Sudah Terlihat

1011 Words
"Satu petunjuk termunculkam ternyata hanya satu arah yang dibisanya." ****       "Estel tenang, Papi enggak akan biarin kamu kenapa-kenapa. Inget kalau situasi mendesak kamu tahan napas, sebisa kamu. Monster itu enggak akan bisa mendengar sekaligus merasakan napas. Jadi, hanya itu situasi yang memungkinkan jika kita terjebak," bisik Papinya. Estel hanya mengangguk merasakan perih yang ada di tangan akibat cakaran monster itu. Harry juga bersusah payah untuk tetap bisa menahan rasa perih kakinya yang tercakar.        Monster itu makin mendekat. Harry membawa anaknya berjalan mundur. Tidak ada yang bisa dia lakukan saat ini. Kondisi mereka terdesak. Tapi, satu yang Harry tahu. Monster itu akan berjalan teratur. Jika sudah lurus dia tidak akan mendadak berbelok. Itulah yang Harry tahu setelah melihat pergerakannya tadi hingga membuat kakinya tergores kuku tajamnya Dan tangan Estel yang kena sedikit cakarannya.     Suara monster di depannya sangat menggema. Estel sudah tidak tahu harus melakukan apa, monster di depannya sungguh mengerikan ingin rasanya dia berteriak tapi tidak bisa.    Harry menahan napasnya sejenak, sesekali dia menutup hidung Estel untuk menahan napas. Semakin dekat. Harry hanya bisa terdiam berusaha untuk tetap tenang.     Estel menutup matanya erat, monster itu mendekat. Bau yang dihasilkan dari air liurnya sangat menyengat membuat dia tidak tahan. Harry berharap ini bukanlah akhir hidupnya. Dia masih harus menyelamatkan keluarganya. Atau minimal Estel tidak boleh terluka.   "ARGHHHHHH....." Teriakan entah siapa membuat mosnter itu langsung berlari dengan cepat. Harry dan Estel menghembuskan napasnya lega.   "Estel kamu enggak papa?" tanya Harry kepada anaknya. Dia menghadapkan anaknya ke depan. Melihat raut wajah Estel penuh dengan keringat dia pun sama. Tapi, dia sebagai Ayah harus berusaha untuk tenang agar anaknya tidak panik.   "Enggak papa, Pi. Cuma perih aja." Estel menunjuk tangannya yang kena cakaran sekilas. Walaupun begitu darah sedari tadi pun mengalir tapi dia tahan.   "Sebentar, Papi mau ke sana dulu ambil daun di sana," ucap Papinya hendak bangkit untuk mengambil daun yang jaraknya hanya beberapa langkah. Estel menggengam tangan Papinya Dan menggeleng dia tidak mau ditinggal Papinya dia takut kalau Papinya jauh monster itu datang.   "Pi, aku takut kalau, Papi jauh...."   "Papi enggak jauh sayang, Papi cuma mau ambil daun itu aja Luka kamu nanti semakin besar malah." Estel tetap menggelengkan kepalanya takut terjadi sesuatu nantinya.   "Papi, aku takut." Harry terduduk lagi. Dan mulai menerangkan kepada Estel bahwa di saat seperti ini kita dilarang untuk menyerah atau manja. Karena kita tidak tahu kapan saja nyawa kita akan terancam.     "Estel kamu tahu 'kan kamu enggak boleh kayak gini. Di saat kayak gini harus mandiri. Harus bisa semuanya. Papi cuma mau ambil daun di sana. Estel enggak usah ikut. Kalau ada sesuatu pasti Papi enggak akan ninggalin kamu. Kamu tetep jadi yang utama buat Papi sekarang cuma ada kamu sama Papi jadi Papi bakal tetep jagain kamu. Enggak usah takut ya...." Estel perlahan-lahan melepaskan genggaman tangan Papinya. Harry tersenyum dan mengelus kepala anaknya. Setelah itu dia mengecupnya sekilas.      Harry bangkit dan berjalan mengambil daun itu Dan meninggalkan Estel sejenak. Estel hanya bisa memandang lurus, Papinya tidak sedikitpun Estel membiarkan Papinya lepas dari pandangannya sedikitpun.    Lalu, beberapa saat kembali, Papinya mengambil daun untuknya sudah kembali. "Estel ini akan sedikit perih. Tapi tahan ya, nak. Jangan berteriak ataupun mengeluarkan suara berisik. Kamu tahu 'kan nanti kalau suara itu muncul kamu akan gimana?" tanya Harry memberikan penjelasan kepada Estel.   "Iya, Pi." Estel mengangguk paham. Harry mulai menempelkan daun itu ke tangan Estel.      "Awh ... Eshh...." Estel berusaha untuk menahan rasa perihnya. Ternyata mosnter itu benar-benar ganas. Siapapun pasti lebih memilih untuk pasrah saat sudah berada di dekat mosnter itu tapi tidak dengan Estel Dan Harry mereka akan tetap bertahan hidup Walaupun sulit.    "Estel ayo kita jalan lagi. Hari sudah semakin siang. Kita tidak tahu apa yang selanjutnya akan terjadi jadi kita harus buru-buru ke sana. Adik kamu butuh semua perlengkapannya." Estel mengangguk dan berjalan lagi. Harry juga sudah membersihkan lukanya Dan menempelkannya dengan daun juga rasanya memang perih tapi dari pada Luka itu ada efek sampingnya.   "Papi, kaki, Papi tidak sakit?" Harry tersenyum walaupun sakit tidak mungkin dia mengatakan Hal itu kepada Estel bukan.   "Tidak Luka kecil seperti itu sudah biasa Papi dapatkan waktu kecil. Jadi, sudah tidak masalah," jawab Harry bohong. Dia bohong juga demi kebaikan agar anaknya tidak memikirkan kakinya yang sebenarnya sangat sakit. Bayangkan saya monster itu menggores kakinya lumayan dalam darah pun tadi terus mengalir sebelum akhirnya dia menempelkan daun tersebut ke kakinya.   "Papi, lukanya besar tapi kenapa tidak perih, Luka Estel kecil tapi perih sekali, Pi." Harry tersenyum mereka berbicara tetap dengan nada yang pelan takut kalau monster itu datang lagi. Harry masih tidak tahu berapa frekuensi suara yang bisa di dengar monster itu walaupun dari jarak jauh keberadaan mereka. Jumlahnya pun tidak tahu ada berapa.   "Laki-laki Harus jagoan tidak boleh banyak mengeluh. Kalau sakit ditahan."   "Tapi, Estel 'kan perempuan, Pi. Berarti Estel kalau sakit boleh nangis ya?" Harry tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Dia mengangkat Estel ke gendongannya agar jalannya pun lebih cepat.   "Di saat seperti ini di mana adanya monster mengerikan yang Papi sendiri saja tidak tahu datangnya dari mana tidak boleh mengeluh atau menyerah atau selalu menangis, sayang. Kamu Inget 'kan waktu, Kak Violine tercabik-cabik monster itu kamu enggak mau 'kan kayak gitu?" jelas Papinya.   "Itu gara-gara, Estel, Pi. Aturan Estel aja yang dimakan monster itu bukan, Kakak. Seharusnya—"   "Shut ... Kamu enggak boleh ngomong kayak gitu. Itu semua udah takdir kamu tahu 'kan. Enggak semua orang bisa menolak takdir. Lagian semoya sama Kakak kamu udah tenang di sana," ucap Harry menunjuk ke arah langit.    "Berarti kakak enggak sakit lagi ya, Pi?" tanya Estel lagi.   "Ya semoga saja tidak sayang. Papi, tidak akan membiarkan anak-anak Papi sakit. Kemarin sesaat memang kakak kamu sakit. Tapi, setelah Tuhan memberikan kejadian itu. Semoga saja Kakak kamu memang tidak merasakan sakit saat dicabik-cabik seperti itu." Estel mengangguk paham.    "Berarti aku harus jadi pemberani ya, Pi?"    "Harus dong, semua anak Papi pemberani jadi enggak boleh cengeng."   "Siap, Papi, Estel enggak akan cengeng lagi. Estel bakal nurut sama Papi juga."   "Nah bagus itu baru anak, Papi. Sebentar lagi kita akan sampai." Estel melihat ke arah depan ternyata perjalanan mereka tidak terasa di depannya sudah ada kotanya.  ......
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD