Down-turned eyes

1423 Words
Dhito tidak tahu mengapa tadi ketika di lift harus terbatuk saat dua wanita yang di depannya membicarakan soal Tyas, padahal ia berjalan di belakang Rere sejak turun dari mobil hotel yang di pakai meeting di luar juga melihat punggung Tyas yang berlari kecil menuju gate out hotel lalu sebuah Ferarri black 458 yang pernah dia lihat tempo hari berhenti dan Tyas masuk mobil tersebut. Mobil yang sama waktu seminggu lalu mengantar Tyas pulang dari kelab malam. Dari pembicaraan Rere dan Santi, seharusnya mereka sebagai sahabat tahu bahwa Tyas sudah memiliki kekasih yang tidak 'kaleng-kaleng' jika mengutip kata Rere tadi. Tetapi, Dhito tahu Tyas merahasiakannya. Memandang pada langit gelap dan gemerlap kota Bandung di depannya sambil menikmati sebatang rokok yang sedang dihisapnya, Dhito tidak tahu mengapa jadi lelaki yang mau tahu masalah orang lain. Padahal, Tyas tidak mencari masalah dengan membeberkan kejadian dia dan Luna. Seharusnya itu hal melegakan, jika mengingat bagaimana Tyas Larasati menjadi salah satu pegawai hotel yang suka bergosip dan tidak menyimpan rahasia. Semakin tidak percaya pada dirinya, saat Dhito menolak ajakan nongkrong teman-temannya dan memilih tetap berada di apartemen selama Weekend itu. Minggu pagi dengan pakaian olahraga ia memilih lari sekitar apartemennya. Melakukan peregangan sembari berjalan menuju keluar wilayah apartemen dan mulai berlari di sekitar pemukiman warga yang ada di belakang apartemen. Sekitar empat puluh lima menit, mendapati sinar matahari mulai terik, ia memilih kembali dan tidak lupa membeli sarapan berupa kupat sayur. "Pagi Pak Dhito, habis cari keringat?" Sapa salah penjaga keamanan apartemen yang cukup mengenalnya selama ini, Dhito menyerahkan satu bungkusan lain. "Wah apa ini, pak?" Dhito tersenyum kecil, "Kupat sayur di belakang apartemen, untuk pak Asep dan pak Ade." Pak Asep, pemilik nama itu tersenyum senang dan menerimanya. "Terima kasih.. terima kasih banyak, pak Dhito." Dhito memang dikenal sebagai salah satu penghuni apartemen yang ramah dan baik. Ini bukan kali pertama mereka di belikan makanan. Kadang jika Dhito pulang malam, dia suka membawa makanan dan juga kopi nikmat yang mereka tahu harganya sangat mahal karena bukan sekedar kopi saset. Dhito lalu pamit untuk kembali ke unit apartemennya. Begitu di dalam lift karena merasa sangat gerah, Dhito segera melepas jaket yang melapisi kaus tanpa lengan dipakainya. Kaus itu sudah basah, sampai membentuk lekuk ototnya. Beberapa pengunjung perempuan yang satu lift dengannya, tertangkap mencuri-curi pandang. Dhito memang terbiasa membuat wanita sampai meliriknya dua kali, darah campuran yang di dapat dari orang tuanya membuat wajahnya kian rupawan. Tanpa berganti baju, dia memilih sarapan lebih dulu barulah mandi. Sepiring penuh kupat sayur ekstra telur, tahu dan tempe, tidak tersisa. Dhito meneguk segelas air putihnya, barulah ia beranjak untuk membersihkan diri. Bertahun-tahun hidup seorang diri, baru kali ini kalimat ibunya terngiang-ngiang. "Memangnya kamu mau hidup sendiri terus? Kamu butuh wanita dalam hidupmu, yang bisa menemani dan mengurus kamu." Dhito biasanya akan menanggapi dengan santai, tetapi kini dia mulai terusik. "Apa Gue akan hidup seperti ini terus?" gumamnya lalu menghela napas panjang menatap pantulan diri depan cermin di dalam kamar mandi. Dia berdiri hanya dengan handuk putih yang mengantung rendah di pinggangnya. Dia mulai merasa sepi dan bosan hidup dengan pola seperti itu terus. *** Berkaleng-kaleng bir tertata berdampingan dengan dua kotak Pizza dan makanan ringan lainnya diatas meja ruang tengahnya, Dhito melihat punggung dua sahabatnya. Gege dan Joshua yang datang tanpa undangan sedang asyik bermain virtual pertandingan sepak bola, masing-masing memegang stick game dengan tim sepak bola Eropa kesayangan mereka. Gege dan Joshua seusia dengan Dhito, keduanya terjerat pesona mojang Bandung dan menikahinya. Gege, lelaki berperawakan agak tambun itu sudah menikah dan memiliki seorang putri berusia lima tahun, dia memiliki sebuah perusahaan jual beli mobil baru dan bekas yang dirintis dari nol sampai cukup berpenghasilan sekarang ini. Sementara Joshua, pemilik mata sipit dan kulit putih itu juga baru menikah setahun lalu, dia bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi. Mereka dekat karena berasal dari kampung halaman yang sama dan ternyata kembali bertemu di Bandung. "Gue pikir lo sakit, sampai malam nggak datang ke tempat Steve-s**t! Gue kebobolan lagi!" Gege berdecak tidak terima Joshua berhasil membobol pertahanan timnya lagi. "Aye.. aye skor dua buat gue!" Joshua tertawa senang bisa nengalahkan Gege. Game, tidak mengenal usia! Steve, yang disebutnya adalah temannya yang lain, dia pemilik salah satu Caffe and bar. "Makanya sekarang, kalian merusuh ke apartemen gue?" Dhito mengambil kaleng bir, membuka dan menyesap isinya. Joshua tergelak, "Gue cuman mengikuti ajakan si jerk satu ini, sekalian dia kabur dari istrinya." Gege dan Joshua memang kerap datang untuk main game di apartemennya, walau sudah menikah, pasangan mereka tidak melarang jika sesekali mereka bertemu mau di apartemen atau di tempat Steve, kadang para pasangan mereka ikut. "Lo lagi ada masalah?" Tanya Dhito pada Gege. Gege mengedikan bahu, "Masalah kecil, cuman kalau sama cewek urusan kecil bisa jadi besar gara-gara bibirnya." "wajarlah, bibir cewek kan ada dua." Ledek Joshua. Dhito tidak menanggapi pikiran kotor temannya itu. "semakin besar kalau lo malah lari, seharusnya lo selesaikan dulu." Gege menekan tombol pause, meletakan stick diatas karpet berwarna cokelat tersebut, dia berbalik lalu mengambil kaleng bir lainnya. "Bini gue beda, Dhit. Dia mending dikasih waktu dulu buat mendinginkan kepala, baru entar di ajak ngomong baik-baik." "Kurang organis-Gila sakit!" Joshua melotot begitu Gege menendangnya. "Lo belum punya anak, Josh. Jadi lo nggak akan mengerti. Lo akan berhenti egois dan menyampingkan kebutuhan biologis lo begitu melihat istri lo lelah seharian mengurus rumah, kita dan ditambah anak, lo nggak akan tega. Baru setahun kan lo married?" "Ya elah, bercanda kali gue." Kata Joshua terkekeh, lalu dia beranjak untuk ke kamar mandi. "menjalankan pernikahan itu sulit ya, Ge?" Uhuk... Uhuk.. Gege jelas tersendak bir saat dengar pertanyaan aneh dari sahabatnya yang jelas-jelas terlihat belum ingin mengakhiri masa sendirinya itu. "pelan-pelan, Ge." Tegur Dhito. Gege mendelik lalu dia mengusap-mengusap dadanya. "Lo bilang apa tadi, Dhit?" Dhito mengedikan bahu, malas mengulangi pertanyaannya lagi. "Udah anggap aja lo nggak dengar." Ia saja terkejut dengan pertanyaannya sendiri. Gege tertawa, lelaki bertubuh berisi itu beranjak dan duduk di sofa empuk tepat di sebelah dhito. "Siapa namanya?" Dhito mengerutkan kening, "lo ngomong apa, siapa?" "Perempuan yang berhasil buat lo memikirkan tentang pernikahan." "Ngaco lo!" kata Dhito lalu dia berdiri begitu ponselnya bergetar-telepon dari Ibunya. "Dhit.." panggil Gege sebelum Dhito melewati pintu menuju balkon. Dhito menoleh, "Kenapa ge?" "Percaya deh sama gue, pernikahan adalah komitmen yang nggak akan pernah kita sesali jika kita sudah menemukan perempuan yang tepat." Dhito membalasnya dengan senyum kecil, "Ya, semoga gue bisa segera menemukannya." *** Ibunya sakit, ketika ditanya jawabnya hanya pusing ringan nanti juga sembuh. Tetapi Dhito tidak bisa percaya begitu saja, lagi pula sudah setahun dia tidak pulang. Maka dari itu, bulan depan dia akan mengajukan cuti seminggu, untuk pulang ke Bali. "Siapa aja yang mengajukan cuti bulan depan, Rin?" Tanyanya pada Rihana-salah seorang payrool Staff di departemen HRD. "Selain bapak, ada karyawan finance yang mengajukan untuk bulan depan." Dhito mengambil berkas laporan dan juga surat pengajuan cuti untuk waktu ke depan. "Siapa?" "Tyas Larasati, staff Finance." Dhito langsung bergumam, dan menatap Rihana untuk memastikan. "Tyas?" "Iya, pak. Cuti diambil minggu pertama bulan depan." *** "Tyas?" Dhito menemukan wanita itu berdiri di depan lobi hotel, Dia melihat jam yang melingkar ditangan ternyata sudah menunjuk delapan malam dan Tyas baru pulang. Tyas menoleh, dan tersenyum simpul. "Baru pulang pak?" "Iya, kamu juga lembur?" Tyas menggunakan rok span hitam dan blouse berwarna navy, Heels berwarna mocca delapan senti melekat sempurna di tungkainya yang indah. "iya nih pak, ibu Luna tahu saya cuti jadi kerjaan harus selesai." keluhnya. Dhito tersenyum kecil memperhati-kan wajah jelita di depannya itu, tampak lelah. "Menunggu jemputan?" "Oh, taksi Online dari tadi nggak ada yang ambil order saya." Pantas sejak tadi Dhito melihat Tyas fokus pada ponselnya. "Keberatan kalau saya antar?" tawar Dhito tiba-tiba, saking anehnya mungkin wanita di depannya itu sampai mengerjap. "Ini sudah larut, saya hanya menawarkan saja." Tyas terlihat berpikir, mata Dhito lalu memperhatikan bagaimana dia menggigit bibirnya, sebenarnya gerakan biasa tapi mengapa terlihat sensual. "Hm, benaran bapak menawarkan saya menumpang?" tanyanya ragu-ragu. Dhito buru-buru berpaling, ke mana pun asal tidak menatap wajah Tyas dan berakhir dengan dorongan kuat untuk merasakan bibir ranum tersebut. "Ya.. ayo saya serius." katanya lalu berjalan lebih dulu menuju titik mobilnya berada. Tyas masih terpaku, Dhito yang sudah tiga langkah di depannya berhenti lalu berbalik sampai pandangan mata mereka bertemu. Seperti ada cahaya yang menyorot dari iris cokelat milik wanita itu, Dhito terkesiap saat baru sadar Tyas memiliki Downturned eyes bagian outer corner mata cenderung lebih menurun ke bawah, ditambah bulu mata panjang dan lentik. Bentuk mata itu biasanya menyiratkan kesan innocent tetapi, justru kini terlihat mengemaskan dan menarik perhatiannya. "Beautiful eyes." Bisiknya terbawa embusan angin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD