Drama

1199 Words
Al melirik jam dinding di ruang keluarga Vega yang sudah menunjukan pukul sembilan malam. Waktu berlalu cepat sekali, tanpa terasa mereka sudah bermain kartu lebih dari dua jam setelah acara makan malam tadi. Al pun teringat akan tanggung jawabnya untuk bekerja sambilan. "Wah, sudah waktu kerja, saya pulang dulu ya Pakdhe-Budhe," pamit Al, jam sepuluh malam dia harus bekerja menjaga warnet di Blok C1. "Ah, kalau begitu saya juga, saya mau belajar untuk ulangan fisika besok." Den ikut-ikutan. "Yah ... besok kita lanjutkan lagi ya Anak-anak." Ayah Vega agak kecewa. Dia sebenarnya masih ingin mengobrol dan bermain dengan kedua anak itu, tapi apa daya kalau mereka sibuk. Setelah berpamitan keduanya pun pergi dari rumah Vega. Vega mencuci mukanya yang sudah tidak berbentuk karena kalah selama bermain kartu tadi, kemudian bergabung dengan Ayah dan Ibu menonton OVJ di ruang tengah. "Anak-anak itu sekarang sudah tumbuh menjadi pria dewasa ya, rasanya baru kemarin mereka berlari-lari di kakiku, hari ini mereka sudah berbicara politik denganku " Ayah Vega menerawang. "Aku menyukai mereka berdua." Ibu Vega mengangguk senang. "Jadi siapa yang akan kamu pilih menjadi suamimu Vega?" tanya Ayah. Vega hampir menyemburkan jus jeruk yang sedang diminumnya mendengar pertanyaan Ayahnya itu. "Ayah ini ngomong apa sih...." "Lho? Kamu sudah dengarkan jawaban mereka tadi, kan? Mereka mau lho jadi suamimu nanti, itu berarti kamu harus memilih salah satu dari mereka, kan?" "Ibu mendukung Al! Soalnya dia ganteng banget sih, bisa memperbaiki keturunan keluarga kita kan." "Ayah lebih suka Den, kalau menikah dengannya masa depanmu terjamin lho! Dia pintar dan calon dokter." "Mereka itu cuma bercanda! Ayah-Ibu nggak usah baper deh! Nggak mungkin aku menikah sama mereka!" Vega merasa lelah sekali menghadapi bercandaan kedua orang tuanya itu. Dia pun memilih mengundurkan diri dengan kembali ke kamar. "Udah ah, aku ngantuk, tidur duluan ya." "Tunggu, Ve." Ayah menghentikan Vega sebentar sebelum Vega menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai atas."Apa?" tanya Vega dengan nada agak ketus karena kesal. "Ayah mau tanya soal Al, hari ini dia terlihat ceria sih, tapi dia nggak melakukan hal yang aneh-aneh kan?" selidik Ayah. Vega diam di atas tangga sementara kedua orang tuanya yang duduk di ruang tengah menunggu jawabannya. Vega tersenyum kemudian menjawab. "Tenang saja, dia nggak berbuat aneh-aneh, seandainya dia begitu aku dan Den pasti melindunginya." Ayah dan Ibu Vega mengangguk mengerti sekaligus bangga pada anak perempuan mereka itu. Vega lalu kembali berpamitan kepada keduanya dan naik ke lantai atas. "Sebenarnya Ibu masuk khawatir, Yah." Ibu Vega berkata lirih setelah mendengar suara pintu kamar Vega yang tertutup yang menandakan Vega sudah masuk ke dalam kamar dan tak akan mendengarkan pembicaraan mereka. "Al ... Anak itu selalu terlihat kuat dari luar, tapi sebenarnya dia itu yang paling rapuh dibandingkan Den dan Vega." Ayah Vega mengangguk setuju dengan perkataan Ibu Vega. "Ya, memang, tapi kita juga nggak bisa berbuat banyak karena kita nggak bisa selalu mengawasinya, biarlah Vega dan Den saja yang menjaganya." Ayah Vega diam sejenak dan memandang ke luar jendela, di mana langit malam terlihat cerah bertabur bintang. Ayah Vega melihat satu rasi bintang yang terbentuk dari tiga bintang yang bersinar terang di langit malam itu, Summer Triangle. Gugus bintang yang memberikan inspirasi baginya dan dua sahabat baiknya untuk memberi nama anak-anak mereka dulu. "Mereka akan saling menjaga seperti Summer Triangle," katanya lirih. *** Vega berbaring di atas ranjangnya. Dia masih memikirkan kata-kata terakhir Ayah yang didengarnya tadi sebelum dia berbaring di sini, yaitu tentang Al. Al memang selalu terlihat ceria, dia supel, populer dan punya banyak teman di sekolah, nakal, suka membolos, juga playboy dan suka gonta-ganti pacar. Tapi sebenarnya tidak begitu, Al sebenarnya hanya anak kecil yang kesepian. Al sangat kesepian setelah kedua orang tuanya meninggal lima tahun yang lalu. Al selalu melakukan banyak hal hanya agar dirinya diperhatikan oleh orang lain. Sampai sekarang rasanya jantung Vega terasa berhenti berdetak jika mengingat kembali kejadian tiga tahun yang lalu saat dirinya masih duduk di kelas delapan. Saat itu, Al hampir bunuh diri dengan melompat dari atap sekolah, Vega masih mengingat dengat jelas ekspresi wajah Al saat itu. Wajahnya seperti zombie yang sudah tidak punya harapan hidup. Dia berdiri di atap gedung sekolah mereka sambil memandang ke bawah tanpa ekspresi. "Al, kamu mau apa?" Vega bertanya dengan cemas karena merasa ada yang tidak beres. Al menoleh dan tersenyum pada Vega dan Den yang berdiri dalam jarak 2 meter darinya. "Selamat tinggal teman-teman, aku akan pergi menemui orang tuaku." Vega terkesiap, badannya tak bisa bergerak. Al melompat ke bawah gedung. Untungnya Den dengan sigap berlari dan menarik Al ke belakang. Al terjatuh di atap gedung, sementara Den yang kehilangan keseimbangan akhirnya jatuh ke bawah gedung. Vega tidak akan pernah melupakan peristiwa itu seumur hidupnya. Den pingsan di atas tanah dengan berlumuran darah, tulang keringnya patah hingga tulangnya mencuat keluar dari dagingnya. Sungguh pemandangan yang mengerikan. Beruntung Den segera dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan pertolongan secepatnya hingga nyawanya terselamatkan. Vega tidak bisa menyalahkan Al atas terjadinya tragedi itu. Vega tahu bagaimana perasaan Al. Mungkin Vega akan melakukan hal serupa jika kedua orang tuanya meninggal. Vega justru kagum Al masih dapat bertahan sampai dua tahun setelah kepergian orang tuanya tanpa melakukan hal yang aneh-aneh. Namun ternyata kepedihan Al itu ada batasnya. Vega hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri saat itu. Seandainya saat itu Vega tidak hanya diam saja dan terpaku di tempatnya. Seandainya saja Vega ikut membantu Den menghalangi tindakan gila Al, mungkin Den tidak akan mengalami nasib seperti itu. Setelah kejadian itu, Vega dan Al terus menunggui Den selama dirawat di rumah sakit. Al menangis dan berjanji dia tidak akan pernah mencoba bunuh diri lagi. Meskipun begitu, Vega dan Den terkadang masih merasa takut Al akan melakukan hal yang aneh-aneh lagi. Itulah alasan sebenarnya mengapa mereka selalu makan siang di atap sekolah setiap hari. Untuk menjaga dan mengawasi Al agar anak itu tidak sendirian. Vega menghela napas. Otaknya jadi terasa berat kalau sudah memikirkan peristiwa itu. Vega menggeleng-gelengkan kepala dan menepis pikiran itu. Itu hanya masa lalu, dan tak akan pernah terulang lagi. Al sudah berjanji tak akan pernah mengulanginya lagi. Untuk mengalihkan perhatian Vega bangkit dan menghampiri tas ranselnya yang tergeletak di atas meja belajarnya. Vega mengambil komik yang tadi dipinjamkan dengan paksa oleh Ema padanya di kelas "Rival Next Door," komik yang menceritakan kisah persahabatan dua cowok satu cewek yang berubah menjadi persaingan karena kedua tokoh cowok dalam komik itu menyukai si tokoh cewek. Vega senyam-senyum sendiri saat teringat akan percakapannya dengan Ema dan Shinta tadi di kelas. Entah mengapa Ema dan Shinta sangat yakin bahwa ada benih-benih cinta yang terselip dalam kisah persahabatannya dengan Al dan Den. Padahal sama sekali tak ada hal seperti itu. Persahabatannya dengan Al dan Den murni hanya persahabatan tiga tetangga yang kebetulan sudah kenal dari lahir. Sama sekali nggak ada kisah cinta atau semacamnya. Vega membuka halaman dengan halaman komik itu, membacanya sambil tertawa lirih. Diam-diam Vega membayangkan dua tokoh cowok dalam komik itu adalah Al dan Den sedangkan tokoh cewek itu adalah dirinya, itu cukup untuk mengocok perut. Terutama adegan saat ada rapat festival dan kedua cowok itu menembaknya di sana. Vega tertawa terbahak-bahak saat membayangkan Al dan Den mengucapkan kata, "Vega Pilihlah Aku," dengan ekspresi serius. TOK! TOK! TOK! Terdengar tiga ketukan di jendela yang membuyarkan segala khayalan Vega. ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD