Lapar yang memalukan!

1330 Words
Sebuah lagu—Perfect dari Ed Sheeran—mengalun pelan dari stereo, hanya itu satu-satunya yang menyelamatkan mereka dari rasa canggung satu sama lain di dalam mobil lelaki tersebut. Tyas tidak habis pikir, bagaimana dia malah terjebak di sini bersama Dhito! Jika posisinya dulu saat dia tidak melihat Dhito bersama Luna dan masih mengagumi lelaki ini. tentu saja, saat-saat seperti inilah yang dia nantikan selama cin—sori maksudnya suka sama lelaki di sampingnya itu. "Hm, Tyas.." panggilnya pelan, Tyas tidak menoleh dengan tetap menatap lurus pada jalanan yang tampak padat. "Ya, pak?" sautnya. "di depan sana ada tempat makan enak." Katanya yang membuat Tyas terpaksa harus menoleh sampai dia mengamati bagaimana tangan-tangan lelaki itu terlihat keren saat menyetir. sadar ada yang salah dengan pikiran barusan, Tyas segera menghapus pikiran tersebut. "Maksudnya?" "Bagaimana kalau Kita mampir makan—" Tyas mengerti, "Boleh.. tapi Tyas nggak ikut makan ya pak, Tyas sud—" Krriuk.. krriuk.. Sepertinya hukum karma itu dibayar tuntas jaman sekarang ini, Tyas yang memotong kalimat Dhito harus lebih malu lagi karena kalimatnya di potong oleh suara lain yang berasal dari perutnya. "Oke, sepertinya kamu juga sudah lapar. Begitukan?" Astaga! kenapa suara Dhito terdengar lebih lembut saat bicara dengan dirinya, akhir-akhir ini. "Saya bisa makan di rum—" Kriuk.. kriuk.. "—rumah." Ini memalukan karena perutnya kembali berbunyi. Dhito tergelak dan Tyas melongo melihat itu. But you heard it, darling, you look perfect tonight... Sepenggal lirik lagu tersebut tiba-tiba terdengar jelas di telinga Tyas, meski samar bibirnya tertarik membentuk senyum simpul dan dibalik bulu mata lentiknya dia memperhatikan Dhito yang tertawa lepas. Menyadari itu tidak sopan, Dhito segera menetralkan tawanya dan melirik Tyas yang masih menatapnya. "Sori saya nggak sopan." sesalnya. Sudut bibirnya tertarik, dia menggeleng kecil, Tyas terdiam bukan karena tersinggung justru dia terkesima melihat tawa Dhito yang terdengar renyah ditelinganya. "Nggak apa-apa, pak. saya juga merasa lucu sih.. Umm, jadi kita mampir?" "Tentu saja, saya juga udah sangat lapar." Dhito terlihat semangat sekali lalu menyetir mobil menuju tempat makan yang dia maksud. Sementara Tyas merutuki dirinya di dalam hati—itu adalah lapar yang memalukan! *** Seporsi cah kangkung, udang saus tiram, cumi krispy serta ikan gurame bakar ditambah dua gelas es jeruk yang segar di tenda biru sisi jalan menjadi pilihan makan malam pertama yang terjadi diantara mereka. Pertama? Tyas menggeleng samar dengan pikirannya barusan, apa itu artinya dia berharap ada makan malam bersama lainnya? Tidak, Tyas kamu harus ingat siapa lelaki di depanmu ini! bisiknya di dalam hati. "Kenapa, nggak enak?" tanya dhito karena melihat Tyas termenung menatap makanan yang tersaji di depan meja lesehan. "Enak banget malah, pak!" katanya terlihat terburu-buru menjawab, kembali melanjutkan makanya. Uhuk... Uhuk Karena itu, dia sampai tersendak udang yang sedang dikunyahnya. Dhito dengan sigap mengambil gelas miliknya berpindah ke samping Tyas "Minum ini Tyas!" perintahnya yang langsung dituruti Tyas. Lelaki itu menepuk-nepuk lembut punggungnya sampai memastikan Tyas baik-baik saja dan suasana berubah canggung, bahkan Tyas merasa seperti tersengat listrik saat Tangan Dhito masih mengusap punggungnya tapi malah jantungnya yang berdebar. "terima kasih, pak. saya udah lebih baik." Katanya lalu bergerak kecil sampai Dhito menarik tangannya. Mereka terdiam beberapa detik, mata Tyas membulat begitu melihat gelas di tangannya dan melirik gelas miliknya yang justru masih utuh. "Ini minuman bapak saya habiskan." Tyas menyengir, merasa bersalah. Dhito terkekeh melihat ekspresi lucu jelita di depannya ini. segera dia berdiri, tanpa sadar tangannya terulur mengusap puncak kepala Tyas. "It's oke, saya pesan lagi ya, tunggu sebentar." Beranjak dari sana untuk memesan minuman lagi. Sementara lelaki itu tidak sadar. Gerakan ringan barusan, justru dirasa sangat manis oleh Tyas sampai dia lagi-lagi terdiam seribu bahasa. Sisa malam itu, mereka lanjutkan sampai semua porsi makanan yang di pesan tandas dan Dhito mengantarnya pulang. "Ngomong-ngomong Tyas, saya harus antar kamu ke mana?" pertanyaan itu bagaikan petir yang menyambar dan bodohnya Tyas baru memikirkan itu sekarang. Tidak mungkin dia menunjukkan alamat orang tuanya, karena itu akan membuat identitasnya diketahui Dhito. *** "Ka tolong bilang Mami, Tyas nginap di kosan malam ini." Sambil mengimpit ponsel dengan bahu dan kepalanya, Tyas melepas sepatu lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang selama seminggu lebih ini tidak dia tempati. Untung saat meninggalkannya dia sempat membersihkannya dulu, sehingga tidak mengkhawatirkan ketika harus di tempati tanpa rencana seperti malam ini. Tanpa rencana, semua ini terjadi karena harus menumpang pada Dhito. Tentu saja dia tidak mau bunuh diri dengan cara meminta diantar pulang ke rumah orang tuanya. "Kenapa ke tempat kos?" Tyas memutar bola matanya mendengar protes sang Kakak, tetapi otaknya mencari jawaban atau berupa alasan yang tepat. "Aku tadi ada acara dengan teman-teman kantor, yang kebetulan pulang ke tempat kos lebih dekat daripada ke rumah, lagi pula ada barang dan buku-buku yang mau aku ambil." "Nggak perlu menginap, kakak jemput sekarang." Tara berkeras. "Ka, semalam aja. Aku besok juga ada meeting pagi, lebih dekat dari sini." Tara menghela napas, "Baiklah, tapi Tyas.." "Apa lagi?!" perut Tyas yang terasa kenyang membuat matanya memberat, tetapi dia tidak mungkin tidur dalam keadaan tubuhnya yang terasa kotor dan lengket. "Galak banget! Kakak cuman memastikan, kamu pulang ke tempat kos bukan karena lagi bermalam sama pacarmu, kan?!" Kalimat Tara berhasil menyingkirkan rasa mengantuk Tyas. "Astaga ka! Fitnah lebih kejam dari pembunuhan tau!" "Kenapa marah, kalau nggak ya tinggal bilang nggak. Kakak hanya bertanya!" "Bertanya yang terkesan menyudut-kan!" Tyas mencibir dan Tara terbahak-bahak berhasil membuat Adiknya kesal. "Oke.. oke sorry! Padahal Mami masak seafood kesukaanmu lho Tyas.." "Seafood?" "Iya, cumi dan udang. Kamu sudah makan malam?" Tyas terdiam... mengapa bisa kebetulan begitu, ya? *** Weekend lalu, Tyas dan keluarganya menghabiskan waktu di Lembang. Mami tidak henti-hentinya mengomel karena Tyas kaku lagi saat berkuda dan akhirnya di wajibkan berlatih lagi dalam sebulan yang akan langsung di temani Maminya. Berlebihan sekali memang Mami-nya itu. Lalu tiba-tiba Tara mengatakan bulan depan, kekasihnya Clarisa akan datang bersama orang tuanya dan Tara memutuskan untuk bertunangan secara resmi dengan Clarisa dan memilih Bali sebagai tempat acara. Tara bahkan sampai mengundurkan jadwal kembali ke London, dia akan menetap disini lebih lama. Artinya, selama itu Tyas akan tinggal di rumah orang tuanya, mengambil cuti untuk acara penting Kakaknya. Sebenarnya, Tyas berharap Tara kembali menetap di Indonesia dan menikah dengan wanita lokal. Clarisa memang baik, tetapi Tyas tetap saja sedih harus membayangkan hidup berjarak dengan kakak satu-satunya itu. Seperti dirinya, Tyas meyakini apa pun itu sudah jadi pilihan hidup Tara. Termasuk soal jodoh, semua menjadi rahasia takdir. Sebagai adik, Tyas hanya bisa berdoa, apa pun pilihan Tara bisa membuat lelaki itu bahagia. "Morning teteh-teteh cantik dan sexy mommy!" Tyas merangkul santi dan Rere begitu bertemu di lobi. "Yeah.. ceria banget yang mau cuti!" ledek santi. Tyas terkekeh, "Mau ada acara apa sih Tyas?" tanya Rere menambahi, mereka benar-benar penasaran. "Acara lamaran.." "Lo mau lamaran?" tanya santi terkejut. Tyas tertawa, karena berhasil membuat Santi percaya gitu aja. "Yeah si dodol, gue kira benaran!" "Lagi, gue kalau mau lamaran juga pasti kasih tau kalian kali." Tyas yang pertama masuk kedalam lift, di susul dua teman dan beberapa staf front Office yang sudah pakai seragam kerja hotel. "udah ada calonnya, Tyas?" selidik Santi, ini kesempatan dia untuk mengorek kisah asmara Tyas yang membuat dia penasaran setelah mendengar Rere melihat wanita itu di jemput seseorang, lagi pula, belakangan ini Tyas terasa berbeda. "Tau nih, Tyas nggak asyik.. sekarang mainnya rahasia-rahasiaan!" Rere mendukung Santi. Tyas menoleh lalu menatap wajah-wajah penasaran kedua temannya, "Gue?" tunjuknya pada diri sendiri. "Punya calon?" lalu Tyas terkekeh sendiri, menganggap sahabatnya itu sedang meledeknya. "Lho, benarkan? Gue yakin sore itu nggak salah liat. Lo dijemput seseorang, siapa orangnya Tyas? Sombong lo, mentang-menatang sudah mencoba naik jejeran mobil mewah!" Perkataan Rere membuat Tyas menghentikan tawanya, dia membulatkan matanya. "Lo liat gue?" "Iya, Jumat lalu. Ferrari black. Gue gak fotoin nomor mobilnya sih, jadi terpaksa tanya lo dari pada cari tahu sendiri!" Gurau yang tersemat di akhir kalimat Rere gagal membuat Tyas tertawa, karena yang menyita fokusnya hanya—alasan apa yang perlu dia berikan agar Rere dan Santi tidak benar-benar mencari tahu sendiri, siapa pemilik Ferrari Black tersebut!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD