PART. 9 APA ADA GETARAN?

1052 Words
"Zia kenapa?" Tanya Nini dengan nada cemas. "Desih!" Zia menyandarkan kepala ke bahu Risman "Sedih kenapa, Sayang?" Rara juga penasaran. "Desih aja." Zia tidak mau menjawab jujur. "Kita makan dulu ya." Risman mengusap punggung istrinya, karena Risman tahu betul, kalau jawaban Zia begitu, maka saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. "Aa saja yang makan." Zia berkata manja. "Kalau Zia tidak makan, anak kita nanti kelaparan." Bujukan paten Risman sampaikan. "Eh iya, Zia lupa. Turun!" Zia turun dari atas pangkuan Risman. "Maaf ya, Sayang. Amma lupa. Kalian adalah segalanya." Wajah Zia yang tadi sedih kembali ceria. Diusap perutnya dengan ceria. Kai dan Nini saling tatap. Begitu juga dengan Aay dan Rara. Walaupun tidak tahu masalah apa yang dipikirkan Zia, tapi merasa lega melihat Zia kembali ceria. "Makannya pelan-pelan, Sayang." Risman mengingatkan. "Iya, Aa." "Zia hari ini tinggal di sini?" Tanya Nini. "Tidak, Nini. Zia ikut Aa ke kebun. Tidur di kebun lebih nyaman. Tidak ada gangguan, udaranya juga sejuk walaupun tidak pakai AC." Zia menceritakan betapa senangnya tidur di kebun. "Bukannya di pondok ada AC," ujar Kai. "Iya ada. Tapi Zia lebih suka udara sejuk dari sekitar. Membuat Zia tidur dengan lelap." "Oh. Zia jangan melakukan sesuatu yang membuat Zia lelah ya. Kalau Zia kelelahan takutnya sakit, kasihan anak Zia." Rara mengingatkan cucu dari iparnya. "Iya, Nini. Zia serahian cuma tidur saja kok. Tidak mengejrakan apa-apa. Bangun tidur langsung makan, salat, lanjut tidur lagi. Sejak hamil Zia tidak berani naik kerandaan serindi. Jadi di kebun saja sampai sore." Cerita Zia tentang aktifitasnya. "Tidak berani melakukan sesuatu bukan sebuah dosa. Asal ingat melaksanakan kewajiban agama." Kai tersenyum karena kepeleset kata Zia yang semakin parah sejak hamil. "Iya. Zia tidak penrah lupa salat karena salatnya diimami Aa Iman." Zia menunjuk suaminya. Risman tersenyum pada istrinya, lalu menyeka minyak bekas makanan di sudut bibir istrinya. Empat orang tua menatap ke arah Abi. Abi menundukkan kepala. "Alhamdulillah. Itu hal yang paling utama. Kalian memang pasangan istimewa." Rara memuji Risman dan Zia. "Paman Abi kalau merasa sudah punya bayangan tentang calon istri beritahu Zia ya. Kalau Paman Abi tidak berani mengatakan kepada wanita itu, Zia yang akan mengatakannya. Ingat ya Paman Abi!." Zia mengarahkan tatapan kepada Abi. "Iya, Zia Sayang. Terima kasih." Abi tersenyum dan menganggukkan kepala. Tidak ingin menebak permintaan keponakannya. Karena tidak ingin membuat keponakannya kecewa. "Atau ingin Zia mencarikan jodohnya. Katakan kepada Zia seperti apa wanita yang Paman Abi inginkan menjadi istri." Zia masih belum puas dengan jawaban Abi. "Tidak, Sayang. Paman menunggu wanita datang atas izin Allah." Abi menggelengkan kepalanya. "Aduh. Apa yang begitu ada?" Zia meragukan ada wanita yang minta dinikahi. "Insya Allah." "Huh sasuh deh!" Wajah Zia cemberut mendengar ucapan pamannya. "Jangan marah, Sayang. Kalau Bang Abi yakin ada, Insya Allah akan datang kepadanya." Kai menghibur Zia. "Aamiin." Setelah sarapan. Nini dan Kai, Aay dan Rara, duduk di teras untuk berjemur sebentar. Risman dan Zia pergi ke kebun. Abi berangkat ke kantor. Abi berharap hari ini tidak ada wanita yang datang ke kantornya. Karena selain Raisa ada dua wanita lagi yang biasa berurusan dengan kantornya. Amelia, putri dari Pak Leo, seorang CEO perusahaan angkutan. Dan Karenina, putri dari Pak Karel seorang bos yang memiliki usaha sewa alat berat. Abi tidak tahu kenapa para gadis itu sangat senang mengunjunginya. Karena tidak setiap saat mereka datang untuk membicarakan bisnis. Abi bersikap biasa saja, tapi mereka terus datang ke kantornya. Abi baru saja duduk di ruangannya. Ketika menerima telepon dari satpamnya. "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam. Maaf, Mas Abi, ada Bu Amelia ingin menemui anda." "Oh. Suruh masuk saja." "Baik. Terima kasih." Abi ke luar dari ruangannya. Ia memilih menemui tamu di ruang tamu saja. "Selamat pagi, Mas Abi." Sosok cantik Amelia muncul di hadapannya. "Silakan duduk." "Terima kasih. Apa Pak El belum datang?" "Belum. Mungkin sebentar lagi. Ada perlu dengan Bang El." "Iya, menyampaikan berkas titipan Ayah saya." "Kamu mau minum?" "Tidak. Terima kasih. Saya baru saja selesai sarapan dan minum di rumah. Mas Abi sudah sarapan?" "Sudah." "Sarapan di rumah?" "Iya." "Apa kabar orang tua Mas Abi?" "Alhamdulillah baik." "Syukurlah. Saya senang mendengarnya." "Orang tuamu sendiri bagaimana?" "Alhamdulillah, sehat. Mas Abi tidak berniat jalan-jalan?" "Tidak. Saya lebih suka menghabiskan waktu di rumah saja." "Kalau punya pasangan mungkin lebih terpacu untuk menikmati pemandangan. Kenapa mas Abi tidak juga mencari pasangan?" "Saya yakin, kalau sudah jodoh pasti akan datang sendiri. Tanpa harus mencari." "Saya rasa seperti itu sulit, Mas. Mas harus membuka diri untuk memulai hubungan yang baru." "Walau sulit, kemungkinan itu pasti ada." "Apa sebelumnya Mas Abi belum pernah mencari?" "Di Jakarta saya terlalu sibuk kuliah dan bekerja. Tidak terlalu memikirkan teman hidup, karena orang tua saya juga mengerti. Mereka sudah memiliki cucu dari saudara kembar saya. Jadi mereka tidak terlalu menuntut saya untuk segera menikah." "Orang tua Mas Abi berarti sangat pengertian. Tapi mungkin hati mereka sebenarnya menginginkan Mas Abi segera menikah." "Jodoh itu di tangan Tuhan. Aku menunggu saja, dan percaya masa itu mungkin akan tiba suatu saat nanti. Jika pun takdirku harus hidup sendiri aku lapang d**a. Aku punya keponakan, punya cucu, tidak akan hidup sendirian." Dengan Amelia, Abi bisa bicara lebih terbuka, karena Amelia meski kaya sosoknya lebih sederhana dari Raisa. "Pemikiran yang sulit di rubah ya, Mas." "Ya begitulah." "Apa tidak ada peluang bagi seorang wanita untuk mendekati mas Abi?" "Mendekati? Kalau berteman seperti kita ini tidak masalah. Hanya kalau lebih dari ini, aku tidak tahu. Tidak bisa memastikan, apakah hatiku bisa terbuka atau tidak." "Apa sebenarnya yang membuat hati Mas Abi bagai terkunci? Apa Mas Abi pernah dikhianati seorang wanita?" "Tidak ada wanita yang mengkhianati aku. Mungkin karena aku terlalu sibuk di masa lalu, jadi sudah tidak punya keinginan lagi yang menggebu." "Mas Abi sempurna, tidak memiliki kekurangan apa-apa. Seharusnya sudah memiliki pasangan di usia seperti ini." "Mungkin aku bukan orang yang bisa berada pada jalur seharusnya." "Itu ...." "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." "Pak El!" "Amelia!" "Saya datang mengantarkan berkas titipan ayah saya." "Oh terima kasih. Silakan masuk ke ruangan saya." "Tidak, Pak, terima kasih. Saya ingin langsung pergi ke kantor saja. Kalau ada yang ingin ditanyakan atau ada sesuatu yang kurang paham dari berkas ayah saya, Pak El bisa hubungi ayah saya." "Iya terima kasih." "Saya permisi, Pak El, Mas Abi. Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." Amelia ke luar dari kantor mereka di bawah tatapan El dan Abi. "Apa ada getaran?" El bertanya tiba-tiba seraya memperhatikan wajah Abi. "Hah!" *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD