Fastened

1469 Words
"Tyas kamu kenal, kan?" Tyas tersentak oleh pertanyaan Tara saat masih setia melihat melalui spion mobil bagaimana Dhito masih berdiri, mengawasi kepergiannya. "Siapa kak?" Tyas memejamkan mata sekilas, dia benar-benar masih terkejut atas apa yang di lihat malam ini. "Lelaki tadi yang ngobrol sama kamu, dia lelaki sama di insiden salah ruangan tadi." Tyas akhirnya mengangguk, "Ya, mereka atasan langsung dan nggak langsung di BM hotel." "mereka? artinya keduanya kamu kenal?" "Ibu Luna, Finance controller atasan langsung Tyas dan Dhito, direktur of human resources BM Hotel." Tara lalu terkekeh tidak percaya, "Astaga, mereka terlibat affair? Wah-wah.. kamu memegang kunci mereka, Tyas." Dan Dhito juga memegang rahasia tentang dirinya, walau Tara mengenalkan diri sebagai pacarnya tetapi Tyas yakin ini bisa jadi awal identitasnya terungkap. Maka, dengan sangat sadar dan semoga Dhito mengerti kalimat terakhirnya tadi. Bahwa, Tyas serius akan merahasia-kan apa yang dilihatnya hari ini, asalkan Dhito berlaku adil padanya juga. Secara tidak langsung mereka telah terikat dengan perjanjian yang tidak disadari. "Tapi, kamu sadar nggak sih Tyas.. kalau cara dia menatap kamu aneh?" Tanya Tara lagi, menarik Tyas dari pikirannya. *** Dhito dan Luna, ada apa dengan dua manusia itu? Tyas berbaring di atas ranjang yang teramat nyaman, matanya belum juga bisa terpejam. Menatap langit-langit kamar, dia lalu tersenyum kecut tidak bisa melupakan apa yang dilihatnya tadi. Bagaimana keduanya bersama melakukan hal yang begitu panas, sampai Tyas saja melongo dan hampir ikut-ikutan menggigit bibir sendiri lalu ketika tahu siapa orang yang memerankan serangan saling menghisap bibir itu, semua keadaan menjadi membingungkan dan sesuatu di dalam sana terasa hilang. "Gila ya, gue suka sama buaya ternyata selama ini!" Tyas terkekeh tidak percaya. Suka? Tentu saja, dia bukan hanya pura-pura. Semua yang diperlihatkannya benar-benar apa adanya. Mungkin dari semua, mengaku suka pada Dhito adalah hal paling jujur yang tidak ada kepura-puraan. "Baguslah perasaan gue mungkin, hm.. belum terlalu dalam." Monolognya lagi karena dengan begitu Tyas harus meninjau ulang perasaannya. Jelas Dhito bukanlah lelaki yang pantas untuk dia cintai, jika dilihat dari bagaimana pola hidup lelaki itu yang 'bebas'. Tyas tidak mau menambah daftar panjang lagi dengan pilihan yang bisa membuat Mami mengkritiknya. Memikirkan hal itu semalaman ada gunanya juga, saat dia harus berhadapan dengan Luna—atasannya. Tyas bisa bersikap biasa. "Ini laporan yang ibu minta." Tyas meletakan fail itu di hadapan Luna. Luna menarik lepas kaca mata baca yang membingkai wajah cantiknya, matanya menatap lurus mengamati penampilan bawahannya itu. Teramat sederhana, bahkan Luna tidak yakin bahwa perempuan yang memergoki-nya bersama Dhito semalam adalah Tyas Larasati yang sama dengan wanita di depannya ini. "Oke, tyas thank you." Tyas mengangguk, "Tyas permisi, bu." Dia hendak memutar tumitnya. "Tyas, kamu punya saudara kembar?" pertanyaan itu membuat Tyas tetap berdiri disana, lalu dia mengerutkan kening. "maksud ibu?" tanya dia tidak mengerti. Luna tersenyum kecil, "siapa tahu yang bertemu dengan saya semalam, bukan kamu tapi kembaranmu." Tyas membalas dengan senyuman juga, "Ibu Luna bisa saja." berusaha mencairkan suasana, Tyas menanggapi dengan gurauan. "Tapi saya serius, kamu semalam terlihat berbeda." Dia menegakkan punggungnya, lalu kedua tangan saling bertautan diatas meja. "Jadi Artara Rasyid benar-benar kekasihmu?" Bagaimana, Tyas lupa bahwa yang harus dia pastikan untuk menutup mulut bukan hanya Dhito saja. lalu dia harus bertindak seperti apa pada wanita di depannya ini? jika semalam dia punya keberanian itu, maka sekarang dia tidak memilikinya sama sekali. My Lord, help me! Tyas menghela napas, dia tetap konsisten membalas tatapan tajam atasannya tersebut. "Maaf sebelumnya jika perkataan saya sedikit lancang. Saya rasa ibu setuju, kalau ada beberapa yang jadi privasi dan memang sebaiknya nggak membicarakannya di kantor." Luna membulatkan mata, dia jelas tidak percaya bawahannya mengatakan itu yang lebih mirip teguran untuk Luna tahu batasan, memisahkan antara urusan kantor dan privasi. Luna berdehem salah tingkah. "oke, kamu benar. Saya yang minta maaf karena telah lancang." Ah... lega rasanya untuk dia berhasil membungkam mulut atasannya ini. "Nggak masalah bu, saya juga minta maaf sekali lagi. Hanya saja, saya rasa ada beberapa orang yang nggak ingin privasinya jadi konsumsi publik. Bukan begitu, bu?" Luna mengerti, Tyas secara tidak langsung mengingatkan wanita itu bahwa dia pun bisa saja mengorek tentang hal privasi yang terjadi di antaranya dengan Dhito. Jadi Luna membiarkan Tyas keluar dari sana, karena dia pun tidak suka menjadi bahan konsumsi publik, terutama di tempatnya bekerja. Dan Tyas tersenyum lebar, secara tidak atasannya sadari, dia berhasil mengikatnya untuk saling merahasiakan apa yang mereka dapati tadi malam. Tyas tersenyum sangat lebar, dia bisa bernapas lega. Sambil mendekap fail yang harus dia fotokopi di lantai bawah, langkahnya pasti dan bertepatan lift kedua diantara tiga lift lain menuju ke bawah. Segera dia tekan tombol pada papan lift tersebut. Lift berhenti dan perlahan pintunya terbuka, Tyas melangkah masuk dan termenung ketika melihat seseorang bersandar, matanya terlihat terpejam sehingga tidak menyadari kehadiran-nya. Wajahnya sedikit kusut, apa dia sedang dalam masalah? Tanyanya dalam hati. Seperti sadar telah diperhatikan, mata itu terbuka sempurna dan tatapan mereka bertemu. Dari gestur, ia juga terlihat terkejut melihat Tyas berdiri di hadapannya. Berusaha terlihat biasa, Tyas menampilkan senyum terbaiknya. "Selamat siang pak Dhito." Sapa Tyas ramah dan riang. Tidak ada jawaban, sampai Tyas mengerutkan kening saat Dhito malah menyelidik dengan tatapan seakan mengamati apa yang Tyas pakai hari ini. "Dasar buaya!" bisik hati Tyas, sejujurnya saat ini dia ingin melempar map yang di dekapnya ini agar lelaki dengan mata kurang sopannya itu berhenti menatap Tyas seakan sedang menelanjanginya. I feel that way—Menarik napas dalam-dalam, Tyas berusaha mengendalikan keinginan tersebut. "Pak Dhito?" Dia sengaja mengibaskan tangan sampai Dhito mengerjap, Lelaki itu berdehem, jakunnya naik-turun "Siang, Tyas." "Dari Ruang GM ya, pak?" Meski tidak yakin, Tyas melihat Dhito terlihat tidak nyaman. Lelaki itu mengangguk, "Iya, kamu mau ke mana?" "Ini mau fotokopi, mesin di ruang kami rusak. Jadi, ibu Luna minta saya fotokopi di ruang bawah saja." kata Tyas dan sengaja menekan nama 'Luna' sambil tatapannya tidak bergeser untuk tahu reaksi Dhito. Tetapi, lelaki itu sudah bisa bersikap biasa. Ting.. Lift sampai dilantai tujuan Tyas, tidak pernah Tyas selega ini rasanya. "Saya duluan, mari pak." kata Tyas sopan lalu dia tergesa melangkah keluar, meski Tyas tahu Dhito masih menatap punggungnya. Begitu berbelok, memastikan tidak ada orang kain, Tyas bersandar di sana untuk meredakan detak jantung yang sejak terperangkap berdua di dalam lift bersama Dhito, jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Kenapa semua jadi terasa sulit, lalu perasaan apa ini? tanyanya di dalam hati. *** Tyas bersyukur, Dhito maupun Luna sepertinya sudah melupakan hal yang terjadi waktu itu. Entah apa yang terjadi, tetapi Dhito sudah jarang muncul di ruang Finance hanya sesekali saat memang ada kepentingan yang bersangkutan dengan pekerjaan. Jumat, Pekerjaan Tyas sudah selesai. dia sedang memeriksanya ulang saat ponselnya berdenting. Satu pesan masuk dari Tara. Ka Tara : Aku otw jemput kamu, Mami dan Papi sudah berangkat tadi pagi. Padahal Tyas sudah berkeras untuk bertemu dirumah dan berangkat ke Lembang dari sana. Tara malah menjemputnya dan langsung berangkat ke Villa di Lembang mereka. Sejujurnya, Tyas malas pergi ke sana, karena dapat dipastikan sang Mami akan mengajak mereka berkuda dan Mami benar, bahwa Tyas sendiri tidak yakin dia masih ingat aturan-aturan saat berkuda dengan benar. Tyas melangkah cepat keluar dari Hotel, dia meminta Tara untuk menunggu dipinggir jalan saja, tidak ingin mengambil risiko ketahuan sahabat dan pekerja lain, wajah tampan Tara sangat mudah dikenali sebagai anak sulung Adam Rasyid akibat seringnya muncul di berbagai majalah bisnis dan berita. "Tyas, hei... mau ke mana lo?!" Sial! Kenapa dia harus berpapasan dengan Santi dalam kondisi yang paling tidak dia harapkan ini. Oke, Tyas Larasati tarik napas dan tersenyum lebar... "Eh teh santi, dari mana?" Tyas berharap Tara menunggunya dan tidak gegabah untuk masuk ke kawasan hotel. "Meeting diluar, lo mau ke mana jalan buru-buru?" "Balik, kan sudah jam pulang." Santi memutar bola matanya malas, "gue juga tahu ini udah jam setengah lima, jam pulang. lo akhir-akhir ini jarang balik bareng kita." "Hm.. gue—" Ponsel Tyas berdering, hatinya berbisik—mampus gue, pasti ka Tara nih! "Teh, gue duluan ya. Bye!" Tyas lalu tergesa pamit pada Santi.. "Yeah, dasar anak itu!" Decaknya melihat Tyas berlari kecil keluar Hotel seperti sedang ditunggu seseorang. "Santi!" panggil Rere tepat saat santi akan melangkah dari sana. "dari mana, re?" "Meeting sama GM di luar, sama Dhito juga." Santi melihat Dhito yang berjalan di belakang mereka bersama GM hotel. "Oh, sama gue juga ketemu klien di luar!" Mereka melangkah masuk ke lift beriringan, bersama Dhito juga. Sedangkan GM memakai lift khusus petinggi hotel. "Gue lihat Tyas di depan, tapi kayaknya Tyas nggak lihat gue deh. Eh.. dia kayak di jemput seseorang gitu. Tapi gila san, mobil sport Ferrari, bukan kaleng-kaleng!" Uhuk..uhuk.. Lalu obrolan mereka terhenti saat mendengar Dhito yang berdiri di belakang mereka terbatuk. "Dhito, nggak apa-apa?" tanya santi khawatir. Dhito menetralkan dirinya, "Sori, memang sedang flu dan batuk." jawabnya Rere terdiam, lalu mengingat sejak meeting tadi perasaannya kondisi Dhito baik-baik saja atau dia kurang memperhatikan? Entahlah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD