8. Berkobarnya Api Dendam

1551 Words
Saat Reza mengajak Ara makan malam, agar niatnya mendekati gadis cantik itu bisa cepat kesampaian. Apalagi saat melihat, Ara bukanlah orang sembarangan. Maka Reza tidak akan membuang kesempatan berharga itu, setelah gadis incarannya juga memiliki perasaan khusus padanya. **** Di salah satu makam di kota New York Amerika, saat ini hujan deras masih mengguyur area pemakaman. Terlihat seorang pria tengah terduduk seraya menyentuh batu nisan bertuliskan nama 'Sarah'. Wanita yang selama ini melimpahi hidupnya dengan kasih sayang, sekaligus luka. Wanita pertama yang ia kasihi sepanjang wanita itu hidup. Ya, wanita yang saat ini telah terbaring dalam gundukan tanah basah dalam tidur panjangnya. Wanita itu adalah mama kadung dari pria bernama Tristan Alvaro. Pria itu masih saja terus menangisi kepergian sang mama, pria yang berharap apa yang ia lihat hanyalah sebuah mimpi. Meskipun ia sadar yang ia rasakan saat ini adalah nyata. Tristan saat ini sudah bisa menggenggam seluruh dunia, karena kesuksesannya. Tapi, hatinya tetap merasa hampa dan dingin. Ketika wanita yang ia kasihi, dan ingin ia bahagiakan telah tiada. ''Mama ... Kenapa Mama tega meninggalkan Tristan secepat ini. Apa Mama tidak sayang sama Tristan lagi. Tristan sekarang harus bagaimana?'' ucap Tristan dengan suara parau. Ia masih saja menangis. Meskipun air mata itu tersamarkan oleh derasnya air hujan, bahkan tubuhnya basah karena air hujan. Ia masih saja bergeming, tidak mau meninggalkan area makam. "Ayo kita pulang, Tristan," ajak seorang pria seraya memayungi Tristan dari belakang. Pria itu adalah Dion, sahabat baik sekaligus orang kepercayaan Tristan. "Kalau aku pergi, Mama akan sendirian di sini. Aku tidak mau pulang, Dion," tolak Tristan, masih saja menunduk memandang gundukan tanah basah tempat pembaringan sang mama. "Pergilah, tinggalkan aku sendiri di sini," usir Tristan dengan suara serak. "Kamu jangan gila, Tristan!" "Mama Sarah sudah tiada ikhlaskan beliau pergi dengan tenang, kalau kamu seperti ini terus, dan di bawah guyuran hujan deras begini? Kamu nanti bisa sakit," kesal Dion dengan jawaban sahabatnya, hingga membuat ia bersikap tegas demi menyadarkan Tristan. "Biarkan saja aku sakit, jika perlu aku ingin mati dan menyusul Mama. Percuma saja aku hidup, jika sudah tidak ada yang menyayangiku lagi," ucap Tristan dengan nada yang menyayat hati, Dion tahu jika sahabatnya saat ini begitu rapuh. Bruk! Dion membuang payung di tanganya, lalu dengan gerakan kasar ia menarik Tristan agar berdiri hingga menghadapnya. Keduanya pun berhadapan di bawah derasnya hujan, Dion tidak mau sahabatnya larut dalam kesedihan terus menerus. Dion yang melihat pancaran suram di mata Tristan, mulai mengingatkan akan luka yang ditorehkan oleh orang-orang yang menyakiti Mama Tristan. "Lihat! Lihat aku, Tristan!" "Masih ada aku yang akan menyanyangimu, bukan hanya sayang sebagai sahabat. Tapi, kamu sudah kuanggap saudaraku sendiri." "Kamu adalah keluargaku, Tristan. Jadi hilangkan pemikiranmu jika kamu tidak punya siapa-siapa!" "Karena aku akan selalu berada di sampingmu, dan selalu mendukungmu," Dion terengah, ia terlalu kesal dengan sikap keras Tristan. Bahkan saat ia bicara tadi, ia menggunakan satu tarikan napas mengeluarkan isi hatinya. Saat Dion begitu gigih menyadarkan keterpurukan sang sahabat, di depannya ia melihat Tristan sama sekali tidak mempunyai gairah hidup. Hingga detik berikutnya, Dion mengingatkan akan luka tak berdarah dalam hati Tristan selama ini. "Apa kamu akan terus seperti ini, hem?!" "Apa kamu, tidak akan membalas semua luka dalam hatimu itu?" "Apa kamu tidak ingin membalas orang-orang yang telah menyakiti Mama Sarah, bangkitlah. Balas orang yang telah menorehkan luka yang begitu besar di hati Mama Sarah, hingga beliau melampiaskan dengan minum dan menyakitimu." "Kamu pun turut merasakan luka itu, bukan?" "Jadi, ayo cari mereka." "Ya, orang-orang yang telah memberikan luka begitu banyak dalam hatimu. Termasuk, pria tua itu!" "Balas mereka semua, saat itu kamu boleh datang ke mari lagi. Lalu mengatakan pada Mama Sarah kalau kamu bisa membahagiakan Mama Sarah di alamnya, dengan membalas dendam pada mereka," ucap Dion panjang, seketika membuat Tristan tersadar dari keterpurukan akan kehilangan mamanya. Degh! Kata-kata Dion seperti magnet, sekaligus api dendam yang berkobar dalam hati Tristan. Netranya sebelumnya sayu akan air mata kesedihan, kini menajam dengan kilatan kemarahan. Aura hitam pun mulai memenuhi seluruh hati, dan pikiran Tristan. Jika mulanya ia sudah tidak mempunyai gairah hidup dalam hidupnya, kini ia seolah kembali hidup. Tujuannya satu, membalas satu persatu orang-orang yang telah menyakiti sang mama. Tristan pun mulai mengingat saat-saat sulit, di mana sang mama melalui hari-hari bersamanya di dalam penjara, dan lepas dari penjara. Ia juga mengingat betul ketika mamanya menangis dalam diam, seraya memandang sebuah foto seorang pria dengan pandangan penuh kerinduan. Detik berikutnya sang mama berganti menatap foto sobekan koran, dengan pandangan kemarahan. Ia sama sekali tidak bertanya siapa pria dalam foto itu, ia hanya menunggu. Kapan sang mama mau menceritakan tentang siapa, dan ada hubungan apa? Pria dalam foto itu dengan mamanya. Flashback on "Tristan! Sini, Sayang," panggil Bu Sarah, saat melihat Tristan menatap kearahnya di ujung tempat tidur. Bu Sarah bukannya tidak tahu, jika putranya selama ini selalu memandangnya dengan tatapan tanya. Ketika ia menatap foto pria masa lalunya, tepatnya pria yang menanamkan benih dalam rahimnya. Hingga ia melahirkan Tristan, pria itu tidak lain adalah Nizam Syahputra, pria yang dicintainya sepenuh hati. "Apa kamu mau tahu tentang siapa orang-orang dalam foto ini, Sayang?" tanya Bu Sarah, seraya memperlihatkan dua foto, salah satunya adalah foto Nizam Papa Tristan. Satunya lagi adalah sebuah sobekan foto dari koran, menampilkan sepasang suami istri, tidak lain adalah Nathan Satria Wiraguna dan Nara Mutia Rahman. Tristan yang mendengar penututuran itu, mengganggukkan kepala antusias. Ia begitu tidak sabar ingin tahu, siapa orang-orang dalam foto itu. Karena setiap kali ia ingat sang mama bila memperhatikan foto-foto itu terkadang mamanya bahagia, detik berikutnya menangis dengan aura kemarahan di wajah mamanya. "Iya ... Tristan pengen tahu siapa mereka, Ma?" "Mama tahu, selama ini kamu tidak pernah bertanya siapa Papamu sebenarnya. Mengingat selama ini, yang kamu tahu, dan punya hanyalah Mama saja," ucap Bu Sarah mulai menceritakan semua masa lalunya, dari saat ia bertemu Nizam. Hingga ia terluka baik luka batin, mau pun luka di wajah cantiknya. Luka di wajah yang ditorehkan oleh Nathan saat itu, memercikkan api dendam dalam hati Bu Sarah. Sekarang saat Tristan mulai mengerti Bu Sarah mulai mempengaruhi putranya. Bu Sarah tanpa pikir panjang mulai menanamkan dendam dalam diri Tristan, padahal Bu Sarah tahu betul apa yang terjadi dalam hidupnya dulu itu karena ulahnya sendiri. Luka di wajah Bu Sarah masih berbekas hingga sekarang, ketika ia masih menjalani hukuman di penjara. Ia sering mendapatkan cemoohan, dan mengatai dirinya cacat. Hingga Bu Sarah telah bebas pun, cemooh tentang dirinya dengan predikat mantan narapidana membuat hidupnya sulit. Bu Sarah pun kesulitan mencari pekerjaan, atau pun dalam keseharian dalam lingkungan masyarakat. Semua tekanan dari orang-orang yang memandangnya sebelah mata, membuat Bu Sarah frustrasi. Terkadang ia melampiaskan kemarahannya dengan memukul putranya sendiri, Tristan. Merasa terpukul akan kesulitan hidupnya. Ia pun terpaksa menjual apartemen, dan meninggalkan kota Jakarta menuju Amerika. Di Amerika saat ia mulai menata hidupnya dengan benar, ia bertemu pria yang menerimanya hingga keduanya sepakat untuk menikah. Namun, bukan kebahagiaan yang Bu Sarah terima dari sang suami. Tapi, hanya luka ia dapatkan. Lagi, dan lagi. Ia pun melampiaskan kemarahan serta lukanya pada Tristan. Tentunya dengan memukul tubuh remaja itu, demi mendapatkan kepuasan batinnya. Setiap kali selesai menyakiti tubuh Tristan. Bu Sarah selalu menyesali perbuatanya, lalu menangis sesenggukkan. ''Maafkan Mama, Sayang. Mama sayang Tristan, sungguh Mama sangat menyanyangimu. Tapi, setiap kali Mama terluka. Mama selalu mengingat mereka." "Ya, jika saat itu Nara tidak hadir dalam hidup Papamu. Mungkin saat ini, kita hidup bersama Papamu dalam keluarga kecil yang bahagia." "Namun, semua berubah semenjak wanita sialan itu hadir, Papamu mulai berpaling dari Mama. Papamu pun mencintai wanita sialan itu!'' "Gara-gara wanita itu juga, Nathan yang sebelumnya baik sama Mama tiba-tiba marah. Lalu melukai wajah Mama, hingga membuat wajah Mama cacat." "Meskipun sudah Mama operasi, tetap saja wajah Mama tidak sempurna seperti gadis dulu," ucap Bu Sarah dengan menyalahkan Nara. "Mama menikah dengan Papa Tirimu, juga karena terpaksa. Mama hanya ingin kamu hidup dalam berkecukupan, meskipun Mama tahu akan di siksa lahir batin oleh Papa Tirimu itu," tangis Bu Sarah pecah, seraya memeluk Tristan. "Tidak apa-apa, Ma. Tristan tidak menyalahkan Mama, luka di tubuh Tristan tidak ada artinya dibandingkan luka dalam hati Mama selama ini." "Tristan janji akan menjadi pria yang kuat dan menggenggam seluruh dunia, Tristan akan membalas pada orang-orang yang telah menyakiti Mama. Jadi, mulai sekarang Tristan berharap Mama bisa sering tersenyum. Karena Tristan menyukai senyuman Mama," jawab Tristan seraya meringis kesakitan, ketika tangan kanannya ia gerakkan saat ia menghapus air mata Bu Sarah. Tristan berusaha keras menyembunyikan kesakitan di tubuhnya, dan sedihnya dalam hati. Hingga ia pun jarang menampilkan ekspresi di wajah tampannya, yang ia lakukan hanya menenangkan wanita rapuh di dalam dekapan tangan mungilnya. Karena rasa sayang yang begitu besar pada sang mama membuat ia selalu buta, dan ia selalu saja memaafkan sang mama. Ia pun berharap cepat dewasa agar bisa membalas dendam pada siapa pun yang telah melukai hati mamanya begitu dalam. 'Aku janji, Ma. Saat dewasa nanti, aku akan membalas mereka semua,' janji Tristan dengan kilatan kemarahan. Flashback off "Kamu benar, Dion! Tidak seharusnya aku terpuruk oleh kesedihan terus, aku harus bangkit. Lalu membalas rasa sakit yang dirasakan Mama, seperti janjiku dulu," jawab Tristan dengan netra yang dipenuhi kemarahan. Dion yang melihat kehidupan di mata sahabatnya merasa senang. Tapi, ia juga menyesali apa yang ia katakan tadi. Karena ia tahu betul bagaimana sifat Tristan, ia takut saat sahabatnya menggunakan sisi iblis dalam dirinya dan membuat sahabatnya menjadi pribadi lain. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD