Hujan masih mengguyur membasahi area pemakaman, terlihat dua sosok pria dewasa tengah bergegas menuju mobil SVU berwarna hitam tidak jauh dari area makam.
Mereka adalah Tristan dan Dion.
Setelah Dion berhasil meyadarkan Tristan agar tidak larut dalam kesedihan, kini keduanya berniat untuk pulang.
"Siapkan semua. Besok kita akan memulai petualangan mencari orang-orang, yang telah menorehkan luka di hati Mamaku," perintah Tristan tegas, setelah ia duduk di samping kemudi.
"Apa kita tidak bisa menundanya dulu, Tristan? Kamu butuh istirahat, dan menenangkan diri terlebih dahulu," bujuk Dion, seraya menoleh ke arah sahabatnya.
"Aku tidak butuh pendapatmu, Dion! Lakukan saja apa yang kuperintahkan!" tegas Tristan dengan kata dinginnya.
Dion dalam posisi menyetir mobil menghela napas, ia hanya bisa mengikuti kemauan sahabatnya.
'Kamu berubah, Tristan. Biasanya kamu tidak pernah bersikap dingin padaku,' monolog Dion, dengan tatapan sedih. Sesaat ia memandang Tristan yang fokus mengarah ke arah depan.
Tanpa berdebat lagi, Dion berkonsentrasi mengendarai mobil yang dikendarainya dengan sedikit kecepatan membelah keramain kota New York.
'Aku harus mengendarai mobil lebih cepat lagi, agar Tristan tidak kedinginan dan jatuh sakit,' batin Dion perhatian, ia pun tidak ingin sakit dengan pakaian basah yang ia kenakan sekarang.
***
Dua puluh menit kemudian, mobil SVU itu berhenti di garasi rumah mewah keluarga Peter Orlando.
Brakk!
Terdengar suara deritan pintu begitu nyaring di telinga, hingga membuat kedua pasangan yang tengah b******u mesra di sofa ruang tamu merasa terkejut, sekaligus terganggu. Karena kemesraan keduanya terhenti.
''Suara apa itu?" kaget Pria tidak lagi muda dengan penampilan acak-acakan pada kemejanya, seketika mendorong teman wanitanya. Hingga teman wanitanya mengaduh kesakitan.
"Awwwh ...."
"Sakit, Sayang," rengek manja wanita dengan pakaian sexy-nya.
"Oh ... maafkan aku, Sayang. Karena sudah kasar mendorongmu tadi, mana yang sakit?" sesal pria bernama Peter yang tidak lain adalah Papa Tiri Tristan.
"Tanganku sakit, Sayang," tunjuk seorang wanita muda, dengan lipstik merah di bibirnya.
Peter merasa bersalah lalu meniup tangan wanitanya, kemudian ia memberikan kecupan mesra dan disambut antusias wanita itu dengan senang hati.
Prok! Prokk! Prokk!
"Dasar Tua Bangka tidak tahu diri! Istrimu baru saja meninggal, dan tanahnya masih basah. Tapi, kamu malah membawa w************n itu ke dalam rumah!" teriak Tristan seraya mengepalkan kedua tangannya.
"Apa kamu tidak bisa menyewa Hotel berbintang untuk menuntaskan napsu bejatmu itu, hah?!" murka Tristan dengan kilatan kemarahan.
Ya, setelah ia turun dari mobil pandangan matanya tertuju pada mobil Pak Peter sudah terparkir di garasi. Ia yakin, pasti sang papa membawa wanita simpanannya ke dalam rumah lagi.
Tristan yang sedari makam telah dikuasai kemarahan dan api dendam, dengan langkah lebarnya menuju pintu utama. Benar saja, saat ia baru masuk Pak Peter tengah b******u mesra bersama wanita simpanannya.
Dengan tangan terkepal, Tristan berusaha menahan diri agar tidak memberikan pukulan pada papa tirinya.
"Cih! Anak ingusan sepertimu ingin mengguruiku."
"Ini rumahku, dan aku bebas melakukan apa pun yang kuinginkan. Aku tidak butuh persetujuan atau izin darimu."
"Aku sama sekali tidak peduli dengan Mamamu yang telah tiada itu, karena aku sama sekali tidak mencintainya."
"Aku menjadikan Sarah istriku waktu itu karena aku hanya ingin dia menjadi budakku saja, dan kamu sama sekali tidak pernah kuanggap anakku. Apa kamu mengerti, hahaa,"
ejek Pak Peter, setelah itu ia malah merangkul dan memberikan kecupan lagi di bibir wanita simpanannya.
Tristan yang mendengar penuturan papa tirinya, seketika mengingat kilasan saat ia kecil hingga ia dewasa. Ia selalu mendapatkan kekerasan dari Pak Peter.
Bukan hanya sekadar pukulan yang diberikan Pak Peter padanya, ketika ia membuat kesalahan kecil.
Bahkan saat ia tidak mendapatkan nilai sempurna di sekolah, ia akan mendapatkan hukuman dengan cambukan gesper, terkadang ia juga akan disungut rokok di lengan tangannya.
Cairan bening itu mulai memenuhi pelupuk matanya, tidak lama air mata yang berusaha ia tahan luruh juga, dan membasahi pipi mulusnya.
's**t! Rasanya sangat sakit sekali!' kesal Tristan ketika bayangan menyakitkan itu terbayang di pelupuk matanya kembali.
Rasa sakit itu berganti dengan kilatan kemarahan dan juga dendam, kedua tangan Tristan semakin terkepal kuat. Ia pun melangkah menuju Pak Peter bersama kemarahannya.
Bugh! Bugh!
"Jaga ucapanmu, Tua Bangka!" murka Tristan, dengan memukul Pak Peter membabi buta.
"Selama ini aku tidak pernah membalasmu bukan berarti aku takut padamu, Berengsek!"
"Tapi waktu itu, aku tidak mau kamu terus melukai Mama dan menyiksanya. Seperti yang kamu lakukan padaku!"
"Akkkhh ... sakit, lepaskan aku Tristan."
Teman wanita Pak Peter merasa ketakutan saat melihat kilatan kemarahan Tristan, ia dengan terburu berlari meninggalkan kediaman pria yang selama ini memberikan uang banyak padanya. Begitu sampai di tengah pintu, ia berpapasan dengan Dion.
Dion sudah tidak merasa terkejut, bila ada wanita di kediaman Peter Orlando keluar seorang wanita berpenampilan sexy.
Pukulan yang diberikan Tristan tidak main-main, hingga membuat wajah Pak Peter lebam dan mengeluarkan cairan merah baik dari hidung dan mulutnya.
"Am-ampun ... ampuni aku, Tristan. Aku mohon, jangan memukulku lagi," mohon Pak Peter berusaha menangkis pukul putra tirinya.
"Maaf katamu!"
"Cih ... aku tidak akan pernah memaafkanmu, Berengsek!"
''Aku sudah membuat janji di makam Mama, kalau aku akan memberikan hukuman setimpal pada orang-orang yang telah menyakiti Mamaku, dan kamu adalah salah satunya."
"Selain kamu bersalah pada Mama, kamu juga selalu menyakitiku. Sekarang terima hukumanmu," marah Tristan dengan napas memburu.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Tristan yang sudah digelapkan akan dendam. Membuat sisi gelapnya menguasai dirinya.
Tristan mengambil vas bunga kristal, tidak lama ia memukulkan vas itu tepat di kepala Pak Peter secara berulang.
"Aggrrh ...."
Teriakan kesakitan Pak Peter memenuhi rumah mewah itu, darah segar mulai bercucuran di lantai. Dion yang dalam posisi melamun tepat di pintu utama. Karena ia terlalu asyik memandang wanita simpanan Pak Peter, begitu ia sadar ia dikejutkan dengan pemandangan mengerikan di depan matanya.
Rasa panik mulai menjalar dalam benak Dion, karena ulah sang sahabat. Ia pun berusaha menarik Tristan agar menjauh dari tubuh penuh dengan noda darah itu.
"Tristan ....!"
Teriak Dion, dan menarik sahabatnya berdiri dan menjauh dari tubuh Pak Peter. Sesaat ia menaruh jari telunjuk dan jari tengah tepat di hidup Pak Peter, ia merasakan tidak ada hembusan napas dari hidung Pak Peter.
Degh!
'Om Peter sudah tidak bernapas, dan Tristan benar-benar melakukan sesuai janjinya akan membalas semua orang yang telah menyakiti Mama Sarah?' batin Dion dengan ekspresi takut tergambar jelas di wajahnya.
"Ya Tuhan ... apa yang sudah kamu lakukan, hah!"
"Kamu membunuh Papa Tirimu, apa kamu sudah gila?!" tanya Dion terselip perasaan marah, dan juga takut jika perbuatan sahabatnya bisa menjerumuskan Tristan dalam penjara.
"Hehehe ... bukankah waktu di makam kamu ingin aku membalas orang-orang yang telah menyakiti Mama, dan aku melakukannya sekarang," jawab Tristan enteng, tanpa merasa menyesal akan perbuatannya.
"Ya, aku telah berhasil melenyapkan Tua Bangka itu!"
"Apa kamu tahu rasanya setelah memberi pelajaran pada orang yang telah menyakitiku dan Mama, Dion? Rasanya sangat menyenangkan, darah ini juga rasanya manis," kekeh Tristan dengan senyum iblisnya, setelah sesaat ia menjilat darah yang berada di ujung
jarinya.
"Tapi 'kan kamu tidak harus membunuh Papamu, Tristan? Lebih baik kamu serahkan pada polisi, biar Papamu mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya padamu dan Tante Sarah," sanggah Dion tidak suka.
"Menurutku hukuman Tua Bangka itu memang pantas adalah kematian, jika aku menyerahkan dia pada polisi yang ada dia bisa bebas kapanpun. Apa kamu tidak bisa melihat, jika kekayaan Tua Bangka itu begitu banyak. Jadi, aku tidak mau mengambil resiko dengan menjebloskan Tua Bangka itu ke penjara. Setelah Mama tiada buat apa lagi aku menahan diri untuk tidak membunuhnya, toh, dia memang pantas mati,'' ucap Tristan dingin, setelah ia teringat siksaan yang ia terima sewaktu kecil.
Tristan sebenarnya adalah anak yang baik, tapi ia mulai berubah karena doktrin dari Bu Sarah yang memintanya untuk membalaskan dendam pada orang-orang dulu pernah menyakiti Bu Sarah. Termasuk Papa kandung dari Tristan.
Sedangkan Dion yang mendengar penuturan Tristan seketika merasa bersalah, tanpa sadar ia benar-benar telah menjerumuskan sahabatnya menjadi seorang pembunuh berdarah dingin.
'Maafkan aku Tristan, tanpa sadar ucapanku tadi siang dengan harapan agar kamu tenang dan tidak terlarut dalam kesedihan. Malah kini yang kulihat diluar perkiraan, kamu mengartikan lain tentang ucapanku. Sekarang kamu telah mengotori tanganmu, kamu menjadi seorang pembunuh Tristan.'
'Ya, meskipun aku tahu Papa tirimu orangnya kasar dan juga sering menyakitimu. Tapi, tetap saja kamu sekarang menjadi pembunuh. Ini semua gara-gara aku,' sesal Dion dalam hatinya.
Dion sama sekali tidak menyangka, jika Tristan akan berubah drastis sejak kematian Bu Sarah. Setelah membunuh Peter Orlando, Tristan pun berniat membalaskan dendam pada orang-orang yang pernah menyakiti Bu Sarah Mama dari Tristan.
****
Jakarta
Di dalam kosan sederhana, terlihat Sintia baru saja masuk ke dalam kosan-nya. Ia menggeret tas besar itu, lalu meletakkan di sudut samping lemari. Kemudian ia berjalan ke arah meja dan mengambil gelas lalu mengisikan dengan air putih hampir penuh tidak lama ia meneguk air putih itu hingga habis.
Setelah dahaga hilang, Sintia teringat akan sahabatnya Ara yang katanya tengah dekat dengan seorang pria. Tanpa membuang waktu ia mulai menghubungi Ara, tapi selama beberapa menit ia menghubungiku nomor Ara sambungan teleponnya tetap saja tidak tersambung.
Drrrrtt
Ara
Tut.
'Tumben teleponku tidak di angkat, ke mana Ara? Apa saat ini dia sedang bersama pria itu, jika ia aku akan sangat iri sekali,' gumam Sintia, setelah melihat ponselnya kembali menjadi gelap.
Sintia menjadi uring-uringan sendiri, bahkan tanpa sadar Sintia membuang barang-barang yang berada di atas meja. Beruntung barang itu tidak pecah, tapi Sintia tidak mempedulikan meskipun barang-barangnya pecah.
Karena tidak mendapatkan respons dari Ara, Sintia akhirnya memutuskan untuk pergi ke diskotik marah. Di mana tempat itu akan membuat dirinya sedikit merasakan ketenangan.
'Sial! Ara benar-benar tidak mau mengangkat teleponku. Aku yakin, saat jni dia pasti bersama pria itu.' monolog Sintia.
Kesialan yang dirasakan Sintia hari ini benar-benar membuatnya frustasi, hubungannya dengan Aldi telah berakhir siang tadi. Ia pun bertemu Ara, gadis cantik itu bercerita kalau dia lagi jatuh cinta pada pria pujaannya. Terakhir, kemarahan selalu ia dapat dari Pak Nizam setiap kali bertemu membuat Sintia marah pada takdirnya.
'Kenapa hidupku selalu menderita seperti ini, apa tidak bisa sekali saja aku merasakan bahagia?' batin Sintia seraya melangkah ke jalan untuk menunggu taksi yang lewat, ia tidak peduli kalau saat ini waktu telah menunjukkan Adzan Maghrib. Ia hanya ingin cepat pergi ke tempat bising, tapi selalu membuatnya nyaman yaitu diskotik.
Bersambung