Makan Siang

1342 Words
Den berdiri di tengah lapangan sambil mendribel bola basket di tangannya. Di hadapannya Arvin dan Handoko berdiri menghadang. Den kesulitan menghadapi dua orang itu. Mau mundur susah, mau maju juga nggak bisa. "Den, oper!" Al yang berdiri di sisi kanan lapangan basket memanggilnya. Kebetulan Al dalam keadaan kosong. Tanpa pikir panjang lagi Den melakukan Passing pada Al. Sahabatnya itu menerimanya dengan baik dan mendribelnya dengan lincah. Tiga Point Guards langsung berdiri menghadangnya, namun dengan mudah Al melewati mereka dengan beberapa gerak tipu andalannya. Al mendekati ring dan melakukan Slam dunk, seperti monyet kecil dia bergelayutan di ring. Pak Joko sang guru olahraga pun meniup peluit "30-45," seru pria berusia empat puluh tahun bertubuh kekar mirip Ade Ray itu. "Pak istirahat dulu dua menit ya," pinta Handoko yang sudah ngos-ngosan. "Oke." Den yang merasa cukup lelah duduk di pinggir lapangan. Dia memegangi kakinya di bagian tulang kering yang terasa agak sakit. Al yang menyadari hal itu menghampirinya sambil membawa botol air mineral. "Nih." Al menyerahkan botol berisi air mineral itu pada Den. Den menerimanya dengan senang hati lalu meneguk isinya hingga tinggal setengahnya dan bernapas lega karena rasa hausnya terpuaskan. Al yang duduk di sampingnya memandangi kakinya dengan khawatir. "Kakimu gak papa?" tanya Al. Den tertegun mendengar pertanyaan Al itu. Tentu saja sebisa mungkin dia harus berpura-pura baik-baik saja sekalipun kakinya patah di depan bocah itu. "Nggak apa kok," jawab Den sambil tersenyum. Namun Al tetap menatap dengan curiga. Tak jauh dari lapangan olahraga itu, tepatnya di dalam kelas XI IPA 3. Vega duduk sambil melirik ke lapangan basket yang terletak di samping kelasnya. Vega duduk sendirian di pojok karena jumlah anggota kelas mereka yang ganjil. Vega sama sekali tidak mendengarkan pelajaran fisika yang tengah diterangkan oleh gurunya yang super cakep tapi rada nyebelin Pak Beni dan malah fokus mengamati kelas XI IPA 4 yang sedang mengikuti pelajaran olahraga di lapangan. Mata Vega tertuju pada Al dan Den yang sedang duduk sambil bercanda di pinggir lapangan. Vega mendengus kesal, iri karena kedua sahabatnya itu bisa sekelas. "Al keren banget ya," puji Ema, cewek yang duduk di depan Vega. Rupanya gadis itus sedari tadi juga memerhatikan lapangan. "Mirip Nicola Saputra versi rambut lurus, pintar olahraga lagi, aku sih lari aja nggak bisa." "Tapi dia playboy, kalau aku sih lebih suka Den. Dia pintar sih, peringkat satu parallel, juara olimpiade fisikia seMalang Raya. Wajahnya juga oriental, tipeku banget," ujar Shinta yang duduk di samping Ema. Vega mencibir mendengar pendapat dua gadis muda yang duduk di depannya itu. "Hei kalian berdua, kuberitahu ya, mereka itu sama sekali nggak keren! Jangan ketipu!" tegas Vega Kedua cewek di hadapannya itu pun menoleh padanya. "Kamu bilang begitu karena kamu ingin memonopoli mereka, kan?" goda Shinta. "Ya nih, pasti enak ya jadi Vega, sudah akrab sama dua cowok keren itu dari kecil." "Enak saja! Kalian mau kuberitahu kebiasaan buruk kedua cowok itu supaya kalian berhenti mengfans sama mereka?" "Kebiasaan buruk apa?" tanya Ema dan Shinta malah antusias. "Kalau si Al itu mandinya seminggu sekali buat menghemat air, kalau Den hobinya ngupil dan ditempelkan di dinding kamarnya." "JOROK!!!" teriak kedua cewek itu histeris. "Hei, yang dibelakang itu jangan ramai saja!" seru Pak Beni si guru Fisika . Ketiga cewek itu terkesiap, mereka seketika diam seribu bahasa. "Vega, maju ke depan, kerjakan soal nomer lima." Mata Vega melotot, nomer satu saja belum dia kerjakan tiba-tiba disuruh mengerjakan soal nomer lima. Saat Vega kelabakan, Ema menyodorkan bukunya. Vega nyengir, dengan senang hati dia membawa buku Ema itu dan maju ke depan kelas. Dia lalu menyalin jawaban dari buku Ema ke white board. Jawabannya benar dan Pak Beni pun menyuruhnya duduk kembali. Vega langsung berterimakasih sebesar-besarnya kepada Ema setelah di sampai di bangkunya. "Ema, makasih banyak ya! Kamu baik banget!" puji Vega sambil tersenyum penuh haru. "Sama-sama," jawab si cantik Ema balas tersenyum. "Ngomong-ngomong hari ini, Vega tampil beda ya," kata Ema dengan suara lirih agar Pak Beni tidak bisa mendengarnya. "Ya, kamu tambah cantik." Shinta ikut-ikutan berbisik setuju. Vega tersipu mendengar pujian kedua gadis itu. Seumur hidup belum pernah Vega dipuji cantik. Bahkan ibunya sekalipun tidak pernah bilang begitu. Dan tentu saja itu membuat Vega senang sekali. "Ah, masa sih, aku hanya pakai lensa kontak dan menggerai rambut saja kok," ucap Vega dengan suara lirih juga. "Tapi kamu kelihatan beda banget, lihat deh, Aries di arah jam tiga," Shinta menunjuk arah itu dengan dagu. Vega menoleh ke arah Aries, teman sekelas mereka yang merupakan cowok paling cakep di kelas. Cowok itu duduk di arah jam tiga dari Vega, Ema dan Shinta. Kebetulan Aries juga sedang menoleh ke arah Vega dan tak sengaja tatap keduanya bertemu. Aries langsung berpura-pura melihat ke arah lain dengan gaya innocent. Vega memandangnya dengan bingung. "Dari tadi dia mengawasimu lho," kata Ema. "Ah, masa?" Vega masih tak percaya. "Beneran!" tegas Ema. "Pasti dia terpesona sama kecantikanmu," tambah Shinta. Vega tertawa lirih mendengar pendapat kedua teman sekelasnya itu. Ketiganya pun akhirnya mengobrol seru sambil berbisik-bisik. Vega senang dia bisa mengobrol akrab dengan sesama cewek seperti ini. Sejak kecil, Vega selalu bersama dengan Al dan Den jadi dia tak pernah punya teman cewek yang akrab. Rata-rata cewek malah memusuhinya karena menganggapnya memonopoli dua cowok keren itu. Sekarang Vega mulai bersyukur karena tidak sekelas lagi dengan dua makhluk astral itu. Bel istirahat siang berbunyi, seluruh anak-anak kelas XI IPA 3 pun bernafas lega setelah menderita akhirnya pelajaran fisika pun berakhir. Vega pun senang karena Pak Beni jadi tak punya alasan untuk memarahinya lagi. "Vega, habis ini makan di kantin bareng yuk," ajak Ema. "Oh, maaf, aku sudah janji makan bekal di atap sekolah sama dua cecunguk itu." Vega menunjuk lapangan basket di mana dua sahabatnya berada sambil tersenyum."Ayo kalian ikut saja kalau mau." "Enggak deh, kami nggak mau mengganggu kencanmu," ucap Shinta sambil menyengih. Dua cewek itu pun meninggalkan Vega sendiri. Diam-diam Vega kecewa. Padahal dia sebenarnya ingin sekali mengakrabkan diri dengan dua gadis itu. *** Vega sedang menggelar Koran saat kedua sahabatnya yang baru selesai berolaraga dan penuh keringat sehabis berolahraga datang. "Ayo makan!" seru Al semangat. "Laper banget nih!" Den tak mau kalah. "Mana bekal kalian?" tanya Vega sambil memicingkan matanya melihat kedua cowok itu yang datang tanpa membawa buntelan apa pun. "Ini!" seru keduanya kompak mengangkat sendok. "Itu kan cuma sendok! Dasar kalian ini! Sekali-kali bawalah bekal sendiri, jangan minta bekalku terus!" dengus Vega marah. "Jangan pelit begitu ah, ini kan hari ulang tahunmu, sewajarnya mentraktir," kata Den. "Bukan hari ulang tahunku pun kalian pasti begini,vkan!" Vega memprotes. "Kamu akan diberkahi jika memberi sedekah pada anak yatim." Al beralasan. Vega mencibir mendengarnya. "Kenapa kamu nggak minta bekal sama pacarmu saja sih!" "Sudah putus tuh," kata Al santai. "Putus lagi? Kamu nggak pernah pacaran lebih dari seminggu ya!" Vega membelalak kaget. Seingatnya baru tiga hari yang lalu Al jadian dengan Hana, kakak kelas mereka dari kelas XII IPS 1. "Aku ini lelaki yang tak mengerti cinta, aku selalu dicampakan, beginilah cinta, penderitaannya tiada akhir...." Al meletakkan tangannya di dadanya sambil berakting memelas dan mengucapkan selogannya Ti Pat Kai di film Kera Sakti. Vega dan Den pun tak urung dibuat tertawa karenanya. "Kamu minta ditraktir terus sih, pacarmu kan jadi malas!" olok Den. "Kalau cinta sewajarnya dong mendukung perekonomian pacarnya yang miskin ini." Al membela diri. Sejak kedua orang tua Al meninggal, Al memang selalu kesulitan keuangan. Biaya sekolah memang sudah ditanggung orang tua Den dan Vega secara patungan, tapi Al menolak bantuan biaya hidup karena tidak mau terlalu merepotkan. Al memilih bekerja sambilan di warnet dekat rumah sepulang sekolah untuk menghidupi dirinya sendiri. "Malas deh, dengar keluhanmu itu, ayo kita pasang aja lilinnya." Vega menyerah. Vega membuka kotak makannya yang berisi kue tart dan menata lilin yang berjumlah 17 buah di atasnya. Den dan Al membantunya. Mereka menyalakan lilin-lilin itu. Mereka kemudian menyanyikan lagu Happy Birthday yang diakhir acara tiup lilin oleh Vega diiringi sorak dan tepuk tangan Den dan Al yang membuat serasa dihadiri puluhan undangan. "Terima kasih kalian sudah berteman denganku selama tujuh belas tahun ini, kuharap, kita akan terus seperti ini selamanya," ucap Vega sambil tersenyum. Den dan Al turuttersenyum. "Tentu saja, kita akan berteman selamanya." ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD