Setelah selesai makan di atas atap sekolah, tepat sekali bel tanda masuk berbunyi dan Vega dan dua sahabatnya pun mengharuskan diri berpisah. Saat mereka bercanda sambil menuruni tangga, ketiga remaja itu bertemu dengan seorang cewek manis berambut pendek yang tersenyum pada mereka.
"Kak Al, bisa bicara sebentar gak?" tanya cewek itu dengan malu-malu.
"Boleh." Al menjawab sambil tersenyum riang khasnya.
Vega dan Den saling lirik tanpa bicara. Keduanya sudah bisa menduga apa yang ingin dikatakan cewek itu pada Al. Paling-paling nembak lagi! Al memang sangat populer karena sifatnya yang lucu, mudah bergaul, dan polos.
"Aku balik ke kelasku dulu ya." Vega berpamitan.
"Aku juga." Den ikut-ikutan. Keduanya memilih menyingkir secepatnya dari sana.
"Oke, sampai nanti." Al melambaikan tangan pada dua sahabatnya itu.
Den dan Vega berpisah jalan meninggalkan Al berduaan dengan cewek itu. Den berjalan sendirian menuju kelasnya. Saat sebelum masuk ke dalam kelas, Al merangkulnya dari belakang dan membuat Den terkejut.
"Lho, sudah selesai ngobrolnya?" tegur Den.
"Sudah," jawab Al singkat
"Jadi dia kamu terima?"
Al tampak terkejut dengan pertanyaan Den itu. "Eh, kok kamu tahu kalau dia nembak?"
Den tak menjawab pertanyaan Al itu. Al-lah yang terlalu polos dan tidak punya prasangka. Den malah mengulangi pertanyaannya.
"Jadi apa jawabanmu? Kamu terima?"
Al mengangguk sambil tersenyum sebagai jawaban. Den mengerutkan dahinya.
"Al, dia anak kelas berapa?"
"Nggak tahu."
"Namanya siapa?"
"Wah, aku lupa nanya."
Den menjitak kepala Al saking kesalnya pada tingkah sahabatnya yang satu itu. Al mengeluh kesakitan.
"Aduh, apa-apaan sih Den!" Al memprotes.
"Kamu itu ya, nama aja gak tahu tapi langsung kamu terima, apa kamu mau mempermainkannya? Sudah jelas kamu gak ada rasa padanya, kan?" tutur Den kesal.
"Ah, witing tresno jalaran soko kulino, nanti lama-lama juga kenal dan jadi suka," ucap Al dengan enteng. Den tak bisa bicara apa-apa lagi.
***
"Vega, coba baca ini deh."
Ema menyodorkan sebuah komik ke atas meja Vega. Vega buru-buru menyembunyikannya di dalam kolong meja sebelum ada yang melihat. Bisa gawat kalau mereka ketahuan membawa benda-benda seperti ini ke dalam kelas.
"Apaan nih?" tanya Vega.
Vega diam-diam melihat komik serial cantik yang gambarnya bagus itu. Judulnya "Rival Next Door". Di sampulnya ada gambar seorang cewek manis berambut semi panjang yang berdiri dengan diapit dua orang cowok ganteng, yang satunya berambut hitam pendek dan yang satunya lagi berambut pirang panjang.
"Komik itu cerita mirip sama kehidupanmu," bisik Shinta.
"Heh?"nVega mengerutkan kening, bingung tak mengerti.
"Baca sinopsisnya," kata Ema.
Vega memicingkan mata dan membaca sinopsis di belakang komik itu.
Akane, Ichiya dan Hiro adalah 3 orang sahabat sejak kecil. Akane yang selalu berada dekat dengan 2 cowok ganteng, membuatnya dicemburui cewek-cewek! Tapi keadaan dan hubungan persahabatan meeka, terancam pecah pada saat salah satu dari cowok ganteng itu menyatakan cintanya pada Akane!! Siapakah cowok yang menyatakan isi hatinya kepada Akane itu? apakah hubungan persahabatan mereka bertiga bisa terus dipertahankan!?
Vega terbengong-bengong membaca sinopsis komik yang baginya agak gak masuk akal itu.
"Mirip, kan? Mirip, kan sama kisah hidupmu? Itu ceritanya kedua sahabat cowoknya itu ternyata suka sama Akane," jelas Ema antusias. Vega mencibir mendengarnya.
"Apanya yang mirip sama sekali enggak."
"Siapa tahu saja, dua cowok itu sebenarnya menyukaimu, tapi mereka memendam rasa karena ingin mempertahankan persahabatan." Shinta menggebu-gebu.
Vega terbahak mendengar pendapat dua teman sekelasnya itu. "Nggak mungkin deh! Kalian ini ada-ada saja, sehari saja dua cowok itu nggak mengolokku, aku sudah bersyukur. Mana mungkin deh kita bertiga bisa punya hubungan cinta kayak begini."
"Tapi seandainya ya, seandainya mereka benar-benar menyukaimu siapa yang kamu pilih?" tanya Ema.
"Nggak akan, kalian ini terlalu banyak baca komik! Imajinasinya jadi liar begini."
"Jawab saja dong! siapa?" desak Shinta.
"Nggak akan, aku nggak akan milih siapa-siapa," tegas Vega.
"Ah, yang bener?" Shinta dan Ema masih tak percaya.
Vega mengangguk mantap.
"Karena sebenarnya aku ini sudah bertunangan dengan Chester Bennington! Cintaku sepenuhnya hanya untuk Chester Bennington!"
"Siapa itu Chester Bennington?"
"Vokalisnya Linkin Park."
"Tua banget sih seleramu, gak ada yang mudaan dikit apa?"
Vega dan kedua sahabat cewek barunya itu pun bercanda bersama.
***
Den dan Al keluar dari kelas mereka sesaat setelah bel tanda pulang berbunyi. Begitu keluar ternyata pacar baru Al yang belum diketahui namanya, berdiri di depan kelas mereka sambil malu-malu. Al menyapa gadis itu dengan riang gembira.
"Hai, engb... siapa ya namamu aku lupa?"sapa Al.
Gadis itu tampak syok karena Al bahkan tak mengingat namanya. Den hanya menepuk jidatnya dengan putus asa.
"Ria," jawab cewek itu.
"Oh, Ria ya, anak kelas berapa?"
"X-1."
Den tak ingin berurusan dengan kebodohan Al lagi dan memilih segera pergi dari tempat itu. Akhirnya dia pun berpamitan menjemput Vega di kelasnya.
"Aku ke kelasnya Vega ya."
"Eh, tunggu!"
Sebelum Al sempat menghentikannya, Den sudah berjalan pergi. Si gadis yang sudah diketahui bernama Ria pun terus mengajak Al mengobrol.
"Kak Al, hari ini pulang bareng ya," pinta Ria.
"Oh, maaf, aku mau pulang bareng teman-temanku," jawab Al sambil tersenyum Ria pun tampak kecewa.
"Oh ... begitu ya."
"Ya, sudah ya, sampai besok."
Tanpa mendengar jawaban Ria, Al berlari mengejar Den.
***
"Ema, nih komikmu."
Vega mengembalikan komik Rival Next Door yang dipinjamkan Ema selama pelajaran Bahasa Inggis tadi pada pemiliknya.
"Sudah selesai bacanya?" tanya Ema.
"Belum sih."
"Kamu bawa pulang saja deh buat bahan renungan," usul Ema sambil nyengir.
"Bahan renungan apaan?" Vega tertawa. Ema ternyata masih bersikeras mengatakan bahwa mungkin akan muncul kisah cinta dramatis diantara Vega, Al dan Den.
"Sekali-kali kamu juga perlu baca komik cewek dong, jangan baca Naruto terus," nasihat Shinta.
"Eh, tapi ceritanya Naruto juga mirip sama ceritamu juga ya, Vega Sakuranya, Den Sasukenya, Al Narutonya." Ema menerawang.
"Ya juga ya!" Shinta setuju.
Vega hanya tergelak. "Kalian ini ada-ada saja, ya udah deh, aku pinjam dulu. Sebenarnya ceritanya lumayan bagus sih, besok ku kembalikan."
"Vega, Ayo pulang."
Den tiba-tiba muncul di depan kelas Vega.
"Oh ya, tunggu sebentar, aku duluan ya teman-teman."
Vega berpamitan pada Ema dan Shinta lalu menghampiri Den yang sudah menunggunya di depan kelas. Den berdiri di sana sendirian tanpa Al. Vega celingukan mencari keberadaan Al. Karena tak pernah sebelumnya Den menjemputnya tanpa Al.
"Mana Al?"
"Lagi sibuk sama pacar barunya," jawab Den.
Vega ber-oh. Den memandangnya dengan curiga. "Kenapa? Cemburu ya?" goda Den.
"Ih, males banget!" Vega tertawa sinis.
"Ya udah, ayo kita pulang."
Sebelum keduanya melangkahkan kaki terlalu jauh, mereka dikejutkan oleh kehadiran Al yang tiba-tiba berada di tengah mereka dan merangkul bahu keduanya. "Tunggu dong!" ucap Al sambil mengerutkan bibir, kesal karena kedua orang itu hendak meninggalkannya.
"Lho, bukannya kamu pulang bareng pacar barumu?" tegur Den.
"Itu nggak mungkin, kan! Kalian yang seenaknya mau meninggalkan aku!" Al mendengus kesal.
"Mana boleh begitu, Al, kalau sudah pacar seharusnya kamu lebih memperhatikan pacarmu." Vega menasehati.
"Setelah kedua orang tuaku meninggal, di dunia ini nggak ada yang lebih penting bagiku daripada kalian berdua," tegas Al.
Den dan Vega tersenyum mendengar kata-kata puitis Al itu.
"Lagi pula, hari ini kan hari ulang tahunmu, pasti nanti di rumahmu makan-makan enak," tambah cowok itu sambil menyeringai.
Vega mendengus, jadi itu tujuan sebenarnya! Gitu aja sok ngomong puitis segala! Ketiganya pun pulang bersama menuju rumah mereka yang hanya perlu ditempuh dengan berjalan kaki selama sepuluh menit dari sekolah sambil bercanda.
***
Sejak lima tahun yang lalu, Al dan Den selalu hadir dalam acara keluarga Vega. Al hidup sendiri sejak kedua orang tuanya meninggal. Den juga hampir selalu sendirian di rumah karena kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai dokter selalu sibuk bekerja. Sekarang Ayahnya malah sibuk mengambil kuliah spesialis Bedah di Unpad, Bandung. Karena almarhum Ayah Al dan Ayah Den adalah sahabat baik Ayah Vega sejak SMA, Ayah Vega pun merasa bertanggung jawab untuk merawat dua anak terlantar itu sehingga beliau selalu mengajak keduanya ikut acara keluarganya. Bagi kedua orang tua Vega, Al dan Den sudah seperti anak kandung mereka sendiri.
Malam ini, keduanya diundang secara resmi dalam perayaan ulang tahun Vega. Mereka pun ikut menikmati masakan spesial Ibu Vega, sang juara lomba masak tingkat RW saat acara 17 Agustusan tahun lalu. Kelima orang itu duduk melingkat di meja makan Vega yang berbentuk bundar. Vega duduk di antara Ibu dan Ayahnya, Al duduk di sebelah Ibu Vega dan Den duduk di antara Al dan Ayah Vega. Kelima orang itu menyantap dengan lahap hidangan kalkun spesial ala Ibu Vega yang tersaji di atas meja makan dengan lahap.
"Vega, umurmu sekarang sudah tujuh belas tahun kamu sudah harus lebih dewasa." Ayah Vega mulai memberi nasehat.
"Ya." Vega menjawab dengan suara nggak jelas karena sambil menggigit paha kalkun.
"Kamu juga harus lebih rajin belajar."
"Ya."
"Kamu juga harus lebih feminim."
"Ya."
Ayah Vega menoleh ke arah Vega dengan kesal. Vega dengan mudahnya saja menjawab "Ya" tanpa menunjukan adanya kesungguhan. Ayah Vega pun menjitak kepala anak gadis semata wayangnya itu pelan.
"Jangan ya-iya saja! Kamu mendengarkan nggak sih Ayah bilang apa?"
Vega memonyongkan bibir dengan kesal dan memegangi kepalanya, kesakitan.
"Ya-iya Ayah, bisa nggak sih ceramahnya ditunda sehari saja? Ini kan hari ulang tahunku!" Vega mencibir kesal.
"Justru karena hari ulang tahunmu Ayah bilang seperti ini, kamu ini! Umurmu sudah tujuh belas tahun tapi kelakuanmu kayak anak TK, kalau sikapmu seperti ini terus siapa yang mau menikah denganmu?" Ayah Vega mulai berceramah panjang lebar, Vega hanya mencebik mendengarnya.
Ayah Vega lalu menoleh pada Den dan Al yang duduk di sampingnya.
"Den, Al, apa kalian mau menikah dengan anak gadis seperi ini?" tanya Ayah Vega.
"Ya, Pakdhe!" jawab Den dan Al kompak. Kedua cowok itu tampak terkejut karena jawaban mereka sama. Mereka saling berpandangan dan tertawa. Vega mencibir mendengar jawaban kedua cowok itu. Tentu saja keduanya hanya bercanda. Tapi Ibu Vega rupanya menanggapi dengan serius.
"Ah ... Kalian manis sekali! Benar ya, salah satu dari kalian harus menikah dengan Vega nanti! Janji lho!"
Al dan Den tersenyum kecut. Tampaknya mereka menyesal telah bercanda seperti itu. Vega pun tertawa sambil berkomentar "Rasakan!" dalam hati.
"Setelah makan kalian jangan pulang dulu ya, kita main kartu sampai malam," kata Ayah Vega semangat.
"Ayah ini, padahal kapolsek tapi malah mengajari anaknya main judi!" Vega mendengus.
Ayah Vega memang berprofesi sebagai polisi dengan pangkat Ajun Komisaris Polisi dan sekarang menjabat sebagai kapolsek. Namun Ayah Vega memang sudah ketagihan main kartu sejak SMA. Dulu Ayah Vega selalu bermain dengan Almarhum Ayah Al dan Ayah Den. Sejak Ayah Al meninggal dan Ayah Den sibuk dengan pekerjaannya, Ayah Vega pun mengajak dengan paksa Den, Al dan Vega bermain bersama.
"Judi apa? Kita kan nggak pakai uang!" Ayah Vega membela diri.
"Yang kalah wajahnya di kasih arang saja," usul Al.
"Setuju," kata Den.
"Ide bagus!" seru Ayah Vega.
"Aku nggak ikutan." Vega berniat kabur, pasalnya setiap kali mereka main kartu berempat, pasti dirinyalah yang selalu kalah.
"Nggak bisa, kalau kamu nggak ikut potong uang saku!" paksa Ayah Vega.
"Ayaahh!" Vega menggembungkan pipinya dengan kesal. Ketiga pria itu memang berniat untuk mengerjai dirinya.
"Kamu harus menghadapi semua tantangan di dunia ini dengan jantan! Masa begini saja kamu mau kabur? Mempermalukan Ayah saja!" Ayah Vega berdecak-decak.
"Aku ini betina!" Vega menggeram dengan kesal tapi tak berani mengelak.
Al dan Den tertawa melihat tingkah Ayah dan anak itu.
***