman Abi?" "Aku sekretaris merangkap wakil bos." "Oh. Kalau ...." "Fani Sayang. Aku mau melanjutkan kerja. Snack dan minum ambil sendiri di lemari ini, atau di kulkas. Tapi jangan bicara ya." "Iya deh." Fani mengambil Snack dan minuman dingin di kulkas. Lalu duduk di sofa. Ia memutuskan menonton drama Korea lewat laptop yang ia bawa. Mereka berada dalam satu ruangan, tapi seperti dua orang yang berbeda dunia. Abi sibuk dengan pekerjaannya, Fani sibuk dengan tontonannya, mereka tidak saling bicara. Benar-benar seperti berada dalam dunia yang berbeda. Lama kelamaan Fani tertidur dengan berbaring di atas sofa. Laptop nya masih menyala. Abi baru saja menyelesaikan memeriksa satu kontrak. Abi merasa lega. Punggungnya bersandar di sofa. Tatapannya beralih dari komputernya ke arah Fani. Abi terkejut melihat keponakannya itu tertidur di atas sofa. Abi tak menyangka Fani bisa dengan mudah tertidur seperti itu. Abi menatap jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir waktunya dzuhur. Ia harus membangunkan Fani untuk salat dzuhur dan makan siang. Abi belum berpikir ingin makan siang ke mana. Biasanya ia hanya membeli lewat online saja. Abi berdiri dari duduknya dan mendekati sofa tempat Fani berbaring. "Fani!" Abi berusaha membangunkan Fani. "Fani!" Abi menyentuh lengan keponakannya. "Ehm." Mata Fani terbuka. "Salat Dzuhur." "Aku datang bulan." "Makan siang." "Aku tidak lapar." "Walau tidak lapar harus tetap makan siang, Fani." "Paman salat dzuhur dulu. Nanti bangunkan aku lagi." "Kamu mau makan apa. Aku mau pesan on line." "Ehm. Makan ke luar yuk!" Fani bangun dari berbaring. Tiba-tiba ia ingin makan ayam panggang favorit keluarga Ramadhan. "Mau makan ke mana?" "Swarga." "Baiklah. Aku salat Dzuhur dulu. Kamu sebaiknya cuci muka." "Heum." *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD