7. Ajakan Makan Malam

3281 Words
"Pa ... kenapa beberapa hari ini Mama lihat Papa seperti tidak bersemangat, wajah Papa juga terlihat murung? Apa di kantor ada masalah, bagi sama Mama agar beban di hati Papa sedikit ringan?" ucap Bu Nara lembut, setelah memberikan secangkir kopi pada Pak Nathan. Sesaat pria paruh baya itu menyesap minuman pemberian istrinya, setelah beberapa tegukkan Pak Nathan menaruh cangkir beserta lepek di meja. Kemudian ia menoleh dan memandang istrinya, istri yang selalu mengetahui apapun terjadi padanya. Grepp! Pak Nathan langsung memeluk Bu Nara, seolah ia sedang mencari tempat ternyamannya di mana tempat itu bisa menghilangkan kesedihannya. "Pa ...." "Biarkan Papa seperti ini dulu. Peluk Papa, Ma. Saat ini, Papa hanya butuh Mama agar Papa kuat menjalani hari Papa setelah ini," bisik Pak Nathan, dengan mengeratkan pelukannya. Bu Nara mengerti, ia langsung membalas pelukan suaminya. Sesekali ia mengusap punggung suaminya lembut, ia tidak akan bicara apapun. Ia akan melakukan tugasnya sebagai istri yang baik untuk suaminya. Ya, setelah pertemuan Pak Nathan dengan Reza di restoran. Pak Nathan meminta supir pribadinya, langsung membawanya pulang ke rumah. Hatinya masih belum bisa menerima sepenuhnya, meskipun ia sendiri telah memberikan izin dan restu pada Reza untuk mendekati putri kesayangannya. Sebagai seorang Ayah, Pak Nathan selalu menganggap Ara yang kini berusia 27 tahun itu layaknya anak kecil. Ia sama sekali tidak pernah merasa kalau putrinya kini telah beranjak dewasa, bahkan akan mendekati menikah. Mengingat usia Ara sudah cukup membangun rumah tangga. "Seminggu yang lalu, aku mendengar percakapanmu dengan Ara. Aku mendengar kalau putri kita sedang menceritakan seorang pria, dan pria itu adalah pria yang telah mencuri hati Ara." "Papa merasa sedih, sekaligus takut," ucap Pak Nathan masih dengan posisi memeluk Bu Nara. Bu Nara langsung melepaskan pelukan suaminya, lalu menatap pria yang selama ini melimpahi hidupnya dengan limpahan kasih sayang dan juga cinta. "Jadi, Papa mendengar semua. Terus kenapa Papa tidak bilang sama Mama, dan malah terlihat sedih?'' "Papa harusnya senang, karena pada akhirnya putri kita mulai merasakan perasaan cinta pada lawan jenisnya. Sebab selama ini, Ara hampir tidak pernah bercerita ataupun menyukai pria. Sempat terlintas dipikiran Mama waktu itu, takut kalau Ara berbeda. Tapi, alhamdulilah semua tidak terjadi sesuai pikiran Mama." "Mama malah senang, dan bahagia sekali melihat binar cinta di mata Ara. Mama juga tidak sabar, seperti apa wajah pria yang bisa membuat jantung Ara berdebar dan menimbulkan cinta di dalam hati Ara untuk pria itu," tanya, sekaligus rasa senang Bu Nara saat mengingat Ara curhat padanya waktu itu. Apa yang dikatakan Bu Nara ada benarnya, membuat Pak Nathan yang semula sedih karena Ara mulai mencintai seorang pria diusianya cukup dewasa. Hatinya pun tidak memungkiri, bila ia juga merasakan hal sama seperti istrinya bahagia kala mendengar Ara jatuh cinta. "Benar katamu, Sayang. Mungkin selama ini aku selalu menganggap Ara itu masih kecil, dan aku seolah tidak rela kalau Ara kita cepat tumbuh dewasa," kekeh Pak Nathan, mengungkapkan isi hatinya. Bu Nara seketika tertular senyuman dari suaminya, tidak lama kedua tangannya terulur kemudian membingkai wajah Pak Nathan dengan penuh kelembutan. Ia tahu, suaminya bukanlah pria yang kuat bila menyangkut orang-orang disayangi Pak Nathan. Pria paruh baya itu, akan berubah lemah. "Mama tahu Papa pasti tidak rela 'kan, kalau kasih sayang dan cinta Ara terbagi. Ketika nanti waktunya tiba, cinta Ara akan dia berikan sepenuhnya pada pria yang dicintainya. Bahkan bisa saja cinta dan kasih sayangnya pada kita, sudah tidak sama lagi seperti selama ini. Tapi, kita tidak perlu berkecil hati. Sebab itu sudah jalannya takdir, kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan kebahagiaannya bukan?" tutur lembut Bu Nara. "Iya, kamu benar Sayang. Papa hanya merasa belum rela tadi, dan beberapa hari ini. Tapi, setelah mendengar ucapan Mama. Papa sudah tidak sedih, Papa juga ikhlas dengan apapun yang akan Ara ambil untuk kehidupan dia kedepannya.'' "Papa hanya bisa mendukung, dan mendoakan kebahagiaannya semoga Ara menemukan pria yang tepat. Bukan hanya bisa mengungkapkan cinta, tapi pria itu bisa bertanggung jawab dan mencintai Ara kita dengan tulus. Seperti Papa mencintaimu, Sayang,'' ucap Pak Nathan, dengan memegang kedua tangan Bu Nara kini berada di pipi kanan dan kirinya. "Iya ... kita orang tua, hanya bisa melakukan itu." Pak Nathan dan Bu Nara masih berbincang, dengan ditemani kopi dan teh hangat. Sedangkan gadis yang dibicarakan masih berada di butik. *** Ketika Ara sedang bersiap pulang, tiba-tiba ponselnya berdering. Sesaat ia mengabaikan panggilan di dalam ponselnya, karena ia saat ini tengah membereskan berkas dan sketsa gaun yang baru saja selesai ia buat. Namun, ponselnya tidak kunjung berhenti berdering. Sedikit menggerutu ia pun mencari ponselnya dan yang berada di dalam tas selempangnya. 'Siapa, sih, yang menelepon mengganggu saja?!' gerutu Ara dengan sedikit kesal. Ara pun meletakkan beberapa berkas penting, dan sketsa gaun di atas meja. Begitu ia mendapatkan ponselnya, dan melihat nama seseorang yang beberapa hari ini memenuhi pikirannya. Ia seketika merasa senang, hatinya juga langsung berdebar meskipun saat ini bukanlah seseorang itu dihadapannya melainkan hanya telepon dari seseorang itu. Drrrrtt Mas Reza 'Mas Reza?' 'Ya Allah, Mas Reza meneleponku?' 'Bagaimana ini, apakah aku harus mengangkatnya? Ah, lebih baik aku mengangkatnya,' gumam Ara dengan hebohnya. Ara begitu terkejut, sekaligus merasa senang karena pada akhirnya Reza meneleponnya duluan. Memang sengaja ia melakukan itu, mengingat ia tidak pandai dekat dengan pria selama ini. "Ha--hallo ...." jawab Ara gugup, setelah ia menekan tombol hijau menerima panggilan telepon dari Reza. "Hallo juga, Gadis Cantik. Kenapa lama sekali menerima teleponku, apa kamu tidak suka kalau aku meneleponmu, hem?'' tanya Reza dengan nada dibuat sedih. Ara yang mendengar itu seketika panik, ia tidak menyangka karena kegiatan mengabaikan telepon Reza tadi telah membuat pria tampan itu menunggu, dan sekarang Reza punya pemikiran kalau ia tidak suka mendapatkan telepon dari Reza. Padahal tidak seperti itu, ia tadi memang sedikit sibuk dan membuatnya malas sekadar hanya menerima panggilan telepon. "Ti--tidak, tidak seperti itu. Jangan salah paham, tadi saya sedikit sibuk jadi tidak mendengar suara telepon dari Mas Reza. Maaf, ya, sudah membuat Mas Reza menunggu, bahkan mungkin membuat Mas Reza kesal," sanggah Ara cepat. Reza mendapatkan penjelasan dari Ara seketika tersenyum, ia tadi hanya bercanda. Apakah gadis yang tengah ia telepon begitu antusias atau tidak ketika mendapatkan telepon darinya. "Hehe ... sudah, tadi aku hanya bercanda. Sekarang aku ingin kamu berkata jujur, sebelum aku mengatakan sesuatu padamu nantinya," ucap Reza masih dengan kekehannya. "Tentu saja saya senang, Mas. Saya pikir Anda telah melupakan saya, karena sejak pertemuan kita malam itu Anda tidak pernah ada kabar," sahut Ara, sedikit menuntut jawaban Reza. "Aku bukannya melupakanmu, tapi pekerjaan di kantor seminggu ini begitu padat. Hingga aku tidak sempat untuk meneleponmu, dan untuk menebus rasa bersalahku. Maka aku ingin mengajakmu dinner makan malam," ajak Reza. Degh! "Dinner?" "Iya." Ara sangat terkejut, ketika mendengar ajakannya dinner makan malam. Soalnya ini adalah kali pertama pria itu menelepon, setelah pertemuan pertama saat insiden kecelakaan kecil waktu itu. 'Apa Mas Reza tidak salah berbicara tadi, dia mengajakku dinner?' batin Ara, masih tidak percaya seraya membekap mulut dengan tangan kirinya. Untuk menyakinkan keraguannya, Ara bertanya langsung pada Reza. Apakah tadi dia tidak salah mengajaknya atau tidak. "Ajakan Mas Reza ini benar, atau saya yang salah dengar?" tanya Ara polos. "Aku tidak salah berbicara, saat aku mengajakmu Ara. Jadi, apa kamu mau dinner denganku, Ara?'' jawab Reza dengan tanya. "I--iya, Mas. Ara mau, kira-kira jam berapa kita ketemuan dan di restoran mana?'' antusias Ara. "Hem ... apa bisa aku menjemputmu saja di rumahmu, ya, sekalian aku ingin berkenalan dengan kedua orang tuamu," sahut Reza, dengan alasan ingin bertemu orang tua Ara. Ara sesaat berpikir, karena ia dan Reza belum ada hubungan yang nyata. Maka ia tidak mau di jemput di rumahnya, melainkan ia ingin bertemu dengan Reza di restoran tempat mereka dinner makan malam nantinya. "Sepertinya kita lebih baik bertemu di restoran saja, Mas. Maaf, untuk saat ini bukannya saya tidak memperbolehkan Mas Reza berkunjung ke rumah, dan bertemu orang tua saya. Tapi, saya tidak mau mereka salah paham dengan kita." "Maksud saya seperti ini, kita 'kan baru bertemu dan ini adalah kali pertama Mas Reza menghubungi saya. Jadi, saya rasa pasti Mas Reza mengerti apa yang Ara katakan sekarang," jawab Ara tegas. Meskipun Ara polos dengan seorang pria, tapi ia selalu menjaga diri dan perasaan kedua orang tuanya. Ia tidak mau, orang tuanya berpikiran yang tidak-tidak dengannya. Sedangkan Reza mendengar penolakan Ara ia langsung mengerti, ia tahu kalau memang dirinya belum memiliki hubungan apapun. Bahkan hubungan pertemanan juga belum, dan malam ini ia bertekad untuk menjadikan nyata apa yang ada dalam hatinya saat ini. 'Keraguan Ara sangat dimengerti, dari nada bicaranya Ara sangat berbeda dengan wanita-wanita yang pernah dekat denganku selama ini.' 'Aku tidak peduli Ara itu masih polos atau tidak, selama aku yang mendekati dahulu maka Ara tidak akan selamat dari pesonaku. Aku yakin dia mulai tertarik padaku, dan malam ini aku harus membuat dia menjadi milikku,' tekad Reza dalam hatinya. Tidak ingin berdebat, dan membuat Ara membatalkan rencana dinner-nya. Maka Reza akhirnya menyetujui ucapan Ara tadi, yang langsung bertemu di restoran nanti malam. "Baiklah kita bertemu di restoran saja, nanti aku akan kirim lewat pesan kita bertemu di restoran mana. Satu lagi, jangan lupa dandan yang cantik, ya, meskipun aku tahu kamu sudah cantik. Tapi, malam ini acara dinner kita begitu spesial buatku," setuju Reza, dengan mengingatkan. "Baik, Mas." "Oke, aku tutup teleponnya sekarang. Sampai bertemu nanti malam, Cantik," ucap Reza sebelum ia menutup sambungan teleponnya. "Iya, Mas," jawab Ara malu. Tut. Ara tidak bisa menutupi rasa bahagianya, jika dinner makan malam benar-benar terjadi. Maka itu adalah momen pertamanya bisa pergi, dan makan malam bersama seorang pria. 'Jika biasanya aku pergi makan malam bersama Papa dan Mama, malam ini aku akan pergi dengan pria yang kusuka. Jadi, aku harus berpenampilan sempurna seperti yang Mas Reza inginkan. Katanya dinner malam nanti merupakan hal spesial untuknya, aku pun berpikir seperti itu,' gumam Ara dengan ekspresi bahagia. Ketika semua pegawai di butiknya sudah pada pulang semua, Ara keluar dari kantornya dengan menenteng tas selempangnya. Ia melupakan untuk menyimpan, atau membawa sketsa gaun yang tadi sudah selesai ia buat. Saat ini yang malah Ara lakukan adalah mengelilingi butiknya, untuk mencari gaun malam yang cocok menurutnya untuk ia kenakan saat dinner makan malam bersama Reza. Ketika Ara berjalan di bagian pakaian dress, pandangannya jatuh pada dress putih bermotif bunga-bunga. Sesaat ia mengambil dress itu, lalu menempelkan di tubuhnya sendiri. Ia pun menimbang, kala dress dengan legan di bawah siku dan panjang di atas lututnya apakah menurutnya cocok untuknya. Ara pun berjalan ke ruang ganti, ia pun mencoba gaun rancangannya sendiri. Memang jarang sekali, ia mengenakan gaun rancangannya. Mengingat selama ini Mama dan Papanya selalu memperhatikan semua pakaian, dan segala kebutuhannya. Hingga ia jarang sekali berpikir untuk berbelanja, saat melihat di lemari kamarnya pakaian baru maupun lama sangatlah banyak. Maklum saja Ara adalah putri satu-satunya, dari seorang Nathan Satria Wiraguna. Seorang pembisnis terkenal, dari sejak muda, bahkan sampai sekarang kejayaan Wiraguna Groups belum ada yang menandingi. Tidak sampai lima menit Ara telah selesai berganti pakaian, ia pun memutar tubuhnya berulang seraya mengaca di kaca besar di depannya. Rambutnya yang panjang tergerai, dan makeup yang natural membuatnya terlihat cantik alami. 'Sepertinya ini bagus untuk kukenakan nanti malam, apalagi terlihat gaun ini juga terlihat sopan. Semoga saja Mas Reza suka, dengan penampilanku malam ini,' gumam Ara seraya memandang pantulan dirinya di dalam cermin. Setelah puas menatap dirinya dalam cermin, Ara mengganti dress-nya, dengan pakaian yang ia kenakan tadi. Terlihat senyuman terus menghiasi bibir mungilnya, ia merasa tidak sabar agar waktu cepat berganti malam. Selayaknya ABG, baru pertama jatuh cinta dan itu saat ini ia rasakan pada seorang pria, dan pria beruntung itu adalah Reza. **** Ketika Ara merasa tidak sabar, agar waktu cepat berganti malam. Di tempat yang berbeda, tepatnya di daerah Jakarta Selatan terlihat Sintia tidak lain adalah sahabat Ara tengah mengendap-endap masuk ke dalam salah satu rumah cukup besar. Sengaja Sintia melangkah tidak mengeluarkan, agar kehadirannya di rumah itu tidak diketahui oleh Sang Ayah. Sebab Ayahnya sangat membencinya, kebencian itu telah terjadi semenjak Sang Ibu tiada karena ulahnya. Ya, saat kecil di mana Sintia belum mengerti apa-apa. Hidupnya dipenuhi kebahagiaan, dan juga limpahan kasih sayang dari Ayahnya bernama Nizam Syahputra dan Ibunya Salsabila. Hari Minggu itu, menjadi awal petaka pada keluarga Pak Nizam, Bu Salsabila, dan Sintia Salsabila di mana saat liburan harusnya diisi dengan kebahagiaannya dan keseruan. Tiba-tiba terjadi sebuah kecelakaan, yang menewaskan Bu Salsabila. Sintia saat itu terus merengek meminta es krim, tapi situasi jalanan sangatlah ramai. Karena tidak ingin Sintia sedih, dan menangis terus. Bu Salsabila akhirnya berinisiatif ingin pergi membelikan es krim untuk putri kecilnya, tapi saat itu Bu Salsabila tengah berpamitan pada Pak Nizam. Tanpa Pak Nizam dan Bu Salsabila sadari, kalau Sintia melangkah ke tengah jalanan. Bu Salsabila yang peka terlebih dahulu, seketika berteriak kemudian ia berlari kencang menghampiri Sintia. Saat itu, dari arah depan ada truk tengah melaju dengan kecepatan tinggi mulai mendekat. Pak Nizam yang shock hanya bisa berdiri mematung, ia ingin melangkah dan menolong kedua wanita berharga baginya. Entah mengapa ia tidak bisa, kakinya terasa berat. Bahkan mulutnya saja tidak bisa berteriak, ketika ia melihat truk itu semakin mendekati Bu Salsabila dan Sintia. Bu Salsabila yang tidak ingin putrinya kenapa-napa, akhirnya mendorong Sintia hingga ke tepi trotoar. Sedangkan tubuhnya sendiri langsung terhantam, body truk hingga ia terpelanting ke pinggir jalan. Setelah menabrak Bu Salsabila, truk itu pun pergi begitu saja. Tanpa mau bertanggung jawab, dan membawa Bu Salsabila ke rumah sakit terdekat. Bu Salsabila seketika tiada, karena luka yang sangat parah di tubuhnya. Sedangkan Sintia yang berada di trotoar menangis histeris, karena merasakan sakit di tubuhnya. Tanpa ia tahu, kalau Ibunya telah tiada. Pak Nizam saat itu berusaha melangkah mendekati istri tercintanya, ia menangis dalam diam. Ia tahu, kalau istrinya pasti tidak akan selamat mengingat hantaman truk tadi sangatlah keras. Saat itu, untuk pertama kalinya setelah Sintia lahir ke dunia. Pak Nizam memberikan tatapan kebencian pada putri kecilnya, karena kecerobohan Sintia membuat Bu Salsabila meninggal. Pak Nizam terus menyalahkan Sintia, bahkan saat ini gadis kecil itu telah dewasa rasa benci itu masih tertanam rapi dalam hatinya. Cekelek! 'Semoga saja Ayah tidak ada di rumah, jadi aku bisa leluasa membawa barang-barangku untuk kubawa ke kosanku,' batin Sintia setelah ia membuka pintu utama, dengan kunci cadangannya. Tanpa Sintia sadari, jika Pak Nizam saat ini masih berada di rumah. Tepatnya pria paruh baya itu sedang duduk di ruang TV, dengan meneguk minuman beralkohol. Ya, sejak kematian Bu Salsabila hidup Pak Nizam terasa tidak berarti. Ia sudah kehilangan dua kali cinta dalam hidupnya, yang pertama ketika ia kehilangan cintanya pada Bu Nara tidak lain adalah Mama Ara karena wanita itu menikah dengan Pak Nathan, dan kedua Bu Salsabila tiada karena kecelakaan. Suara langkah membuat kegiatan Pak Nizam minum beralkohol menjadi terhenti, ia tahu siapa yang masuk ke dalam rumahnya, tidak lain adalah Sintia putrinya sendiri. "Mau apa kamu masuk ke rumah ini, hah?!!" bentak Pak Nizam, dengan kilatan kemarahan seperti biasanya. "Aa--ayah ...." panggil Sintia dengan mulut bergetar, ia merasa takut sekali saat Ayahnya membentaknya. Pak Nizam benar-benar tidak menyukai panggilan itu dari mulut Sintia, dan untuk memperingatkan putrinya agar tidak memanggilnya Ayah lagi maka ia membanting botol minuman beralkohol yang terlihat masih separuh ke lantai. Pyaarrr! "Aaaa ...." Sintia semakin takut, saat Ayahnya mulai membanting barang. Ia masih teringat betul, saat masih kecil Ayahnya selalu bersikap kasar padanya. "Berhenti memanggilku dengan sebutan Ayah, aku bukan Ayahmu. Kamu telah membunuhnya, bersama dengan kematian Istriku." "Kamu adalah anak pembawa sial, kenapa kamu mesti lahir di tengah keluarga kecilku. Jika, kamu hanya hadir untuk merenggut kebahagiaanku bersama Istriku," marah Pak Nizam. Sintia bukan pertama kalinya mendengar kata yang sama, dari mulut Pak Nizam. Sama seperti biasanya, setelah mendengar ucapan kebencian itu ia merasa sedih. Bukan salahnya saat itu, dan membuat Ibunya meninggal. Tapi, sudah dalam garis takdir. Bu Salsabila tiada, dan itu bukan salah Sintia. "Maaf, Yah." "Sintia ke mari hanya ingin membawa semua barang-barang Sintia, setelah ini Sintia tidak akan datang ke mari lagi." "Sintia tahu, kalau Ayah tidak menyukai kehadiran Sintia. Tapi, bagaimana pun Sintia tetap Putri Ayah, darah daging Ayah," teriak Sintia mencoba berani, setelah itu ia berlari ke arah kamarnya. Pak Nizam hanya terdiam sesaat, kemudian ia melangkah keluar rumah dan meninggalkan Sintia yang saat ini membereskan pakaian serta barang-barang menurutnya penting dibawa. 'Aku tidak akan datang ke mari lagi, aku juga tidak akan peduli padamu Tua Bangka. Jika kamu tidak suka dengan kehadiranku, maka aku juga bisa tidak menganggapmu orang tuaku lagi.' 'Mulai sekarang aku adalah anak yatim piatu, dan mulai sore ini aku menganggap Nizam Syahputra telah mati. Ya, Ayahku sudah mati. Sekarang aku bisa bebas, dan melakukan apa yang kusuka,' batin Sintia, setelah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas besar. Setelah selesai Sintia bergegas keluar, dan tidak perlu mencari Ayahnya lagi untuk berpamitan. Dalam hati ia merasa senang, saat ia keluar dari kamarnya ia tidak melihat penampakan Pak Nizam di ruanv TV. 'Sampai kapanpun nanti, aku tidak akan masuk ke dalam rumah ini. Bahkan saat kamu meninggal pun, aku tidak akan hadir di pemakamanmu,' marah Sintia dengan janjinya. Sintia sedikit keberatan saat membawa tasnya, tapi rasa lelah itu tidak ia rasakan. Tujuannya satu, ia harus cepat ke kosan. Ia juga harus mulai mencari pekerjaan yang bisa mendapatkan uang yang banyak, hingga ia tidak merasakan kesusahan seperti ini lagi. Karena tidak memiliki mobil, Sintia menunggu taksi yang lewat. Cukup lama ia menunggu, akhirnya ia pun mendapatkan taksi juga. "Taksi ....!!" Taksi pun berhenti, Sintia bergegas masuk dan duduk di kursi penumpang. Sedangkan supir taksi membantu memasukkan tas yang di bawa Sintia ke bagasi mobil. Begitu selesai, supir berjalan cepat kemudian masuk ke dalam dan duduk di balik kursi kemudi. Sebelum supir melakukan mobil, Sintia memberikan alamat kosannya ke supir taksi. "Ke alamat ini, ya, Pak." "Baik, Non." Taksi pun melaju dengan sedikit kecepatan, Sintia selama di dalam mobil terus melamun dan mulai merencanakan kehidupan kedepannya. 'Aku harus bagaimana sekarang, aku hanya lulusan SMA. Kalau melamar pekerjaan di kantoran, pasti membutuhkan minimal D3.' 'Apa aku harus mencari Om-om, agar mau menopang kebutuhanku. Aku cukup membuat mereka puas, setiap kali tidur seperti yang kulakukan selama ini. Tapi, aku mulai jenuh jika bermain dengan modelan Om-om tua. Aku ingin pria muda, kaya dan tampan.' Tiba-tiba terlintas ucapan sahabatnya Ara, jika sahabatnya itu saat ini sedang dekat dengan seorang pria. Ia pun memiliki ide brilian, dengan mengambil kebahagiaan sahabatnya nanti. 'Ah, bukankah Ara saat ini sedang dekat dengan seorang pria. Aku yakin pria yang kini dekat dengan Ara bukanlah orang sembarangan, pasti pria itu memiliki karier yang bagus. Bisa jadi juga, kalau pria itu memiliki kekayaan seperti keluarga Ara. Ini adalah kesempatanku untuk mengambil keuntungan dari gadis lugu itu, bukankah Ara sangat percaya padaku. Aku akan mendekati pria itu, apapun caranya.' 'Tapi, bagaimana caraku mendekati pria itu? Apa aku harus berpura-pura meminta Ara untuk mencarikan pekerjaan untukku, ya, sepertinya itu ide yang bagus,' batin Sintia dengan rencananya. Sejak sore itu, setelah berulang kali mendapatkan kebencian dari Ayahnya. Sintia semakin menjadi-jadi sifat buruknya, jika biasanya ia selalu berganti-ganti pasangan. Bahkan tidak jarang ia menghabiskan malam panas dengan Om-om, setelah mendapatkan uang ia pakai untuk bersenang-senang dan berbelanja pakaian. Sintia tidak lagi merasakan akan ketulusan lagi dari sahabatnya Ara, meskipun gadis polos itu selalu bersikap baik dan tidak jarang kedua orang tua Ara juga turut memperhatikan dan memberikan barang-barang seperti yang Ara punya. . Tapi, Sintia tidak merasakan kepuasan serta syukur dalam hidupnya. Ia selalu haus akan kebahagiaan dari sahabatnya, dan selalu iri dengan semua milik Ara. Termasuk pria yang saat ini di sukai Ara, Sintia pun ingin merebut kebahagiaan itu. Bersambung **** Catatan Penulis Cerita ini sebenarnya adalah season 2 dari cerita Sekeping Hati yang Terluka, dan season 2 saya ganti judul menjadi Cinta yanng Menyakitkan. Cerita pertama sudah menjadi buku/ novel, jika ada teman yang penasaran atau sedikit bingung sama alur ceritanya dari awal cerita Nara dan Nathan boleh baca di w*****d, ya. Nama akun Amy L Yanto / @amyyanto
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD